Kamis, 31 Maret 2011

Sejarah Aceh dalam Film

Wednesday, 30 March 2011 20:30
Written by Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.

Apakah film itu? Menurut Christian Metz, pakar semiotika visual dari Perancis, film sama saja dengan bahasa. Kehadirannya memberikan pesan (encode) dan juga membongkar pesan-pesan yang telah hadir sebelumnya (decode). Film melakukan penandaan praktis (signifying practice) atas galaksi kebudayaan manusia yang direpresentasikan melalui gambar (Christian Metz, Film Language : A Semiotic of Cinema, 1974).

Metz tidak membedakan tentang jenis, bentuk, dan model film apa yang dihadirkan. Baginya semua film memiliki fungsi dasar yaitu memberikan tanda, kode, dan pesan melalui gambar dan kisah yang ada di dalamnya. Semua hal tadi merupakan instrumen linguistik yang digunakan film untuk berkomunikasi dengan penonton. Di dalamnya ada unsur sintagmatik dan paradigmatik. Ada cerita dan ada kedalaman.

Makanya ketika ada yang menganggap film Empang Breuh hanya sebuah film komedi biasa, bagi saya tidak sesederhana itu. Empang Breuh telah menjadi tsunami baru, “menyejarah”, dan menjadi ikon dalam dunia sinematografi Aceh yang masih belia ini. Itu paling tidak bisa dilihat dari komentar-komentar para penonton non-Aceh setelah melihat cuplikan film itu di You Tube. Satu hal lagi, film jelas harus memberikan hiburan visual bagi siapapun yang melihatnya.

Namun hal itu kurang terlihat ketika saya menonton film karya Ikmal Gopi, Radio Rimba Raya (RRR) yang diputar dan dibedah di gedung Pasca-sarjana IAIN Ar-Raniry, 16 Maret lalu. Secara teknis penggarapan film ber-genre dokumenter sejarah ini masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan paling dasar adalah kurangnya rekaman masa lalu yang bisa direkonstruksi dalam film. Ada cuplikan gambar yang di-insert tapi penonton ragu tentang relevansinya dengan sejarah RRR.

Sejarah RRR sendiri juga bukan momen afkiran. Radio Rimba Raya (bahasa Gayo, Rime Raya) dikenal sebagai radio Republik Indonesia darurat yang mulai dipancar-luaskan sejak masa agresi Belanda I, Juli 1947 hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus – 2 November 1949. Dari radio berdaya pancar satu kilo watt pada frekuensi 19.25 dan 61 ini, dunia luar mengetahui bahwa Indonesia masih ada. Kehadiran RRR tak lepas dari upaya heroik Kolonel Husin Yusuf dan John Lee, seorang pengusaha keturunan China asal Manado yang menyuplai peralatan penyiaran peninggalan Jepang dari Singapore. Melalui film ini kita bertambah paham tentang jasa Aceh untuk republik ini.

Namun hal itu kurang tertangkap dalam film. Terlalu banyak tokoh yang diwawancarai, bahkan yang bukan saksi mata atau sejarawan yang mengetahui kronologi sejarah RRR. Pemilihan tokoh karena popularitas dan bukan kepersisan dalam memberi informasi. Terlalu banyak opini dan sedikit data. Dalam amatan saya, hanya ada dua tokoh yang sangat otoritatif yang telah “menyelamatkan” film dokumenter ini. Pertama, RM Tukiran, saksi mata yang ketika masa itu berumur 8 tahun dan T. Alibasjah (Talsa), seorang pelaku sejarah yang mampu menceritakan dengan baik tentang kronologi sejarah RRR. Ekspresi Tukiran yang lugu dan lucu menjadi sedikit thrill dari sekian banyak wawancara yang terkesan terlalu dipaksakan hadir. Hal lain yang juga kurang membuat audiens bisa setia menonton adalah sound track dan instrumen musik yang sangat minimal, bahkan hampir tiada. Teknik montase (montage) yang tidak lancar antara satu tokoh ke tokoh lainnya, dan tidak adanya narasi menyebabkan kelimpahan data seperti sia-sia. Buruknya sistem audial (mungkin karena berisik atau efek angin saat mewawancarai di ruang terbuka) juga menganggu. Hal itu sebenarnya bisa dijembatani dengan transkrip di dalam gambar.

Namun yang harus diberi ancungan jempol untuk Ikmal Gopi bukan semata pada ekspresi karyanya tapi pada prosesnya. Perjuangannya menghadirkan film ini dimulai dengan modal nol. Yang ada hanya semangat pantang menyerah untuk merentangkan sejarah melalui sinema. Melalui Jauhari Samalanga, praktisi seni Gayo, saya tahu bagaimana ia kesulitan membayar lembaga-lembaga pemilik sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan RRI hanya untuk mendapat sekeping data. Bahkan ia kesulitan untuk menyewa kamera, sesuatu yang aneh mungkin dalam pikiran sutradara film seperti Garin Nugroho. Dalam sebuah wawancara ia menyebutkan, sejak membuat film RRR ia semakin mengerti tentang pentingnya sejarah.

Apa yang dihasilkan oleh Ikmal jelas tidak bisa diperbandingkan dengan karya seperti Aryo Danusiri (Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa, 1999, Playing with Elephants, 2009) Fauzan Santa-Sarjev (Pena-pena Patah, 2000) Aryo-Santa (Abrakadabra, 2003), atau William Nessen (Black Road, 2005). Film yang dihasilkan oleh sineas itu berada di tengah pusaran realitas yang sedang terjadi alias stillfresh from the oven. Proses kreatif film seperti itu cukup tinggal di dalam sebuah komunitas dan secara tabah melakukan pengembaraan antropologi visual atas realitas yang bergerak di depan kamera. Film-film yang disebutkan belakangan merupakan proyek etnografi konflik-derita yang diangkat ke dalam bentuk sinematografi.

Namun upaya Ikmal merekonstruksi sejarah yang telah lebih setengah abad, di tengah bangsa yang kurang peduli pada situs dan dokumen historis seperti slide film, bukan cerita gampang. Itu seperti pekerjaan menutup radiasi di reaktor nuklir Fukushima. Seingat saya, mungkin hanya Des Alwi dan HB Jassin, pihak swasta yang memuseumkan dokumentasi visual (film dan foto) sebagai kekayaan historis bangsa yang perlu diselamatkan. Banyak dari kita menganggap itu urusan negara. Problemya, ketika warisan masa lalu itu ingin dipresentasikan kembali kita kekurangan dan kekeringan. Atau negara menjadi jual mahal kepada para sineas idealis ini.

Langkah kecil Ikmal paling tidak telah menggugah orang lain. Ketika saya keluar dari ruang diskusi film itu, seorang seniman visual, Jawon, sudah mulai bercerita panjang lebar untuk mengangkat sejarah pertempuran Medan Aria dalam bentuk film jika ada sponsor. Saya sambut semangatnya, dan jelas itu berkat karya Ikmal yang sederhana itu. Sejarah memang perlu difilmkan, tidak hanya didiktatkan. Itu juga untuk mencegah semakin malasnya generasi sekolah menyikapi sejarah dan guru sejarah; yang berpenampilan kuno dan jarang bercukur.
Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.

1 komentar: