Senin, 04 Maret 2013

Kata mahasiswa Aceh di Bogor tentang Radio Rimba Raya

Dia berharap Pemerintah Indonesia tidak melupakan sejarah masyarakat Aceh dan Radio Rimba Raya.

ETTY RISMANITA
Sabtu, 02 Maret 2013 15:40 WIB

RADIO Rimba Raya adalah radio Republik Indonesia pada masa darurat ketika ibu kota negara Jakarta dan Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militer. Tugu radio ini saat ini terletak di  Rime Raya Kecamatan Pintu Rime GayoKabupaten Bener Meriah.
Seorang mahasiswa Aceh di Institut Pertanian Bogor (IPB), Yulizar Kasma, mengatakan Pemerintah Indonesia saat ini tidak bisa begitu saja melupakan sejarah Radio Rimba Raya.
“Rimba Raya berperan sangat besar bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia. Dengan suara yang sayup dan lantang dari dataran tinggi Gayo berita bahwa Indonesia masih ada terdengar ke dunia luar,” kata Yulizar Kasma, Sabtu 2 Maret 2013.
Yulizar yang juga Ketua Komunitas Peduli Pemuda Aceh (KPPA) ini mengatakan sangat riskan jika sampai saat ini Pemerintah Indonesia di Jakarta masih melihat Aceh dengan sebelah mata.
“Semoga Pemerintah Pusat bisa melihat dengan bijak peranan masyarakat Aceh dan Radio Rimba Raya dalam menjaga kedaulatan Indonesia,”  katanya. []

April 2013, PWI Aceh gelar acara untuk Radio Rimba Raya

Acara itu, kata dia, digelar karena mengingat sejarah radio Rimba Raya terkait erat dengan media di Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

JAUHARI SAMALANGA
Sabtu, 02 Maret 2013 15:19 WIB

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) Aceh siap memfasilitasi pemutaran film dan diskusi tentang sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, April 2013 di kantor PWI Aceh.
Hal itu dikatakan Ketua PWI Aceh Tarmilin kepada ATJEHPOSTcom, di Kuta Alam, Banda Aceh, Sabtu 2 Maret 2013.
Acara itu, kata dia, digelar karena mengingat sejarah radio Rimba Raya terkait erat dengan media di Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Menurut Tarmilin, jasa Radio Rimba Raya memang patut didorong untuk masuk pada kurikulum pendidikan sejarah di sekolah-sekolah Aceh, karena peranannya begitu besar dalam memerdekaan Indonesia.
"Kami siap, termasuk siap mendatangkan tokoh-tokoh yang memahami radio tersebut, supaya sejarah Radio Rimba Raya mendapat perhatian khusus pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia," ujarnya.[]

Hilversum vs Radio Rimba Raya

Sebab zaman baru-baru merdeka itu, apa lagi dalam keadaan darurat, televisi sama sekali tidak membumi.

REZA MUSTAFA
Sabtu 02 Maret 2013 08:00 WIB

Dalam sejarah perjuangan Indonesia, sudah jelas Serangan Umum 1 Maret 1949 akan tidak ada jika Belanda tak melancarkan agresi keduanya. Setelah agresi militer jilid II Belanda berhasil menguasai Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Republik Indonesia yang baru seumur jagung itu linglung.
Presiden dan Wakil Presiden dengan segenap pembesar revolusi lainnya ditawan. Saat itu Indonesia memang benar-benar dalam keadaan rawan.
Untung saja, walaupun kondisi negara sedang di ujung tanduk, sebelum tentara Belanda belum sempat masuk; Panglima Besar Soedirman yang dalam keadaan sakit melapor ke Presiden. Setelah itu ia mengumumkan perintah singkat ke seluruh Indonesia.
Itu pesan di siar melalui radio saja. Sebab zaman baru-baru merdeka itu, apa lagi dalam keadaan darurat, televisi sama sekali tidak membumi.
Empat butir perintah singkat, yaitu: 1. Kita telah diserang, 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo, 3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata, 4. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk mengahadapi serangan musuh.
Pesan ini akhirnya sampai juga ke telinga pejuang-pejuang di Aceh. Mereka menyebarkannya ke segala penjuru. Agar angkatan perang, rakyat yang rela berjuang mesti siap-siap. Mesti cepat tanggap.
Sementara sebelum ditawan, Soekarno, Mohd. Hatta, Syahrir dan beberapa pembesar lainnya telah mengirimkan dua kawat. Satu ke Sumatera, tempat Dr. Sjafruddin Prawiranegara melakukan kunjungan kerja, satunya lagi ke India. Di India, Dr. Soedarsono, Dubes RI untuk India, L.N Palar, staf kedutaan, dan A. A. Maramis, Menteri Keuangan sedang dalam usaha lobi politik.
Inti kedua kawat tersebut untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Agar di mata dunia, walaupun ibukota Yogyakarta telah diduduki agressor, Republik Indonesia tetap saja masih ada.
Tapi zaman perang dipenuhi propaganda. Pada zaman penuh desing peluru itu, Belanda sangat gencar berpropaganda. Gencar membolak-balikkan haba.
Melalui siaran radionya, Radio Nederland Wereldomroep (RNW) atau dikenal orang ramai dengan sebutan Hilversum, berkabar bahwa Indonesia telah tamat. Berita itu sekejap tersiar setelah angkatan perangnya berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan para pembesar negara. Dunia pun hampir saja percaya.
Di Aceh, para pejuang bertindak cepat. Serangan melalui media harus dibalas dengan media. Itu makanya perangkat radio beserta alat pemancarnya, tanggal 20 Desember 1948 diangkut diam-diam. Dari Banda Aceh ke Rime Raya. Kawasan hutan belantara di dataran Gayo sana.
Hingga dalam keadaan yang serba genting, Radio Rimba Raya pun buka suara. Ada banyak catatan berbeda tentang tanggal berapa mulai pertama siarannya. Yang jelas, corongnya sampai juga ke negara-negara tetangga. Bahkan dengan bantuan relay radio-radio negara luar, suara Indonesia sampai juga ke negara-negara Eropa.
“Republik Indonesia masih ada. Karena pemimpin Republik Indonesia masih ada. Tentara Republik masih ada. Pemerintah republik masih ada. Wilayah republik masih ada. Dan di sini adalah Aceh.”*
Sampai di sini, dunia tergugah. Di India, Konferensi Asia untuk membicarakan status Republik Indonesia digelar dan diikuti 19 negara. Hasilnya? Satu dari sekian butir-butir konferensi berbunyi: Belanda harus angkat kaki dari tanah Republik Indonesia.
Zaman itu Hilversum kalah. Propagandanya tidak mempan membenamkan Indonesia. Radio Rimba Raya yang letaknya jauh di pedalaman Aceh terus mengudara. Sampai dunia tergugah mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Sekarang, Radio Rimba Raya hanya ditemukan dalam buku sejarah. Tugunya tegak berdiri. Tapi siarannya nihil. Sementara Hilversum yang sempat dikalahkan isunya itu masih saja mengudara dalam media dengar dunia. Jika tak dihidupkan lagi, mungkin tidak aneh kalau sejarah Radio Rimba Raya hanya akan dianggap mitos belaka. Tragis betul!
*Ilustrasi dalam film dokumenter Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya, karya Ikmal Gopi.
Sumber : berdasarkan bacaan-bacaan buku sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Reza Mustafa, anggota Komunitas Kanot Bu, Banda Aceh.

Radio Zendstation te Sabang, awal mula Radio Rimba Raya?

Cornelius Johannes de Groot, seorang insinyur muda berbakat lulusan Sekolah Politeknik di Delft, Belanda, memimpin pembangunan stasiun pemancar.

ALBINA ARAHMAN
Jum'at 01 Maret 2013 22:20 WIB

MENYUSURI Jalan Chik Ditiro yang diteduhi pohon-pohon asam Belanda yang rindang, melewati masjid Agung Babussalam yang megah, kompleks perumahan Telkom yang terawat rapi, Rumah Sakit Angkatan Laut J. Lilipory yang kokoh dan penuh kenangan. Tak dinyana jalan bernama Radiodwarsweg pada abad yang lalu, jalan yang menurun dan mendaki  hingga ke Ie Meule tepatnya tepian pantai Balee Pasie yang berpasir putih gading nan indah ini, lengkap dengan sebuah stasiun pemancar radio  nirkabel yang begitu menggema kemegahannya.
Satu abad telah berlalu, penduduk, perumahan, dan sarana kehidupan pun bertambah padat. Hampir tak bersisa sebuah tanda kemegahan dan kecanggihan komunikasi  zaman itu. Kecuali sebuah tembok beton tua berukuran 2,5 x 2,5 meter setinggi  lima meter di depan stadion Sabang Merauke.
Beton yang hanya menjadi lahan parkir ketika pertandingan sepak bola berlangsung atau tempat tempel menempel poster ketika pilkada dan pemilu yang lalu, Padahal  ia adalah saksi sejarah yang menjadi tumpuan pengikat  dari tegaknya sebuah menara  baja setinggi tujuh puluh lima meter, sebuah ukuran menara raksasa pada masanya.
Dari menara inilah panggilan diterima dan berita dipancarkan, melintasi jarak dua belas ribu kilometer antara negeri kincir angin Belanda dan wilayah koloninya di timur Asia. Melalui kode morse telegraf atau pun kamar bicara seharga lima belas gulden per tiga menitnya,  yang dilengkapi dengan corong bicara dan pendengar suara yang diletakkan di telinga. “Hello Den Hag! Hier Sabang! (hallo Denhag! Ini Sabang!)”.
Mungkin aneh kedengarannya bagi kita yang hidup pada era telekomunikasi  yang sudah sangat canggih dengan peluang bicara dan bertatap muka yang sangat mudah dan murah dengan siapapun dan  di belahan dunia manapun. Tetapi ada banyak orang yang telah mendedikasikan waktu dan ilmunya dalam rentang masa yang sangat panjang  untuk kenyamanan yang kita nikmati hari ini.
Komunikasi radio telegrafi  lintas negara dan lautan tanpa kabel dimulai sejak William H. Preece dan Graham Bell mengembangkan sistem tak terbatas telegrafi dan mentransmisikan sistem induksi pada tahun 1892. Sejak itu, tiga perusahaan besar, yaitu Branly Pop dari Paris, Telefunken dari Berlin, dan Marconi dari London, mengembangkannya sebagai sarana politik dan komersil ke manca negara.
Awalnya, Belanda adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada Inggris dalam hal pertelekomunikasian. Tetapi sebagai bangsa dan negara perdagangan dengan wilayah koloni luar negeri yang besar, mempunyai minat yang kuat untuk memiliki hubungan internasional yang cepat dan baik. Terutama setelah pesan-pesan melalui kabel-kabel telegrafi milik Inggris mengalami penyensoran.
RadioTelegrafi tampaknya menjadi alternatif jalan keluar terhadap ketergantungan untuk jaringan fisik yang penting ini. Bagaimanapun, tujuan akhirnya adalah jaringan radio telegrafi  langsung antara Belanda dan koloni-koloninya di luar negeri. Dan stasiun pemancar radio telegrafi pun didirikan hampir serempak di tiga tempat di Hindia Belanda bagian barat, yaitu Aruba, Bonaire, dan Curacao; dan di tujuh tempat di Hindia Belanda bagian timur, yaitu Batavia, Cirebon, Makasar, Pare-pare, Radjave, Situbondo,  dan salah satunya di Sabang. Sedangkan stasiun pemancar utama dari pelayanan telegrafi  nirkabel ini didirikan di Amsterdam pada tahun 1908.
Tepat seratus tahun yang lalu, yaitu  1910, bukan tanpa alasan Belanda menjadikan Sabang sebagai tempat dibangunnya stasiun pemancar ini. Walaupun hanya sebuah pulau kecil di ujung Sumatra, Sabang merupakan daerah netral di kawasan Timur Kolonial Hindia Belanda yang memiliki fasilitas pelabuhan yang lengkap dengan  stasiun pengisi bahan bakar batu bara, air bersih dan galangan kapal bagi kapal-kapal dagang maupun kapal-kapal pemerintah, juga stasiun radar, dan lapangan udara.
Dengan bahan terbaik, peralatan lengkap, dan teknisi yang trampil, stasiun pemancar ini  selesai  pada tahun 1911 dengan call letters (kode panggilan) SAB dan panjang gelombang, yaitu 300 meter dan 600 meter.
Stasiun ini didirikan persis di kompleks SMP Negri 2 Ie Meulee  sekarang. Pilihan lokasi jatuh pada kawasan pantai Ie Meulee karena topografinya yang datar, di depan laut, dan menghadap ke utara, tepatnya ke arah negeri Belanda di Benua Biru Eropa. Sehingga tak ada halangan untuk menangkap dan memancarkan gelombang radio. Stasiun radio ini  dilengkapi dengan pembangkit listrik sendiri dan kompleks perumahan bagi pegawainya yang terletak di depan RSAL J. Lilipory dan sekarang menjadi perumahan Telkom.
Adalah  Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), seorang insinyur muda berbakat  lulusan Sekolah  Politeknik di Delft, Belanda, yang memimpin pembangunan stasiun-stasiun pemancar ini.  Selama 18 bulan setelah kelulusannya, ia bekerja di General Electric Company di Berlin. Pada tahun 1908 ia pindah ke Hindia Belanda,  bekerja pada layanan telegraf dan akhirnya menjadi Kepala Teknis Telegraph dan Telepon Hindia Belanda.
De Groot mengadakan investigasi gelombang radio di daerah tropis dan studi telegrafi nirkabel di Eropa dan Amerika. Ia juga mengunjungi  perusahaan Telefunken di Berlin dan melakukan uji coba sinyal di Nauen, Jerman, yang saat itu menjadi stasiun pemancar terkuat di dunia. Dan pada 15 Desember 1915, sinyal dari Nauen dapat ditangkap di Sabang. Semua investigasi dan uji cobanya dirangkum dalam sebuah tesis yang berjudul radio telegrafi di daerah tropis dan memberinya gelar Doktor pada tahun 1916.
De Groot memang seorang pelopor radio pemancar yang selalu mempunyai pemikiran yang berbeda. Serangkaian uji sinyal lainnya menghasilkan penerapan gelombang pendek untuk radio telefon yang membawa banyak keuntungan bagi kepentingan politik, militer, dan tentu saja ekonomi. Stasiun Malabar dengan antena horisontalnya adalah bukti dari kecerdasannya untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya dan biaya,  dan keberaniannya untuk menerapkan ide yang berbeda dari teori yang berlaku umum.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, dengan diungsikannya hampir semua warga Eropa dari Sabang, maka stasiun pemancar ini tidak lagi digunakan karena mereka membawa unit radio pemancar sendiri untuk berhubungan dengan armada pasukannya. Tetapi tentara Jepang tetap mengawasi  kompleks Radio Zenstation dengan ketat siang dan malam agar tak bisa digunakan oleh beberapa warga Eropa yang tersisa. Salah satunya adalah dokter Colen, kepala rumah sakit jiwa yang berusaha mengadakan kontak dengan pihak tentara sekutu dan akhirnya menerima nasibnya di ujung pedang algojo Jepang di Batee Shok.
Pada tanggal 19 April 1944, Komandan Armada Timur Pasukan Sekutu melaksanakan serangan pengalihan perhatian untuk merebut kembali Hollandia (sekarang  Jayapura) dan wilayah timur dari tangan Jepang. Sabang dipilih sebagai sasaran serangan karena mempunyai fasilitas pelabuhan yang lengkap  dan merupakan basis pertahanan Jepang di wilayah barat.
Dalam penyerangan yang disebut operasi cockpit ini, ditugaskan 22 kapal perang, termasuk dua kapal induk dari Angkatan Laut Britania Raya, Angkatan Laut Australia, Angkatan Laut Perancis, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Angkatan Laut Selandia Baru, dan Angkatan Laut Amerika Serikat. 46 buah pesawat pengebom dan 37 pesawat penyerang melengkapi kapal induk Illustrious dan Saratoga. Serangan tak terduga pada pukul 5.30 pagi itu tentu saja sangat mengejut tentara Jepang dan menimbulkan kepanikan.
Tetapi serangan pasukan sekutu yang sesungguhnya untuk merebut kembali wilayah barat dari pendudukan Jepang terjadi pada dinihari  tanggal 25 Juli di tahun yang sama. Sudah dapat dipastikan tentara Jepang tak dapat berkutik dalam menghadapi serangan kedua dengan kekuatan yang lebih besar ini.
Dua penyerangan pasukan sekutu ini menghancurkan beberapa instalasi fasilitas di Sabang. Diantaranya adalah stasiun pemancar radio di Ie Meulee. Dan sampai Belanda menyerahkan Sabang pada pemerintah RI tahun 1950, stasiun pemancar radio itu tak pernah dibangun lagi. Untuk sementara waktu itu tahun 1948, Belanda menggunakan gedung Societeit (sekarang gedung PDAM) untuk basis komunikasi radionya.
Tak dinyana lagi berbagai kisah dan lautan emosi mengalir melantun dalam sinyal-sinyal telepon antara Sabang dan negeri-negeri lainnya diberbagai belahan dunia, cerita dan tangisan warga eropa ketika meletusnya perang dunia ke dua, ketika sabang hancur dan luluh lantak peradaban di atasnya.
Seorang ibu tua berdiri dalam udara yang dingin di depan kantor pos & telegraf.
“Sabang sudah terhubung, nyonya,” kata petugas dengan ramah pada si ibu yang tiba-tiba muncul binar di matanya. Dengan gemetar di kaki yang kaku ia meraih mikropon. Dan kemudian ia mendengar, oh Tuhan......., suara lembut anaknya :
“Halo! Sabang! Halo! Sabang!”
“Ya, ibu... disinilah aku.”
“Halo anak baik...bagaimana kabarmu, sayang ?” katanya dengan terisak.
“Aku baik-baik saja, ibu. Bagaimana dengan ibu ? Halo!”
Lalu ia hanya mengatakan : “Banyak sekali yang ingin aku ceritakan pada ibu,”
“Anakku sayang, ibu sudah menabung berbulan-bulan. Ini adalah gulden yang terakhir,”
“Ibu, masih empat tahun lagi sebelum aku pulang ke Holland,”
“Halo sayang. Ibu rindu sekali padamu,” katanya masih dengn terisak.
“Ibu, aku akan membawa pulang cucumu,”
Bebepara saat kemudian ia mendengar suara menggemaskan : “Nenek....nenek.”
“Halo!”
“Ya, ibu. Di sini aku,”
Ia tidak menjawab. Ia hanya mendengar isakan. Tet..te..tet... suara telepon Sabang itu pun terputus... terputus selamanya...ketika Sabang diserang dari berbagai sisi... hilang..  (sabang, penghujung Maret 1942...)
Kaitannya dengan Radio Rimba Raya
Ada yang menarik saat membuka catatan-catatan sejarah di lembaga Sabang Heritage Society, sebuah lembaga komunitas pemerhati warisan sejarah kota Sabang. Ditambah lagi saat ini sedang hebohnya sejarah Radio Rimba Raya di Aceh Tengah (Rime Raya). Bahkan juga hebatnya kisah dan peran Radio Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan ini malah kini  diusulkan untuk dijadikan cerita wajib dalam pelajaran sejarah di sekolah di Aceh.
Beranjak dari berbagai cerita tentang Radio Rimba Raya  saya terusik ketika menemukan beberapa fakta dan kaitan sejarah antara Rimba Raya dan radio di Sabang milik pemerintah  Belanda di Sabang. Tidak banyak yang tahu bahwa di Sabang saat itu tahun 1908 sudah berdiri radio modern yang mampu memancarkan frekuensi hingga ke Eropa sebagaimana yang telah diceritakan dalam tulisan di atas.
Salah satu kaitan antara Radio Rimba Raya dan Radio Sabang adalah Kontroversi tentang asal mula perangkat Radio Rimba Raya yang hingga kini masih tanda tanya. Dalam catatan historis perangkat Radio Rimba Raya yang kini tersimpan di Jogja hanya disebutkan bahwa perangkat radio tersebut hasil seludupan dari Malaya.
Bahkan dalam catatan di Museum Tentara Nasional Indonesia di Jogja tempat perangkat radio tersebut kini bersemayam hanya dituliskan bahwa perangkat radio ini berasal dari Sumatera/Aceh. Saya patut berasumsi bahwa perangkat Radio Rimba Raya ini sebenarnya adalah perangkat Radio Sabang yang berhasil diseludupkan oleh pejuang Aceh yang berada di Sabang ke Kutaraja. Tepatnya ketika  Jepang menguasai kota Sabang stasiun radio ini kemudian dikuasai Jepang.
Ketika Jepang menguasai Sabang mulai Maret tahun 1942 hingga Juli 1944. Semua perangkat radio ini masih berfungsi dengan baik, hingga kemudian meletuslah serangan besar-besaran sekutu yang berbasis di Kepulauan Sailon Srilangka menyerang Pulau Weh Sabang. Salah satu sasaran serangan sekutu ini adalah stasiun radio Sabang ini yang hari ini hanya tinggal puing-puing saja.
Besar dugaan bahwa perangkat radio Sabang ini berhasil diambil oleh pejuang-pejuang Aceh dan menjadi cikal bakal Radio Rimba Raya. Ditambah lagi dari cerita para orang tua di Sabang bahwa meskipun Jepang menguasai Sabang saat itu namun mereka tidak mampu mengoperasionalkan perangkat radio ini secara maksimal sehingga Jepang tidak terlalu ambil pusing dengan perangkat radio ini.
Kecuali mereka mengkhawatirkan dan memasang kecurigaan terhadap warga Belanda yang masih tinggal di Sabang yang akan menggunakan fasilitas radio ini untuk komunikasi seperti halnya Dokter Colon seorang dokter rumah sakit jiwa sabang yang kemudian dipancung oleh tentara Jepang di Desa Batee shok Sabang yang dituduhkan  oleh Jepang adalah bahwa dia berkomunikasi keluar Sabang bahkan ke negeri Belanda dengan fasilitas radio ini.
Ketika Jepang kalah di Sabang melalui serangan sekutu bulan Juli tahun 1944 praktis perangkat-perangkat elektronik milik Belanda seperti radio Sabang ini terbengkalai dan tidak ada yang mengunakan hingga kemudian tentara KNIL masuk kembali ke Sabang akhir tahun 45. Karena dari sumber lisan yang didapat menceritakan bahwa  sejak Jepang kalah dan Belanda masuk kembali ke Sabang akhir tahun 1945, tidak terdengar lagi info tentang perangkat radio Sabang milik Belanda ini.
Maka dugaan bahwa perangkat ini diambil oleh para pejuang Aceh dan menjadi cikal bakal radio Rimba Raya menjadi hipotesa kami selaku pemerhati warisan sejarah kota Sabang.
Mudah-mudahan sekelumit catatan dan analisa sejarah dari Sabang ini mampu menambah khazanah sejarah Radio Rimba Raya yang benar-benar berperan penting dalam fase perjuangan kemerdekaan Indonesia.[]

*Albina Arahman adalah Direktur Eksekutif Sabang Heritage Society
Albina_sabang@yahoo.co.id

Pendopo Bireuen; cerita kamar Soekarno dan studio Radio Rimba Raya

Di dalam bangunan itu, ada kamar yang pernah jadi tempat Soekarno tinggal. Sekarang, dinamakan Kamar Soekarno.

MS SULTAN
Jum'at 01 Maret 2013 21:20 WIB

PENDOPO Bireuen terletak di Jalan Mayjen (Purn) T Hamzah Bendahara. Kawasan alun-alun kota masih berdiri tegak. Bangunan lama itu belum berubah. Meski di belakangnya dibangun gedung lantai dua. Bangunan bersejarah itu masih dipertahankan bentuknya.
Beberapa waktu lalu, dinding bangunan itu didempul rekanan pemeliharaan bangunan pendopo, sehingga rata. Padahal dinding kayu bangunan itu ada ulirnya. Melihat itu Bupati Bireuen Ruslan M Daud minta ulir-ulir di dinding bangunan pendopo itu dikembalikan seperti semula.
Bangunan pendopo itu pula, suatu waktu, Soekarno berkunjung dan bermalam di sana. Sampai kini kamar tempat Soekarno menginap dinamakan dengan Kamar Soekarno. Dan di bangunan ini pula, letak studio Radio Rimba Raya yang menyuarakan kalau Indonesia masih ada.
Ali Rasyid Djuli atau HAR Djuli, seorang tokoh masyarakat Bireuen yang mengetahui sedikit banyak seluk-beluk radio rimba raya, Jumat 1 Maret 2013, mengatakan studio radio “suara merdeka” itu dipasang di salah satu ruangan Pendopo Bireuen sekarang, setelah dibawa dari Sungai Yu, Aceh Timur.
Pendopo Bireuen adalah tempat tinggal Kolonel Hussein Yoesoef, Panglima Divisi X Komademen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo yang berkedudukan di Bireuen. Katanya, pemancar Radio Rimba Raya dipasang di ketinggian kawasan perkebunan karet di kawasan Krueng Simpo, Kecamatan Juli, Bireuen.
“Lama-lama letak studio radio itu ketahuan pasukan Belanda yang melakukan agresi pertama, sehingga diserang dengan pesawat udara. Maka setelah berbulan-bulan mengudara dengan studio di pendopo dan pemancar di Krueng Simpo, radio itu dilarikan tentara Indonesia ke Cot Gue, Banda Aceh,” ujar Ali Rasyid.
Ali mengatakan oleh Kolonel Hoesin Yoesoef, selain untuk menyuarakan berita-berita tentang Indonesia ke luar negeri, saluran radio itu juga dipakai untuk menyiarkan acara hiburan atau acara umum. Biasanya dengan memutar lagu-lagu perjuangan untuk mengobarkan semangat juang melawan Belanda.
Ali mengatakan tidak tahu persis di mana letak lokasi pemancar Radio Rimba Raya yang dipasang di Krueng Simpo. Seingatnya, pemancar itu dipasang pada ketinggian perbukitan kawasan kebun karet, sebelah barat Jalan Bireuen-Takengon kini. []

Isi relay radiogram PDRI kepada Jawaharlal Nehru melalui Radio Rimba Raya

Negara-negara Asia meyakini bahwa Indonesia telah menyerah kepada Belanda, berkat propaganda yang diluncurkan negara Kincir Angin tersebut.

REZA MUSTAFA
Jum'at 01 Maret 2013 19:08 WIB

PERANAN Radio Rimba Raya turut mengubah persepsi negara-negara peserta Konferensi Asia yang berlangsung di New Delhi, 23 Januari 1949.
Sebelumnya negara-negara Asia meyakini bahwa Indonesia telah menyerah kepada Belanda, berkat propaganda yang diluncurkan negara "Kincir Angin" tersebut.
Berdasarkan buku karangan TA Talsya berjudul Sekali Republiken Tetap Republiken (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh tahun1949) menuliskan, menyambut keputusan Konferensi Asia mengenai masalah Indonesia di New Delhi yang disimpulkan dalam sebuah resolusi, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengirimkan radiogram kepada ketua konferensi tersebut, Pandit Jawaharlal Nehru.
Radiogram itu disiarkan pada malam 23 Januari 1949 melalui RRI di Banda Aceh dan direlay oleh Radio Rimba Raya di suatu tempat di Aceh Tengah.
Berikut isi radiogram tersebut :
“pres asia conf pjm p j nehru d/p dr maramis menteri luar negeri rep indonesia di newdelhi ttk no.50/pdri tgl 23/1/49 ttk pjm ttk pdri telah mengetahui pokokpokok sepenuhnja daripada resolusi jang telah diambil oleh conf asia ttk sekalipun putusan itu menrt hemat kami blm sesuai dgn harapan kami koma terutama oleh karena tdk dimasukkan dim putusan itu pengakuan dejure thd republik ttk pengakuan dejure ini kami pandang sbg esentieel karena itulah djaminan jg sesempurnanja bahwa bid tdk akan menjerang rep dan alasan bahwa itu adalah urusan dim negeri semata mata ttk tetapi oleh karena kami jakin bahwa negaranegara asia jg mengambil keputusan itu djuga selandjutnya akan memberikan bantuan sepenuhnja untuk mendjamin terbentuknja negara indonesia jg merdeka dan berdaulat selambatnja pada tgl 1 januari 1950 koma maka djuga atas perasaan solidariteit dgn negara2 jg ikut konf itu kami menerima resolugi itu dgn penuh rasa tanggungdjawab ttk perlu kami kemukakan satu hal jakni bahwa akan dilakukan pengembalian tempattempat rep dan kerdja kembali pemerintahnja didlm tempattempat tsb kami akan mendjumpai kekurangan kekurangan jg sangat besar terutama didlm lapangan keuangan koma perhubungan dan perekonomian pada umumnja sbg akibat dari serangan bid koma kesukaran mana sukar akan diatasi koma kalau kita tidak dapat bantuan dari negara negara sahabat kami ttk atas djasa-djasa pjm dan pemerintah lainnja jg ikut serta dim asia konf pdri mengutjapkan banjak terimakasih koma djuga atasnama rakjat indonesia ttk mudahmudahan keputusan asia konf jg tlh diterima baik dapat diterima oleh dewan keamanan serikat bangsabangsa sebab apabila kurang daripada ini tentu bagi kami akan sukar dapat menerimanja full stop
pdri”
.[](bna)

Komisi G DPR Aceh: Sejarah Radio Rimba Raya harus masuk kurikulum

Suara dari rimbalah yang mengantar Indonesia merdeka. Propaganda Belanda ketika itu mengatakan kalau Indonesia sudah menyerah.

FIQIH PURNAMA
Jum'at 01 Maret 2013 18:35 WIB

RADIO Rimba Raya harus dilestarikan dan juga harus masuk dalam kurikulum pelajaran sejarah. Hal ini disampaikan Anggota Komisi G Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh yang membidangi masalah Agama dan Budaya, Jemarin.
"Saya sering ke sana, tempatnya di Bener Meriah. Saat ini sudah bagus dan telah dipagar monunmen radio tersebut. Radio Rimba Raya harus dilestarikan dan kalau bisa masuk dalam pelajaran sejarah anak sekolah," ujarnya, Jumat 1 Maret 2013.
Dia menganggap pengetahuan mengenai radio itu penting dimasukkan pelajaran sejarah, karena menurutnya hanya radio itulah yang menyuarakan Indonesia masih ada.
"Suara dari rimbalah yang mengantar Indonesia merdeka. Propaganda Belanda ketika itu mengatakan kalau Indonesia sudah menyerah, namun lewat radio itu dunia tahu Indonesia masih ada," tuturnya.
Dia juga menyampaikan pada masyarakat Aceh untuk bersama-sama melestarikan sejarah Radio Rimba Raya itu.[](bna)