Selasa, 15 November 2011

Radio Rimba Raya Layak Dapat Gelar Pahlawan

10 November 2011

Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul yang menyebabkan tetap tegaknya republik ini adalah sebuah perangkat radio tua. Simpul itu bermula saat Tgk.H.M. Daud Beure-eh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.

Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.

Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.

Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.

Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Dan, kepada Radio Rimba Raya itu sendiri layak diberi gelar pahlawan. Sekian!

Syukri Muhammad Syukri

Dari Yogya untuk Gayo


Published on 14 Nov, 2011

Sabtu, 12 Nopember 2011 sekitar pukul 23.00 Wib, tepatnya setelah acara nonton bareng film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya “Sejarah Bangsa yang Terlupakan” digelar, sejumlah personil panitia dan mahasiswa Gayo serta didampingi beberapa Petue Gayo Yogyakarta berkumpul di alun alun selatan Yogyakarta untuk mengadakan evaluasi kegiatan acara yang telah dilaksanakan.

Ditemani secangkir kopi dan suasana Yogyakarta begitu istimewa malam tersebut, Helmi Ranggayoni, Ketua Panitia Pelaksana, memulai membuka sesi evaluasi acara yang telah digelar. Helmi nama panggilan akrabnya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan acara ini, khususnya para sponsor dari Pemerintah Kota Yogyakarta, Radio Republik Indonesia (RRI), Warung makan Bungong Jeumpa, Petue Gayo Yogya serta semua pihak yang telah ikut mensukseskan acara tersebut.

“Kita patut bersyukur bahwa acara malam ini sukses,” kata Helmi, setelah evaluasi keseluruhan dilaksanakan. Pernyataan ini diamini oleh semua peserta yang hadir serta memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi.

Belum ingin membubarkan diri, pembicaraan berlanjut dengan diskusi tentang Budaya Gayo.

Dalam sesi yang ini, mahasiswa Gayo Yogyakarta menilai budaya Gayo saat ini semakin ditinggalkan oleh para generasi muda khususnya penggunaan bahasa Gayo yang dikhawatirkan akan punah.

Dari permasalahan tersebut muncul ide tentang bagaimana peran mahasiswa Gayo untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap budaya Gayo.

Di mulai dari Yogyakarta diharapkan kedepan budaya Gayo akan tetap dipertahankan khususnya dikalangan generasi muda.

Ada beberapa hal yang berhasil disimpulkan dalam forum ini, diantaranya dalam waktu dekat dari Yogyakarta akan mengajak semua mahasiswa dan masyarakat Gayo diantaranya untuk mendukung sejarah Radio Rimba Raya dimasukan sebagai salah satu kurikulum pendidikan Nasional.

Selanjutnya mengajak semua elemen pemerintahan yang ada di Gayo untuk mewajibkan motif Kerawang Gayo sebagai salah satu pakaian resmi kepegawaian, minimal 1 hari dalam seminggu. Selain itu, forum tersebut juga akan mendesak dijadikannya bahasa Gayo sebagai salah satu kurikulum local.

Warga Gayo Yogyakarta tersebut juga memutuskan untuk melakukan hal yang terkecil terlebih dahulu dari diri sendiri sebelum memperbaiki yang lebih luas dalam melestarikan budaya Gayo, yakni melakukan aksi nyata dengan menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa wajib dalam berkomunikasi sesama Urang Gayo ketika berada di asrama Lut Tawar. (Syarifuddin/03)

Radio Rimba Raya, Fakta Sejarah Indonesia yang Terlupakan


Published on 13 Nov, 2011

Yogyakarta | Lintas Gayo – Setelah sukses di beberapa tempat di Indonesia, pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya kembali di putar di kota Pelajar dan Kota Budaya Yogyakarta untuk kedua kalinya setelah kegiatan yang sama dilakukan satu tahun lalu.

Acara ini di gagas oleh mahasiswa Gayo “Asrama Laut Tawar” Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Laut Tawar Gayo (Ipemah Lutyo) yang ada di Yogyakarta.

Dengan mengambil tema “Sejarah bangsa Indonesia yang terlupakan”, acara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sumpah pemuda dan hari Pahlawan, Sabtu (12/11) bertempat di gedung pertemuan Balai Kota Yogyakarta. Dihadiri berbagai kalangan pemuda dan mahasiswa seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar/Pemuda dan Mahasiswa daerah Indonesia (IKPMDI) serta utusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari beberapa kampus yang ada di Yogyakarta.

“Tujuan kegiatan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali sejarah bangsa Indonesia serta untuk menumbuhkan semangat pemuda Indonesia tentang pentingnya nasionalisme,” kata Helmy Ranggayoni selaku ketua panitia pelaksana kegiatan tersebut.

Komponen bangsa ini harus tau peran Radio Rimba Raya (RRR) dan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini, timpalnya.

Sementara itu, Ikmal Gopi selaku sutradara film documenter Radio Rimba Raya menyatakan ini merupakan momentum yang tepat untuk para pemuda Indonesia khususnya pemuda Aceh dan Gayo untuk kembali meluruskan sejarah yang selama ini banyak yang masih kabur, dan bahkan dihilangkan.

Ditanya tentang peran Radio Rimba Raya dalam film ini dia menjawab bahwa Radio Rimba Raya merupakan benteng terakhir pertahanan Bangsa Indonesia pada saat itu, dimana seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh pihak penjajah yang meneriakan bahwa “Indoensia masih ada” yang suaranya terdengar sampai seluruh penjuru dunia.

“Kita semua berharap Kementrian Pendidikan RI dapat memasukkan sejarah perjuangan Radio Rimba Raya kedalam kurikulum pendidikan sejarah agar generasi muda yang akan datang bisa mengerti dan paham akan sejarah yang sebenarnya,” harapnya.

Dalam acara ini juga di tampilkan tarian tradisional Gayo, Didong yang ditampilkan oleh sejumlah mahasiswa Gayo Yogyakarta.

Hardi salah seorang mahasiswa dari Sulawesi mengatakan film ini sangat menarik untuk di tonton. “Dengan film yang mengungkap fakta sejarah ini, kita berharap kepada kalangan pemuda sebagai agent of change berperan aktif untuk meluruskan kembali sejarah bangsa ini,” tegasnya. (Syarifuddin/03)

Malam ini, Film RRR Diputar di Balai Kota Yogyakarta


Published on 12 Nov, 2011

Yogyakarta | Lintas Gayo – Malam ini, Sabtu, (12/11) Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Lut Tawar Yogyakarta (IPEMAH LUTYO) dan Asrama Lut Tawar (ALT) menggelar acara nonton film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR) karya Ikmal “Bruce” Gopi bersama seluruh masyarakat Aceh se-Yogyakarta di Balai Kota Yogyakarta.

Menurut salah seorang penitia acara tersebut, Azmie, diperkirakan peserta lebih dari 150 orang bersama undangan yang telah disebarkan dan undangan tersebut meliputi Gubernur DIY, Walikota Yogyakarta dan Dinas Pariwisata Yogyakarta. “Ini merupakan rangkaian agenda kegiatan pengurus Ipemah Lutyo dan ALT yang ke-6 setelah sebelumnya Ipemah Lutyo telah melaksanakan kegiatan apresiasi seni aceh, makrab dan lain-lain,” ujar Azmie.

Dijelaskan, acara tersebut terdiri dari tampilan seni daerah Aceh yang dilanjutkan dengan nonton bersama dan kemudian ditutup dengan diskusi publik, setelah itu acara ramah tamah dengan seluruh peserta yang hadir dalam acara tersebut.

“Pembina kita, bapak Ali Hasan sangat mendukung acara nonton bersama ini. karena menurutnya acara ini selain menggali sejarah yang telah terlupakan juga diharapkan mampu menguatkan tali silaturrahim antara mahasiswa Aceh dengan mahasiswa dari daerah lain dari seluruh Indonesia,” papar Azmie.

Pihaknya juga telah menerima kepastian kehadiran sejumlah pejabat setempat. “Kita sudah mendapat informasi kehadiran sejumlah undangan, walau nantinya diwakilkan seperti Gubernur DIY dan Walikota. Kadis Pariwisata DIY, Tazbir yang merupakan putra asal Aceh dipastikan hadir bersama sejumlah Badan Eksekurtif Mahasiswa (BEM) serta sejumlah organisasi massa lainnya seperti HMI, KAMMI, IMM dan lain-lain,” pungkas Azmie. (Syahri Utomo/03)

Rabu, 09 November 2011

Lembaga Sandi Negara Selidiki Komunikasi Rahasia RRR


Menanyakan seberapa pentingkah sejarah Radio Rimba Raya (RRR) harus diketahui publik? Sama saja kita bertanya seberapakah pentingnya kita harus mengetahui hari kelahiran kita. Maka, wajar bila tersiar opini menyia-nyiakan sejarah RRR adalah tindakan pemubajiran. RRR adalah “juru selamat” Republik Indonesia. Dan karena itu pula, sejarah RRR merupakan aset Bangsa Indonesia yang bukan hanya sekedar dikenang, namun juga harus dibanggakan.

Selain budaya dan pariwisata, salah Satu aset bangsa adalah sejarah. Di wilayah Aceh, tepatnya disalah Satu wilayah di Dataran Tinggi Gayo, yaitu Bener Meriah memiliki aset sejarah yang sangat berharga bagi republik ini. Namun sangat disayangkan masih “terngiang” ditelinga dan masih ada kesan di publik terjadinya pembiaran yang tanpa alasan yang jelas dan sulit dicerna.

Adalah RRR sebagai “corong” kemerdekaan pada zaman perjuangan merebut bumi pertiwi ini dari tangan musuh. Adalah RRR yang menyiarkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Namun, RRR ternyata memiliki teka-teki lain dari “kekokohan” perangkat yang berhasil diseludupkan melalui lautan lepas menuju belantara keperawanan Aceh, selanjutnya difungsikan sebagai “Benteng Terakhir” untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang diperjuangkan segenab rakyat Aceh.

Dalam setiap pergerakan untuk memperebutkan kemerdekaan sudah tentu menggunakan komunikasi rahasia atau sandi-sandi untuk mengelabui musuh. Komunikasi rahasia atau sandi diduga kuat digunakan RRR saat masih mengundara untuk mengelabui musuh.

Demikian disampaikan Kasubbag Informasi dan Media Lembaga Sandi Negara, Jakarta, Budi Santoso, belum lama ini seusai mengunjungi Tugu RRR di Kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah.

Dalam rangka survey awal Lembaga Sandi Negara untuk menelusuri teka teki RRR tersebut, Budi Santoso turut didampingi tiga orang Tim Penelusuran Sejarah Sandi yang didatangkan dari Jakarta serta salah seorang contributor media ini, memaparkan tujuan kehadiran Lembaga Sandi Negara ke salah Satu Dataran Tinggi Gayo itu, adalah untuk menelusuri adanya komunikasi rahasia antara pejuang di seluruh Indonesia, yang diteruskan ke luar negeri.

“Hal yang jarang kita sadari,” kata Budi, “Disetiap kegiatan yang sifatnya rahasia, tentunya untuk menjalin koordinasi kesesama pejuang tidak dapat diketahui pihak lain, konon lagi musuh,” ungkap Kasubbag Informasi dan Media Lembaga ini.

Selama ini RRR telah diketahui berfungsi sebagai corong kemerdekaan. Tanpa RRR, kemungkinan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan lenyap ditangan musuh! Paling tidak, Negara yang telah menganut paham Pancasila ini akan “terpecah-pecah” terlepas dari bingkai NKRI. Kini, harus disadari dibalik kekuatan RRR masih ada teka-teki yang belum terjawab.

Berdasarkan Keppres Nomor 7 Tahun 1972 yang mengatur kedudukan atau status, fungsi, dan tugas pokok Lembaga Sandi Negara, Lembaga ini merupakan suatu Badan Pusat Persandian Negara Republik Indonesia dan berkedudukan langsung dibawah Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden.

Disampaikan, fungsi Lembaga Sandi Negara untuk mengatur, mengkoordinir, dan menyelenggarakan hubungan persandian secara tertutup dan rahasia antara aparatur negara baik di Pusat maupun daerah dan hubungan persandian ke luar negeri.

Hasil survey awal Lembaga Sandi Negara yang hanya berlangsung sehari tersebut, disempatkan bertemu sejumlah nara sumber yang ikut berperan pada saat RRR mengudara. Adalah Reje Mude Tukiran Aman Jus yang merupkan salah Satu saksi sejarah RRR. Pada saat mengunjungi Tugu RRR, Lembaga ini juga sempat bertemu ramah dengan Ketua Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRRI), Ardiansyah, serta Sekretaris, Armawan.

Disebutkan, Lembaga Sandi Negara juga akan melakukan “gerilya” ke sejumlah area yang pada saat RRR mengudara, menjalin hubungan dengan RRR. “Demi mengungkap komunikasi rahasia ini kenapa tidak mendatangi ke sejumlah museum diluar negeri!?,” tukas Budi.

Disinggung kepada Budi salah Satu upaya untuk membongkar “misteri” RRR, Budi katakan starteginya adalah dengan mengumpulkan dokumen atau arsip yang berkaitan dengan RRR. “Selain menghimpun keterangan dari sejumlah sumber, kita juga akan mencari dan mengumpulan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sejarah RRR,” papar Budi.

Secara terpisah, Sutradara Film Dokumenter RRR, Ikmal Gopi, saat dihubungi melalui telpon seluler menyampaikan sangat menaruh apresiasi dengan upaya Lembaga Sandi Negara ini. Ikmal juga telah bertemu dengan Lembaga Sandi Negara di Jakarta.

“Kita harus mendukung upaya ini, agar eksistensi RRR tidak pernah hilang dari ingatan,” kata Ikmal. “Kalau saya demi sejarah RRR, sampai berbuih mulut ini tidak akan pernah menyerah untuk selalu menggaungkan keperkasaannya,” pungkas Ikmal menegaskan. (Uyad Dasa)

Rabu, 02 November 2011

Mahasiswa Aceh Tonton Film RRR di Ciputat


Published on 30 Oct, 2011 at 23:27

Jakarta | Lintas Gayo – Bertempat di Meunasah Aceh, seputar Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, mahasiswa Aceh yang kuliah di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menyaksikan film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR), Sabtu malam (29/10). Acara yang digagas Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) ini bertemakan “RRR dan Refleksi Pendokumentasian Sejarah Aceh.” Selain Ikmal Gopi, sutradara film RRR, turut hadir Yusradi Usman al-Gayoni, pemerhati sejarah.

Dalam pengantarnya, Ikmal yang juga mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengatakan, keinginan membuat film radio yang begitu berjasa dalam menyuarakan Indonesia masih ada saat agresi militer I & II Belanda sudah ada sejak tahun 2002. Namun, risetnya baru bisa dimulai tahun 2006. “Awalnya, saya pikir, pembuatannya gampang. Tapi, setelah dijalani, ternyata sebaliknya. Sebab, RRR berhubungan dengan daerah Yogyakarta, sebagai ibu kota negara pada waktu itu dan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang. Jadi, saya harus riset ke sana. Otomatis, perlu pemikiran, energi, waktu, dan dana yang tidak sedikit,” kata Ikmal.

Lebih lanjut, kata Ikmal, awalnya dia pun tidak tahu sejarah RRR. Karena, tidak dipelajari dalam pelajaran sejarah serta muatan lokal di daerah. Bahkan, teman-temannya sempat mengatakan, kalau RRR adalah dongeng. “Dari situ, saya semakin tertantang membuat film ini dan ingin membuktikan kalau RRR memang ada serta berkontribusi besar terhadap republik ini

Saat ditanya oleh Mulyadi terkait dana pembuatan film RRR, Ikmal mengungkapkan dana awalnya berasal dari uangnya sendiri. Dalam prosesnya, banyak pihak yang membantu. Tapi, yang paling banyak membantu, pak Parni Hadi, Direktur Radio Republik Indonesia (RRI). Perlu dicatat, tidak ada sumbangan sedikit pun dari Pemerintah dan LSM. Kalau dari pemerintah, selalu yang jadi kendala, tidak ada anggaran. Saya kayak jadi pengemis bikin film ni, karena uang 50 ribu pun saya terima dari teman-teman,” ungkap Ikmal.

Sementara itu, Yusradi Usman al-Gayoni mengatakan, cukup mengapresiasi IMAPA. Apa yang dilakukan IMAPA—nontong bareng RRR—merupakan penghargaan terhadap sejarah Aceh, khususnya RRR. “Kalau tidak ada RRR dulu, bisa jadi Indonesia dan IMAPA tidak ada. Lebih dari itu, kita pun tidak bisa bertemu dan saling mengenal malam ini,” katanya.

Lebih lanjut, kata Mantan Ketua Dewan Pengawas Nasional (DPN) Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris (HIMABSII) 2005-2007 itu, ada sumbangan “modal” Aceh yang dilupakan negara ini, yaitu RRR. “Saya tidak tahu pasti, apa sengaja dilupakan?” tanyanya miris. Dalam konteks refleksi pendokumentasian sejarah Aceh, ungkapnya, masih sedikit sekali yang difilmkan.

Namun, bila dikaji lebih jauh, orang Aceh punya pendokumentasian yang lebih baik dari suku lainnya di Aceh. Mereka juga lebih menghargai sejarah daripada orang Gayo, misalnya. Dalam berbahasa pun begitu, orang Aceh jauh lebih setia berbahasa Aceh dibandingkan orang Gayo dalam menggunakan berbahasa Gayo.

“Jadi tugas kita bersama untuk lebih mensosialisasikan RRR. Apa pun ceritanya, ini sejarah kita (Aceh),” ujar Wakil Ketua DPD KNPI Aceh Tengah ini. Dalam konteks yang lebih kecil, IMAPA pun harus berbuat dalam menyelamatkan (mendokumentasikan) jejak-jejak masyarakat Aceh di sini. Sambil tanya jawab dengan peserta, Yusradi pun kemudian bertanya, “Apa sejarah IMAPA sudah terbukukan?” “Sudah, bang,” jawab seluruh peserta. “Kalau sudah, syukur alhamdulillah. Di audio-visualkan, sudah?” tanyanya lagi. Belum, dijawab peserta lagi.

“Nah, itu yang perlu kita kerjakan. Mumpung, pakar kita, bang Ikmal ada sama kita. Demikian halnya dengan jejak-jejak masyarakat Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Pastinya, ada hal yang menarik dari rangkaian sejarah tersebut. Dan manfaatnya tidak sekarang, katanya melanjutkan, melainkan nanti. Mungkin, setelah kita tidak ada lagi.” (M. Faiz)