Selasa, 08 Maret 2011

Ikmal “Bruce” Gopi : Sejarah Itu Seperti Ibu


Jika Presiden RI pertama, Soekarno mengingatkan Indonesia untuk tidak melupakan sejarah dengan sebutan, “Jasmerah” atau jangan lupakan sejarah. Ikmal menyebut sejarah dengan mengibaratkannya sebagai Ibu.

Ikmal Gopi saat diwawancarai wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) Aceh Tengah

“Sejarah seperti ibu kita sendiri. Tidak mungkin dilupakan kalau tidak ingin durhaka. Begitu juga sejarah. Harus dihargai karena telah membuat kita sebagai bangsa seperti saat ini. Demikian halnya RRR. Harus dihargai dan diajarkan pada generasi muda mengingat pentingnya peran Radio Rime Raya bagi Indonesia”, sebut Ikmal.


Selepas shalat Jum’at (4/3) , sebuah mobil berhenti didepan rumah. Pickup. Terdengar suara pintu mobil dibuka dan ditutup dua kali.

Saya sedang bercanda dengan Syarifah dan Alifah saat terdengar suara salam dari luar. Sembari menjawab salam , saya terus bercengkrama dengan dua anak perempuanku. Karena memang salam kerap terdengar dari warga sekitar yang datang berbelanja kerumah karena istriku membuka kios kecil.

“Ma, kawan Ama datang”, kata Syarifah , anak ketigaku.

Ikmal Gopi ditemani Khalisudin, sudah didepan pintu. “Yah jemaepe ge”, kata Ikmal berbahasa gayo.

Sosok Ikmal tampak klimis. Mengenakan baju lengan pendek berwarna terang dipadu celana jins yang robek di lutut kanan. Bicaranya masih ceplas ceplos dan sering bersumpah serapah dalam basa gayo.

Tapi senyumnya dan tawanya tetap saja lepas menampakkan barisan gigi yang rapi dan putih. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang gelap. Ditambah bulu-bulu yang lebat dikedua tangannya.

Selama bertemu Ikmal, dia banyak bercerita tentang film documenter Radio rime raya yang dibuatnya menghabiskan waktu empat tahun lebih.

Proses pembuatannya dimulai tahun 2007. Saat itu, Ikmal tidak tahu banyak dengan sejarah RRR. Iseng, Ikmal kemudian mencoba membuatnya menjadi film documenter. Ikmal yang dikampusnya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) biasa disapa Bruce, mulai mencari data tentang Radio Rime Raya.

Saat pencarian data itulah aku bertemu Ikmal pertama sekali. Kebetulan ada beberapa tulisanku tentang RRR.

Ikmal kemudian menelusuri sejarah RRR ke Bireuen, Padang dan Yogya. Ikmal saat bercerita, tak mampu menyembunyikan kekecewaanya pada banyak kalangan yang begitu rendah menghargai sejarah.

“Bahkan banyak orang yang tidak tahu dan tidak tertarik dengan sejarah RRR “, ketus Ikmal. Untuk membuat RRR, Ikmal terpaksa menghabiskan tujuh juta rupiah uang tabungannya yang dikumpulkan rupiah demi rupiah dengan bekerja keras.

Bahkan sekitar Rp.100 juta dihabiskan Ikmal membuat film dokumenter ini. “Terkadang saya meminta sumbangan dari berbagai pihak agar RRR dapat diselesaikan. Saya tak malu meminta setelah saya yakin RRR sangat berarti bagi bangsa ini”, imbuh Ikmal.

“Entap kerna munetos film documenter RRR, nikahpe gere jadi “, kata Ikmal sambil tertawa. Namun Ikmal mengaku puas setelah menyelesaikan film documenter RRR.

“Setelah selesai, baru saya tahu betapa hebat peran RRR dalam sejarah republic ini. Dimana saat itu Yogya sudah jatuh ketangan Belanda sebagai Ibukota RI. Presiden Soekarno Cs sudah ditangkap Belanda. Radio Rime Rayalah yang menjadi alat propaganda bahwa Indonesia masih ada”, jelas Ikmal.

Awalnya Ikmal berharap pihak terkait seperti Pemda Aceh Tengah mau mempublikasikan film sejarah ini untuk ditonton warga dan pelajar serta mahasiswa. Sebagai sosialisasi peran penting RRR di masa agresi Belanda.

Dibuatlah panitia dadakan . Termasuk memasukkan pejabat teras Aceh Tengah seperti Sekda sebagai salah seoerang Steering Committe. Namun hingga pemutaran film 1 Maret 2011, dana yang diusulkan tak juga cair.

Akhirnya, panitia yang kecewa tetap memutar film dokumenter RRR di Cafe Wapres depan Gentala atau gedung Koni Aceh Tengah. Penontonnya, kalangan sipil dan wartawan serta beberapa LSM dan aktipis.

Bahkan penonton film RRR di Cafe Wapres harus patungan demi membayar sound systim agar tidak membebani paniti nonton bareng RRR atau sang sutradara Ikmal Gopi.

Jum’at pagi, Ikmal ditemani Khalis, atas permintaan guru SMA 1 Nibes, memutar RRR disekolah tersebut. Ikmal sempat terharu karena ternyata kalangan siswa dan guru disekolah tersebut begitu antusias menonton RRR.

Apalagi Ikmal sang sutradara yang putra daerah itu hadir disana. “Para guru sempat memberi uang. Saya sangat terharu. Seharusnya sebagai guru mereka tidak lagi mengeluarkan uang meski sekedarnya. Mereka idealnya hanya menonton saja dimana Pemda yang menanganani urusan biaya sehingga guru dan murid fokus belajar”, kata Ikmal.

“Ternyata setelah pemutaran RRR barulah kalangan pelajar dan guru paham tentang RRR dimasa awal kemerdekaan. Mereka punya gambaran yang jelas. Ternyata tidak banyak yang tahu RRR, meski lokasinya berada di Bener Meriah. Tugu RRR di Kecamatan Pintu Rime Gayo, dianggap sebatas tugu tanpa makna”, kata Ikmal bernada kecewa.

Ikmal tidak menyalahkan siapapun atas rendahnya pemahaman tentang peran RRR. Namun dia berharap dengan hadirnya film dokumenter RRR, menjadi momentum pengajaran sejarah bagi generasi muda gayo.

“Saya berharap Pemda sebagai pemangku kepentingan , mau mengerti dan mulai mensosialisasikan peran RRR dikalangan generasi muda. Saya ingin film dokumenter RRR dijadikan bahan ajar dan rujukan sejarah disekolah di Aceh”, harap Ikmal.

Ikmal berencana akan ke Banda Aceh dan ingin bertemu gubenur Aceh agar film dokumenter RRR disebar kabupaten/Kota di Aceh sebagai bahan untuk muatan lokal sehingga generasi muda Aceh memahami peran Aceh dalam terbentuknya negeri ini.

Setelah menyeruput kopi luwak pemberian Malio, sang pembuat kursi damai dari Grupel untuk Gubenur Aceh dan Presiden SBY. Ikmal membakar rokok kretek merek ternama yang tanpa saring.

Saya coba menghubungi kepala Radio Republik Indonesia Aceh Tengah, Riswandi agar Ikmal diberi kesempatan wawancara guna mencceritakan kisahnya membuat RRR dan diharap akan menjadi pemicu bagi kalangan generasi muda mau peduli sejarah atau sekedar tertarik menekuni dunia film.

Riswandi setuju agar Ikmal diwawancarai. Ikmal, diantar Khalis dan saya, menuju RRI Takengon dijalan lembaga.

Riswandi terlihat sedang santai saat menerima Ikmal. Menggunakan hp blackberry, Riswandi kemudian melakukan wawancara. Ikmal tampak sedikit grogi saat diwawancarai.

Ikmal menceritakan kepada RRI betapa berarti peran RRR di Kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Bener Meriah bagi Indonesia kala itu.

“Saya ingin sejarah ini tidak dilupakan. Untuk itu film dokumenter ini diharap bisa ditonton diseluruh sekolah di Aceh”, sebut Ikmal dalam rekaman di RRI.

Saat wawancara, Win El Rahman, dari situs berita Lovegayo.com ikut nimbrung. Sebelumnya, Khalis yang juga wartawan The Globe Journal Aceh, sudah memberitakan pemutaran RRR di situs beritanya , demikian juga Win El Rahman di lovegayo.com.

Saya harus meninggalkan Ikmal , Khalis, Win dan Riswandi karena ada keperluan.

Ikmal berharap Pemkab Bener Meriah mau membuka diri dan kooperatif memutar film dokumenter RRR untuk ditonton masyarakat Bener Meriah saat Ultah Bener Meriah pertengahan Maret 2011 ini.

Dari 60 filem dokumenter yang masuk nominasi FFI lalu, RRR masuk di lima besar. RRR pernah diputar di gedung Asia Afrika di Bandung dan Ikmal mengikutkan RRR pada International Festival Film di Yamagata Jepang (Aman Shafa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar