Selasa, 15 Juni 2010

Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih Ada. Dan di Sini Aceh’

“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.

Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.

Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.

Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.

Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.

Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.

Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.

Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.

Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.

Dibantu Desertir Sekutu

Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.

Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.

Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.

Jasa Mayor John Lie

Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).

Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.

Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.

Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.

Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.

Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.

John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.

Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.

Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.

Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.

Hanya Sebatas Monumen

Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.

Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.

[HA/Iskandar Norman]

Senin, 07 Juni 2010

Radio Rimba Raya, membantah provokasi

Radio Rimba Raya

permisi agan-agan semua, ane cuma mau ngasih inpoh ni..maap klo
langsung aja gan...
Radio Rimba Raya (Desember 1948 - ... 1949) adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara Republik Indonesia Divisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Itulah berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.

Para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.
Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?
Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.
Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.
“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.

Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.
Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.
Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.
Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.

Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.
Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.
Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.
Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.
Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio.”
Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.
Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.
Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.
Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.
Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”
Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.

Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.
Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.

Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi.

Minggu, 06 Juni 2010

Jejak Perlawanan Aceh

Aceh dijuluki Serambi Mekkah, merupakan sebuah wilayah kaya raya. Membaca riwayat sejarah Aceh tidak akan lepas dari potret perjalanan panjang sebuah suku bangsa yang penuh dengan air mata dan bersimbah darah. Militansi yang didasari semangat jihad fi sabililillah dalam menentang penjajahan dan ketidakadilan membuat perlawanan rakyat Aceh tidak pernah bisa dilumpuhkan. dalam waktu singkat.

Kerajaan Aceh Darussalam dibangun Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 M yang merupakan penyatuan beberapa kerajaan kecil di aceh dan pesisir timur Sumatra seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara).

Sejak awal berdiri dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah hingga di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, konflik dan perjuangan bersenjata melawan kolonialisme bangsa Eropa baik portugis maupun Belanda terus berkobar. Terlebih sejak abad ke 19, dibukanya terusan Suez makin membuat posisi kerajaan aceh dan selat Malaka menjadi lalulintas perdagangan sangat strategis dimata bangsa eropa sehingga hasrat menguasai daerah itu begitu besar.

Perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Dari perlawanan yang dipelopori oleh Kasultanan sampai dilanjutkan dengan kaum ulama dan ullebalang yang menjadi motor pergerakan. Tersebut tokoh seperti Teuku Umar, Tgk. Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia menjadi martir kemerdekaan.

Memasuki paruh abad ke-20, ketika Jepang menduduki Aceh, perlawanan juga tidak pernah surut. Diberbagai tempat perlawanan terus berlanjut melihat tindakan kesewenanwenangan jepang sampai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia . Salah satunya yang diperingati dengan adanya tugu Cot Plieng di pidie.

Periode awal revolusi fisik sampai masa akhir pemerintah Presiden Sukarno, hubungan aceh dan pemerintah pusat mengalami pasang surut. Tapi yang tak bisa dipungkiri, peran Aceh bagi pemerintah republic tidak kecil. Dengan bantuan financial dari masyrakat aceh, Indonesia bisa membeli pesawat Seulawah yang menjadi komoditi perjuangan dan penghasil pendapatan utk perjuangan.

Kekecewaan dan diingkarinya janji oleh pemerintah pusat membuat masyarakat aceh meradang dan Tgk Daud Beureuh mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah pusat dan menyokong Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia . Konflik bisa diakhiri dengan digelarnya musyawarah kerukunan masyarakat aceh dimana Daud Beureuh mau turun gunung dan kembali ke pangkuan RI. Dimana pemerintah pusat memberikan konsesi untuk mastarakat aceh sebagai Daerah Istimewa Aceh.

Pada periode orde baru, penekanan pembangunan lebih banyak terpusat di jawa dan luar jawa tidak memperoleh porsi yang besar, memunculkan persoalan baru lagi di aceh. Ketika Hasan Tiro memproklamasikan bentuk perlawanan terhadap pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang didirikan di gunung halimun 1976.

Pemerintahan pusat yang bersifat militeristik saat itu menjawab ketidakpuasan masyrakat aceh itu dengan mengelar operasi penumpasan GAM dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM) yang sangat menyakitkan hati masyarakt aceh pada umumnya dan merendahkan derajat suku bangas aceh. Tak terhitung berapa jumlah korban tewas pada masa-masa itu.

Berbagai upaya perdamaian terhadap kedua kubu yang bertikai terus digalakan dengan beragam mediator netral. Namun semuanya belum mencapai kata sepakat. Akhirnya, tahun 2004 bencana tsunami menerjang aceh dan meluluhlantakan kota . Peristiwa ini menjadi pendorong bagi kelompok yang bertikai antara GAM dan pemerintah pusat untuk saling intropeksi diri dan menggalakan perundingan demi tercapainya kedamaian yang abadi di bumi rencong.