Khalisuddin | The Globe Journal | Kamis, 10 Maret 2011
Takengon - Para siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Takengon meminta sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) dibukukan sekaligus dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Pernyataan ini diungkapkan oleh salah seorang siswi SMAN tersebut, Hikmah setelah menonton film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR) yang diselenggarakan oleh pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sekolah tersebut, Kamis (10/3).
“Fakta dalam film ini sangat jelas pak, kenapa tidak pernah kami pelajari dan kenapa tidak ada bukunya agar bisa kami baca-baca ?” tanya Hikmah berapi-api disambut tepuk tangan ratusan siswa-siswi dalam ruangan tersebut.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ikmal Gopi menyatakan terharu mendengar permintaan siswa tersebut dan meminta pihak terkait untuk menanggapi permintaan ini. “Kita berharap agar pihak terkait segera mengambil langkah-langkah konkrit agar sejarah RRR tidak dilupakan oleh generasi penerus Gayo, Aceh dan Indonesia dengan memperbanyak film dan membukukan sejarah RRR,” ujar Ikmal.
Ditambahkan Ikmal, dirinya berharap pemerintah juga mengusulkan agar sejarah RRR dimasukkan dalam kurikulum sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
“Harus kita yang mulai. Dari Gayo, Aceh, Indonesia dan dunia harus tau sejarah RRR dan tentunya dengan aturan yang ditetapkan melalui Qanun serta aturan-aturan lain diatasnya,” saran Ikmal mengakhiri paparannya.
Film dokumenter Radio Rimba Raya adalah satu dari lima film dokumenter terbaik dari 60 film yang diikutsertakan di ajang Festival Film Indonesia 2010 lalu. Film yang berdurasi 80 menit ini berisi data-data primer dan pernyataan sejumlah saksi sejarah yang masih hidup saat proses pembuatan film tersebut.
Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Letda Bustanil Arifin saat itu sebagai Komandan Kompi XXII Infantri Gajah-I Lhok Seumawe, T. Alibasyah Talsya selaku pelaku sejarah yakni sebagai Sub Seksi III Penerangan Divisi X Kutaraja dan Sersan Bardan selaku Sub Logistik Divisi X-Rimba Raya.
Selain itu juga ada keterangan wartawan senior dan sejarawan Indonesia, Rosihan Anwar, Mukhtaruddin Ibrahim pemerhati sejarah, Letda Ismail Hassan Sekretaris Bupati Militer Limapuluh Kota. Juga keterangan dari penulis biografi Laksamana Muda John Lee, anak ketiga Sjafruddin Prawira Negara, Chalid, Seorang pemerhati sejarah, budaya dan politik Aceh, Yusra Habib Abdul Gani dan sejumlah tokoh nasional dan lokal lainnya termasuk saksi hidup saat Radio Rimba Raya mengudara.
Menurut Ikmal, di Takengon, film ini sudah tiga kali diputar. “Saya diminta oleh sejumlah pihak untuk mempertontonkan film tersebut sekaligus menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan dari yang hadir baik mengenai data maupun teknis serta jalan panjang pembuatan film tersebut,” kata Ikmal
Pemutaran pertama di sebuah cafe pada 1 Maret 2011 bertepatan peringatan ke-62 tahun terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda. Saat itu roda pemerintah Indonesia benar-benar lumpuh. Soekarno — Hatta serta sejumlah petinggi RI dibuang ke Bangka. Dimata dunia, Indonesia sudah jatuh kembali ketangan Belanda.
Serangan 1 Maret 1949 berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam dan secara relay disiarkan oleh Radio Rimba Raya bahwa Indonesia masih ada dengan siaran sejumlah bahasa asing hingga didengar disegala penjuru dunia dan sampai ke meja anggota DK PBB.
Atas siaran tersebut, nama Belanda pun jatuh dimata dunia hingga berujung kesejumlah perundingan, dari Roem-Royen hingga Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang pada akhirnya kedaulatan RI kembali seutuhnya kepada rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar