Jumat, 15 Mei 2009

PUISI TANPA JUDUL

Isaq tangisku, ratap senduku
Karenamu.............
Tak ada yang tahu
Mungkin tak ada yang mau tahu
Mengapa begitu!

Bukankah kau dizaman derita
Di saat Republik diobrak abrik NIKA
Suaramu menggema diangkasa raya
Menembus blokade Belanda
Berteriak kedunia
Indonesia tetap merdeka

Kala RRI dimana-mana
Jakarta - Jokya - Surabaya
Medan - Padang - Palembang
Dan diseluruh Nusantara
Dalam cengkeraman Belanda

Berita selalu dusta
Omong bohong mereka: "RI telah tiada"

Kau tetap berteriak RI tetap tegak
Dengan beraneka bahasa dunia
Belanda mencari-cari
Dimana suara RI ini !
Dan kau terus sembunyi
Di Rimba Raya sepi
Sampai Republik jaya lagi
Lalu dunia mengakui

Kemudian.........
Setelah perang selesai
Kemenangan sudah tercapai
Kau..........., tinggal sansai
Jadi bangkai
Tak ada yang tahu
Dan yang mau tahu

Kini...............
Nasibmu merana sekali
Namamu tak pernah disebut lagi
Seakan-akan kau tak pernah ada
Di Republik ini

Isak tangisku
Ratap senduku
Karena itu
Karenamu
Oh.... Radio Rimba Rayaku !


Tgk. H. Arifin Hasan
Takengon/Paya Tumpi, awal tahun 80-an
Dikutip dari Buku Mujahid Dataran Tinggi Gayo
2007

Rabu, 06 Mei 2009

Pesan Perjuangan Dari Belantara Rimba Raya

RIMBA RAYA (Orang Gayo menyebutnya Rime Raya) pernah menjadi kawasan sangat menentukan dalam perjalanan menegakkan eksistensi Republik Indonesia. Dari hutan belantara Rimba Raya inilah pesan-pesan perjuangan dikumandangkan ke seluruh dunia, sekaligus mematahkan "kampanye" Belanda yang menyatakan Indonesia sudah tidak ada.
Tidak banyak orang menyangka bahwa keberadaan Indonesia justru pernah "ditegakkan" dari dataran tinggi Gayo, dari kawasan pedalaman yang berhutan lebat. Sebuah riwayat yang tidak boleh dilupakan apalagi ditelantarkan!Karena itu, sebuah usaha untuk menghormati makna sejarah itu saat ini sedang diupayakan kembali dengan "menghidupkan" monumen Radio Rimba Raya dan memfungsikannya sebagai tempat bersejarah. Memang dulu pernah dibangun monumen radio di Desa Rimba Raya. Peletakkan batu pertamanya dilakukan 27 Oktober 1987 dan diresmikan tiga tahun kemudian oleh Menteri Koperasi/Ka Bulog Bustanil Arifin SH.
Tapi sayang, monumen itu nyaris tak punya arti. Tak lebih sebuah tugu biasa yang menyedihkan. Tidak pernah diurus dan diperhatikan. Monumen itu berhenti sebatas benda mati! Lokasi monumen bersemak, jorok, dan kotor. Beberapa bagian bahkan kelihatan miring.
Belakangan muncul usaha dari LSM Monumen Radio Rimba Raya, untuk mengembalikan"roh" Rimba Raya itu. Langkah pertama diadakan pemugaran dengan menggunakan disain kaya Yas Aramiko, yang menang pada "Sayembara Disain Monumen Radio Perjuangan Rimba Raya" tahun 1988. Yas, seorang arsitek yang berdomisili di Jakarta.
Berbagai Pihak menyatakan setuju terhadap usaha yang dirintis Pipa Putra dkk dari LSM Monumen Radio Rimba Raya, termasuk anggota DPR RI Tgk H Baihaqi AK dan Tgk AK Jakobi, mantan sekretaris panitia sayembara disain.

Selundupan

Adalah tentara Devisi Gajah I yang memesan peralatan pemancar Radio Rimba Raya, dari Malaya. Kisah ini tertera jelas dalam sebuah peper kecil "Peran Radio Rimba Raya" diterbitkan Kanwil Depdikbud Aceh, 1990.
Pemancar tersebut, diselundupkan oleh John Lie, seorang yang terkenal "raja penyelundup" Asia tenggara. Peristiwa penyelundupan ini terjadi menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.
Dengan cerdik John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan "enak" melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di sungai Yu, Aceh Timur. Dari sini peralatan diangkut ke Bireuen dan seterusnya digunakan oleh Divisi X untuk alat perjuangan. Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.
Selain untuk siaran umum, kegiatan radio itu digunakan sebagai monitor dan pengirim berbagai pengumuman dan instruksi, baik untuk angkatan bersenjata maupun pemerintahan sipil. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Kuta Radja (Banda Aceh). Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sebagai cadangan studio juga disiapkan di Cot Gue, sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Kuta Radja direbut musuh.
Sayangnya. pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948.
Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubenrnur Militer Tgk Mohd Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Menuju Tanah Gayo

Peralatan "diungsikan" ke Aceh Tengah tanggal 20 DEsember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya). Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik.
Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkan ke Lampahan dan Bireuen. Nihil. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain. Kabel tak cukup. Dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen. Ditemukan. Beres.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untul tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime Raya.
Pada salah satu kamarnya dijadikan studio penyiaran yang dipimpin sendiri oleh Husein Yoesoef.
Dari hutan Rimba Raya itulah disuarakan pesan-pesan perjuangan. Dari tempat tersembunyi itu pula dikumandangkan eksistensi Republik Indonesia ke negara luar. "Republik Indonesia masih ada. Pemerintah Republik masih ada. Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh," demikian antara lain bunyi siaran Radio Rimba Raya. Berita-berita itu ditangkap oleh radio ALL India yang menyiarkannya kembali ke penjuru dunia.
Pemancar Radio Rimba Raya berkekuatan 1 kilowatt bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter. Dalam siarannya radio ini menggunakan signal calling "Suara Radio Republik Indonesia" dan "Suara Merdeka". Mereka melakukan siaran adalah bahasa Indonesia, Inggris, China, Urdhu, Arab, Belanda, dan bahasa Aceh. Penyiar-penyiarnya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Sayuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam.
Waktu itu, radio ini bisa ditangkap dengan jelas diberbagai kawasan di semenanjung Melayu, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, sampai Australia dan beberapa tempat di Eropa.
Posisi Radio Rimba Raya menjadi sangat penting karena menjadi satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia. RRI Jogjakarta telah jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.
Selain berisi siaran warta berita, pengumuman, Radio Rimba Raya juga menghidangkan lagu-lagu rakyat dan lagu perjuangan yang membakar semangat perlawanan.
Radio Rimba Raya tetap berperan sampai adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq.
Kabarnya peralatan Radio Rimba Raya saat ini ditempatkan di museum radio di Jogjakarta, Aneh sekali, riwayat Radio Rimba Raya hampir tak pernah kedengaran pada peringatan hari radio nasional. Entahlah. (Fikar W. Eda)


Koran Serambi Indonesia
Senin, 13 Januari 2003

Jumat, 01 Mei 2009

Emas Aceh untuk Maskapai Pertama


H.M. Djoeneid Joesoef

Jangan sekali-kali melupakan jasa orang Aceh. Apalagi di bidang industri penerbangan nasional. Berkat sumbangan mereka dimasa awal kemerdekaan, negeri ini maskapai penerbangan nasional pertama bernama Garuda Indonesia Airways ( GIA ). Bermula dari kunjungan enam hari presiden Soekarno ke "tanah rencong" Juni 1948.
Didampingi Kepala Bagian Sub Penerangan Angkatan Udara pada masa itu, RJ. Salatun, Bung Karno mengadakan pendekatan kepada warga Aceh untuk menggalang dana guna membeli pesawat terbang. Pertemuan dengan masyarakat Aceh yang dipimpin H.M. Joeneid Joesoef digelar di sebuah hotel di Kutaraja- kini Banda Aceh.
Di forum 16 Juni 1948 itu, Bung Karno menyatakan bahwa negara memerlukan pesawat terbang untuk menembus blokade udara Belanda. Padahal, negara yang baru merdeka ini tak punya duit. Bung Karno meletakkan harapan besarnya pada rakyat Aceh.
Gayung pun bersambut. Djoeneid yang juga memimpin gabungan Saudagar Indonesia Aceh menyatakan siap membantu. Bersama saudagar lain bernama Said Muhammad Alhabsji, ia mengumpulkan sumbangan emas dari seluruh warga Aceh. Emas itulah yang kemudian dipakai untuk membeli dua pesawat Dakota, yang kemudian diberi nama Dakota RI 001 Seulawah.
Seulawah sendiri bermakna "gunung emas" boleh jadi karena jumlah sumbangan emas dari warga itu diibaratkan segunung. Kehadiran Seulawah ini mendorong pembukaan jalur penerbangan dari Sumatera ke Jawa, bahkan ke luar negeri. Seulawah RI 001 pun banyak berjasa sebagai pesawat angkut presiden dan wakil presiden, serta untuk keperluan pertahanan mengangkut personel militer.
Ketika pesawat ini sedang menjalani perawatan rutin di Calcutta, India, Belanda melancarkan agresi kedua. Walhasil, Seulawah RI 001 tak bisa kembali ke Tanah Air. Atas prakarsa Wiweko Soepono, Kepala Bagian Rencana dan Penerangan Angkatan Udara, pesawat itu dijadikan pesawat komersial pertama Indonesia di bawah nama Indonesian Airways.
Karena situasi darurat, markas maskapai penerbangan itu didirikan di Burma kini Myanmar. Dalam perkembangannya, Indonesian Airways berubah nama menjadi GIA dan terakhir berubah lagi menjadi Garuda Indonesia. (Erwin Y. Salim)


Majalah Gatra, edisi khusus 17 Agustus 2008