Rabu, 19 Agustus 2009

RADIO RIMBA RAYA DONGENG??..


“Mungkin” bagi banyak orang sebutan Radio Rimba Raya masih sangat asing terdengar di telinga, atau sama sekali tidak pernah terdengar, bahkan yang sangat mengejutkan, beberapa sejarawan nasional yang cukup populer, pernah ditanya soal Radio Rimba Raya, apakah pernah mendengar atau mengetahui tentang sejarah dan peranan Radio Rimba Raya tersebut pada era perjuangan kemerdekaan? Jawaban mereka sungguh diluar dugaan, TIDAK PERNAH. Mengapa? Apakah sejarah Radio Rimba Raya sengaja disembunyikan? ataukah sejarah Radio Rimba Raya merupakan sebuah dongeng? bukan sebuah kebenaran, Sehingga tidak layak untuk di cuatkan ke permukaan?. Siapa yang menyangka? bahwa Radio tersebut pernah menyelamatkan Indonesia dan mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, dan masih tetap eksis. Dengan mengirimkan berita dan pesan-pesan ke dunia internasional, Indonesia berhasil mematahkan propaganda Belanda, yang mengatakan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, sebab pada saat itu Yogyakarta sebagai ibukota negara berhasil kuasai oleh Belanda, serta menahan Soekarno - Hatta, kemudian di asingkan ke Prapat dan Pulau Bangka. Peristiwa ini terjadi pada saat agresi militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Salah satu berita penting yang disuarakan oleh Radio Rimba Raya yang menyelamatkan eksistensi Indonesia di dunia adalah : “ Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh”. Demikian berita yang disuarakan oleh Radio Rimba Raya pada saat itu dari pedalaman Aceh, tepatnya di desa Rime Raya kabupaten Bener Meriah.
Asal usul dan peranan Radio Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sudah pernah dituliskan, dan dimuat pada Koran Serambi Indonesia di Aceh, bahkan beberapa buku yang mengulas tentang sejarah Radio Rimba Raya juga sudah pernah diterbitkan. Saat ini peranan Radio Rimba Raya, juga sedang digarap oleh saudara Ikmal Gopi, ke dalam bentuk film dokumenter, diharapkan semoga film tersebut dapat ditayangkan dalam waktu dekat, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih detil betapa pentingnya kiprah Radio Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaaan Republik Indonesia.
ulasan diatas membuktikan bahwa kiprah dan peranan Radio Rimba Raya sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan, Ada pertanyaan menggelitik,
Apakah Sejarah Radio Rimba Raya merupakan bagian dari sejarah nasional bangsa?. Lantas, apa upaya-upaya yang telah dilakukan untuk melestarikan sejarah radio tersebut?. Guru besar Emeretus Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo mengemukakan pendapat beliau tentang sejarah nasional :
“Perkembangan Indonesia selama berabad-abad dimana bagian-bagiannya secara bertahap terintegrasi kedalam satu unit tunggal”
Kalau ditilik kepada definisi beliau, tentunya pertanyaan diatas sudah terjawab, bahwa sejarah Radio Rimba Raya merupakan bagian dari sejarah nasional. Tetapi, mengapa dalam acara memperingati hari radio nasional, sejarah Radio Rimba Raya tidak pernah disinggung?.
Memang, pada era orde baru sejarah menjadi tidak normal, sejarah dijadikan sebagai alat legitimasi pemerintah, menjadi alat kepentingan politik penguasa, pada saat itu para sejarawan juga cenderung hati-hati ketika berbicara mengenai sejarah.
Namun, era sekarang ini semua menjadi serba “bebas” dan terbuka, masyarakat sudah tidak perlu takut lagi untuk bicara, menyampaikan aspirasi, kritikan, atau protes terhadap kebijakan penguasa, tentunya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Beberapa solusi yang mungkin bermanfaat dalam upaya memelihara dan melestarikan sejarah Radio Rimba Raya, yaitu netralitas sejarah terhadap penguasa harus dipertahankan, supaya tidak terjadi pemanfaatan untuk kepentingan penguasa, kemudian sejarah bisa dijadikan sebagai kritik social terhadap kebijakan - kebijakan penguasa.
Momentum otonomi daerah, dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai upaya agar sejarah Radio Rimba Raya diketahui oleh masyarakat, disini peran penting pemerintah daerah Aceh sangat diharapkan.
Perlunya pemerintah mendorong sejarah perjuangan Radio Rimba Raya masuk ke dalam pelajaran sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah dan Universitas. Agar regenerasi, dapat memahami arti pentingnya sejarah. Masihkah sejarah Radio Rimba Raya menjadi sebuah dongeng??

Zuhri Sinatra
Penulis / Pustakawan, Pengelola blog www.rimbarayaaceh.blogspot.com.

Kamis, 16 Juli 2009

Radio Rimba Raya Teronggok Sepi di Museum TNI AD


PERANGKAT TUA RADIO RIMBA RAYA itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum TNI Angkatan Darat (AD) Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.

Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq. Radio Rimba Raya disiarkan dari belantara Desa Rimba Raya, Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah -red). Dari sanalah disuarakan pesan-pesan perjuangan dan dikumandangkan eksistensi Republik Indonesia. “Republik Indonesia masih ada. Pemerintah Republik masih ada. Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh,” demikian antara lain bunyi siaran Radio Rimba Raya.

Berita-berita itu ditangkap oleh radio ALL India Radio yang kemudian menyiarkannya kembali ke penjuru dunia. Radio ini juga bisa ditangkap dengan jelas di berbagai kawasan di semenanjung Melayu, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, sampai Australia, dan beberapa tempat di Eropa. Pemancar Radio Rimba Raya berkekuatan 1 kilowatt bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter. Dalam siarannya radio ini menggunakan signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Siaran dilakukan dalam bahasa Indonesia, Inggris, China, Urdhu, Arab, Belanda, dan bahasa Aceh.

Penyiar-penyiarnya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam. Selain berisi siaran warta berita, pengumuman, Radio Rimba Raya juga menghidangkan lagu-lagu rakyat dan lagu perjuangan yang membakar semangat perlawanan.

Tapi, siapa yang mau merenungkan peran Radio Rimba Raya dalam usaha menyelamatkan eksistensi Negara Republik Indonesia? Seolah tak ada yang peduli. Radio Republik Indonesia (RRI) sama sekali tidak pernah kita dengar menyinggung peranan Radio Rimba Raya dalam peringatan ulang tahunnya.

Buku-buku sejarah juga tidak mencatat soal itu. Keterangan mengenai Radio Rimba Raya diperoleh dari catatan-catatan terpisah dan hanya sedikit yang diketahui. Museum TNI AD Yogyakarta, juga tidak punya catatan lengkap mengenai Radio Rimba Raya. “Kita harus mengembalikan sejarah pada tempatnya. Apabila tidak, sejarah akan menggilas kita,” kata Ikmal Gopi, anak muda kelahiran Takengon, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang tergugah membuat film dokumenter Radio Rimba Raya.

Ikmal berharap dengan dibuatnya film dokumenter ini, paling tidak sudah mengurangi beban sejarah agar regenerasi mengenal lebih dekat dengan sejarahnya. “Sejarah merupakan ruang pengadilan yang jujur, jika tidak! kita akan diadili oleh sejarah itu sendiri, “ ujar Ikmal, alumni IKJ 2005 jurusan penyutradaraan.

Gagasan pembuatan film dokumenter muncul sejak 2002. Tapi, baru bisa terlaksana pada 2006. Ikmal berkeliling ke sejumlah tempat, termasuk Sumatera Barat dan beberapa daerah di Jawa untuk menyusuri jejak Radio Rimba Raya. Ia sempat hampir putus asa, karena tidak banyak keterangan mengenai radio tersebut. Namun, berkat ketekunan dan kesabaran, Ikmal akhirnya berhasil merampungkan pengambilan gambar, dan sekarang sedang proses editing. Dijadwalkan, film tersebut dapat diputar pada arena Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V Agustus 2009 mendatang.

Dibeli Nip Xarim
Adalah tentara Devisi Gajah I yang memesan peralatan pemancar Radio Rimba Raya, dari Malaya dengan cara diseludupkan. Kisah dramatik penyeludupan itu tertera dalam sebuah peper kecil “Peran Radio Rimba Raya” diterbitkan Kanwil Depdikbud Aceh, 1990. Pemancar tersebut, diselundupkan oleh John Lie, seorang yang terkenal “raja penyelundup” Asia tenggara. Peristiwa penyelundupan ini terjadi menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.

Disebutkan, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan.

Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan “enak” melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di sungai Yu, Aceh Timur. Dari sini peralatan diangkut ke Bireuen dan seterusnya digunakan oleh Divisi X untuk alat perjuangan. Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.

Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Berandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Tgk M Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.

Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis Drs Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/ajudan Komandan Divisi X Kononel M Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan hal ini. Tapi Ali Hasymj, dan TA Talsya menyebut John Lie lah yang membeli perakatan tersebut.

Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie, seorang keturunan Cina - Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap, menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus agresi militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan peasawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Kuta Radja (Banda Aceh). Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong.

Sebagai cadangan studio juga disiapkan di Cot Gue, sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Kuta Radja direbut musuh. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubenrnur Militer Tgk Mohd Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya). Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkan ke Lampahan dan Bireuen. Nihil. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain. Kabel tak cukup. Dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen. Ditemukan. Beres.

Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Pada salah satu kamarnya dijadikan studio penyiaran yang dipimpin sendiri oleh Husein Yoesoef.. Siapa nyana, dari pucuk gunung Tanah Gayo, dari pedalaman hutan belantara, Indonesia diselamatkan. Tapi, siapa yang mau mengenangkan ini semua?(fikar w.eda)

Jumat, 15 Mei 2009

PUISI TANPA JUDUL

Isaq tangisku, ratap senduku
Karenamu.............
Tak ada yang tahu
Mungkin tak ada yang mau tahu
Mengapa begitu!

Bukankah kau dizaman derita
Di saat Republik diobrak abrik NIKA
Suaramu menggema diangkasa raya
Menembus blokade Belanda
Berteriak kedunia
Indonesia tetap merdeka

Kala RRI dimana-mana
Jakarta - Jokya - Surabaya
Medan - Padang - Palembang
Dan diseluruh Nusantara
Dalam cengkeraman Belanda

Berita selalu dusta
Omong bohong mereka: "RI telah tiada"

Kau tetap berteriak RI tetap tegak
Dengan beraneka bahasa dunia
Belanda mencari-cari
Dimana suara RI ini !
Dan kau terus sembunyi
Di Rimba Raya sepi
Sampai Republik jaya lagi
Lalu dunia mengakui

Kemudian.........
Setelah perang selesai
Kemenangan sudah tercapai
Kau..........., tinggal sansai
Jadi bangkai
Tak ada yang tahu
Dan yang mau tahu

Kini...............
Nasibmu merana sekali
Namamu tak pernah disebut lagi
Seakan-akan kau tak pernah ada
Di Republik ini

Isak tangisku
Ratap senduku
Karena itu
Karenamu
Oh.... Radio Rimba Rayaku !


Tgk. H. Arifin Hasan
Takengon/Paya Tumpi, awal tahun 80-an
Dikutip dari Buku Mujahid Dataran Tinggi Gayo
2007

Rabu, 06 Mei 2009

Pesan Perjuangan Dari Belantara Rimba Raya

RIMBA RAYA (Orang Gayo menyebutnya Rime Raya) pernah menjadi kawasan sangat menentukan dalam perjalanan menegakkan eksistensi Republik Indonesia. Dari hutan belantara Rimba Raya inilah pesan-pesan perjuangan dikumandangkan ke seluruh dunia, sekaligus mematahkan "kampanye" Belanda yang menyatakan Indonesia sudah tidak ada.
Tidak banyak orang menyangka bahwa keberadaan Indonesia justru pernah "ditegakkan" dari dataran tinggi Gayo, dari kawasan pedalaman yang berhutan lebat. Sebuah riwayat yang tidak boleh dilupakan apalagi ditelantarkan!Karena itu, sebuah usaha untuk menghormati makna sejarah itu saat ini sedang diupayakan kembali dengan "menghidupkan" monumen Radio Rimba Raya dan memfungsikannya sebagai tempat bersejarah. Memang dulu pernah dibangun monumen radio di Desa Rimba Raya. Peletakkan batu pertamanya dilakukan 27 Oktober 1987 dan diresmikan tiga tahun kemudian oleh Menteri Koperasi/Ka Bulog Bustanil Arifin SH.
Tapi sayang, monumen itu nyaris tak punya arti. Tak lebih sebuah tugu biasa yang menyedihkan. Tidak pernah diurus dan diperhatikan. Monumen itu berhenti sebatas benda mati! Lokasi monumen bersemak, jorok, dan kotor. Beberapa bagian bahkan kelihatan miring.
Belakangan muncul usaha dari LSM Monumen Radio Rimba Raya, untuk mengembalikan"roh" Rimba Raya itu. Langkah pertama diadakan pemugaran dengan menggunakan disain kaya Yas Aramiko, yang menang pada "Sayembara Disain Monumen Radio Perjuangan Rimba Raya" tahun 1988. Yas, seorang arsitek yang berdomisili di Jakarta.
Berbagai Pihak menyatakan setuju terhadap usaha yang dirintis Pipa Putra dkk dari LSM Monumen Radio Rimba Raya, termasuk anggota DPR RI Tgk H Baihaqi AK dan Tgk AK Jakobi, mantan sekretaris panitia sayembara disain.

Selundupan

Adalah tentara Devisi Gajah I yang memesan peralatan pemancar Radio Rimba Raya, dari Malaya. Kisah ini tertera jelas dalam sebuah peper kecil "Peran Radio Rimba Raya" diterbitkan Kanwil Depdikbud Aceh, 1990.
Pemancar tersebut, diselundupkan oleh John Lie, seorang yang terkenal "raja penyelundup" Asia tenggara. Peristiwa penyelundupan ini terjadi menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.
Dengan cerdik John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan "enak" melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di sungai Yu, Aceh Timur. Dari sini peralatan diangkut ke Bireuen dan seterusnya digunakan oleh Divisi X untuk alat perjuangan. Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.
Selain untuk siaran umum, kegiatan radio itu digunakan sebagai monitor dan pengirim berbagai pengumuman dan instruksi, baik untuk angkatan bersenjata maupun pemerintahan sipil. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Kuta Radja (Banda Aceh). Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sebagai cadangan studio juga disiapkan di Cot Gue, sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Kuta Radja direbut musuh.
Sayangnya. pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948.
Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubenrnur Militer Tgk Mohd Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Menuju Tanah Gayo

Peralatan "diungsikan" ke Aceh Tengah tanggal 20 DEsember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya). Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik.
Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkan ke Lampahan dan Bireuen. Nihil. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain. Kabel tak cukup. Dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen. Ditemukan. Beres.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untul tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime Raya.
Pada salah satu kamarnya dijadikan studio penyiaran yang dipimpin sendiri oleh Husein Yoesoef.
Dari hutan Rimba Raya itulah disuarakan pesan-pesan perjuangan. Dari tempat tersembunyi itu pula dikumandangkan eksistensi Republik Indonesia ke negara luar. "Republik Indonesia masih ada. Pemerintah Republik masih ada. Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh," demikian antara lain bunyi siaran Radio Rimba Raya. Berita-berita itu ditangkap oleh radio ALL India yang menyiarkannya kembali ke penjuru dunia.
Pemancar Radio Rimba Raya berkekuatan 1 kilowatt bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter. Dalam siarannya radio ini menggunakan signal calling "Suara Radio Republik Indonesia" dan "Suara Merdeka". Mereka melakukan siaran adalah bahasa Indonesia, Inggris, China, Urdhu, Arab, Belanda, dan bahasa Aceh. Penyiar-penyiarnya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Sayuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam.
Waktu itu, radio ini bisa ditangkap dengan jelas diberbagai kawasan di semenanjung Melayu, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, sampai Australia dan beberapa tempat di Eropa.
Posisi Radio Rimba Raya menjadi sangat penting karena menjadi satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia. RRI Jogjakarta telah jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.
Selain berisi siaran warta berita, pengumuman, Radio Rimba Raya juga menghidangkan lagu-lagu rakyat dan lagu perjuangan yang membakar semangat perlawanan.
Radio Rimba Raya tetap berperan sampai adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq.
Kabarnya peralatan Radio Rimba Raya saat ini ditempatkan di museum radio di Jogjakarta, Aneh sekali, riwayat Radio Rimba Raya hampir tak pernah kedengaran pada peringatan hari radio nasional. Entahlah. (Fikar W. Eda)


Koran Serambi Indonesia
Senin, 13 Januari 2003

Jumat, 01 Mei 2009

Emas Aceh untuk Maskapai Pertama


H.M. Djoeneid Joesoef

Jangan sekali-kali melupakan jasa orang Aceh. Apalagi di bidang industri penerbangan nasional. Berkat sumbangan mereka dimasa awal kemerdekaan, negeri ini maskapai penerbangan nasional pertama bernama Garuda Indonesia Airways ( GIA ). Bermula dari kunjungan enam hari presiden Soekarno ke "tanah rencong" Juni 1948.
Didampingi Kepala Bagian Sub Penerangan Angkatan Udara pada masa itu, RJ. Salatun, Bung Karno mengadakan pendekatan kepada warga Aceh untuk menggalang dana guna membeli pesawat terbang. Pertemuan dengan masyarakat Aceh yang dipimpin H.M. Joeneid Joesoef digelar di sebuah hotel di Kutaraja- kini Banda Aceh.
Di forum 16 Juni 1948 itu, Bung Karno menyatakan bahwa negara memerlukan pesawat terbang untuk menembus blokade udara Belanda. Padahal, negara yang baru merdeka ini tak punya duit. Bung Karno meletakkan harapan besarnya pada rakyat Aceh.
Gayung pun bersambut. Djoeneid yang juga memimpin gabungan Saudagar Indonesia Aceh menyatakan siap membantu. Bersama saudagar lain bernama Said Muhammad Alhabsji, ia mengumpulkan sumbangan emas dari seluruh warga Aceh. Emas itulah yang kemudian dipakai untuk membeli dua pesawat Dakota, yang kemudian diberi nama Dakota RI 001 Seulawah.
Seulawah sendiri bermakna "gunung emas" boleh jadi karena jumlah sumbangan emas dari warga itu diibaratkan segunung. Kehadiran Seulawah ini mendorong pembukaan jalur penerbangan dari Sumatera ke Jawa, bahkan ke luar negeri. Seulawah RI 001 pun banyak berjasa sebagai pesawat angkut presiden dan wakil presiden, serta untuk keperluan pertahanan mengangkut personel militer.
Ketika pesawat ini sedang menjalani perawatan rutin di Calcutta, India, Belanda melancarkan agresi kedua. Walhasil, Seulawah RI 001 tak bisa kembali ke Tanah Air. Atas prakarsa Wiweko Soepono, Kepala Bagian Rencana dan Penerangan Angkatan Udara, pesawat itu dijadikan pesawat komersial pertama Indonesia di bawah nama Indonesian Airways.
Karena situasi darurat, markas maskapai penerbangan itu didirikan di Burma kini Myanmar. Dalam perkembangannya, Indonesian Airways berubah nama menjadi GIA dan terakhir berubah lagi menjadi Garuda Indonesia. (Erwin Y. Salim)


Majalah Gatra, edisi khusus 17 Agustus 2008

Jumat, 27 Februari 2009

PESAN

Untuk Radio Rimba Raya

Jangan Sampaikan pesan lagi padaku
karena aku tak dapat lagi menyampaikan pesan
jangan kirim pesan lagi padaku
karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
lihatlah, lidahku telah kelu
mulut tertutup
tubuh tinggal bayang

dulu memang pernah
bisikmu kusampaikan ke balik gunung
ke seberang lautan ke negeri-negeri jauh
dulu memang pernah
detak hatimu
cita-cita merdekamu
kukirim ke setiap hati sahabat-sahabat
atau musuh-musuhmu
di desa, di kota, bahkan di laut dan di rimba

dulu memang pernah ada
ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
kujeritkan sekeras-kerasnya
hingga bergema menyentuh cakrawala
bergelegar menjadi guntur
merobek-robek angkasa
hingga musuh gentar tak berdaya
dan sahabat-sahabatmu mendengar ucapan itu
bangkit
bangkit, lalu berlawan habis-habisan
semangatnya telah menjadi baja
walau di tangan hanya bambu runcing saja
dulu memang pernah ada
saat malam menjelang pagi
dengan suara menggigil karena dingin
kusampaikan pesanmu
tiktok tiktok hallo Sudarsono
tiktok tiktok hallo Palar
kirim kami mentega
kirim kami susu
kirim kami beras
kemudian datanglah kiriman
dan yang datang adalah senjata
lalu dibagi pada setiap tentara
lalu mereka menembak musuh
tepat di jidatnya

dulu memang pernah
ketika kita hampir tak punya daya
ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
hallo dunia
hallo dunia
negeri kami masih ada
negeri kami merdeka

tapi kini jangan sampaikan pesan lagi padaku
karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
lidahku kaku
mulut tertutup
tubuh tinggal bayang
tinggal bayang
dari ingatanmu pun
mungkin akan hilang


L.K. Ara. Takengon, 22 Januari 1986

dikutip dari "Seulawah Antologi Sastra Aceh, 1995"

Jumat, 13 Februari 2009

Mengapa Saya Membuat Film Dokumenter ??..

Pembuatan Film Dokumenter sejarah Radio Rimba Raya di Aceh dikerjakan secara Independent, ide pembuatan Film ini sudah ada sejak tahun 2002 tetapi baru terlaksana awal tahun 2006, dengan melakukan riset dan pencarian data. Shooting perdana dilaksanakan selasa 21 Agustus 2007, tujuan saya membuat Film ini untuk menambah khazanah sejarah dalam bentuk visual kepada semua generasi, Radio Rimba Raya sebelumnya adalah Radio Tentara Divisi X, usai perang kemerdekaan oleh Kolonel Husin Yusup radio tersebut diberi nama Radio Rimba Raya, sehingga, sampai saat ini nama Rimba Raya sudah menjadi nama sebuah kampung, sebelumnya, daerah tersebut bernama Tanoh Ilang ( Tanah Merah ) tempat Radio Divisi X siaran. Kini Radio tersebut sudah terlupakan oleh generasi kita. Alat komunikasi Radio Rimba Raya ( RRR ) merupakan salah satu Radio yang memiliki andil besar dan sangat penting dalam perang kemerdekaan hingga tercapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag.
Radio Rimba Raya yang berada dalam hutan belantara Aceh, tepatnya di Takengon, Aceh tengah, saat perang kemerdekaan memiliki hubungan komunikasi dengan Radio markas tentara Republik di hutan Surakarta yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman dengan Wakil Ksap II TB. Simatupang juga dengan Radio AH. Nasution yang saat itu menjadi Panglima Jawa dan meneruskan pesan-pesan diplomatik Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) PM. Mr. Syafruddin Prawiranegara di suliki yang mobile di Sumatra barat kepada DR. Soedarsono di New Delhi, A.A. Maramis dan L.N. Palar di PBB.
Radio Rimba Raya setiap harinya menyiarkan informasi tentang keadaan yang sedang terjadi di Indonesia khususnya Yogyakarta dan sekitarnya, dan juga berita-berita perjuangan dengan tujuan membangkitkan semangat untuk terus melawan pendudukan penjajah, kedalam maupun ke luar negeri yang diterima langsung oleh All India Radio.
Perang urat syaraf lewat udara oleh Radio Rimba Raya terus mengudara melawan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, dan Radio Hilversium di Holland yang disiarkan setiap hari untuk membantah berita-berita bohong atau propaganda Belanda yang mengatakan bahwa
" Indonesia sudah tidak ada lagi "
Radio Rimba Raya juga menyiarkan lagu-lagu perjuangan untuk membakar semangat rakyat untuk terus melawan penjajahan Belanda antara lain Hikayat Perang sabil. Saya berharap dengan dibuatnya Film Dokumenter ini, paling tidak sudah mengurangi beban sejarah agar regenerasi kita mengenal lebih dekat dengan sejarahnya. Sejarah merupakan ruang pengadilan yang jujur, jika tidak! kita akan diadili oleh sejarah itu sendiri. " JANGAN LUPAKAN SEJARAH "

Penulis/Sutradara Film Dokumenter Radio Rimba Raya
IKMAL GOPI

Kamis, 05 Februari 2009

RADIO RIMBA RAYA DIFILMKAN

TAKENGON- Kisah perjuangan Radio Rimba raya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sedang dibuat dalam bentuk film dokumenter. Selama ini, kiprah perjuangan Radio Rimba Raya kurang dikenal masyarakat luas, padahal peran radio tersebut sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Film Dokumenter itu dibuat oleh Kancamara Production.
Sutradara dan Riset, Ikmal Gopi, mengatakan, film dokumenter Radio Rimba Raya berdurasi ( masa putar ) sepanjang 90 menit itu mengambil gambar dengan setting masa lalu dikota, Jakarta, Yogyakarta, Padang Sumatera barat, Banda Aceh ( Koetaradja), Kota Bireuen dan takengon.
Menurut sejarahnya, perangkat radio Rimba raya yang berada dikampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah itu dibeli pada John Lee ( seorang blasteran Manado-China ) yang menjadi perantara pembelian perangkat Radio tersebut.
Perangkat radio Rimba raya itu dibeli di Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen.
Dari kota Bireuen, perangkat itu dibawa ke Koetaradja ( Banda Aceh ) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke Kampung Rime raya yang saat itu masuk kecamatan Timang gajah, Aceh Tengah.
Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke Kampung Burni Bius kecamatan Silih nara. Namun, karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak aman, penjajah belanda sedang memantau proses pengiriman radio itu, maka peralatan tersebut ditempatkan di kampung Rime Raya pada Lokasi tugu Radio Rimba Raya yang ada sekarang.
Dalam mendirikan Radio Rimba Raya dikawasan itu, kata Ikmal Gopi, melibatkan 10 teknisi dari para pejuang Aceh saat itu. Lewat perjuangan berat, akhirnya awal Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para Pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. " Lewat radio ini, para pejuang Aceh mengobarkan semangat juang bagi pejuang-pejuang diluar Aceh,' ujar Ikmal Gopi.
Persiapan pembuatan film dokumenter Radio Rimba Raya memakan waktu dua tahun lebih yang didahului dengan riset dan mulai pengambilan gambar 1 Agustus 2007. film sejarah itu dibuat dengan format layar lebar dengan sistem suara Dolby SR., kata Ikmal Gopi yang didampingi seniman Jauhari Samalanga. (min)