Selasa, 23 Agustus 2011

Sutradara 'Radio Rimba Raya' Temui Wakil Ketua MPR

Kamis, 23 Juni 2011
Sejarah Rimba Raya Diusul Masuk Kurikulum

Jakarta- Sutradara film dokumenter 'Radio Rimba Raya' Ikmal Gopi, secara khusus menemui Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (22/6). Ikmal mengusulkan agar sejarah Radio Rimba Raya dimasukkan dalam kurikulum nasional.
Generasi muda seperti saya adalah korban kegelapan sejarah. Sebelumnya saya sama sekali tidak pernah tahu tentang Radio Rimba Raya. Semua baru jelas setelah saya mengerjakan film ini," kata Ikmal, kelahiran Takengon, Aceh Tengah.
Ikmal, alumnus jurusan film dan televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengaku dirinya kian menggelora saat mengetahui betapa besar dan penting peran Radio Rimba Raya menyelamatkan Indonesia pada Agresi Militer Belanda II. "Tanpa bermaksud membanggakan diri secara berlebihan, kenyataannya bahwa Aceh yang menyelamatkan Indonesia pada masa itu," tambah Ikmal.
Belanda ketika itu menyatakan Indonesia sudah habis. "Tapi dari belantara Rimba Raya Aceh Tengah, diperdengarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Radio itu disiarkan dalam berbagai bahasa dan dapat ditangkap di India dan kemudia informasi itu diteruskan ke Dewan Keamanan PBB,"tambah Ikmal.
Peran penting Radio Rimba Raya lainnya, lanjut ikmal, ketika panglima besar Soedirman membutuhkan obat untuk menyembuhkan penyakit paru-paru yang dideritanya. "Obat itu dipesan melalui Radio Rimba Raya. Sama sekali tidak banyak yang mengetahui soal ini," ikmal Gopi menjelaskan.
Melalui lembaga MPR RI, Ikmal mengusulkan agar memasukan sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya dalam kurikulum pendidikan nasional. "Ini bukan karena Radio Rimba Raya berasal dari Aceh melainkan untuk kepentingan Indonesia yang menghargai sejarahnya," sebut Ikmal.
Ikmal mengaku sudah berkomunikasi dengan sejumlah kalangan, baik masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, sejarawan, ternyata banyak yang tak mengenal Radio Rimba Raya. "Ini sangat menyedihkan kita, dan menjadi tanggung jawab Pemerintah memberitahukan sejarahnya," tambah Ikmal.
Farhan Hamid setuju sejarah Rimba Raya dimasukan dalam kurikulum pendidikan dan berjanji akan mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak terkait. Ia menyarankan film dokumenter Radio Rimba Raya diputar di Jakarta dengan mengundang sejumlah elemen masyarakat."- Setelah pemutaran film, mereka yang hadir kita mintai tanggapannya," saran Farhan.
Film tersebut dikerjakan Ikmal sejak empat tahun silam dengan menggunakan dana swadaya. Film tersebut berhasil lolos finalis Festival Film Indonesia (FFI) 2011 dan beberapa ajang festival film dokumenter. Film ini sebelumnya pernah diputar dihadapan siswa dan guru sekolah menengah di Takengon dan di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Farhan juga menyarankan film itu bisa diputar di sekolah-sekolah seluruh Indonesia. (Fik)

Jumat, 19 Agustus 2011

Aceh, “Napas Terakhir” Indonesia


Jumat, 19 Agustus 2011 07:28 WIB

Oleh Nab Bahany As

PERINGATAN Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2011 tahun ini memiliki makna tersendiri dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa. Dalam usia Kemerdekaan yang sudah mencapai 66 tahun, tentu banyak hal harus disyukuri dan direnungkan ulang oleh setiap anak bangsa, apa makna dan arti “merdeka” dalam berbangsa dan bernegara. Apakah cita-cita Kemerdekaan yang diproklamirkan 66 tahun yang lalu sudah sampai ke tujuan.

Sebab dalam sejarah perjuangan bangsa tercatat, bahwa sejak berdirinya Budi Utomo sebagai awal dari kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang bercita-cita menyatukan seluruh rakyat Indonesia--dari 134 suku yang mendiami kepulauan Nusantara--dalam satu semangat kebangsaan, yang puncaknya kemudian lahir Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dengan pengakuan pemuda-pemuda Indonseia sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa sebagai wujud nasionalisme Indonesia yang lebih nyata.

Sejak itu slogan kenasionalan terus dikumandangkan oleh patriot bangsa yang semuanya bermuara pada kemerdekaan Indonesia. Lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rodolf Supratman pun dikumandangan untuk pertama kali pada hari Sumpah Pemuda. Pekik “merdeka sekarang juga” atau pekik “merdeka hidup atau mati” merupakan tekad perjuangan yang menggelorakan nasionalisme kebangsaan yang tak bisa ditahan dalam setiap jiwa para patriot bangsa. Puncak semangat nasionalisme itu kemudian tercapai pada 17 Agustus 1945 dengan diproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam usia 66 tahun Indonesia merdeka saat ini, apakah cita-cita bangsa yang dirumuskan Bung Karno dan para pendiri Republik ini sudah terwujud dalam sebuah negara-bangsa bernama Indonesia. Tampaknya, apa yang dicita-citakan bangsa ini untuk tumbuh sebagai bangsa yang adil dan makmur semakin sayup-sayup sampai ke tujuan. Malah banyak tokoh bangsa hari ini cenderung menilai Indonesia telah gagal sebagai sebuah negara yang dapat menyejahterakan rakyatnya.

Terbentuknya forum penyelamatan negara-bangsa beberapa waktu lalu di Jakarta, yang disusul berkumpulnya 45 tokoh nasional di Hotel Four Siason, Jakarta, minggu lalu, adalah terdorong dari rasa keprihatinan mendalam terhadap krisis negara yang dinilai sudah diambang kegagalan.

Lunturnya nasionalisme bangsa
Bila dilihat secara historis, akar nasionalisme Indonesia sebenarnya telah tumbuh jauh sebelum Budi Utomo didirikan. Semangat nasionalisme di Nusantara telah pernah dibangun oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VI yang menguasai hampir seluruh daerah di Sumatra dan semenanjung Malaka. Hubungan Sriwijaya kala itu telah mencapai hampir seluruh wilayah Nusantara dan wilayah-wilayah Asia. Seperti India, Tiongkok, Arab dan Srilangka.

Namun keinginan Sriwijaya untuk mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara dalam suatu kesatuan kerajaannya harus patah pada abad XIII setelah kekuasaannya di Malaya direbut oleh kerajaan lain, dan pusat kejayaan Sriwijaya pun runtuh setelah diserang oleh kekuatan pasukan kerajaan Singasari dari Jawa.

Setelah itu bangkit pula nasionalisme kedua di Nusantara yang dipelopori kerajaan Majapahit. Pada abad XIII Majapahit berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan dari Tiongkok sebagai wujud anti kekuatan asing di Nusantara. Patih Gajah Mada saat itu sudah mencita-citkan untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara dalam suatu kejayaan Majapahit.

Nasionalisme keacehan
Sayangnya, dalam sejarah kebangkitan nasionalisme ke-Indonesia-an, baik dari abad klasik maupun dalam abat modern saat ini, peranan Aceh seperti terlupakan. Padahal akar nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai tumbuh sejak abat ke 15 M, pada saat Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, dalam kronologis sejarah akar kebangkitan nasionalisme yang terjadi di kerajaan Aceh boleh dikatakan sebagai kebangkitan nasionalisme ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit runtuh di Nusantara.

Rasa kesatuan yang telah dibangun Aceh saat itu tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi juga Pahang dan tanah Melayu lainnya tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan seorang Sultan. Jadi, rasa nasionalisme kebangsaan ini telah tumbuh dalam diri masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Hal ini boleh jadi karena pada saat itu semua wilayah di Aceh sedang menghadapi serangan Portugis yang ingin menguasai Aceh.

Secara historis, begitulah akar sejarah terbentuknya rasa kebangsaan dan semangat nasionalisme orang Aceh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya dari serangan bangsa asing. Pengalaman rasa nasionalisme itulah yang kemudian melekat dalam diri orang Aceh dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat Aceh rela berkorban jiwa dan raga terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia tidak hanya dalam wilayah Aceh, tapi rela berperang ke luar Aceh, seperti yang kita kenal dengan perang Medan Area.

Nafas terakhir Indonesia
Kita tidak ingin mengungkit cerita lama dari rasa kebangsaan dan sifat nasionalisme orang Aceh terhadap Republik ini. Tapi sejarah telah mencatat, sekiranya Radio Rimba Raya tidak dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, yaitu wilayah Aceh. Sementara semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki kembali oleh Belanda, maka kita tidak tahu bagaimana nasib Indonesia kalau Radio Rimba Raya yang ada di Aceh tidak menyiarkan kepada dunia bahwa wilayah Indonesia masih ada, mukin saat itu dunia bisa saja mengganggap bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi dalam pengakuan Persatuan Bangsa-Bangsa.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “Aceh adalah nafas terakhir Indonesia”. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa kalau tidak ada Aceh saat itu mungkin “Indonesia telah tamat riwayatnya”. “Indonesia” atau “Keindonesiaan” tidak akan mungkin ada seandainya tidak ada Aceh (tulis Nurcholish Madjid (2001) dalam pengantar buku “Tragedi Anak Bangsa”). Ini sejarah yang harus diketahui oleh anak bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara bahwa betapa besar rasa kebangsaan dan nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh terhadap Indonesia.

Semua itu adalah fakta sejarah yang harus ditulis ulang dalam sejarah nasional Indonesia, agar generasi bangsa dapat mengetahui bagaimana rasa kebangsaan dan rasa ke-Indonesia-an rakyat Aceh terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, Emha Ainun Nadjib (1992) dalam sebuah puisinya menulis: Indonesia berhutang budi padamu,Acerh/Indonesia berterimakasih padamu, Aceh/Indonesia menundukkan muka dan berkata: “Aceh tak perlu kau banggakan dirimu/Sebab akulah Indonesia yang wijib bangga atas pengorbananmu”.

* Penulis, pemerhati budaya, tinggal di Banda Aceh.

Senin, 08 Agustus 2011

Agresi dan Pasukan Republik Yang Terkepung

Written by Edy Rachmat on Friday, 29 July 2011 08:16

Betapapun kekejaman serdadu Belanda di masa perang, tetapi di masa damai telah kami lupakan kata alm. Tengku Nurdin. Rupanya bangsa Indonesia tidak dendam ya! Kata Step Vaessen wartawati Belanda
AGRESI Belanda pertama 21 Juli 1947, adalah peristiwa sejarah yang tidak bisa dilupakan oleh bangsa Indonesia. Kemudian disusul dengan agresi ke dua tanggal 19 Desember 1948 ibukota Republik Indonesia Jogyakarta direbut dan diduduki.

Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menteri Luar Negeri H Agus Salim ditawan di Brastagi, kemudian dipindahkan dan ditawan di Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Hatta dan para pemimpin lainnya di tawan di Pulau Bangka.

Dalam situasi tersebut, Radio Belanda di negeri Belanda, radio Belanda di Jakarta dan Medan mengumumkan : “Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Ibukota Republik dan seluruh wilayah Indonesia telah diduduki Belanda, Para pemimpin Republik semua telah ditawan dan Pemerintah Indonesia sudah tidak ada!.

Radio “Rimba Raya” yang juga dikenal Radio Perjuangan Divisi X, berkedudukan di tengah rimba raya antara Bireuen-Takengon yang pemancarnya berkekuatan 350 watt, siarannya dapat didengar oleh seluruh Negara-negara Asia dan Australia, segera menjawab:

“Republik Indonesia masih ada, masih ada wilayahnya daerah Keresidenan Aceh. Masih ada pemerintah yaitu Pemerintah Darurat Republik Indonesia berkedudukan di Sumatera. Masih ada rakyat dan Tentara Nasional Indonesia yang terus melakukan perlawanan dan tekanan terhadap tentara Belanda.

Sesudah itu “duel” berita di udara terus terjadi, semua berita-berita provokasi dan berita bohong yang disiarkan radio Belanda terus dibantah oleh radio “Rimba Raya”, yang siarannya terus dimonitor oleh “All India Radio” dan “Australia Broadcasting”.

Belanda Juga Peringati Agresinya

Bukan hanya kita bangsa Indonesia yang tidak melupakan peristiwa sejarah agresi Belanda itu, tatapi juga pihak Belanda tidak melupakan terhadap agresi yang pernah mereka lakukan.

Hal ini ditandai, ketika Belanda memperingati 50 tahun Agresi Belanda di Indonesia, salah satu stasiun televisi di Negeri Belanda menyiarkan rekaman peristiwa pertempuran seru yang terjadi di Lubuk Pakam.

Karena ada siaran tersebut, telah mendorong NOS Television Hilversum The Netherlands mengutus dua orang wartawatinya ke Medan untuk mengumpulkan data dan fakta peristiwa Agresi Belanda itu. Wartawati itu masing-masing bernama Step Vaessen dan Kenneth Van Toll.

Kalau kami tidak salah, kunjungan ke dua wartawati ini ke Medan pertengahan Juni 1997. Wartawati yang menjadi tamu LVRI Sumatera Utara, Kepada kami mereka katakan sangat berhasrat untuk berkunjung ke Lubuk Pakam tempat pertempuran yang paling seru yang pernah terjadi.

Setelah mengambil kamar Hotel di Garuda Plaza Medan sore hari itu juga kedua wartawati Televisi Belanda meminta kami temani untuk melihat Lubuk Pakam yang diketahui pertempuran berlangsung seru ditempat itu. Wartawati itu ingin bertemu dengan orang-orang tua yang pernah mengalami pertempuran di masa itu.

Kami juga membawa tamu dari negeri “kincir angin” itu melihat tempat pertempuran ketika merebut pertahanan Belanda di Sungai Ular. Kami katakan itu kepada mereka karena jembatan Sungai Ular telah dikuasai Belanda maka pasukan dan para pengungsi harus menyeberangi Sungai Ular dengan rakit waktu keadaan banjir mereka diserang oleh pesawat Mustang Belanda banyak sekali yang jatuh korban baik lelaki maupun wanita serta anggota pasukan.

Peristiwa ini telah dilestarikan dalam bentuk film yang berjudul “Sungai Ular” yang aktornya bekas walikota Medan AS Rangkuty. Mendengar ada film Sungai Ular, wartawati itu meminta rekamannya, tapi kami katakan film tersebut masih dalam bentuk rol film 36 mm.

Kedua wartawati itu kemudian kami ajak ke Perbaungan, bukan untuk melihat Palagan Medan Area, tatapi untuk melihat relief gerakan pasukan Belanda, yang mendarat di Pantai Cermin dan menduduki Perbaungan membuat pertahanan di Sungai Ular, maka waktu itu terkurunglah pasukan Republik yang mundur dari Front Medan Timur.

Kemudian terjadi pertempuran seru ketika pasukan Republik berusaha melepaskan diri dari perangkap Belanda yang disebut “Killing group” , kemudian pasukan Republik berhasil menerobos “lingkaran maut”.

Setelah meninjau lapangan dan mendapat penjelasan mengenai gerakan pasukan Belanda dan pertempuran yang terjadi, keesokan harinya kami lihat telah tiba dari Jakarta juru kamera NOS Television Hilversum.

Pada hari itu kami pertemukan dengan tokoh pejuang pelaku sejarah yaitu Alm. Tengku Nurdin, (Mayor Purn) dan Trisno Mardjunet (Letkol Purn). Tengku Nurdin menjawab pertanyaan dan memberi penjelasan dalam bahasa Belanda, sedangkan Trisno Mardjunet dalam bahwa Indonesia.

Menjawab pertanyaan Tengku Nurdin menjelaskan terhadap tentara Belanda dan memperlakukan dengan cara sangat kejam besar anak buah nya hingga gugur. Memang itu sudah berlalu masa perang, di masa damai kita telah melupakan itu semua.

Dulu kita musuh kini, kita sahabat. Ucapan ini sangat berkesan bagi Step Vaessen wartawati Belanda itu dia mengatakan rupanya bangsa Indonesia bukan bangsa yang pedendam!, ya!.

Melepaskan dari kepungan (terkepung)

Melihat bahaya besar yang akan melanda pasukan Republik (terkepung) Mayor Bedjo mengambil inisiatif mengajak semua pasukan yang baru sampai di Araskabu untuk menghindar ke Kuala Namu yang terletak di bagian selatan Kota Lubuk Pakam.

Rencana serangan disusun sebagai berikut : Pasukan penggempur pertama ditugaskan Batalyon Manap Lubis menggempur benteng musuh yang berada di sekitar setasiun kereta api Lubuk Pakam. Kemudian meloloskan diri ke bagian Barat untuk selanjutnya bergerak ke Kampung Kuala Bali dekat Bangun Purba.

Serangan kedua dipimpin oleh Mayor Bedjo. Tugas pokoknya menggempur Lubuk Pakam ke dalam kota, langsung meloloskan diri dari jurusan Selatan, Kemudian menggempur pertahanan musuh yang ada di jembatan Sungai Ular.

Serangan-serangan pasukan Republik ini ke dalam kota terjadi pertempuran seru. Pihak Belanda lebih kacau lagi karena dalam penyerbuan ini pasukan kita melakukan bumi hagus, menyebabkan Belanda mengundurkan diri dari Lubuk Pakam, Pasukan Republik berhasil menduduki Lubuk Pakam selama 16 jam. Sempat juga menguburkan dua orang pejuang yang gugur dalam pertempuran itu. Kemudian Belanda menyerang lagi Lubuk Pakam pasukan Republik seluruhnya meninggalkan Lubuk Pakam.

Demikianlah sekelumit kisah pasukan Republik menerobos “lingkaran maut” berhasil merebut Lubuk Pakam selama 16 jam, kemudian melepaskan diri dari kepungan maut.

Pasukan Belanda dengan kekuatan penuh menyerang lagi Lubuk Pakam dengan pasukan yang datang dari arah Medan dan dari arah Perbaungan. Pasukan Republik itu kemudian bertempur lagi merebut Tebing Tinggi.

Selama tiga hari wartawati Belanda itu merekam mengenai fakta-fakta pertempuran di Lubuk Pakam dan Sungai Ular itu, direncanakan akan disiarkan oleh televisi mereka dalam 5 episode.

Kami juga meminta agar salah satu rekaman itu dikirim kepada kami, tetapi tidak pernah dipenuhi. ***** ( Muhammad Tok Wan Haria : Penulis, wartawan senior, Veteran Pejuang Kemerdekaan, pemerhati sejarah)