Selasa, 23 Februari 2010

Mau jadi pahlawan dengan mudah, silakan datang ke Indonesia

Apakah anda ingin menjadi pahlawan dengan mudah ??? datang saja ke Indonesia, maka anda akan dengan mudah dianggap sebagai pahlawan dinegeri tersebut hanya karena anda diperhitungkan telah pernah berjasa karena telah pernah membantu perjuangan bangsa tersebut. Terlepas darimana niat anda melakukannya, apakah hendak mencari uang atau apapun, yang jelas anda akan dapat diangkat menjadi pahlawan dinegeri yang sudah kekurangan jiwa kepahlawanan ini. Sebut saja john lie, seorang penyelundup ini saat ini telah berhasil mendapat dua keuntungan sekaligus, jadi kaya arena usaha penyelundupannya, dan diangkat menjadi pahlawan. asik bukan ????

Kapten Lie adalah tokoh penting dalam sebuah organisasi penyelundupan senjata yang wilayahnya terbentang sepanjang Filipina sampai India. Rangkaian bisnis ini memiliki markas di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, dan New Dehli. Anggota-anggotanya termasuk para idealis seperti Lie dan juga para petualang-petualang pencari keuntungan, tertarik oleh bisnis yang gampang mendatangkan untung ini maka orang-orang dari Amerika, Eropa dan dari kawasan Timur, di antaranya adalah pilot-pilot pesawat, kapten kapal, pedagang opium, konsumen senjata dan bahkan juga ada seorang mantan pelatih balet. Nilai tertinggi dari operasi mereka (pada tahun 1947) adalah 3 juta dollar per bulan dari jual beli peralatan militer, dari senapan-senapan otomatis sampai pesawat-pesawat transport, dan barang-barang ini berhasil melewati blokade Belanda. Mulai sejak saat itu banyak kawanan dari organisasi-organisasi penyelundupan terbunuh, sementara tida kurang banyaknya yang dipenjara.

Senjata-senjata dagangan yang sebelumnya dibeli dari Malaya diterbangkan ke Jawa atau diselundupkan melintasi selat ke Sumatra dengan kapal yang ia beri nama The Outlaw (diluar hukum). Di daerah pecinan yang padat di Singapura banyak agen-agen yang dapat mencarikan perlengkapan-perlengkapan perang bekas Inggris yang disembunvikan di hutan sejak jaman perang, meski dengan harga tinggi. Di Kepulauan Airaboe yang sepi, 200 mil ke timur laut dari Singapura, seorang pria dari Wales yang misterius bernama Carlton A. Hire menyimpan stok perlengkapan perang senilai 300.000 US dollar yang terdiri dari senjata-senjata otomatis tipe Browning, karbin (senapan otomatis ringan), senapan-senapan tipe Tommy dan bazooka yang diangkut dari Filipina, Serangkaian pasokan senjata rutin juga pernah didatangkan dari "Lost 93rd", sebuah divide Nationalise China di negara-negara Shan Birma (wilayah penduduk yang sebagian besar tinggal di Myanmar dan bersebelahan dengan Cina) setelah perang.

Perwakilan-perwakilan dari markas-markas Republikan di Singapore membuka jalan ke seluruh sumber-sumber tersebut. Pihak berwenang, Inggris senang karna senjata-senjata tersebut dijauhkan dari para teroris Komunis lokal, dan mereka membiarkan Lie dan kawan-kawannya beroperasi di Penang.

Kapten Lie sendiri bertanggung jawab mengatur urusan di Phuket. Dengan diplomasinya ke gubernur, yang dulu menjadi boneka Jepang, ia mendapatkan rumah baru, sekaligus ladang-ladang dan pondok-pondok untuk penyimpanan stok senjata yang tersebar di lokasi-lokasi terpencil dan di ladang-ladang petani. Gubernur ini dengan suka-rela merkomendasikan pendirian perusahaan perdagangan Cina terselubung untuk berlaku sebagai agen pengiriman bagi para pengelola senjata dagangannya.


Para pembeli senjata dari Republikan juga pergi ke arah utara ke Thailand. Dari daerah pecinan di Singapura, mereka bergerak menuju dunia bawah tanah, Bangkok yang menjadi tempat bagi sarang-sarang opium, hotel-hotel kumuh dan ruang-ruang perjudian. Di sana agen-agen Viet-Minh dari Indo-China, Karens serta komunis dari Birma dan dari Malaya bersaing mendapatkan simpanan persenjataan besar yang masih tersisa dari Perang Dunia II atau yang diselundupkan kesana. Beberapa simpanan senjata tersebut telah didrop ke para pejuang gerilya yang tidak pernah berperang sejumlah 40.000 senjata Japan di bawa dari Teluk Siam oleh para penyelam, pengiriman-pengiriman lainnya adalah kelebihan-kelebihan senjata yang dibeli dari Amerika oleh Thailand.

Selain perlengkapan perang yang sudah siap sedia di Bangkok, masih banyak lagi yang datang di kirim. Perahu-perahu dan kapal-kapal motor Petualang yang beroperasi secara sembunyi-sembunyi berlayar dengan perlengkapan senjata dari Pulau Cebu di Filipina ke pantai timur dari terusan-utara yang sempit di Thailand. Di samping itu, di jalan-jalan kota Bangkok yang padat, toko-toko kecil yang berjualan mesin berubah menjadi tempat-tempat pembuatan senapan, bazooka dan granat berdasarkan pesanan.

Senjata-senjata ini disembunyikan di tempat-tempat aneh: di bengkel-bengkel, gudang-gudang bekas dan kamp-kamp terpencil di hutan. Satu pemasok senjata di Bangkok menyegel karbin-karbin, senjata-senjata Tommy dan mortir-mortir selundupannya dalam 540 peti jenazah di Wat Mahatat, sebuah kuil Budha berjarak 3 mil dari Bandara Don Muang. Peti-peti tersebut awalnya berisi abu-abu jenazah yang telah dikreimasi dari tentara-tentara yang tewas malam kontra-revolusi Republikan Thailand pada tahun 1933. Pada bulan Juli ini (1949), peti-peti itu dibongkar di malam hari dan senjata-senjatanya diambil secara sembunyi-sembunyi oleh gang saingan penyelundup senjata mereka.

Di bawah pimpinan Izak Mahdi yang tampan, seorang pria berusia 27 tahun bekas mahasiswa kedokteran dari Batavia yang merupakan agen Indonesia di Bangkok, para agen Republikan kemudian bergerak melalui daerah underground Kota Bangkok, dan mengontak makelar-makelar Cina yang licik dan angkatan darat Siam yang angkuh serta perwira-perwira angkatan darat yang mengontrol persenjataan gelap. "Ini memang bisnis yang mengerikan" kata Mandi. "Kadang-kadang saya berhari-hari tidak bisa tidur.

Dikabarkan juga dia pernah dapat proyek menyelundupkan peralatan radio. Radio Rimba Raya ini ditempatkan di Dusun Rimba Raya Takengon, Aceh Tengah, tersembunyi di pegunungan. Radio ini dimasukkan secara gelap oleh John Lie, dengan speedboat-nya dari Pulau Penang ke Lhokseumawe. John Lie mengatur penyelundupan bahan-bahan ekspor seperti karet, kelapa sawit ke Penang dari Aceh dan memasukkan barang-barang kebutuhan militer dan kebutuhan umum ke Lhokseumawe.
Radio yang mempunyai siaran yang kuat dapat didengar oleh dunia, hingga dapat meng-counter siaran Belanda. John Lie diburu pihak Belanda dan dia selalu dapat menghindar dengan speedboat-nya. John Lie telah dianggap sangat besar jasanya terhadap Republik Indonesia. Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentara Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).

Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.



Pahlawan…..pahlawan…….pahlawan…..betapa orang zaman sekarang tidak memahami mana yang pahlawan, mana yang teroris dan mana yang penyelundup……hmmmmmmm

Abu Ghazi

Ketika Gelombang 19,15 Menegakkan Republik

Pada tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, telah diduduki oleh belanda, dan Presiden serta Wakil Presiden Indonesia ditawan, hubungan antara Indonesia dengan dunia luar menjadi putus.
Suara RRI Yogyakarta yang selama ini berkumandang di udara menyampaikan perjuangan bangsa Indonesia ke seluruh dunia menjadi bungkam. Oleh karena itu, tugas ini langsung di ambil alih oleh RRI Kutaraja. Dua buah pemancar radio yang tersembunyi sebagai radio perjuangan, mengumandangkan suara pemerintah dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang ke luar negeri.
Sebelumnya, di daerah Aceh hanya terdapat satu pemancar radio yaitu RRI Kutaraja. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa perang urat syaraf yang dilancarkan oleh Belanda melalui pemancar radio mereka di Medan dan Jakarta semakin gencar, pimpinan perjuangan di Aceh menyadari betapa pentingnya peranan radio dalam suatu perjuangan, untuk menangkis propaganda musuh dan mengumandangkan perjuangan rakyat Indonesia ke dunia luar, serta untuk keperluan penyampaian berita-berita penting dan instruksi-instruksi kepada Badan perjuangan, instansi Pemerintah, membakar semangat perjuangan terutama yang berjuang diluar negeri. Maka dipandang perlu untuk membangun sebuah pemancar radio lain yang mempunyai kekuatan jangkauan jarak jauh.
Akhirnya, sebuah pemancar yang berkekuatan 1 kilowatt berhasil diselundupkan ke Aceh dari Malaya dengan menembus blokade Belanda yang ketat di Selat Malaka. Pekerjaan yang sangat beresiko ini dilakukan dengan menggunakan speedboat dibawah pimpinan Mayor (L) John Lie. Pemancar yang baru ini diserahkan dibawah pengawasan Tentara Divisi X yang waktu itu berada dibawah pimpinan Kolonel Husin Yusuf. Semula pemancar ini ditempatkan di Krueng Simpo, sekitar 20 km dari Bireuen arah Takengon. Kemudian atas perintah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Muhd. Daud Beureueh, pemancar tersebut dipindahkan ke Cot Goh, tidak berapa jauh dari Kutaraja.
Karena Kutaraja dan sekitarnya sering mengalami serangan dan gangguan dari musuh, pemancar tersebut kembali dipindahkan ke tempat yang lebih aman yaitu di Rimba Raya, Takengon. Sesuai dengan nama dan tempatnya, Signal Calling yang lebih terkenal disamping beberapa Signal Calling lainnya yang dipergunakan adalah "Radio Rimba Raya" dengan gelombang 19,15 dan 16 meter. Pemancar ini mulai mengudara pada pukul 5 sore hari sampai pukul 6 pagi. Selain dengan menggunakan Bahasa Indonesia, siaran ini juga menggunakan bahasa Inggris, Belanda, Arab, Urdu, dan Cina.
Pemancar ini dapat berhubungan dengan pemancar lainnya seperti PDRI di Suliki, dan dapat juga berhubungan dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( KASPRI) di Jawa. Melalui pemancar ini instruksi-instruksi PDRI dari suliki dapat dikirim ke KASPRI, dan melalui pemancar radio ini pula Presiden PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dapat menyampaikan instruksi kepada para Perwakilan RI di luar negeri, seperti Dr. Soedarsono di India, dan L.N. Palar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Zuhri Sinatra

Minggu, 21 Februari 2010

Peranan Radio Di Awal Kemerdekaan

Tokoh pers tiga zaman H. Mohd Said pernah mengemukakan bahwa di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, 50% sarana perjuangan kemerdekaan bergantung pada pers.

Unsur perjuangan yang berjalan paling depan adalah perjuangan bersenjata, menyusul perjuangan pers, dan perjuangan diplomasi. Hal ini dikemukakan oleh Mohd Said setelah mengikuti perjalanan Gubernur Sumatera ke berbagai daerah dan mengikuti perjalanan Bung Karno saat melakukan kampanye kemerdekaan di Pulau Jawa.

Begitu penting sarana pers dalam mempertahankan kemerdekaan, maka Mohd. Said menerbitkan harian Waspada di daerah pendudukan Belanda di Medan ini. Kemudian mengajak Arif Lubis untuk menerbitkan juga surat kabar di daerah pendudukan Belanda.

Arif Lubis ingin menerbitkan kembali “Soeloeh Merdeka” di Medan, tetapi tidak diizinkan oleh penguasa Belanda Dr. Van de Velde, karena ada kata “merdeka” nya. Van de Velde ini adalah bekas Kontrolir Belanda di Samalanga yang lancar berbahasa Aceh.

Karena tidak dibenarkan diterbitkan “Soeloeh Merdeka” yang tadinya membawa suara Pemerintah Provinsi Sumatera yang dipimpin oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan (Pahlawan Nasional). Atas kesepakatan dengan Direksi lama “Mimbar Umum” Udin Siregar, Arif Lubis menerbitkan kembali harian “Mimbar Umum”. Kemudian menyusul terbit majalah Berita “Waktoe” harian “Warta Berita” pimpinan Zahari dan lain-lain.

Sementara di daerah Republik yaitu di Keresidenan Aceh sejak awal kemerdekaan telah terbit surat kabar “Semangat Merdeka” yang dipimpin oleh A. Hasjmy, A.G. Mutyara, dan T.A. Talsya. Surat kabar yang mengajak rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, terbit di Banda Aceh (Kutaraja) tanggal 18 Oktober 1945. Kemudian terbit lagi majalah “Pahlawan”, “Wijaya”, “Dharma” dan lain-lain.

Kesulitan Surat Kabar Republikein

Bagi surat kabar yang terbit di daerah Republik memang tidak mengalami problem apa-apa dalam penerbitan dan peredarannya. Betapa pahit dan sulit yang dihadapi oleh surat –surat kabar Republikein yang terbit di daerah pendudukan Belanda Medan.

Pertempuran kadang terjadi baik siang maupun malam menyebabkan orang pers tidur di percetakan. Di antaranya kesulitan yang dialami “Waspada” ketiadaan kertas. Penguasa Belanda di Medan pernah menawarkan jatah kertas kepada Waspada tetapi ditolak oleh Mohd. Said.

Melalui kurir diberi tahukan oleh Mohd. Said kepada A. Hasjmy dan A.G. Mutyara, hal ini dibicarakan dengan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku Mohd. Daud Beureueh. Melalui NV Permai “yang dipimpin oleh Teuku Manyak yang mempunyai Cabang di Penang, Aceh membantu mengirim kertas koran untuk Waspada” dengan menggunakan boat dari Penang (Malaya) melalui pelabuhan Tanjung Balai.

Peranan pers yang dimaksud oleh Mohd. Said bukan saja pers cetak saja tetapi juga pers radio. Orang-orang surat kabar, waktu itu terus memonitor siaran-siaran radio yang dipancarkan oleh radio gerilya atau radio resmi dari daerah Republik. Tetapi setelah Agresi kedua 19 Desember 1948 siaran-siaran radio baik yang ada di Yogyakarta, Bukit Tinggi telah “dibungkemkan” oleh Belanda.

RRI Medan yang pemancarnya dipasang di Kampung Baru Medan, baru saja mulai menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”, awal 1946 diserang dan dihancurkan oleh pasukan Sekutu. Bulan April 1946 RRI Medan diungsikan dari Jalan Asia ke P. Siantar (Ibu Kota Provinsi Sumatera). Ketika Belanda melancarkan Agresinya ke dua Juli 1947 merebut P. Siantar, RRI Medan di P. Siantar lebih dahulu diledakkan oleh pasukan elit Belanda.

Pemancar Radio Yang Berjasa

Kalau ada pemancar radio yang paling berjasa di Republik ini di awal perang kemerdekaan selain pemancar radio yang digunakan oleh Bung Tomo dan K’tut Tantri ketika Inggris menyerang Surabaya selama tiga hari berturut-turut, maka tidak berlebihan kalau kami katakan pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Radio Rimba Raya) merupakan pemancar radio paling berjasa.

Karena berjasanya pemancar tersebut, maka sampai saat ini pemancar tersebut itu disimpan di “Museum Angkatan Darat” di Yogyakarta. Kami tidak tahu apakah pemancar yang pernah digunakan oleh Bung Utomo yang kekuatannya tidak begitu besar juga dipelihara di salah satu museum di Jawa.

Pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Rimba Raya) yang berkekuatan 350 watt, didatangkan oleh Kapten Xarim dari Singapura dan dimasukkan melalui Kuala Serapoh (Langkat) ketika pasukan Batalyon B bertugas di Langkat sebelum Agresi Belanda pertama.

Siaran radio “Rimba Raya” dapat didengar di Semanjaung Malaysia, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, Australia dan beberapa negara di Eropa. Radio ini mempunyai dua channel, satu channel untuk siaran dan satu channel lagi dapat digunakan untuk mengadakan hubungan telefon oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dengan Perwakilan kita di luar negeri baik Sudarsono, Mr. MA Maramis LN. Palar dan lain-lain.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” ini tiap malam muncul di udara dalam 6 bahasa. Bahasa Inggris disampaikan oleh John Edward (Abdullah) mantan Letnan Sekutu yang berpihak kepada Indonesia. Bahasa Urdu (India) disampaikan oleh Chandra juga mantan tentara Sekutu yang membelot ke pihak kita.

Bahasa Cina disampaikan oleh Hie Wun Fie, bahasa Belanda oleh Syarifuddin, bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif dan bahasa Indonesia disampaikan secara bergantian oleh penyiar radio tersebut.

RI Tidak ada lagi

Ketika Belanda melancarkan Agresinya yang kedua 19 Desember 1948, Yogyakarta dikuasai, Bukit Tinggi dibom dan diduduki, maka RRI di kedua pusat pemerintahan itu dibungkam. Para pemimpin Republik ini ditawan, Bung Karno, Sutan Syahrir dan H. Agus Salim ditawan Belanda di Pasanggerahan Lau Cumba Brastagi.

Satu minggu setelah pemimpin ini ditawan 8 pembesar Belanda datang ke Pasanggerahan tersebut dengan membawa satu peti penuh uang Gulden, satu peti penuh pakaian mewah.

Oleh pemimpin Belanda itu kepada Bung Karno disodorkan satu surat untuk ditandatangani, tetapi Bung Karno menolak, dengan mengatakan: “Saya bapak rakyat saya tanya dulu kepada rakyat, kalau rakyat setuju baru saya tanda tangan.” Fakta ini telah kami tulis dalam buku berjudul “Pemimpin Republik Ditawan Di Brastagi dan Parapat (2003).

Radio Belanda Hilversum di Belanda, radio Belanda di Jakarta dan radio Belanda di Medan yang pemancarnya berkekuatan 250 watt didatangkan dari Irian Barat, pernah mengumumkan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi, Yogyakarta telah diduduki. Para pemimpinnya telah ditawan. Semua daerah Indonesia telah dikuasai Belanda.

Radio Rimba Raya berkedudukan 60 km dari Bireuen menuju Takengon segera menjawab : Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada. Pemerintahannya masih ada (Pemerintahan Darurat RI berkedudukan di Sumatera).

Masih ada Tentara Republik Indonesia, masih ada wilayah Republik Indonesia yaitu Keresidanan Aceh yang masih utuh sepenuhnya. Setelah itu “duel” berita di udara selalu terjadi, berita-berita propaganda Belanda selalu dibantah dengan mengumumkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Konferensi Asia Tentang Indonesia

Radio Rimba Raya ini terus dimonitor oleh “All India Radio” dan “Australia Broadcasting”, Radio luar negeri ini selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas. Karena derasnya informasi ke luar negeri dan berkat perjuangan gigih para diplomat kita di luar negeri maka opini negara-negara Asia berpihak kepada kita. Tanggal 20 - 23 Januari 1949 di New Delhi dilangsungkan “Konferensi Asia Tentang Indonesia”.

Konferensi ini dibuka oleh PM Nehru, dalam pidato pembukaannya dikatakan : “Kemerdekaan satu negeri, saudara kita kini terancam, karena kolonialisme yang hampir mati hendak mengangkat kepala lagi dan mengganggu kehendak-kehendak baik dan tenaga-tenaga yang mau membangun dunia ini”. Demikian antara lain pidato PM. Nehru.

Konferensi yang bersejarah ini mendesak : Yogyakarta harus dikembalikan kepada RI. Tentara Belanda harus ditarik dari Indonesia, dan para pemimpin Indonesia yang ditawan harus dilepaskan. Adapun wakil-wakil diplomat Indonesia yang hadir dalam konferensi Asia untuk Indonesia adalah : Dr. Sumitro, Dr. Sudarsono, Haji Rasyidi, Mr. Utoyo, Mr. Maramis dan lain-lain.

Atas desakan konferensi ini sementara makin meningkatnya perang gerilya di Indonesia, maka Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang Lake Succes tanggal 28 Januari selama 5 hari.

Sidang ini memutuskan harus diadakan gencatan senjata. Pemimpin Republik yang ditawan harus dibebaskan. Mengembalikan Yogya kepada R.I. Pasukan Belanda harus ditarik dari Indonesia. Perundingan Indonesia-Belanda harus dipercepat.

Buah dari konferensi Asia untuk Indonesia dan Sidang Dewan Keamanan PBB, kemudian dilangsungkannya konferensi Meja Bundar 27 Desember 1947, dan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian yang sederhana ini jelaslah apa yang dikemukakan oleh Mohd. Said tokoh pers tiga zaman mengenai besarnya peranan pers sebagai sarana perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah.

Sementara siaran radio yang merupakan media elektronika itu melancarkan informasi ke dalam dan keluar negeri dan berhasil menggalang opini publik di dalam dan di luar negeri untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Kepada Bung Parni Hadi Direktur Utama RRI Pusat kami menyarankan dalam rangka Hari Bhakti RRI tahun-tahun yang akan datang, selain memberi “Peniti Swara Bhakti Kencana” kepada angkasa radio yang sangat berjasa, seperti yang diberikan kepada Bung Sani tahun 1994 adalah sangat berfaedah kalau RRI Pusat menerbitkan buku “Sejarah Perjuangan Radio” terutama perjuangan radio di awal kemerdekaan.

Hal ini penting bagi generasi penerus, dan juga sebagai pembuktian bahwa 50% sarana perjuangan kemerdekaan adalah peran pers. Dirgahayu Hari Bhakti RRI ke 64. ****** ( Muhammad TWH : Penulis adalah wartawan senior pemerhati sejarah )

Sabtu, 20 Februari 2010

Sejarah Kota Juang dan Radio Rimba Raya

SELASA, 8 April 1987 M,bertepatan dengan 9 Syakban 1407 H, Letjend (Purn) Bustanil Arifin, SH dan Mayjend (Purn) AR Ramly mencetuskan ide Bireuen Kota Juang. Kemunculan ide ini bukanlah tanpa sebab, melainkan dukungan sejarah petempuran pemberitaan yang layak diberi apresiasi.

Dalam suasana vakum, sekitar pukul 14.00 setempat, tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta) Dr Beel memprovokasi dunia bahwa Repulik Indonesia (RI) sudah collapse (tumbang). Sementara Itu, dua puluh pesawat terbang Belanda telah menguasai lapangan terbang Maguwo sejak pagi di hari yang sama. Dr Beel menginstruksikan pengeboman dan penghancuran semua lapangan terbang angkatan udara Republik Indonesia (AURI) serta semua pemancar radio Republik Indonesia (RRI) yang berada di setiap ibu kota propinsi, di seluruh Indonesia.

Akibatnya, hampir satu pekan lamanya angkasa RI sepi informasi, tanpa komunikasi. Tiada pemberitaan yang membela keberadaan Indonesia, negeri baru berusia kurang lebih tiga tahun. Pasukan RI kala itu tiarap tanpa serangan balasan, melakukan konsolidasi, dikarenakan serangan Belanda dilaksanakan mendadak tanpa pemberitahuan.

Padahal, konflik RI-Belanda sedang berada dalam status gencatan senjata. Serangan ala NAZI Jerman ini cukup menjadikan situasi berubah seketika dan menguntungkan pihak Belanda dalam upaya kembali ke negeri jajahan. Untuk mendampingi petempuran fisik dengan persenjataan, Belanda menggiring pertempuran dalam wujud lain yang tak kalah dahsyatnya. Serangan isu melalui “Radio Batavia” di Jakarta dan “Radio Hilversium” di Holland memperkuat posisi politik mereka dalam sepekan.

Namun tanpa diduga, Bireuen Kota Juang Kontribusi Rimba Raya bantahan dari “Radio Rimba Raya” mengejutkan banyak pihak dan cukup telak mematahkan semangat kaum kolonial itu. Penggiringan pertempuran ala psy war (perang urat syaraf) ternyata mampu ditandingi oleh “Rimba Raya”.

Isu kevakuman pemerintahan RI yang telah dikumandangkan semakin mendorong nafsu Dr Beel untuk mengumumkan ke masyarakat dunia bahwa Republik Indonesia sudah collapse, karena Yogyakarta, ibu kota RI telah diduduki Belanda di samping pemimpin negeri, Soekarno dan Hatta telah ditawan. Pemimpin Belanda itu menutup mata, seakan tak melihat bahwa Aceh sejak agresi militer I, 21 juli 1947 hingga agresi militer II pada 19 Desember 1948 tidak pernah tersentuh oleh kekuatan militer Belanda.

Tersirat ketidak-beranian Belanda menyerang Aceh harus diimbangi dengan perang propaganda. Membingungkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Sekitar pukul 06.00, subuh keesokan harinya, tanggal. 20 Desember 1948, suara perlawanan menggelegar dari daratan tinggi Gayo, Aceh tengah. Suara radio “Rimba Raya” menayangkan bantahan kepada Dr Beel yang sedang bermimpi. “Dengarkan Dr Beel, Saya di sini, Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat, Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Negara Republik Indonesia kini masih tegak dengan kokoh, merdeka dan berdaulat.

Tidak ada seorang Belandapun yang berani mendekat ke Tanah Rencong”, ungkap pemimpin Aceh itu. Perseteruan udara antara dua pemimpin bangsa mengubah situasi ketika itu.

Sekjen PBB sempat terprovokasi karena para diplomat Belanda di PBB cukup gesit mendesak Dewan Keamanan (DK) mengadakan sidang untuk memutuskan situasi politik bangsa penjajah itu di negeri bekas jajahannya. Sedianya Belanda bermaksud, mulai hari Ahad jam 12.30, pada 19 Desember 1948 nama Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta politik dunia. Reaksi keras juga muncul melawan pernyataan Dr Beel tersebut, terutama dari negara-negara Timur-Tengah, Asia, Amerika, Australia, Mesir, Maroko, serta dari Sekjen PBB sendiri, Trigve Lie. Namun minimnya peralatan, khususnya prangkat komunikasi, turut mempersulit informasi Indonesia di luar negeri.

Provokasi Belanda yang pada mulanya merebak seantero dunia, pupus seketika. Respon negara-negara pendukung eksistensi Indonesia diperkuat dengan siaran Rimba Raya”. Akhirnya tak terbantahkan, dari dalam negeri reaksi paling keras bermula di tanah rencong,lewat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk M Daud Beureueh, yang dipancarkan radio

perjuangan “Rimba Raya” di Takengon, Aceh Tengah. Setelah menuai protes, bahkan counter dari Gubernur Militer Aceh tentang isu keliru Dr Beel, maka delegasi Indonesia di PBB, L.N Palar bersama Menteri H Agus Salim, leluasa mengadakan aksi-aksi jitu yang mampu membela dan menyelamatkan kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta dari berbagai rivalitas.

Percaturan politik dalam dan luar negeri meruncing, lika-liku diplomasi seru melibatkan RI-Belanda semakin dibicarakan di dunia internasional. Sementara, rivalitas antara Soekarno–Hatta kontra Syahrir-M Natsir juga menyerap banyak enerji. Di samping banyak alasan lain, situasi politik yang kusut ini mengantarkan delegasi RI– Belanda menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB), akhir tahun 1949 di Den Haag, Belanda.

Radio Rimba Raya yang telah menciptakan perjalanan sejarah Indonesia itu mula-mula ditempatkan di Krueng Simpo, 20 km dari Bireuen. Setelah beberapa saat beroperasi, radio ini dipindahkan ke Cot Gue, Banda Aceh dengan signal calling resmi “Radio

Repoeblik Indonesia Koetaradja”. Pemindahan ini atas dasar perintah langsung Gubernur Militer Aceh, Tgk M Daud Beureueh. Pemancar radio perjuangan ini berperan aktif dalam menyiarkan berita serta pesanpesan revolusi ke seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri.

Dalam perjalanannya, ternyata di pegunungan Cot Gue pun pemancar ini tidak aman. Akhirnya diperintahkan lagi untuk diamankan ke pegunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dan berhutan lebat. Muasal perangkat radio itu sendiri merupakan hasil barter yang dikoordinir Mayor Osman Adami melalui kegiatan dagang Atjeh Trading Company (ATC), dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni.

Daya jangkau siaran perangkat canggih masa itu hanya sampai Singapura dan Malaysia. Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya, Mayor (Laut) John Lie berhasil menembus blokade Belanda seraya membawa pemancar radio barteran. Pemasangan instalasi pemancar dilakukan pada tahun 1945 oleh seorang Indo-Jerman, Schultz namanya.

Teknisi ini dibantu rekan Syayudin Arif, Hie Wun Fie yang mahir berbahasa Cina. Di samping mereka ada lagi Chandra dan Abubakar yang fasih berbahasa Urdhu. Tidak dengan mereka saja, tim diperkuat lagi oleh Abdullah, sosok yang menguasai bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak berlebihan,

Radio Rimba Raya merupakan asset sejarah yang luar biasa jasanya. Sebagai benteng pertahanan dalam pertempuran psy war, sudah selayaknya dilakukan napak tilas untuk menelusuri lokasi awal tempat instalasi radio itu dipasang di Krueng Simpo, Bireuen.