Wednesday, 30 March 2011 20:30
Written by Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Apakah film itu? Menurut Christian Metz, pakar semiotika visual dari Perancis, film sama saja dengan bahasa. Kehadirannya memberikan pesan (encode) dan juga membongkar pesan-pesan yang telah hadir sebelumnya (decode). Film melakukan penandaan praktis (signifying practice) atas galaksi kebudayaan manusia yang direpresentasikan melalui gambar (Christian Metz, Film Language : A Semiotic of Cinema, 1974).
Metz tidak membedakan tentang jenis, bentuk, dan model film apa yang dihadirkan. Baginya semua film memiliki fungsi dasar yaitu memberikan tanda, kode, dan pesan melalui gambar dan kisah yang ada di dalamnya. Semua hal tadi merupakan instrumen linguistik yang digunakan film untuk berkomunikasi dengan penonton. Di dalamnya ada unsur sintagmatik dan paradigmatik. Ada cerita dan ada kedalaman.
Makanya ketika ada yang menganggap film Empang Breuh hanya sebuah film komedi biasa, bagi saya tidak sesederhana itu. Empang Breuh telah menjadi tsunami baru, “menyejarah”, dan menjadi ikon dalam dunia sinematografi Aceh yang masih belia ini. Itu paling tidak bisa dilihat dari komentar-komentar para penonton non-Aceh setelah melihat cuplikan film itu di You Tube. Satu hal lagi, film jelas harus memberikan hiburan visual bagi siapapun yang melihatnya.
Namun hal itu kurang terlihat ketika saya menonton film karya Ikmal Gopi, Radio Rimba Raya (RRR) yang diputar dan dibedah di gedung Pasca-sarjana IAIN Ar-Raniry, 16 Maret lalu. Secara teknis penggarapan film ber-genre dokumenter sejarah ini masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan paling dasar adalah kurangnya rekaman masa lalu yang bisa direkonstruksi dalam film. Ada cuplikan gambar yang di-insert tapi penonton ragu tentang relevansinya dengan sejarah RRR.
Sejarah RRR sendiri juga bukan momen afkiran. Radio Rimba Raya (bahasa Gayo, Rime Raya) dikenal sebagai radio Republik Indonesia darurat yang mulai dipancar-luaskan sejak masa agresi Belanda I, Juli 1947 hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus – 2 November 1949. Dari radio berdaya pancar satu kilo watt pada frekuensi 19.25 dan 61 ini, dunia luar mengetahui bahwa Indonesia masih ada. Kehadiran RRR tak lepas dari upaya heroik Kolonel Husin Yusuf dan John Lee, seorang pengusaha keturunan China asal Manado yang menyuplai peralatan penyiaran peninggalan Jepang dari Singapore. Melalui film ini kita bertambah paham tentang jasa Aceh untuk republik ini.
Namun hal itu kurang tertangkap dalam film. Terlalu banyak tokoh yang diwawancarai, bahkan yang bukan saksi mata atau sejarawan yang mengetahui kronologi sejarah RRR. Pemilihan tokoh karena popularitas dan bukan kepersisan dalam memberi informasi. Terlalu banyak opini dan sedikit data. Dalam amatan saya, hanya ada dua tokoh yang sangat otoritatif yang telah “menyelamatkan” film dokumenter ini. Pertama, RM Tukiran, saksi mata yang ketika masa itu berumur 8 tahun dan T. Alibasjah (Talsa), seorang pelaku sejarah yang mampu menceritakan dengan baik tentang kronologi sejarah RRR. Ekspresi Tukiran yang lugu dan lucu menjadi sedikit thrill dari sekian banyak wawancara yang terkesan terlalu dipaksakan hadir. Hal lain yang juga kurang membuat audiens bisa setia menonton adalah sound track dan instrumen musik yang sangat minimal, bahkan hampir tiada. Teknik montase (montage) yang tidak lancar antara satu tokoh ke tokoh lainnya, dan tidak adanya narasi menyebabkan kelimpahan data seperti sia-sia. Buruknya sistem audial (mungkin karena berisik atau efek angin saat mewawancarai di ruang terbuka) juga menganggu. Hal itu sebenarnya bisa dijembatani dengan transkrip di dalam gambar.
Namun yang harus diberi ancungan jempol untuk Ikmal Gopi bukan semata pada ekspresi karyanya tapi pada prosesnya. Perjuangannya menghadirkan film ini dimulai dengan modal nol. Yang ada hanya semangat pantang menyerah untuk merentangkan sejarah melalui sinema. Melalui Jauhari Samalanga, praktisi seni Gayo, saya tahu bagaimana ia kesulitan membayar lembaga-lembaga pemilik sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan RRI hanya untuk mendapat sekeping data. Bahkan ia kesulitan untuk menyewa kamera, sesuatu yang aneh mungkin dalam pikiran sutradara film seperti Garin Nugroho. Dalam sebuah wawancara ia menyebutkan, sejak membuat film RRR ia semakin mengerti tentang pentingnya sejarah.
Apa yang dihasilkan oleh Ikmal jelas tidak bisa diperbandingkan dengan karya seperti Aryo Danusiri (Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa, 1999, Playing with Elephants, 2009) Fauzan Santa-Sarjev (Pena-pena Patah, 2000) Aryo-Santa (Abrakadabra, 2003), atau William Nessen (Black Road, 2005). Film yang dihasilkan oleh sineas itu berada di tengah pusaran realitas yang sedang terjadi alias stillfresh from the oven. Proses kreatif film seperti itu cukup tinggal di dalam sebuah komunitas dan secara tabah melakukan pengembaraan antropologi visual atas realitas yang bergerak di depan kamera. Film-film yang disebutkan belakangan merupakan proyek etnografi konflik-derita yang diangkat ke dalam bentuk sinematografi.
Namun upaya Ikmal merekonstruksi sejarah yang telah lebih setengah abad, di tengah bangsa yang kurang peduli pada situs dan dokumen historis seperti slide film, bukan cerita gampang. Itu seperti pekerjaan menutup radiasi di reaktor nuklir Fukushima. Seingat saya, mungkin hanya Des Alwi dan HB Jassin, pihak swasta yang memuseumkan dokumentasi visual (film dan foto) sebagai kekayaan historis bangsa yang perlu diselamatkan. Banyak dari kita menganggap itu urusan negara. Problemya, ketika warisan masa lalu itu ingin dipresentasikan kembali kita kekurangan dan kekeringan. Atau negara menjadi jual mahal kepada para sineas idealis ini.
Langkah kecil Ikmal paling tidak telah menggugah orang lain. Ketika saya keluar dari ruang diskusi film itu, seorang seniman visual, Jawon, sudah mulai bercerita panjang lebar untuk mengangkat sejarah pertempuran Medan Aria dalam bentuk film jika ada sponsor. Saya sambut semangatnya, dan jelas itu berkat karya Ikmal yang sederhana itu. Sejarah memang perlu difilmkan, tidak hanya didiktatkan. Itu juga untuk mencegah semakin malasnya generasi sekolah menyikapi sejarah dan guru sejarah; yang berpenampilan kuno dan jarang bercukur.
Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Kamis, 31 Maret 2011
Senin, 28 Maret 2011
Demokratisasi Sejarah
Sabtu, 26 Maret 2011
Baru-baru ini, sebuah film dokumenter sejarah telah diluncurkan, Radio Rimba Raya (RRR). Film yang menjadi salah satu nominator pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta, 2011, ini menceritakan peran sebuah radio dari tanah Gayo, Aceh, yang mengudara sejak masa agresi Belanda I, 21 Juli 1947. Radio ini menjadi propaganda tanding atas komunikasi Belanda pada dunia tentang eksistensi Indonesia. Fakta mencatat, sejak agresi Belanda II, 19 Desember 1948, seluruh wilayah Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda dan sekutu. Pemerintahan darurat di Yogyakarta pun sempat jatuh.
Dunia pun berasumsi bahwa sejarah Indonesia telah tenggelam. Akan tetapi, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan: Aceh. Dari pedalaman belantara Aceh (bahasa Gayo: rime raya), radio ini menyatakan pemerintahan Indonesia masih berdaulat. Para penyiarnya menggunakan pelbagai bahasa : Melayu, Inggris, China, dan India. Daya pancarnya dapat diterima hingga Malaya (Malaysia dan Singapura), Vietnam, Filipina, hingga India. Berkat radio ini pula Belanda terpaksa melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag.
Hasilnya, Belanda dan negara dunia mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 27 Desember 1949. Jikalau dalam sejarah (if in history) memang tidak bisa digunakan untuk komparasi momentum atau hasil sejarah. Akan tetapi “jika” dapat digunakan untuk mempertajam perspektif dalam lingkup intelektualisme. Sketsa RRR tidak tercatat baik dalam risalah perjuangan nasional. Dalam Museum TNI AD di Yogyakarta, bekas peralatan radio itu teronggok di pojok ruangan. Hanya ada sedikit informasi “pemancar selundupan yang digunakan oleh pemerintah darurat RI di Sumatra/Aceh 1948”.
Tidak ada “semangat zaman” (Zeitgeist), istilah GWF Hegel, yang keluar dari catatan itu. Cuplikan itu tidak ada detail-detail naratifnya. Hanya renik-renik waktu tanpa makna. Bahkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang enam jilid itu, peran Aceh dan RRR tidak disebutkan lebih dari 10 halaman. Saya tergelitik membuat perandaian, jikalau saat itu elite Aceh berpikir iseng mendirikan negara Aceh saja, setelah mempertimbangkan Indonesia kembali dikuasai Belanda, tentu cerita menjadi lain.
Bisa jadi Indonesia baru merdeka selaksa kemerdekaan Suriname (25 November 1975) atau berdekatan dengan Afrika Selatan menjadi republik (31 Mei 1961), sebagai sama-sama koloni Belanda. Tapi di sini saya menduga, bukan hanya sejarah di Aceh yang mengecil, tapi juga sejarah-sejarah daerah lainnya di Indonesia juga ikut terbonsai. Di luar (etnik) Jawa tidak ada sejarah nasional. Sejarah di luar itu hanya balutan bekas yang dikenang sepintas atau berarus dangkal.
Sejarah nasional hanya dinamika di Sunda Kepala, kemudian menjadi Batavia, akhirnya Jakarta: yang memang sejak abad 16 menjadi pusat perdagangan, ekonomi, politik Nusantara. Sejarah nasional adalah sejarah sentralistik bukan pluralistik, yang turun dari atas ke bawah dan tidak sebaliknya. Selama ini sejarah nasional(isme) pun tidak dilihat secara menggembirakan. Ada virus nasionalisme dalam sejarah nasional yang tidak menguntungkan kesehatan bangsa.
Itu seperti yang dialami negara-negara yang pernah memberlakukan nasionalisme resmi atau dikenal dengan istilah “Russification”, akhirnya malah terpecah-belah (Partha Chaterjee, Nationalism as a Problem). Nasionalisme model ini membentuk imajinasi yang hegemonik dan dominatif. Padahal nasionalisme yang baik adalah yang mencari representasi dari seluruh rakyat dan masyarakat yang menginginkan hadirnya sebuah negara yang sah dan independen. Sebuah imajinasi sebenarnya dari antikolonialisme.
(Eric Hobsbawm, The Nation as Invented Tradition, 1983). Jika pandangan representasi menjadi penting dibandingkan hegemoni, maka imajinasi pejuang Aceh saat itu tidak bisa dikecilkan begitu saja. Memang RRR adalah radio yang memancar dari wilayah yang populasinya kurang dua persen total penduduk Indonesia. Akan tetapi, daerah ini secara konsisten menyuarakan eksistensi Indonesia dan tertangkap telinga di hampir seluruh Asia bahkan Australia. Pekik kemerdekaan para penyiar tak padam oleh serang, tak ciut oleh hantam.
Inilah salah satu bagian kronik bangsa yang harus disinarkilaukan, agar buku sejarah tidak semakin suram. Perbaiki Sejarah Permasalahannya adalah ada dua hal yang perlu diperbaiki, yaitu pemahaman sejarah nasional, dan bagaimana sejarah itu direkonstruksikan. Seperti pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis keturunan Bulgaria, Tzvetan Todorov, “membangkitkan memori masa lalu jangan sampai membuat cacat memori itu sendiri. Tujuan sejarah diungkapkan adalah agar tidak mencederai kebenaran, dan tidak membiarkan ia menjadi barang terlarang” (Todorov, The Uses and Abuses of Memory, 1995).
Dalam rentang sejarah nasional, kita bisa melihat manipulasi sejarah terjadi di beberapa babak krisis politik nasional. Sejarah seputar pembunuhan para jenderal dilebihlebihkan. Tujuannya tak lain mendeskreditkan rezim saat itu, meruntuhkan segala idealismenya, dan sekaligus memuji setinggi langit rezim penggantinya. Efeknya pun menjadi siklus dendam. Ketika rezim penggantinya tumbang pada 1998, seluruh bangunan memorialnya pun ingin dirubuhkan, tanpa pernah menyisakan sedikit pun kebenaran.
Begitu seterusnya. Sesuatu yang kita perlukan saat ini adalah merekonstruksi sejarah nasional secara lebih demokratis, yang berangkat dari peran daerah-daerah. Mungkin seri Sejarah Nasional Indonesia yang telah dimutakhirkan sejak pertamakali dibuat pada 1975 pun perlu dibacakritis oleh sejarawan-sejarawan daerah, sehingga energi tumpah darah-air mata pahlawan lokal pun bisa tertampung dalam sejarah nasional. Dengan upaya ini tak perlu lagi dengar argumen seorang anak Papua ketika ditanya tentang sejarah Indonesia. “Itu sejarah Bapak, bukan sejarah kami!”.
Penulis adalah dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
Baru-baru ini, sebuah film dokumenter sejarah telah diluncurkan, Radio Rimba Raya (RRR). Film yang menjadi salah satu nominator pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta, 2011, ini menceritakan peran sebuah radio dari tanah Gayo, Aceh, yang mengudara sejak masa agresi Belanda I, 21 Juli 1947. Radio ini menjadi propaganda tanding atas komunikasi Belanda pada dunia tentang eksistensi Indonesia. Fakta mencatat, sejak agresi Belanda II, 19 Desember 1948, seluruh wilayah Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda dan sekutu. Pemerintahan darurat di Yogyakarta pun sempat jatuh.
Dunia pun berasumsi bahwa sejarah Indonesia telah tenggelam. Akan tetapi, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan: Aceh. Dari pedalaman belantara Aceh (bahasa Gayo: rime raya), radio ini menyatakan pemerintahan Indonesia masih berdaulat. Para penyiarnya menggunakan pelbagai bahasa : Melayu, Inggris, China, dan India. Daya pancarnya dapat diterima hingga Malaya (Malaysia dan Singapura), Vietnam, Filipina, hingga India. Berkat radio ini pula Belanda terpaksa melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag.
Hasilnya, Belanda dan negara dunia mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 27 Desember 1949. Jikalau dalam sejarah (if in history) memang tidak bisa digunakan untuk komparasi momentum atau hasil sejarah. Akan tetapi “jika” dapat digunakan untuk mempertajam perspektif dalam lingkup intelektualisme. Sketsa RRR tidak tercatat baik dalam risalah perjuangan nasional. Dalam Museum TNI AD di Yogyakarta, bekas peralatan radio itu teronggok di pojok ruangan. Hanya ada sedikit informasi “pemancar selundupan yang digunakan oleh pemerintah darurat RI di Sumatra/Aceh 1948”.
Tidak ada “semangat zaman” (Zeitgeist), istilah GWF Hegel, yang keluar dari catatan itu. Cuplikan itu tidak ada detail-detail naratifnya. Hanya renik-renik waktu tanpa makna. Bahkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang enam jilid itu, peran Aceh dan RRR tidak disebutkan lebih dari 10 halaman. Saya tergelitik membuat perandaian, jikalau saat itu elite Aceh berpikir iseng mendirikan negara Aceh saja, setelah mempertimbangkan Indonesia kembali dikuasai Belanda, tentu cerita menjadi lain.
Bisa jadi Indonesia baru merdeka selaksa kemerdekaan Suriname (25 November 1975) atau berdekatan dengan Afrika Selatan menjadi republik (31 Mei 1961), sebagai sama-sama koloni Belanda. Tapi di sini saya menduga, bukan hanya sejarah di Aceh yang mengecil, tapi juga sejarah-sejarah daerah lainnya di Indonesia juga ikut terbonsai. Di luar (etnik) Jawa tidak ada sejarah nasional. Sejarah di luar itu hanya balutan bekas yang dikenang sepintas atau berarus dangkal.
Sejarah nasional hanya dinamika di Sunda Kepala, kemudian menjadi Batavia, akhirnya Jakarta: yang memang sejak abad 16 menjadi pusat perdagangan, ekonomi, politik Nusantara. Sejarah nasional adalah sejarah sentralistik bukan pluralistik, yang turun dari atas ke bawah dan tidak sebaliknya. Selama ini sejarah nasional(isme) pun tidak dilihat secara menggembirakan. Ada virus nasionalisme dalam sejarah nasional yang tidak menguntungkan kesehatan bangsa.
Itu seperti yang dialami negara-negara yang pernah memberlakukan nasionalisme resmi atau dikenal dengan istilah “Russification”, akhirnya malah terpecah-belah (Partha Chaterjee, Nationalism as a Problem). Nasionalisme model ini membentuk imajinasi yang hegemonik dan dominatif. Padahal nasionalisme yang baik adalah yang mencari representasi dari seluruh rakyat dan masyarakat yang menginginkan hadirnya sebuah negara yang sah dan independen. Sebuah imajinasi sebenarnya dari antikolonialisme.
(Eric Hobsbawm, The Nation as Invented Tradition, 1983). Jika pandangan representasi menjadi penting dibandingkan hegemoni, maka imajinasi pejuang Aceh saat itu tidak bisa dikecilkan begitu saja. Memang RRR adalah radio yang memancar dari wilayah yang populasinya kurang dua persen total penduduk Indonesia. Akan tetapi, daerah ini secara konsisten menyuarakan eksistensi Indonesia dan tertangkap telinga di hampir seluruh Asia bahkan Australia. Pekik kemerdekaan para penyiar tak padam oleh serang, tak ciut oleh hantam.
Inilah salah satu bagian kronik bangsa yang harus disinarkilaukan, agar buku sejarah tidak semakin suram. Perbaiki Sejarah Permasalahannya adalah ada dua hal yang perlu diperbaiki, yaitu pemahaman sejarah nasional, dan bagaimana sejarah itu direkonstruksikan. Seperti pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis keturunan Bulgaria, Tzvetan Todorov, “membangkitkan memori masa lalu jangan sampai membuat cacat memori itu sendiri. Tujuan sejarah diungkapkan adalah agar tidak mencederai kebenaran, dan tidak membiarkan ia menjadi barang terlarang” (Todorov, The Uses and Abuses of Memory, 1995).
Dalam rentang sejarah nasional, kita bisa melihat manipulasi sejarah terjadi di beberapa babak krisis politik nasional. Sejarah seputar pembunuhan para jenderal dilebihlebihkan. Tujuannya tak lain mendeskreditkan rezim saat itu, meruntuhkan segala idealismenya, dan sekaligus memuji setinggi langit rezim penggantinya. Efeknya pun menjadi siklus dendam. Ketika rezim penggantinya tumbang pada 1998, seluruh bangunan memorialnya pun ingin dirubuhkan, tanpa pernah menyisakan sedikit pun kebenaran.
Begitu seterusnya. Sesuatu yang kita perlukan saat ini adalah merekonstruksi sejarah nasional secara lebih demokratis, yang berangkat dari peran daerah-daerah. Mungkin seri Sejarah Nasional Indonesia yang telah dimutakhirkan sejak pertamakali dibuat pada 1975 pun perlu dibacakritis oleh sejarawan-sejarawan daerah, sehingga energi tumpah darah-air mata pahlawan lokal pun bisa tertampung dalam sejarah nasional. Dengan upaya ini tak perlu lagi dengar argumen seorang anak Papua ketika ditanya tentang sejarah Indonesia. “Itu sejarah Bapak, bukan sejarah kami!”.
Penulis adalah dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
Senin, 21 Maret 2011
Film Radio Rimba Raya Luruskan Sejarah Aceh
Sun, Mar 20th 2011, 08:52
Aceh Tengah
TAKENGON - Produser dan sutradara film yang menggarap film dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi mengatakan, pembuatan film dokumenter tersebut untuk meluruskan sejarah Aceh tentang peran Radio Perjuangan Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.
Katanya, selama ini pemerintah dan masyarakat Aceh belum tahu tentang kiprah Radio Perjuangan Rimba Raya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari agresi penjajahan Belanda I dan II. Untuk itu, film dokumenter ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang netral dan berimbang tentang peran radio perjuangan tersebut.
Hal itu dikatakan Sutradara Film Dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi di sela-sela pemuran film Radio Rimba Raya, Sabtu (19/3) di Gedung Gentala Takengon. Ia mengatakan, film dokumenter Radio Rimba Raya menceritakan tentang sejarah perjuangan radio tersebut saat pejuang dan pemerintah RI sedang digempur habis-habisan oleh Belanda pada agresi kedua tahun akhir 1948 dan 1949.
Saat Belanda sedang gencar-gencarnya melancarkan propaganda tentang kekalahan pejuang-pejuang Indonesia dan Belanda mengatakan, Indonesia tidak ada lagi, saat itu, pejuang-pejuang kemerdekaan RI mengumandangkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan tidak takluk kepada Belanda. Para penjuang itu mengumandangkan kepada dunia luar melalui perangkat Radio Rimba Raya dari hutan-hutan belantara di Kabupaten Aceh Tengah. Sinyal yang dipancarkan Radio Rimba Raya itu dapat dimonitor hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand hingga ke India. Belanda yang sudah mengetahui adanya perangkat radio di tangan para pejuang RI itu mencoba melacak kebaradaan perangkat siar tersebut di seluruh hutan Aceh.
Guna menyelamatkan perangkat radio tersebut, kata Ikmal Gopi, pejuang-pejuang Aceh memindahkan perangkat radio yang beratnya lebih satu ton itu dari hutan ke hutan, mereka memindahkan dengan cara memikul bersama-sama dalam hutan kawasan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Ikmal Gopi sangat kecewa dengan sikap Pemkab Aceh Tengah yang kurang merespon rencana pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya ke sekolah-sekolah di dataran tinggi. Bukan hanya itu, Bupati dan Muspida Aceh Tengah yang diundang pada pemutaran film Radio Rimba Raya pada tiga lokasi di Takengon, juga tidak hadir.(min)
Aceh Tengah
TAKENGON - Produser dan sutradara film yang menggarap film dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi mengatakan, pembuatan film dokumenter tersebut untuk meluruskan sejarah Aceh tentang peran Radio Perjuangan Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.
Katanya, selama ini pemerintah dan masyarakat Aceh belum tahu tentang kiprah Radio Perjuangan Rimba Raya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari agresi penjajahan Belanda I dan II. Untuk itu, film dokumenter ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang netral dan berimbang tentang peran radio perjuangan tersebut.
Hal itu dikatakan Sutradara Film Dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi di sela-sela pemuran film Radio Rimba Raya, Sabtu (19/3) di Gedung Gentala Takengon. Ia mengatakan, film dokumenter Radio Rimba Raya menceritakan tentang sejarah perjuangan radio tersebut saat pejuang dan pemerintah RI sedang digempur habis-habisan oleh Belanda pada agresi kedua tahun akhir 1948 dan 1949.
Saat Belanda sedang gencar-gencarnya melancarkan propaganda tentang kekalahan pejuang-pejuang Indonesia dan Belanda mengatakan, Indonesia tidak ada lagi, saat itu, pejuang-pejuang kemerdekaan RI mengumandangkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan tidak takluk kepada Belanda. Para penjuang itu mengumandangkan kepada dunia luar melalui perangkat Radio Rimba Raya dari hutan-hutan belantara di Kabupaten Aceh Tengah. Sinyal yang dipancarkan Radio Rimba Raya itu dapat dimonitor hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand hingga ke India. Belanda yang sudah mengetahui adanya perangkat radio di tangan para pejuang RI itu mencoba melacak kebaradaan perangkat siar tersebut di seluruh hutan Aceh.
Guna menyelamatkan perangkat radio tersebut, kata Ikmal Gopi, pejuang-pejuang Aceh memindahkan perangkat radio yang beratnya lebih satu ton itu dari hutan ke hutan, mereka memindahkan dengan cara memikul bersama-sama dalam hutan kawasan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Ikmal Gopi sangat kecewa dengan sikap Pemkab Aceh Tengah yang kurang merespon rencana pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya ke sekolah-sekolah di dataran tinggi. Bukan hanya itu, Bupati dan Muspida Aceh Tengah yang diundang pada pemutaran film Radio Rimba Raya pada tiga lokasi di Takengon, juga tidak hadir.(min)
Radio Rimba Raya, Secuil Simpul Republik yang Hampir Terlupakan
Published on March 16, 2011
Catatan Muhammad Syukri*
Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul tetap tegaknya republik ini berada disekitar kita. Simpul itu bermula saat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.
Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.
Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Sekian!
*Pemerhati Sejarah Gayo berdomisili di Takengon
Catatan Muhammad Syukri*
Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul tetap tegaknya republik ini berada disekitar kita. Simpul itu bermula saat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.
Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.
Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Sekian!
*Pemerhati Sejarah Gayo berdomisili di Takengon
Merawat Rimba Raya Lewat Film
Published on March 17, 2011
Written by Jauhari Samalanga | Hamzah Hasballah
Film dokumenter ‘Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya’ karya Ikmal Gopi diputar untuk pertamakalinya di Gedung Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3). Pemutaran film disertai diskusi ‘menguak manipulasi sejarah Aceh’. “Orang Aceh yang tidak mengetahui sejarahnya dipastikan rugi menjadi orang Aceh, karena dia akan diadili oleh sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah Aceh bisamemberi inteligensi lain dari apa yang pernah kita dapat sekarang ini. “Jadi siapapun orang di Indonesia ini harus mempelajari sejarah Aceh,”
Selain Ikmal Gopi, tampil sebagai Pembicara Diskusi public “Menguak Manipulasi Sejarah Aceh” antara lain M.Adli Abdullah (Pakar Sejarah Aceh), Prof. Hasbi Amiruddin (Guru Besar IAIN), Ihsannuddin MZ (Tokoh Pemuda dan Ketua KNPI Aceh), & Ikmal Gopi (Sutradara & Pelaku Riset Radio Rimba Raya).
Ikmal mengaku, pengalaman membuat film yang menampilkan 29 narasumber dari sejarah Radio Rimba Radio Rimba Raya,membuatnya belajar banyak soal sejarah. Dari sejarah Aceh, kata dia, dapat dianalisa situasi Indonesia sebenarnya. “Indonesia juga wajib membaca sejarah Aceh selain sejarah daerah lainnya,” kata Ikmal.
Ikmal Gopi sendiri merasa tertipu dengan Radio yang pernah dicari-cari penjajah Belanda. Dan faktanya, radio ‘gerilya’ menguak banyak sejarah Indonesia yang tercecer, termasuk taktik mengelabui Belanda di mata dunia.
Dia mengakui, baru mengetahui secara luas mengenai sejarah radio ini, ketika menggarap dokumenter sejak 2006 lalu, dan rampung 2010. “Saya yakin orang lain tidak tahu, saya cari di buku-buku, tidak ada yang menulis tentang itu, paling hanya sedikit, dari ratusan lembar yang tersedia,” ujarnya. Film ini sendiri masuk dalam lima besar Festival Film Indonesia, nominasi dokumenter.
“Jadi, kami sangat mengaharap, pemerintah memasukkan ini ke dalam kurikulum pendidikan, ini penting di ketahui, bahwa radio ini menjadi satu-satunya media bangsa kita saat perang kemerdekaan, sehingga dunia luar tahu, indonesia masih ada saat itu,” kata alumni Institut Kesenian Jakarta ini.
Ikmal sendiri menyebutkan, selama ini orang beranggapan Laksamana John Lee satu-satunya orang yang telah berkonstribusi pada Radio Aceh, dan ketika di analisis Radio tersebut dibeli oleh Nip Karim, Komandan Pangkalan Brandan masa itu. “Tapi secara umum harus diakui John Li banyak member konstribusi pada perjuangan Indonesia,” sebut lajang Aceh lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.
Guru Besar IAIN Ar-Raniry Prof. Hasbi Amiruddin dan Sejarawan Adli Abdullah mengapresiasi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. “Dan kita pantas mengapresiasi orang muda yang peduli sejarah,” kata Prof. Hasbi Amiruddin.
Sementara Ihsanuddin, tokoh Pemuda dan Ketua KNPI mengaku baru mengetahui sejarah Radio Rimba Raya ini lantaran selama bersekolah dirinya tidak pernah diajarkan sejarah itu. “KNPI akan memperjuangkan Film sejarah Radio Rimba Raya untuk dapat ditonton oleh seluruh rakyat Aceh. Semangat kreatifitas generasi muda perlu diapresiasi,” katanya.
Radio Rimba Raya, pernah beberapa kali dipindahkan dari tempatnya. Pada awalnya, diletakkan di Cot Gue Kutaradja (Sekarang Montasik Aceh Besar), sampai dibawa ke pedalaman Gayo, di Desa Rime Raya, Takengon (sekarang Bener Meriah), supaya terhindar dari intaian mata-mata Belanda.
Sejarawan Aceh, Hasbi Amiruddin mengatakan, sejarah Radio Rimba Raya sangat penting disosialisasikan. “Sama pentingnya. Rimba Raya menjadi media propoganda ke dunia luar, menyoal pendudukan Belanda yang mengatakan,Indonesia tidak lagi memiliki wilayah, padahal Aceh masih ada,” ujarnya.
Kepada The Atjeh Post, Anca, 25 tahun, yang selama ini menjaga monumen Radio Rimba Raya curhat soal kurangnya perhatian pemerintah. Akibatnya, monumen itu seperti terabaikan.
“Fasilitas dan anggaran yang tersedia sangat-sangat kurang, gaji kami saja Rp 450.000 sebulannya, untuk menjaga lahan selus dua hektar,” ujar Anca.
Selama ini, kata dia, tak banyak warga yang mengunjungi monumen itu. Padahal, hanya berjarak 500 meter dari jalan nasional Bireuen-Takengon. “Mungkin karena tidak dipasang penunjuk arah ke monumen itu,” ujar Anca yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRI) Benar Meriah.
Sumber : atjehpost.com
Written by Jauhari Samalanga | Hamzah Hasballah
Film dokumenter ‘Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya’ karya Ikmal Gopi diputar untuk pertamakalinya di Gedung Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3). Pemutaran film disertai diskusi ‘menguak manipulasi sejarah Aceh’. “Orang Aceh yang tidak mengetahui sejarahnya dipastikan rugi menjadi orang Aceh, karena dia akan diadili oleh sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah Aceh bisamemberi inteligensi lain dari apa yang pernah kita dapat sekarang ini. “Jadi siapapun orang di Indonesia ini harus mempelajari sejarah Aceh,”
Selain Ikmal Gopi, tampil sebagai Pembicara Diskusi public “Menguak Manipulasi Sejarah Aceh” antara lain M.Adli Abdullah (Pakar Sejarah Aceh), Prof. Hasbi Amiruddin (Guru Besar IAIN), Ihsannuddin MZ (Tokoh Pemuda dan Ketua KNPI Aceh), & Ikmal Gopi (Sutradara & Pelaku Riset Radio Rimba Raya).
Ikmal mengaku, pengalaman membuat film yang menampilkan 29 narasumber dari sejarah Radio Rimba Radio Rimba Raya,membuatnya belajar banyak soal sejarah. Dari sejarah Aceh, kata dia, dapat dianalisa situasi Indonesia sebenarnya. “Indonesia juga wajib membaca sejarah Aceh selain sejarah daerah lainnya,” kata Ikmal.
Ikmal Gopi sendiri merasa tertipu dengan Radio yang pernah dicari-cari penjajah Belanda. Dan faktanya, radio ‘gerilya’ menguak banyak sejarah Indonesia yang tercecer, termasuk taktik mengelabui Belanda di mata dunia.
Dia mengakui, baru mengetahui secara luas mengenai sejarah radio ini, ketika menggarap dokumenter sejak 2006 lalu, dan rampung 2010. “Saya yakin orang lain tidak tahu, saya cari di buku-buku, tidak ada yang menulis tentang itu, paling hanya sedikit, dari ratusan lembar yang tersedia,” ujarnya. Film ini sendiri masuk dalam lima besar Festival Film Indonesia, nominasi dokumenter.
“Jadi, kami sangat mengaharap, pemerintah memasukkan ini ke dalam kurikulum pendidikan, ini penting di ketahui, bahwa radio ini menjadi satu-satunya media bangsa kita saat perang kemerdekaan, sehingga dunia luar tahu, indonesia masih ada saat itu,” kata alumni Institut Kesenian Jakarta ini.
Ikmal sendiri menyebutkan, selama ini orang beranggapan Laksamana John Lee satu-satunya orang yang telah berkonstribusi pada Radio Aceh, dan ketika di analisis Radio tersebut dibeli oleh Nip Karim, Komandan Pangkalan Brandan masa itu. “Tapi secara umum harus diakui John Li banyak member konstribusi pada perjuangan Indonesia,” sebut lajang Aceh lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.
Guru Besar IAIN Ar-Raniry Prof. Hasbi Amiruddin dan Sejarawan Adli Abdullah mengapresiasi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. “Dan kita pantas mengapresiasi orang muda yang peduli sejarah,” kata Prof. Hasbi Amiruddin.
Sementara Ihsanuddin, tokoh Pemuda dan Ketua KNPI mengaku baru mengetahui sejarah Radio Rimba Raya ini lantaran selama bersekolah dirinya tidak pernah diajarkan sejarah itu. “KNPI akan memperjuangkan Film sejarah Radio Rimba Raya untuk dapat ditonton oleh seluruh rakyat Aceh. Semangat kreatifitas generasi muda perlu diapresiasi,” katanya.
Radio Rimba Raya, pernah beberapa kali dipindahkan dari tempatnya. Pada awalnya, diletakkan di Cot Gue Kutaradja (Sekarang Montasik Aceh Besar), sampai dibawa ke pedalaman Gayo, di Desa Rime Raya, Takengon (sekarang Bener Meriah), supaya terhindar dari intaian mata-mata Belanda.
Sejarawan Aceh, Hasbi Amiruddin mengatakan, sejarah Radio Rimba Raya sangat penting disosialisasikan. “Sama pentingnya. Rimba Raya menjadi media propoganda ke dunia luar, menyoal pendudukan Belanda yang mengatakan,Indonesia tidak lagi memiliki wilayah, padahal Aceh masih ada,” ujarnya.
Kepada The Atjeh Post, Anca, 25 tahun, yang selama ini menjaga monumen Radio Rimba Raya curhat soal kurangnya perhatian pemerintah. Akibatnya, monumen itu seperti terabaikan.
“Fasilitas dan anggaran yang tersedia sangat-sangat kurang, gaji kami saja Rp 450.000 sebulannya, untuk menjaga lahan selus dua hektar,” ujar Anca.
Selama ini, kata dia, tak banyak warga yang mengunjungi monumen itu. Padahal, hanya berjarak 500 meter dari jalan nasional Bireuen-Takengon. “Mungkin karena tidak dipasang penunjuk arah ke monumen itu,” ujar Anca yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRI) Benar Meriah.
Sumber : atjehpost.com
Kamis, 17 Maret 2011
Film Dokumenter Radio Rimba Raya Diputar
Thu, Mar 17th 2011, 09:49
Kutaraja
BANDA ACEH - Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh bekerja sama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, memutar film dokumenter, sekaligus diskusi tentang sejarah Radio Rimba Raya di Gedung Pascasarjana IAIN Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3).
Ketua KNPI Aceh, Ihsanuddin mengatakan selain dirinya, sutradara film tersebut, Ikmal Gopi juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu, disamping pakar sejarah Aceh, M Adli Abdullah dan dosen IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Hasbi Amiruddin.
Menurut Ihsanuddin, sejarah Radio Rimba Raya perlu dilestarikan agar masyarakat, khususnya warga Aceh mengetahui sejarah media yang sangat berperan untuk kemerdekaan RI kala itu. Lewat radio ini, katanya, Gubernur Militer Provinsi Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Daud Beureueh membantah provokasi Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta), Dr Beel yang menyatakan seluruh daerah di Indonesia sudah tumbang karena berhasil dikuasai tentara Belanda.
“Pada tahun 1948, lewat Radio Rimba Raya yang bisa didengar hingga ke Belanda dan India, selanjutnya diteruskan ke seluruh dunia. Tgk Daud Beureueh mengumumkan Indonesia masih tegak, kokoh, merdeka, dan berdaulat. Tidak seorang Belanda pun berani mendekat ke tanah rencong. Suara pada pukul 06.00 WIB, 20 Desember 1948, membingungkan PBB, pihak PBB menilai pernyataan Dr Beel hanya provokasi,” kata Ihsanuddin.
Menurut dia, film dokumenter yang disutradarai alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ikmal Gopi itu menampilkan wawancara antara lain dengan wartawan senior Rosihan Anwar dan tokoh Indonesia, Bustanul Arifin yang baru-baru ini telah meninggal dunia. Film berdurasi 80 menit ini juga meraih lima besar dalam festival film dokumenter Indonesia tahun 2010.
“Dalam membuat film ini sutradara mencari bahan tentang sejarah radio tersebut ke berbagai museum di Indonesia. Kita harapkan, film ini bisa ditonton, terutama oleh guru dan murid sekolah agar sejarah ini betul-betul dipahami,” harap Ihsanuddin.
Kemarin, nonton bersama dan diskusi tentang sejarah film dokumneter tersebut turut diikuti Wakil Wali Kota Sabang, Islamuddin, para sejarawan, penulis, guru, mahasiswa, pengurus museum, arkeolog, seniman, dan antropolog di Aceh.(sal)
Kutaraja
BANDA ACEH - Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh bekerja sama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, memutar film dokumenter, sekaligus diskusi tentang sejarah Radio Rimba Raya di Gedung Pascasarjana IAIN Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3).
Ketua KNPI Aceh, Ihsanuddin mengatakan selain dirinya, sutradara film tersebut, Ikmal Gopi juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu, disamping pakar sejarah Aceh, M Adli Abdullah dan dosen IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Hasbi Amiruddin.
Menurut Ihsanuddin, sejarah Radio Rimba Raya perlu dilestarikan agar masyarakat, khususnya warga Aceh mengetahui sejarah media yang sangat berperan untuk kemerdekaan RI kala itu. Lewat radio ini, katanya, Gubernur Militer Provinsi Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Daud Beureueh membantah provokasi Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta), Dr Beel yang menyatakan seluruh daerah di Indonesia sudah tumbang karena berhasil dikuasai tentara Belanda.
“Pada tahun 1948, lewat Radio Rimba Raya yang bisa didengar hingga ke Belanda dan India, selanjutnya diteruskan ke seluruh dunia. Tgk Daud Beureueh mengumumkan Indonesia masih tegak, kokoh, merdeka, dan berdaulat. Tidak seorang Belanda pun berani mendekat ke tanah rencong. Suara pada pukul 06.00 WIB, 20 Desember 1948, membingungkan PBB, pihak PBB menilai pernyataan Dr Beel hanya provokasi,” kata Ihsanuddin.
Menurut dia, film dokumenter yang disutradarai alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ikmal Gopi itu menampilkan wawancara antara lain dengan wartawan senior Rosihan Anwar dan tokoh Indonesia, Bustanul Arifin yang baru-baru ini telah meninggal dunia. Film berdurasi 80 menit ini juga meraih lima besar dalam festival film dokumenter Indonesia tahun 2010.
“Dalam membuat film ini sutradara mencari bahan tentang sejarah radio tersebut ke berbagai museum di Indonesia. Kita harapkan, film ini bisa ditonton, terutama oleh guru dan murid sekolah agar sejarah ini betul-betul dipahami,” harap Ihsanuddin.
Kemarin, nonton bersama dan diskusi tentang sejarah film dokumneter tersebut turut diikuti Wakil Wali Kota Sabang, Islamuddin, para sejarawan, penulis, guru, mahasiswa, pengurus museum, arkeolog, seniman, dan antropolog di Aceh.(sal)
Film Radio Rimba Raya, Menguak Manipulasi Sejarah Aceh
Published on March 16, 2011
Untuk pertama kalinya film dokumenter Radio Rimba Raya di putar di Kuta Raja Aceh, Banda Aceh, tepatnya di Gedung Pasca Sarjana IAIN ar-Raniry Darussalam, Rabu (16/3).
Acara yang dihadiri para akademisi, mahasiswa, pakar sejarah kalangan LSM dan media tersebut menampilkan pembicara M. Adli Abdulah sebagai pakar sejarah. Prof. Hasbi Amirudin guru besar IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Ihsahnnudin, ketua KNPI Aceh dan Ikmal Gopi selaku sutradara film tersebut.
Adapun tema yang diambil dalam acara pemutaran film yang diikuti dengan diskusi public berjudul Menguak Manipulasi Sejarah Aceh.
Menurut ketua panitia T Zul Khairi, dengan pemutaran film ini bagaimana upaya sejarah yang tercecer ini agar bisa kita ketahui dan untuk kita diskusikan.
“Kita bersyukur kawan kawan yang sangat antusias meyaksikan film ini. Kita berpikir awalnya pemutaran film hanya untuk kalangan akdemisi ternyata yang hadir tadi banyak sekali dari berbagai kalangan mulai dari dosen, mahasiswa, aktivis, Lsm dan para movie maker Aceh,” kata T Zul Khairi.
Dalam sesi diskusi setelah pemutaran film, banyak para pengunjung yang terlihat masih terkejut. Begitu hebatnya sejarah Radio Rimba Raya ini dalam perannya yang begitu besar untuk kemerdekaan Indonesia, akan tetapi hampir tidak ada ditulis dalam catatan-catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menurut Prof. Hasbi Amirudin, banyak sejarah Aceh di tulis oleh orang luar Aceh. “Kita berharap Ikmal Gopi yang lain bisa muncul untuk menelusuri sejarah sejarah Indonesia ini,” harap Profesor ini.
Sementara pengakuan Ketua KNPI Aceh, Ihsanuddin, dirinya sebelumnya dia tidak mengerti dengan sejarah Radio Rimba Raya ini.
Ditegaskan Ihsanuddin, dalam waktu dekat KNPI Aceh akan bekerja sama dengan dinas Pendidikan Aceh untuk memutar film ini ke seluruh kabupaten kota yang ada di Aceh. “Kita akan datang kesekolah-sekolah dan guru sejarah untuk menonton film ini karena nilai sejarah yang terkandung di dalamnya dan harus di ketahui oleh generasi muda ke depan,’ tutur Ihsanuddin.
Dari pemberitaan Lintas Gayo sebelumnya, film yang masuk sebagai 5 dari 60 film dokumenter di ajang Festival Film Indonesia 2010 ini sudah diputar sebanyak 3 kali di Takengon, di Wapres Cafe, di SMAN 1 Takengon dan di SMAN 3 Pegasing Takengon atas permintaan elemen sipil dan para siswa disekolah tersebut.
Sementara untuk di Bener Meriah sendiri masih sebatas wacana. Menurut sejumlah sumber Lintas Gayo, diharapkankan pemutarannya dapat diagendakan dalam rangkaian acara peringatan Hari Jadi Kabupaten Bener Meriah. (miko/joe/aza)
Meluruskan Sejarah Aceh Lewat Film Dokumenter
Banda Aceh – Film dokumenter “Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya” karya Ikmal Gopi dapat menguak dan meluruskan sejarah-sejarah Aceh yang hilang dan tersembunyi. Demikian harap M Adly Abdullah dalam acara pemutaran film tersebut di aula gedung Pascasarjana IAIN Ar Raniry Banda Aceh, (16/3).
Acara yang bertajuk ‘Menguak Manipulasi Sejarah Aceh’ ini digelar oleh Senat Program Pascasarjana (PPs) IAIN AR-Raniry. Dihadiri pemateri Hasbi Amiruddin (guru besar IAIN Ar Raniry), M Adly Abdullah (pakar sejarah Aceh), Ikmal Gopi (Produser film dokumenter Radio Rimba Raya), dan Ihsanuddin (tokoh pemuda Aceh), serta diikuti seratusan peserta.
M. Adly Abdullah mengatakan, sekarang ini, banyak sejarah yang benar dianggap dongeng dan yang dongeng dianggap benar. “Radio Rimba Raya sangat berperan penting terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan radio ini, semua berita disampaikan ke seluruh masyarakat di seluruh dunia dan juga sebagai radio yang membantah semua pemberitaan radio Belanda mengenai Indonesia,” tambahnya.
Ide untuk membuat film dokumenter ini, kata Ikmal Gopi, sudah muncul sejak 2002. Tapi baru terealisasi pada 2006. Ia juga mengaku betapa sulitnya dalam mengumpulkan bahan untuk film ini. Kaerna buku-buku tentang sejarah Radio Rimba Raya susah didapatkan, “yang ada cuma di arsip RI. Dan gara-gara RRR, saya belajar sejarah sekarang,” kata Ikmal Gopi.
Ia juga mengharapkan agar sejarah Aceh harus dipelajari di sekolah-sekolah dan harus dimasukkan ke dalam kurikulum. “Minimal kurikulum lokal,” pungkasnya. [Hidayatullah]
Rabu, 16 Maret 2011
Undangan Pemutaran Film Radio Rimba Raya di Banda Aceh
Tahukah Kita, Aceh bukan semata Daerah Modal, lebih jauh Aceh merupakan Daerah yang menyelamatkan Indonesia dari Kehancuran. Sumbangan Emas Rakyat Aceh untuk Indonesia, adalah gaung yang besar dan membanggakan, tapi tahukah kita tanpa Radio Rimba Raya semua itu terjadi, bahkan takan pernah terdata Pahlawan yang tercatat sekarang.
Dikerjakan selama 4 Tahun-dan dengan biaya pribadinya kecuali sumbangan ‘recehan’ dari teman-teman sejawat, Iqmal Gopi akhirnya berhasil meneyelesaikan Film penting ini. Dan berakhir dengan membanggakan hati, Film Radio Rimba Raya berhasil menjadi Film 5 Terbaik FFI, dan pada Festival Film Dokementer di Jogya Film ini juga memperoleh tujuh besar dari 80 peserta Dokumenter se-Indonesia. Diputar secara khusus di Berlin, dan kini menunggu hasil Festival Film Beijing dan Jepang.
Kini targetnya mudah saja, Sejarah Aceh harus menjadi perhatian utama pemerintah Aceh, karena kita tidak cukup dengan modal ‘Cet langet’ berkisah sejarah, tetapi harus ada fakta. dari beberapa uji coba yang dilakukan terhadap anak SMA di Takengon, dapat disimpulkan 100% siswa tidak mengenal Radio Sejarah ini, bahkan para guru sejarah merasa kecolongan.
Adalah apresiasi yang besar apabila Banda Aceh menjadi pilihan tempat yang pertama kali memutar film ini. Senat S2 IAIN bekerjasa dengan KNPI Aceh pun memfasilitasi pemutarannya, dengan bermodal uang kecil dan idealisme pula, karena yang terpenting Bagi kami, orang Aceh harus mengetahui sejarah besar yang pernah terjadi di Aceh, dan tanpa Radio Rimba Raya, Indonesia tidak berbekas menjadi Bangsa yang utuh.. Terima Kasih.
Jangan Lupa saksikan pemutarannya pada :
Hari/Tgl : Rabu, 16 Maret 2011, Pukul : 9:00 – 12:00 Wib
Tempat : Gedung Pascasarjana IAIN LT.III – Banda Aceh
Sifat : Terbuka dan Gratis
Contak : 082110856444
Jauhari Samalanga*)
Jumat, 11 Maret 2011
Aman Jus, Idola Penonton Film RRR
Sosok Aman Jus, salah seorang saksi sejarah saat Radio Rimba Raya beroperasi mengudarakan Indonesia masih ada ke segala penjuru dunia tahun 1949 silam. Cara Aman Jus, warga Kampung Rime Raya Bener Meriah ini selalu menarik perhatian penonton dalam mengisahkan kesaksiannya terkait Radio Rimba Raya. Gelak tawa dan tepuk tangan kerap terdengar bila Aman Jus ditampilkan mencerita dengan logat yang khas Gayo. (aza)
Siswa Minta Sejarah Radio Rimba Raya Dibukukan
Khalisuddin | The Globe Journal | Kamis, 10 Maret 2011
Takengon - Para siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Takengon meminta sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) dibukukan sekaligus dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Pernyataan ini diungkapkan oleh salah seorang siswi SMAN tersebut, Hikmah setelah menonton film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR) yang diselenggarakan oleh pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sekolah tersebut, Kamis (10/3).
“Fakta dalam film ini sangat jelas pak, kenapa tidak pernah kami pelajari dan kenapa tidak ada bukunya agar bisa kami baca-baca ?” tanya Hikmah berapi-api disambut tepuk tangan ratusan siswa-siswi dalam ruangan tersebut.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ikmal Gopi menyatakan terharu mendengar permintaan siswa tersebut dan meminta pihak terkait untuk menanggapi permintaan ini. “Kita berharap agar pihak terkait segera mengambil langkah-langkah konkrit agar sejarah RRR tidak dilupakan oleh generasi penerus Gayo, Aceh dan Indonesia dengan memperbanyak film dan membukukan sejarah RRR,” ujar Ikmal.
Ditambahkan Ikmal, dirinya berharap pemerintah juga mengusulkan agar sejarah RRR dimasukkan dalam kurikulum sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Harus kita yang mulai. Dari Gayo, Aceh, Indonesia dan dunia harus tau sejarah RRR dan tentunya dengan aturan yang ditetapkan melalui Qanun serta aturan-aturan lain diatasnya,” saran Ikmal mengakhiri paparannya.
Film dokumenter Radio Rimba Raya adalah satu dari lima film dokumenter terbaik dari 60 film yang diikutsertakan di ajang Festival Film Indonesia 2010 lalu. Film yang berdurasi 80 menit ini berisi data-data primer dan pernyataan sejumlah saksi sejarah yang masih hidup saat proses pembuatan film tersebut.
Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Letda Bustanil Arifin saat itu sebagai Komandan Kompi XXII Infantri Gajah-I Lhok Seumawe, T. Alibasyah Talsya selaku pelaku sejarah yakni sebagai Sub Seksi III Penerangan Divisi X Kutaraja dan Sersan Bardan selaku Sub Logistik Divisi X-Rimba Raya.
Selain itu juga ada keterangan wartawan senior dan sejarawan Indonesia, Rosihan Anwar, Mukhtaruddin Ibrahim pemerhati sejarah, Letda Ismail Hassan Sekretaris Bupati Militer Limapuluh Kota. Juga keterangan dari penulis biografi Laksamana Muda John Lee, anak ketiga Sjafruddin Prawira Negara, Chalid, Seorang pemerhati sejarah, budaya dan politik Aceh, Yusra Habib Abdul Gani dan sejumlah tokoh nasional dan lokal lainnya termasuk saksi hidup saat Radio Rimba Raya mengudara.
Menurut Ikmal, di Takengon, film ini sudah tiga kali diputar. “Saya diminta oleh sejumlah pihak untuk mempertontonkan film tersebut sekaligus menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan dari yang hadir baik mengenai data maupun teknis serta jalan panjang pembuatan film tersebut,” kata Ikmal
Pemutaran pertama di sebuah cafe pada 1 Maret 2011 bertepatan peringatan ke-62 tahun terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda. Saat itu roda pemerintah Indonesia benar-benar lumpuh. Soekarno — Hatta serta sejumlah petinggi RI dibuang ke Bangka. Dimata dunia, Indonesia sudah jatuh kembali ketangan Belanda.
Serangan 1 Maret 1949 berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam dan secara relay disiarkan oleh Radio Rimba Raya bahwa Indonesia masih ada dengan siaran sejumlah bahasa asing hingga didengar disegala penjuru dunia dan sampai ke meja anggota DK PBB.
Atas siaran tersebut, nama Belanda pun jatuh dimata dunia hingga berujung kesejumlah perundingan, dari Roem-Royen hingga Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang pada akhirnya kedaulatan RI kembali seutuhnya kepada rakyat Indonesia.
Takengon - Para siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Takengon meminta sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) dibukukan sekaligus dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Pernyataan ini diungkapkan oleh salah seorang siswi SMAN tersebut, Hikmah setelah menonton film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR) yang diselenggarakan oleh pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sekolah tersebut, Kamis (10/3).
“Fakta dalam film ini sangat jelas pak, kenapa tidak pernah kami pelajari dan kenapa tidak ada bukunya agar bisa kami baca-baca ?” tanya Hikmah berapi-api disambut tepuk tangan ratusan siswa-siswi dalam ruangan tersebut.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ikmal Gopi menyatakan terharu mendengar permintaan siswa tersebut dan meminta pihak terkait untuk menanggapi permintaan ini. “Kita berharap agar pihak terkait segera mengambil langkah-langkah konkrit agar sejarah RRR tidak dilupakan oleh generasi penerus Gayo, Aceh dan Indonesia dengan memperbanyak film dan membukukan sejarah RRR,” ujar Ikmal.
Ditambahkan Ikmal, dirinya berharap pemerintah juga mengusulkan agar sejarah RRR dimasukkan dalam kurikulum sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Harus kita yang mulai. Dari Gayo, Aceh, Indonesia dan dunia harus tau sejarah RRR dan tentunya dengan aturan yang ditetapkan melalui Qanun serta aturan-aturan lain diatasnya,” saran Ikmal mengakhiri paparannya.
Film dokumenter Radio Rimba Raya adalah satu dari lima film dokumenter terbaik dari 60 film yang diikutsertakan di ajang Festival Film Indonesia 2010 lalu. Film yang berdurasi 80 menit ini berisi data-data primer dan pernyataan sejumlah saksi sejarah yang masih hidup saat proses pembuatan film tersebut.
Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Letda Bustanil Arifin saat itu sebagai Komandan Kompi XXII Infantri Gajah-I Lhok Seumawe, T. Alibasyah Talsya selaku pelaku sejarah yakni sebagai Sub Seksi III Penerangan Divisi X Kutaraja dan Sersan Bardan selaku Sub Logistik Divisi X-Rimba Raya.
Selain itu juga ada keterangan wartawan senior dan sejarawan Indonesia, Rosihan Anwar, Mukhtaruddin Ibrahim pemerhati sejarah, Letda Ismail Hassan Sekretaris Bupati Militer Limapuluh Kota. Juga keterangan dari penulis biografi Laksamana Muda John Lee, anak ketiga Sjafruddin Prawira Negara, Chalid, Seorang pemerhati sejarah, budaya dan politik Aceh, Yusra Habib Abdul Gani dan sejumlah tokoh nasional dan lokal lainnya termasuk saksi hidup saat Radio Rimba Raya mengudara.
Menurut Ikmal, di Takengon, film ini sudah tiga kali diputar. “Saya diminta oleh sejumlah pihak untuk mempertontonkan film tersebut sekaligus menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan dari yang hadir baik mengenai data maupun teknis serta jalan panjang pembuatan film tersebut,” kata Ikmal
Pemutaran pertama di sebuah cafe pada 1 Maret 2011 bertepatan peringatan ke-62 tahun terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda. Saat itu roda pemerintah Indonesia benar-benar lumpuh. Soekarno — Hatta serta sejumlah petinggi RI dibuang ke Bangka. Dimata dunia, Indonesia sudah jatuh kembali ketangan Belanda.
Serangan 1 Maret 1949 berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam dan secara relay disiarkan oleh Radio Rimba Raya bahwa Indonesia masih ada dengan siaran sejumlah bahasa asing hingga didengar disegala penjuru dunia dan sampai ke meja anggota DK PBB.
Atas siaran tersebut, nama Belanda pun jatuh dimata dunia hingga berujung kesejumlah perundingan, dari Roem-Royen hingga Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang pada akhirnya kedaulatan RI kembali seutuhnya kepada rakyat Indonesia.
Selasa, 08 Maret 2011
Ikmal “Bruce” Gopi : Sejarah Itu Seperti Ibu
Jika Presiden RI pertama, Soekarno mengingatkan Indonesia untuk tidak melupakan sejarah dengan sebutan, “Jasmerah” atau jangan lupakan sejarah. Ikmal menyebut sejarah dengan mengibaratkannya sebagai Ibu.
Ikmal Gopi saat diwawancarai wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) Aceh Tengah
“Sejarah seperti ibu kita sendiri. Tidak mungkin dilupakan kalau tidak ingin durhaka. Begitu juga sejarah. Harus dihargai karena telah membuat kita sebagai bangsa seperti saat ini. Demikian halnya RRR. Harus dihargai dan diajarkan pada generasi muda mengingat pentingnya peran Radio Rime Raya bagi Indonesia”, sebut Ikmal.
Selepas shalat Jum’at (4/3) , sebuah mobil berhenti didepan rumah. Pickup. Terdengar suara pintu mobil dibuka dan ditutup dua kali.
Saya sedang bercanda dengan Syarifah dan Alifah saat terdengar suara salam dari luar. Sembari menjawab salam , saya terus bercengkrama dengan dua anak perempuanku. Karena memang salam kerap terdengar dari warga sekitar yang datang berbelanja kerumah karena istriku membuka kios kecil.
“Ma, kawan Ama datang”, kata Syarifah , anak ketigaku.
Ikmal Gopi ditemani Khalisudin, sudah didepan pintu. “Yah jemaepe ge”, kata Ikmal berbahasa gayo.
Sosok Ikmal tampak klimis. Mengenakan baju lengan pendek berwarna terang dipadu celana jins yang robek di lutut kanan. Bicaranya masih ceplas ceplos dan sering bersumpah serapah dalam basa gayo.
Tapi senyumnya dan tawanya tetap saja lepas menampakkan barisan gigi yang rapi dan putih. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang gelap. Ditambah bulu-bulu yang lebat dikedua tangannya.
Selama bertemu Ikmal, dia banyak bercerita tentang film documenter Radio rime raya yang dibuatnya menghabiskan waktu empat tahun lebih.
Proses pembuatannya dimulai tahun 2007. Saat itu, Ikmal tidak tahu banyak dengan sejarah RRR. Iseng, Ikmal kemudian mencoba membuatnya menjadi film documenter. Ikmal yang dikampusnya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) biasa disapa Bruce, mulai mencari data tentang Radio Rime Raya.
Saat pencarian data itulah aku bertemu Ikmal pertama sekali. Kebetulan ada beberapa tulisanku tentang RRR.
Ikmal kemudian menelusuri sejarah RRR ke Bireuen, Padang dan Yogya. Ikmal saat bercerita, tak mampu menyembunyikan kekecewaanya pada banyak kalangan yang begitu rendah menghargai sejarah.
“Bahkan banyak orang yang tidak tahu dan tidak tertarik dengan sejarah RRR “, ketus Ikmal. Untuk membuat RRR, Ikmal terpaksa menghabiskan tujuh juta rupiah uang tabungannya yang dikumpulkan rupiah demi rupiah dengan bekerja keras.
Bahkan sekitar Rp.100 juta dihabiskan Ikmal membuat film dokumenter ini. “Terkadang saya meminta sumbangan dari berbagai pihak agar RRR dapat diselesaikan. Saya tak malu meminta setelah saya yakin RRR sangat berarti bagi bangsa ini”, imbuh Ikmal.
“Entap kerna munetos film documenter RRR, nikahpe gere jadi “, kata Ikmal sambil tertawa. Namun Ikmal mengaku puas setelah menyelesaikan film documenter RRR.
“Setelah selesai, baru saya tahu betapa hebat peran RRR dalam sejarah republic ini. Dimana saat itu Yogya sudah jatuh ketangan Belanda sebagai Ibukota RI. Presiden Soekarno Cs sudah ditangkap Belanda. Radio Rime Rayalah yang menjadi alat propaganda bahwa Indonesia masih ada”, jelas Ikmal.
Awalnya Ikmal berharap pihak terkait seperti Pemda Aceh Tengah mau mempublikasikan film sejarah ini untuk ditonton warga dan pelajar serta mahasiswa. Sebagai sosialisasi peran penting RRR di masa agresi Belanda.
Dibuatlah panitia dadakan . Termasuk memasukkan pejabat teras Aceh Tengah seperti Sekda sebagai salah seoerang Steering Committe. Namun hingga pemutaran film 1 Maret 2011, dana yang diusulkan tak juga cair.
Akhirnya, panitia yang kecewa tetap memutar film dokumenter RRR di Cafe Wapres depan Gentala atau gedung Koni Aceh Tengah. Penontonnya, kalangan sipil dan wartawan serta beberapa LSM dan aktipis.
Bahkan penonton film RRR di Cafe Wapres harus patungan demi membayar sound systim agar tidak membebani paniti nonton bareng RRR atau sang sutradara Ikmal Gopi.
Jum’at pagi, Ikmal ditemani Khalis, atas permintaan guru SMA 1 Nibes, memutar RRR disekolah tersebut. Ikmal sempat terharu karena ternyata kalangan siswa dan guru disekolah tersebut begitu antusias menonton RRR.
Apalagi Ikmal sang sutradara yang putra daerah itu hadir disana. “Para guru sempat memberi uang. Saya sangat terharu. Seharusnya sebagai guru mereka tidak lagi mengeluarkan uang meski sekedarnya. Mereka idealnya hanya menonton saja dimana Pemda yang menanganani urusan biaya sehingga guru dan murid fokus belajar”, kata Ikmal.
“Ternyata setelah pemutaran RRR barulah kalangan pelajar dan guru paham tentang RRR dimasa awal kemerdekaan. Mereka punya gambaran yang jelas. Ternyata tidak banyak yang tahu RRR, meski lokasinya berada di Bener Meriah. Tugu RRR di Kecamatan Pintu Rime Gayo, dianggap sebatas tugu tanpa makna”, kata Ikmal bernada kecewa.
Ikmal tidak menyalahkan siapapun atas rendahnya pemahaman tentang peran RRR. Namun dia berharap dengan hadirnya film dokumenter RRR, menjadi momentum pengajaran sejarah bagi generasi muda gayo.
“Saya berharap Pemda sebagai pemangku kepentingan , mau mengerti dan mulai mensosialisasikan peran RRR dikalangan generasi muda. Saya ingin film dokumenter RRR dijadikan bahan ajar dan rujukan sejarah disekolah di Aceh”, harap Ikmal.
Ikmal berencana akan ke Banda Aceh dan ingin bertemu gubenur Aceh agar film dokumenter RRR disebar kabupaten/Kota di Aceh sebagai bahan untuk muatan lokal sehingga generasi muda Aceh memahami peran Aceh dalam terbentuknya negeri ini.
Setelah menyeruput kopi luwak pemberian Malio, sang pembuat kursi damai dari Grupel untuk Gubenur Aceh dan Presiden SBY. Ikmal membakar rokok kretek merek ternama yang tanpa saring.
Saya coba menghubungi kepala Radio Republik Indonesia Aceh Tengah, Riswandi agar Ikmal diberi kesempatan wawancara guna mencceritakan kisahnya membuat RRR dan diharap akan menjadi pemicu bagi kalangan generasi muda mau peduli sejarah atau sekedar tertarik menekuni dunia film.
Riswandi setuju agar Ikmal diwawancarai. Ikmal, diantar Khalis dan saya, menuju RRI Takengon dijalan lembaga.
Riswandi terlihat sedang santai saat menerima Ikmal. Menggunakan hp blackberry, Riswandi kemudian melakukan wawancara. Ikmal tampak sedikit grogi saat diwawancarai.
Ikmal menceritakan kepada RRI betapa berarti peran RRR di Kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Bener Meriah bagi Indonesia kala itu.
“Saya ingin sejarah ini tidak dilupakan. Untuk itu film dokumenter ini diharap bisa ditonton diseluruh sekolah di Aceh”, sebut Ikmal dalam rekaman di RRI.
Saat wawancara, Win El Rahman, dari situs berita Lovegayo.com ikut nimbrung. Sebelumnya, Khalis yang juga wartawan The Globe Journal Aceh, sudah memberitakan pemutaran RRR di situs beritanya , demikian juga Win El Rahman di lovegayo.com.
Saya harus meninggalkan Ikmal , Khalis, Win dan Riswandi karena ada keperluan.
Ikmal berharap Pemkab Bener Meriah mau membuka diri dan kooperatif memutar film dokumenter RRR untuk ditonton masyarakat Bener Meriah saat Ultah Bener Meriah pertengahan Maret 2011 ini.
Dari 60 filem dokumenter yang masuk nominasi FFI lalu, RRR masuk di lima besar. RRR pernah diputar di gedung Asia Afrika di Bandung dan Ikmal mengikutkan RRR pada International Festival Film di Yamagata Jepang (Aman Shafa)
Jumat, 04 Maret 2011
Film RRR Lakukan Gerilya
Takengon | Lintas Gayo : Untuk mensosialisasikan eksistensi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR), sebuah film karya Ikmal Gopi yang sukses sebagai nominator di Festival Film Indonesia (FFI) 2010 mulai diputarkan secara bergerilya di Tanoh Gayo, demikian pernyataan Ikmal Gopi kepada Lintas Gayo, Kamis (3/3) di Takengon.
Setelah pemutaran perdana film dokumenter tersebut di Wapres Cafe Takengon, 1 Maret 2011 lalu, besok, Jum’at (4/3), dalam rangkaian gerilya, film tersebut diminta oleh pihak Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Takengon diputarkan disekolah mereka.
Menurut salah seorang guru pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang tidak ingin disebut namanya, Kamis (3/3), anggota Osis SMAN 1 Takengon sangat antusias ingin menonton film sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang melibatkan Tanoh Gayo tersebut.
“Sudah lama kita dengar cerita perjuangan Radio Rimba Raya, tapi bagaimana cerita persisnya, kami belum belum pernah tau,” ujar guru tersebut.
Selain itu, pengakuannya, mudah-mudahan dengan pemutaran film tersebut dapat mendukung upaya agar sejarah Radio Rimba Raya dapat dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah perjuangan Indonesia.
Sementara sang Sutradara film tersebut, Ikmal Gopi menyatakan kegembiraannya atas inisiatif dari para siswa dan guru SMAN 1 Takengon tersebut. ‘Salut saya kepada sekolah ini, ternyata punya respon yang cukup tinggi untuk lebih mendalami sejarah perjuangan kemerdekaan RI, khususnya yang terjadi di Tanoh Gayo,” ujar Ikmal.
Dikatakan Ikmal, dirinya juga mengaku terkejut, dan tak menyangka akhirnya mensosialisasikan sejarah Radio Rimba Raya harus dengan cara layaknya gerilya seperti yang dilakukan para pejuang kemerdekaan Indonesia dulu.
“Saya jadi malu sendiri, khayalan saya film ini akan diputarkan untuk perdana bersama petinggi-petinggi Gayo bersama-sama pihak-pihak terkait beserta masyarakat. Pikiran saya, dengan mereka-mereka didepan tentu upaya kampanye atau pengenalan sejarah ini akan lebih efektif dan efisien,” ungkap Ikmal seraya menyatakan sejumlah warga kampung di Aceh Tengah sudah meminta film tersebut diputar ditempat mereka seperti di kampung Kenawat Lut.
Sementara dari informasi yang diterima LG dari Yusra Amri Daud yang menjadi Panitia Pelaksana pemutaran perdana yang seyogyanya di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon pada 1 Maret 2011 lalu, menyatakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sudah mendisposisi biaya pemutaran film tersebut senilai Rp.3 juta. (aza)
Rabu, 02 Maret 2011
Pemutaran Film RRR Sukses di Takengon
Takengon | Lintas Gayo : Puluhan elemen sipil, praktisi hukum, pegiat LSM, mahasiswa dan wartawan media cetak dan elektronik hadir menyaksikan pemutaran Film Dokumenter Radio Rimba Raya, sebuah karya yang disutradarai Ikmal Gopi, putra Gayo lulusan perfilman IKJ (Intitut Kesenian Jakarta) di Wahana Apresiasi (Wapres) Café Takengon, Selasa (1/3) bertepatan dengan terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dipararelkan dari salah satu radio hingga ke Radio Rimba Raya untuk disebarluaskan keseluruh pelosok negeri hingga dunia International.
Menurut Even Oragnaizer (EO), Yusra Amri Daud, pemutaran film tersebut semula diagendakan diputar bersama Pemkab setempat namun hingga selasa (1/3) petang belum mendapat konfirmasi dari pihak terkait. Yusra Amri dengan dukungan rekan-rekannya tetap memutar film tersebut mengingat tanggal 1 Maret merupakan hari paling bersejarah sekaitan dengan eksistensi radio tersebut.
Saat film yang diputar berdurasi 80 menit tersebut, penonton terus berdatangan hingga memadati café yang berada persis bertetangga dengan Pendopo Bupati Aceh Tengah tersebut. Suasana serius tampak diwajah penonton dan sesekali terdengar gelak tawa dan tepuk tangan. Pasalnya, ada beberapa sesi yang dianggap kocak dari dialog narasumber yang ditampilkan seperti sosok Aman Jus seorang saksi sejarah yang langsung melihat bagaimana suasana saat RRR beroperasi menyuarakan suara perjuangan. Dengan bahasa Indonesia berlogat bahasa Gayo, menghidupkan suasana nonton dengan hawa dingin Takengen yang menyelimuti penonton.
Suasana haru dari relung hati penonton saat Drs. Mahmud Ibrahim dan AR Latif bercerita dengan menggebu-gebu, bahkan sampai menitikkan air mata.
Setelah film usai, acara dilanjutkan dengan dialog interaktif penonton yang dipandu hidup oleh Khalisuddin, seorang wartawan berbasis internet di Aceh yang ditemani Bakhtiar Gayo yang juga wartawan senior Gayo.
Bakhtiar, dengan lirih mengucapkan terima kasih kepada Bruce panggilan akrab Ikmal Gopi, telah membuat sejarah bagi Gayo, karena peranan Gayo yang luar biasa dalam memerdekakan Indonesia.
Sementara Ikmal Gopi, menyatakan pengakuan jera membuat film documenter jika tidak dibekali dengan dukungan dana yang jelas. “Karena terlanjur penasaran dengan Radio Rimba Raya, saya selama empat tahun layaknya pengemis. Mengemis data dan dana, terkadang nyaris dipukul orang saat melakukan riset,” ungkap Ikmal.
Menanggapi pernyataan ini, seorang penonton, M Nadio, pelajar SMP yang masih berusia 14 tahun, berharap Ikmal Gopi tidak berhenti membuat film documenter yang lain karena masih banyak sejarah Gayo- Aceh yang berlum dieksplore, misalnya sejarah Pesawat Seulawah Air RI 001 yang menjelma menjadi Garuda Indonesia Air Lines, Sejarah Aman Dimot dan lain-lain.
Menyahuti permintaan anak ini, Ikmal seakan sadar pernyataannya telah jera ternyata salah. “Mudah-mudahan kedepan banyak respon sehingga kita dapat membuat film-film berbasis sejarah lainnya agar masa lalu kita yang benar-benar terjadi tidak menjadi dongeng,” kata Ikmal.
Sejumlah pertanyaan bertubi-tubi diungkapkan oleh penonton dengan antusias dan dijawab dengan rinci dan cerdas oleh Ikmal dipandu Khalisuddin. Malah saat mati lampu, acara berjalan terus tanpa penerangan dan pengeras suara.
Salah satu usulan yang cukup menarik adalah mendesak agar sejarah RRR dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah perjuangan Indonesia dan dimulai dari Gayo khususnya dan Aceh umumnya.
Saat waktu menunjukkan pukul 24.00 Wib, Khalisuddin langsung meminta penonton untuk tidak bertanya lagi. Dia berkilah lain waktu akan ada pemutaran ulang film tersebut dan dialog interaktif dengan Ikmal Gopi.
Pemandu acara menyarankan kedepan agar bekerja sama dengan jajaran Kodim 0106 Lilawangsa karena Perjuangan Radio Rimba Raya sangat erat kaitannya dengan eksistensi TNI di tahun 1949.
Terkait dana penyelenggaraan pemutaran tersebut yang digunakan untuk pembayaran sound system dan minuman ringan, para penonton memberi sumbangan sukarela yang dimasukkan kedalam peci berjalan.
Pengakuan Yusra Amri,penanggung jawab acara tersebut, pihaknya jauh-jauh hari sudah mengajukan proposal ke pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Malah sempat bertatap muka dengan kedua Bupati kabupaten tersebut. “Hingga acara ini berakhir belum ada kejelasan bantuan dana dari pihak Pemkab. Namun meskipun tanpa dana ternyata mendapat apresiasi cukup baik dari kalangan intelektual muda Gayo di Takengen yang telah mengangkat sejarah RRR yang belum banyak diketahui masyarakat, dan menjadi motivasi generasi Gayo untuk lebih menggali sejarah,’ pungkas Yusra Amri seraya menambahkan bahwa dirinya juga telah mengundang sejumlah pejabat dan tokoh politik Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk hadir melalui undangan sms. (wyra)
1 Maret, Hari Bersejarah Bagi Gayo
Takengon | Info Lintas Gayo : Tepat enam puluh dua tahun silam, 1 Maret 1949 terjadi peristiwa hebat dalam sejarah perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Sebuah serbuan besar dilakukan di pagi buta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan mengikutsertakan beberapa pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman terhadap pasukan Belanda yang menguasai Yogyakarta. Selama 6 jam, TNI menguasai kota tersebut dan berhasil mematahkan propaganda Belanda di mata dunia yang sebelumnya menyatakan Indonesia lumpuh ditangan bangsa kolonial tersebut.
Detik demi detik dimanfaatkan oleh komponen bangsa Indoensia saat itu, tak terkecuali TB Simatupang di Gunung Kidul langsung membuat surat yang ditujukan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan punya kekuatan besar.
Surat TB Simatupang diteruskan oleh Budiarjo melalui Radio TNI Angkatan Udara (AU) di Gunung Kidul dan diterima dengan baik oleh Sjafruddin Prawiranegara bersama TM Hasan yang saat itu berada di Bidar Alam Sumatera Barat.
Pesan tersebut segera disampaikan ke Kutaraja Banda Aceh dan diteruskan ke stasiun Radio di tengah belantara dataran tinggi Gayo, “Rimba Raya”.
Mendapat perintah untuk menyiarkan berita tersebut, operator Radio Rimba Raya segera mengudarakannya ke penjuru dunia hingga didengar oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan bunyi pesan “Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh”.
Melalui Radio Rimba Raya Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.
Dan sejak hari itulah serangkaian peristiwa besar terjadi, PBB turun tangan dalam upaya mengembalikan kedaulatan Indonesia melalui sejumlah perundingan dari perundingan Roem –Royen hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan sejumlah butir perjanjian yang mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia.
Puluhan tahun, persitiwa heroic peran Radio Rimba Raya hanya terdengar samar oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, termasuk warga tanoh Gayo hingga pertengahan tahun 2006 muncul keinginan seorang pria blasteran Gayo dan Pidie kelahiran Takengon, Ikmal Gopi untuk menggali sejarah yang hampir menjadi dogeng bagi generasi sekarang.
Tahun demi tahun dilalui, receh demi receh Rupiah mengalir, satu persatu data diperoleh Ikmal Gopi dan Oktober 2010 sebuah film documenterpun kelar.
Hari yang bersejarah, bagi Ikmal Gopi, putra bujang kelahiran Takengon 38 tahun silam. Rasa lelah selama 4 tahun mengais-ngais sampah-sampah masa lalu ibarat mencari sebatang jarum disegundukan pasir telah dilalui Ikmal Gopi sirna sudah pada 28 Nopember 2010, saat mendengar kabar dari Batam, tempat penyeleksian film karyanya Film Dokumenter Radio Rimba Raya lolos sebagai salah satu dari lima nominator peraih penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) 2010 menyisihkan sekitar 60 film sekategori yang ikut terdaftar sebagai peserta.
Selanjutnya, 6 Desember 2010, di Central Park Building Jakarta, merupakan hari paling bersejarah bagi Ikmal Gopi. “Saat itu adalah saat terindah dalam hidup saya,” kata Ikmal mengawali serangkaian percakapannya dengan LG, Sabtu (26/2) di salah satu warung kopi didepan Pendopo Bupati Aceh Tengah sehari setelah Ikmal berada kembali di tanah kelahirannya untuk bersilaturrahmi dengan keluarganya di kawasan Simpang Lima Takengon.
“Film RRR ditayangkan discreen yang begitu megah, saya seakan tak percaya itu adalah film saya” kenang Ikmal.
Ikmal mengaku tidak mendapat apapun dari pihak penyelenggara FFI baik berupa bingkisan hadiah, uang, atau penghargaan lainnya., dirinya sudah sangat senang film sejarah Indonesia berlatar Gayo sudah diakui secara Nasional, setidaknya bagi insan film.
“Beberapa bulan kedepan, Insya Allah film tersebut kembali dinilai di Jepang dan di Beijing, saya dan pihak konsulat jendral Indonesia sudah daftarkan beberapa waktu lalu,” ungkap Ikmal.
Ditanya apakah mendapat apresiasi dari pihak lain, Ikmal tersenyum dan menjawab tentu banyak rekan-rekan yang beri apresiasi dan nyatakan turut bangga atas prestasi yang diraihnya. “Jangan ditanya pemerintah terutama Pemerintahan di Aceh khususnya Gayo. Mereka sepertinya tidak dengar kabar jika sekelumit cerita sejarah Gayo sudah diakui secara Nasional,” ujar Ikmal lirih.
Bener Meriah misalnya, dengan bangga membubuhkan tugu Radio Rimba Raya sebagai bagian utama logo kabupatennya, tapi kenyataannya hingga saat ini menganggapnya mungkin hanya sebatas hiasan saja, ucap Ikmal.
“Harusnya kita terus berupaya agar catatan sejarah perjuangan Indonesia yang dipelajari dari tingkat Sekolah Dasar hingga pendidikan tinggi harus memasukkan sejarah peranan Radio Rimba Raya kedalamnya,” tegas Ikmal.
Menurut Ikmal, dari penelusuran sejauh ini data-data yang dimasukkan kedalam materi film sudah sangat refresentatif walau mungkin masih ada data-data pendukung lainnya yang belum diperoleh.
Pontang-Panting Cari Data
Berbeda dengan film lain, untuk film documenter harus dicari data-data terkait baik berupa catatan-catatan, audio visual, wawancarai saksi sejarah dan tokoh serta foto-foto pendukung. “Tidak gampang mengumpulkan data pembuatan film ini, harus ditemukan data-data yang tentu tidak menumpuk disatu tempat,” kata Ikmal.
Pengakuan Ikmal, untuk menelusuri jejak Radio Rimba Raya dia sudah ke Padang, Koto Tinggi Sumatera Barat, ke Gunung Kidul dan Museum Angkatan Darat Yogyakarta, Tulung Agung Jawa Timur dan sejumlah tempat lainnya.
“Di Gunung Kidul, tepatnya di Tugu PC2, tidak ada disebut-sebut Radio Rimba Raya tapi ditulis Takingen dalam sebuah dokumen yang menceritakan penyiaran relay kondisi kedaulatan RI saat itu,” ungkap Ikmal.
Di Museum Angkatan Darat (AD) Yogyakarta, Ikmal merasa sangat prihatin melihat bangkai yang diduga sebagai piranti Radio Rimba Raya layaknya onggok besi tua dan mirip sampah tak berguna berada di museum tersebut. “Jangan harap orang lain mengangkat diri kita kalau bukan kita sendiri yang melakukannya. Kepingan sejarah Gayo terbengkalai disana,” kata Ikmal sedih.
Sesi lain dari penelurusannya, Ikmal bertemu dengan Chalid Sjafruddin Prawiranegara. Menurut putra tokoh perjuangan asal Sumatera Barat ini, ayahnya tidak pernah ke Takengon saat terjadi Konferensi Meja Bundar (KMB), 1 April 1949.
Dijelaskan Ikmal, yang ke Takengon saat itu adalah Kolonel Hidayat yang merupakan Gubernur Meliter Sumatera saat itu yang dijadikan sebagai bayangan Sjafruddin untuk mengelabui kejaran Belanda. “Dari fakta yang saya peroleh, Kolonel tersebut menuju Takengon melalui Berastagi, Kutacane, Belang Kejeren dan Burni Bius Aceh Tengah yang terjadi setelah Agresi Meliter kedua tahun 1948,” papar Ikmal.
Untuk biaya dari awal hingga akhir finalnya film tersebut, Ikmal agak keberatan mengungkapnya. Dan setelah diyakinkan akhirnya dibeberkan dengan nada agak miris. “Dana terbesar saya peroleh dari Parni Hadi sebesar Rp.15 juta, dari Fauzan Azima Rp. 4 juta, Pemkab Aceh Tengah Rp.5 juta, Fauzan Sastra Rp.2 juta, Mursyid Rp.4 juta, Partai Demokrat melalui Nova Iriansyah Rp.1.5 juta, Jauhari Samalanga Rp.3 juta, dan banyak lagi yang lain-lain berupa uang recehan Rp.50 ribu,” rinci Ikmal.
Saat ditanya uang pribadi atau keluarga, Ikmal kembali merasa keberatan. Dan setelah didesak disebutkan angka Rp.17 juta Rupiah.
“saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,” ucap Ikmal sambil menyarankan jika tidak dengan persiapan dana yang jelas dan memadai serta tidak punya tekat kuat tidak usah ikut jejaknya membuat film documenter.
Fakta Harus Disosialisasikan
Dari hasil riset Ikmal, Radio Rimba Raya adalah fakta yang tak terbantahkan lagi dan sekarang sudah ada bukti yang refresentatif, walau mungkin belum semuanya. Perlu sosialisasi kepada generasi sekarang, khususnya Aceh dan Gayo. “Kita harus berupaya agar buku-buku sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang dipelajari di sekolah-sekolah memasukkan nama Radio Rimba Raya. Dan itu harus kita mulai dari kita di tanoh Gayo. Ceritakan sejarah Radio Rimba Raya secara khusus kepada mereka,” pinta Ikmal.
Mengakhiri paparannya, Ikmal menegaskan bahwa tanggal 1 Maret adalah hari yang sangat penting bagi dataran tinggi Gayo. “Kita harus peringati karena terkait dengan sejarah Radio Rimba Raya yang terlibat langsung disaat genting bangsa Indonesia mempertahankan harga diri dimata dunia. Tanggal 1 Maret 2011 saya sangat ingin menonton film tersebut bersama masyarakat Gayo di tanoh Gayo,” pungkas Ikmal. (Khalis Dehne)
Langganan:
Postingan (Atom)