Senin, 21 Maret 2011

Merawat Rimba Raya Lewat Film

Published on March 17, 2011

Written by Jauhari Samalanga | Hamzah Hasballah

Film dokumenter ‘Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya’ karya Ikmal Gopi diputar untuk pertamakalinya di Gedung Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3). Pemutaran film disertai diskusi ‘menguak manipulasi sejarah Aceh’. “Orang Aceh yang tidak mengetahui sejarahnya dipastikan rugi menjadi orang Aceh, karena dia akan diadili oleh sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah Aceh bisamemberi inteligensi lain dari apa yang pernah kita dapat sekarang ini. “Jadi siapapun orang di Indonesia ini harus mempelajari sejarah Aceh,”

Selain Ikmal Gopi, tampil sebagai Pembicara Diskusi public “Menguak Manipulasi Sejarah Aceh” antara lain M.Adli Abdullah (Pakar Sejarah Aceh), Prof. Hasbi Amiruddin (Guru Besar IAIN), Ihsannuddin MZ (Tokoh Pemuda dan Ketua KNPI Aceh), & Ikmal Gopi (Sutradara & Pelaku Riset Radio Rimba Raya).

Ikmal mengaku, pengalaman membuat film yang menampilkan 29 narasumber dari sejarah Radio Rimba Radio Rimba Raya,membuatnya belajar banyak soal sejarah. Dari sejarah Aceh, kata dia, dapat dianalisa situasi Indonesia sebenarnya. “Indonesia juga wajib membaca sejarah Aceh selain sejarah daerah lainnya,” kata Ikmal.

Ikmal Gopi sendiri merasa tertipu dengan Radio yang pernah dicari-cari penjajah Belanda. Dan faktanya, radio ‘gerilya’ menguak banyak sejarah Indonesia yang tercecer, termasuk taktik mengelabui Belanda di mata dunia.

Dia mengakui, baru mengetahui secara luas mengenai sejarah radio ini, ketika menggarap dokumenter sejak 2006 lalu, dan rampung 2010. “Saya yakin orang lain tidak tahu, saya cari di buku-buku, tidak ada yang menulis tentang itu, paling hanya sedikit, dari ratusan lembar yang tersedia,” ujarnya. Film ini sendiri masuk dalam lima besar Festival Film Indonesia, nominasi dokumenter.

“Jadi, kami sangat mengaharap, pemerintah memasukkan ini ke dalam kurikulum pendidikan, ini penting di ketahui, bahwa radio ini menjadi satu-satunya media bangsa kita saat perang kemerdekaan, sehingga dunia luar tahu, indonesia masih ada saat itu,” kata alumni Institut Kesenian Jakarta ini.

Ikmal sendiri menyebutkan, selama ini orang beranggapan Laksamana John Lee satu-satunya orang yang telah berkonstribusi pada Radio Aceh, dan ketika di analisis Radio tersebut dibeli oleh Nip Karim, Komandan Pangkalan Brandan masa itu. “Tapi secara umum harus diakui John Li banyak member konstribusi pada perjuangan Indonesia,” sebut lajang Aceh lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.

Guru Besar IAIN Ar-Raniry Prof. Hasbi Amiruddin dan Sejarawan Adli Abdullah mengapresiasi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. “Dan kita pantas mengapresiasi orang muda yang peduli sejarah,” kata Prof. Hasbi Amiruddin.

Sementara Ihsanuddin, tokoh Pemuda dan Ketua KNPI mengaku baru mengetahui sejarah Radio Rimba Raya ini lantaran selama bersekolah dirinya tidak pernah diajarkan sejarah itu. “KNPI akan memperjuangkan Film sejarah Radio Rimba Raya untuk dapat ditonton oleh seluruh rakyat Aceh. Semangat kreatifitas generasi muda perlu diapresiasi,” katanya.

Radio Rimba Raya, pernah beberapa kali dipindahkan dari tempatnya. Pada awalnya, diletakkan di Cot Gue Kutaradja (Sekarang Montasik Aceh Besar), sampai dibawa ke pedalaman Gayo, di Desa Rime Raya, Takengon (sekarang Bener Meriah), supaya terhindar dari intaian mata-mata Belanda.

Sejarawan Aceh, Hasbi Amiruddin mengatakan, sejarah Radio Rimba Raya sangat penting disosialisasikan. “Sama pentingnya. Rimba Raya menjadi media propoganda ke dunia luar, menyoal pendudukan Belanda yang mengatakan,Indonesia tidak lagi memiliki wilayah, padahal Aceh masih ada,” ujarnya.

Kepada The Atjeh Post, Anca, 25 tahun, yang selama ini menjaga monumen Radio Rimba Raya curhat soal kurangnya perhatian pemerintah. Akibatnya, monumen itu seperti terabaikan.

“Fasilitas dan anggaran yang tersedia sangat-sangat kurang, gaji kami saja Rp 450.000 sebulannya, untuk menjaga lahan selus dua hektar,” ujar Anca.

Selama ini, kata dia, tak banyak warga yang mengunjungi monumen itu. Padahal, hanya berjarak 500 meter dari jalan nasional Bireuen-Takengon. “Mungkin karena tidak dipasang penunjuk arah ke monumen itu,” ujar Anca yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRI) Benar Meriah.

Sumber : atjehpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar