Kamis, 27 Mei 2010

60 Tahun Ikut Indonesia

Raden Ajeng Kartini di Jepara jangan-jangan tak mengenal Cut Nyak Dien
sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle
Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang
dialami perempuan Jawa.
Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit
berbalas. Sebab, saat putri ningrat itu baru menikmati dihapusnya tradisi
pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan
Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah
dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.
Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke
perempuan-perempuan Aceh seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda. Padahal,
Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama orang-orang
Aceh melawan Portugis di Malaka (1513).
Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai
tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta,
sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati
memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada
1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini
berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.
Lalu di masa Indonesia 'modern' tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang
meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden. Sementara di
Aceh abad ke-17, Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Nur Alam
Nakiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Kumala Syah. Itu belum termasuk 16
perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen)
antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut
kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR.
Tokoh Aceh legendaris lainnya, seperti Daud Beureueh juga digambarkan
tak kalah buruknya di buku-buku pelajaran sekolah di masa Orde Baru. Abu
Beureueh disosokkan sebagai pemberontak yang layak ditumpas tanpa diajarkan
mengapa dia memilih angkat senjata melawan negaranya sendiri. Negara yang
justru ikut diperjuangkannya selama masa pendudukan Belanda.
Murid-murid sekolah di Indonesia juga tak pernah diajarkan bahwa Radio
Rimba Raya yang mengudara secara gerilya di Aceh Tengah sangat berjasa saat
RRI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949.
Sebaliknya, fakta bahwa banyak anak bangsa yang mendukung penjajahan
Belanda, justru tak pernah diungkap. Di dinding Kerkhof di Banda Aceh,
tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila
diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang
bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Sebab
ada juga nama Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.
Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang
dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri
dari orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran
sekolah, pemerintah rupanya sengaja menyembunyikan fakta bahwa 82 persen
tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri!
Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang
terkenal kejam di Aceh. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada
murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi
bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.
Kejujuran memang menyakitkan (dan memalukan). Apalagi bila generasi
muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000
orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa! Disusul orang Belanda
sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).
Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim pada 1873, Kohler membawa
11.566 prajurit Eropa dan 15.128 prajurit pribumi. Orang Aceh sendiri nyaris
absen dalam barisan prajurit pribumi dan memilih mengundurkan diri hingga ke
tanah Gayo dan Alas daripada bekerja untuk kompeni.
Karena itu, ketika KTP Merah Putih diberlakukan sejak darurat militer
hingga kini, dan orang Aceh dipaksa mengikuti upacara-upacara, menyanyikan
lagu Indonesia Raya, atau mengikuti ikrar kesetiaan NKRI, sesungguhnya bak
itik mengajari burung terbang.
Apalagi, 'nasionalisme' sudah lama bangkrut di Jakarta. Sejak menjadi
presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto
memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Sepertinya tak ada yang lebih
nasionalis dan cinta NKRI dibanding dirinya. Tapi setelah lengser, upacara
17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu
mengundang mantan presiden dan keluarganya. Kemungkinan terbesar karena
gengsi. Gengsi karena sudah tidak menjabat lagi.
Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001,
alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah
menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu

Garuda Pancasila dipelesetkan.
Pancasila dasarnya apa...
Rakyat adil makmurnya kapan...
Pribadi bangsaku.
Enggak maju... maju
Enggak maju... maju
Enggak maju, maju....

Padahal, aktivis Kontras, Ori Rahman, sempat digebuki anggota Pemuda
Panca Marga gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya. Ori sedang diuji rasa
'nasionalismenya' melalui sebuah lagu, hanya karena dia menentang kebijakan
darurat militer di Aceh.
BJ Habibie lebih 'parah' lagi. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di
jejeran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak
mau tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa. Seperti ada
pesan: saya hanya mau tinggal di Indonesia bila menjadi presiden, atau
setidaknya menristek.
Sementara di Aceh, barangsiapa yang tidak datang upacara, tidak ikut
ikrar kesetiaan, akan dianggap tidak nasionalis. Dianggap tidak cinta NKRI,
dan bisa dituding sebagai antek separatis. Semua ini terjadi di masa dua
tahun status darurat yang dikumandangkan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lantas, kini orang Aceh menunggu (baca: menantang), akankah 'Cut Nyak'
Mega yang nasionalis itu akan menghadiri upacara 17 Agustus 2005 di Istana
Negara nanti? Tidak kah dia gengsi hanya duduk di kursi undangan, sementara
bekas menterinya justru menjadi inspektur upacara?
Tentu jawaban Megawati dan pendukungnya bisa seperti ini: "Ah,
nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja."
Bila begitu halnya, lalu mengapa orang Aceh harus ikut upacara agar
disebut nasionalis dan bukan separatis? Dan benarkah KTP Merah Putih bisa
jadi bukti orang Aceh memang cinta NKRI? Bukankah harga yang harus dibayar
orang Aceh terlalu mahal sekedar untuk merayakan 'nasionalisme' simbol ala
Jakarta ini?
Dengan semangat ikut membantu 'meluruskan' sejarah dan menggugat
definisi 'nasionalisme' itulah, situs acehkita.com akan menurunkan liputan
khusus secara berseri sejak hari ini (1 Agustus 2005) dalam rangka ikut
meramaikan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Artikel-artikel inilah yang kami muat
di majalah edisi Agustus: Menunggu Sang Wali Pulang Kampung. Bagi para
pembaca yang tidak sempat mendapatkan majalah tersebut, artikel-artikel ini
semoga bisa menjadi obat penawarnya.
Tentu saja sejarah banyak versinya. Untuk itu, dengan kerendahan hati,
redaksi memohon maaf bagi pihak-pihak yang merasa versinya tak tertulis
secara lengkap. Demikian pula bila ternyata ditemukan banyak
ketidakakuratan. Keberatan yang menyusul setelahnya, kami anggap sebagai
sumbangan besar untuk menyiapkan sesuatu yang lebih baik, kelak di kemudian
hari.
Namun yang lebih penting, melalui liputan khusus ini, kami ingin
menjawab pertanyaan: Apa yang terjadi di Aceh setelah 60 tahun ikut
Indonesia?

Oleh: Dandhy D Laksono

Indonesia Tak Bisa Tanpa aceh

KASUS Aceh merupakan ironi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Rakyat Aceh yang melakukan tindakan heroik mempertahankan eksistensi Indonesia pada saat kritis di awal kemerdekaan, justru kemudian berbalik arah, melakukan pemberontakan.

Segera terlihat pula, dalam sikap pembelaan maupun pemberontakan, orang Aceh senantiasa mengekspresikan salah satu wataknya yang totalitas. Totalitas untuk membela mati-matian Indonesia merdeka di saat sangat genting. Ketika Belanda ingin menguasai lagi Indonesia dengan agresi militer pertama dan kedua, Aceh dengan gagah perkasa membela dan mempertahankannya.

Namun, dengan sikap totalitas yang sama pula, rakyat Aceh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Gerakan pemberontakan di Aceh, sekurang-kurangnya sampai sekarang, belum berhasil dipatahkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Rakyat Aceh memang mempunyai tradisi perlawanan yang sangat panjang, terutama sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aceh pernah melakukan perlawanan total dan tanpa ampun terhadap Portugis di Malaka maupun terhadap Belanda di Tanah Aceh sendiri.

Dengan memperhatikan totalitas watak masyarakat Aceh, segera terbayang kesulitan yang akan dihadapi dalam mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Sangat dibutuhkan imajinasi untuk bisa mempertahankan gairah dan melambungkan harapan untuk perdamaian.

Tanpa visi yang berjangkauan jauh ke depan, proses perdamaian akan cepat mati langkah dan menemui jalan buntu. Penyelesaian krisis Aceh sangat mendesak karena taruhannya begitu serius terhadap masa depan dan eksistensi Indonesia. Penanganan yang tidak serius dan perilaku menarik ulur waktu merupakan tindakan bermain api yang sangat berbahaya.

Meskipun jalan yang harus dilalui panjang dan berlika-liku, prospek perdamaian sangatlah jelas dan terbuka. Tidak semua masyarakat Aceh mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dunia internasional pun tidak mendukung GAM karena tidak menginginkan Indonesia pecah.

Namun, diperlukan keseriusan dan ketulusan melaksanakan syarat-syarat perdamaian. Termasuk keseriusan mengobati luka hati masyarakat Aceh. Tidak cukup lagi hanya mengecam karena yang sangat dibutuhkan justru upaya mengidentifikasi akar persoalan dan mencabutinya.

Pergeseran peran rakyat Aceh dari posisi mendukung keras menjadi menentang keras Indonesia merdeka termasuk radikal. Namun, di tengah harapan perdamaian, tidak perlu didendangkan lagu Kau Yang Mulai, Kau Yang Akhiri.

Rakyat Aceh telah memulai sesuatu untuk Indonesia merdeka dengan cara mengesankan. Kontribusi Aceh yang besar terhadap Indonesia merdeka termasuk fenomenal. Mungkin karena itu gerakan pemberontakan di Aceh hanya semakin memberi gambaran kontras terhadap apa yang dilakukannya pada awal kemerdekaan.

Aceh yang begitu setia dan penuh dedikasi terhadap integritas negara Indonesia, kemudian tergoda memisahkan diri. Semula berperan sebagai salah satu lokomotif membela Indonesia merdeka, kemudian mengambil posisi berseberangan. Aceh tidak lagi berada di depan, tetapi sudah terjengkang jauh ke belakang.

Peran strategis

Tanpa bermaksud membesar-besarkan peran rakyat Aceh, sejarah memperlihatkan tanggung jawab tinggi rakyat Aceh dalam membela Indonesia merdeka. Mungkin karena itu ada yang berpendapat, Indonesia tidak mungkin tanpa Aceh, tetapi Aceh bisa tanpa Indonesia.

Pendapat itu tidak hanya menunjuk peran penting Aceh dalam mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman penjajah, tetapi sekaligus menjelaskan eksistensi Indonesia. Aceh merupakan bagian eksistensial Indonesia merdeka. Persoalan eksistensial ini juga berlaku bagi wilayah dan suku lain di Indonesia.

Jika Aceh atau wilayah lain melepaskan diri, eksistensi Indonesia dengan sendirinya terancam pula. Pengertian tentang Indonesia pun otomatis mengalami perubahan. Apalagi pemisahan sebuah wilayah dikhawatirkan hanya akan mendorong perpecahan lebih besar, seperti terlihat dalam Sindrom Uni Soviet.

Sementara itu, pengertian “Aceh bisa tanpa Indonesia” sama sekali tidak mengacu pada realitas masa depan, tetapi lebih merefleksikan keperkasaannya di masa lalu, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Sebelum Indonesia terbentuk, Aceh dan wilayah Indonesia lainnya sudah ada ribuan tahun.

Sejak abad ke-16, Aceh termasuk salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, di samping Kerajaan Ottoman Turki, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfan di Timur Tengah (Timteng), dan Kerajaan Agra di India. Hubungan Aceh dengan mancanegara pun sudah terbentuk.

Aceh sudah berhubungan diplomatik dengan Turki, dan melakukan kontak dengan negara-negara Arab di Timteng, Persia (Iran), Gujarat (India), kerajaan di Semenanjung Malaya, kerajaan di Jawa, Cina, dan Sumatera.

Dalam menyerang Portugis tahun 1575 maupun 1582 di Malaka, Aceh menjalin kerja sama dengan Turki. Belanda mulai melakukan kontak dengan Aceh sebagai kerajaan besar tahun 1599. Bahkan, dalam Traktat London tahun 1824, Belanda mengakui dan menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.

Namun, Traktat London dilanggar Belanda ketika menandatangani Traktat Sumatera tahun 1871 dengan Inggris, yang memberi wewenang kolonial kepada Belanda untuk memperluas kekuasaan ke seluruh Sumatera. Hubungan memburuk ketika Belanda mulai menduduki wilayah Aceh di Malaka dan Semenanjung Malaya. Ketegangan memuncak tahun 1873 ketika Belanda mengumumkan perang.

Tradisi perlawanan Aceh yang dibangun sejak perang melawan Portugis dan Belanda diperlihatkan pula ketika membela Indonesia merdeka terhadap ancaman agresi Belanda. Namun, kisah heroik rakyat Aceh mulai tercemar oleh gerakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat.

Gerakan pemberontakan rakyat Aceh tidak datang tiba-tiba, tetapi merupakan puncak kekecewaan yang panjang. Setelah kemerdekaan, Aceh tidak mendapatkan apa yang seharusnya diperolehnya, tetapi malah dikeruk dan dipermiskin.

Eksplorasi kekayaan alam Aceh seperti hutan dan gas alam lebih dirasakan sebagai eksploitasi. Rakyat Aceh pun menjadi terpinggirkan secara ekonomi dan kemudian secara politik. Bahkan, Aceh akhirnya dipojokkan dan didiskreditkan sebagai komplikasi gerakan pemberontakan.

Namun, tidak bisa dihapuskan dari ingatan kolektif bangsa Indonesia tentang peran penting Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia. Dalam buku Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang (1998), disebutkan bagaimana Aceh mengambil posisi terdepan dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama 21 Juli 1947 dan agresi kedua 19 Desember 1948, Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak diduduki Belanda. Rupanya Belanda masih mengalami trauma atas perang panjang dengan Aceh tahun 1873-1914, yang berakhir tanpa diketahui menang dan kalah.

Dalam menangkis siaran Radio Batavia dan Radio Hilversum (Belanda) bahwa Indonesia sudah mati karena Ibu Kota Yogyakarta sudah diduduki dan Soekarno-Hatta ditangkap, Aceh membangun pemancar radio Rimba Raya dan sering disebut pula Radio Indonesia Kutaradja dan Suara Indonesia Merdeka.

Perangkat radio diperoleh melalui operasi penyelundupan malam hari yang lihai antara Aceh-Penang-Singapura. Jangkauan siaran Radio Rimba Raya tidak hanya seluruh Tanah Air, tetapi juga bisa ditangkap jelas di Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Bahkan kemudian dipantau di Manila dan New Delhi. Kevakuman siaran Radio Republik Indonesia (RRI) benar-benar diisi oleh Radio Rimba Raya.

Radio itu juga berfungsi untuk menyiarkan pesan dan berita Markas Besar Angkatan Republik Indonesia yang berpindah-pindah di Pulau Jawa dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Tengah.

Kehadiran Radio Rimba Raya di Aceh, ditambah Radio Siaran Republik di hutan-hutan Surakarta dan Siaran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat, sangat bermanfaat bagi perang saraf melawan propaganda Belanda.

Daerah modal

Bukan hanya mendirikan pemancar radio, rakyat Aceh juga menyiapkan Kutaradja (kini Banda Aceh) untuk sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai “ibu kota darurat” Republik Indonesia.

Langkah persiapan Kutaradja sebagai ibu kota darurat diambil untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dibuka 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Jika KMB gagal, akan dibentuk “kabinet perang” di Kutaradja untuk melawan Belanda.

Presiden Bung Karno menginstruksikan sejumlah pimpinan dan kesatuan ABRI untuk meninggalkan Yogyakarta menuju Kutaradja. Kota Yogyakarta memang sudah tidak aman lagi sehingga Kutaradja dijadikan tempat persiapan perang rakyat semesta melawan agresi Belanda.

Tidaklah berlebihan ketika Aceh dijuluki Presiden Soekarno sebagai “daerah modal” karena sumbangan moril dan material yang begitu hebat untuk mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman pendudukan kembali Belanda.

Dalam kunjungan ke Aceh tanggal 16 Juni 1948, Soekarno mengajak rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Di luar dugaan, rakyat Aceh spontan mengumpulkan uang dan tidak kurang 20 kg emas murni, yang cukup membeli dua pesawat jenis Dakota. Bahkan, uang masih tersisa untuk membiayai operasional para duta dan perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti Singapura, Penang, New Delhi, Manila, dan PBB.

Soekarno memberi nama pesawat Dakota pertama dengan “Seulawah” RI-001. Pesawat perintis yang mulai beroperasi Oktober 1948 merupakan kekuatan pertama Angkatan Udara RI dalam menerobos blokade udara Belanda. Pesawat itu menjadi jembatan udara antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah Darurat di Sumatera Tengah dan Kutaradja (Aceh). Pesawat kedua sumbangan rakyat Aceh bernama “Dakota” RI-002.

Sebelum dua pesawat Dakota diserahkan, rakyat Aceh sebenarnya sudah menyerahkan pesawat terbang jenis AVRO ANSON dengan nomor registrasi RI-003. Pesawat ini dibeli di Thailand tahun 1947 dengan pembayaran dalam bentuk emas murni, dan diterbangkan oleh Komodor Muda A Halim Perdanakusumah dan Opsir Udara I Iswahyudi, yang sewaktu pulang ke Indonesia jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia.

Atas pertimbangan jasa rakyat Aceh yang begitu hebat, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Aceh tanggal 26 Mei 1959. Namun, setelah itu Aceh yang sudah berperan seolah dilupakan. Proses pembangunan Aceh, seperti di wilayah lainnya, kurang diperhatikan.

Selama era Orde Baru, Aceh tidak pernah mendapatkan apa yang harus diperolehnya. Sebaliknya Aceh dieksplorasi, yang terasa sebagai proses pemiskinan. Tidak mengherankan, Aceh sangat terpukul, merasa diabaikan.

(Rikard Bagun)

Sabtu, 15 Mei 2010

Siaran Radio Rimba Raya Pernah Direlay India

TAKENGON – Sepanjang peperangan melawan agresi penjajahan Belanda, siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Perjuangan Rimba Raya selalu dipancarkan kembali (direlay) oleh All India Radio di India. Siaran relay itu pun dimonitor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat, dan radio lain di berbagai negara. Fakta itu diungkapkan oleh saksi sejarah, Drs H Mahmud Ibrahim dalam Dialog Interaktif Napak Tilas RRI Perjuangan Radio Rimba Raya di Oproom Kantor Bupati Aceh Tengah, Selasa (11/5).

Dalam dialog yang disiarkan RRI secara nasional itu, Mahmuh Ibrahim mengatakan, suatu ketika siaran Radio Rimba Raya yang sedang direlay oleh All India Radio itu didengar oleh anggota PBB yang bersidang di Amerika Serikat, sehingga mereka mengetahui bahwa provokasi yang dilancarkan Belanda bahwa Negara Indonesia telah takluk adalah berita yang tidak benar. “Dari siaran radio itu pula, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia terus memberitahukan kepada negara-negara di Asia dan Eropa, bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka,” sebutnya.

Dalam menyiarkan berita-berita kepada dunia, kenang Mahmud Ibrahim, penyiar Radio Rimba Raya menyapa pendengar dengan sebutan pembuka “Inilah Radio Republik Indonesia Rimba Raya”. Dikatakan Mahmud Ibrahim, perangkat siar Radio Rimba Raya dibeli oleh Jhon Lee dari Thailand, kemudian dibawa melalui Malaysia dan berlabuh di Sumatera Utara. Kemudian oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat itu dibawa ke Bireuen dan di Kota Juang inilah Radio Rimba Raya mulai menyiarkan berita-berita perjuangan kepada dunia.

Tidak lama beroperasi di Kota Bireuen, kata Mahmud Ibrahim, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh), namun keberadaan radio perjuangan itu di Banda Aceh tidak lama. Oleh pejuang RI dipindahkan ke Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Karena tentara Belanda terus membombardir Tanoh Gayo untuk mencari keberdaan perangkat Radio Rimba Raya, sehingga para pejuang kemerdekaan memindahkan perangkat itu ke Kampung Rime Raya, sekarang berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah (Jalan Bireuen Takengon Kilometer 60).

“Karena letaknya di dalam hutan belantara yang sering berpindah-pindah, maka radio perjuangan ini diberi nama Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam Bahas Gayo disebut Radio Rime Raya,” ujar pelaku sejarah, Mahmud Ibrahim. Direktur Utama RRI, Parni Hadi mengatakan, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan cikal bakal RRI sekarang. Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap jasa-jasa perjuangan Radio Perjuangan Rimba Raya, kata Parni Hadi, dibangunlah Stasiun Produksi RRI Takengon yang mengudara pada gelombang FM 93 Mhz, berkekuatan 150 watt di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.

Parni Hadi mengatakan, untuk sementara perangkat Stasiun RRI Takengon ditempatkan di Kantor Bupati Aceh Tengah, sebelum adanya bangunan kantor yang lebih representatif. Untuk membangun studio RRI Takengon, akan dicari lokasi yang strategis dengan bekerja sama dengan Pemkab Aceh Tengah. ”Mengenai biaya, harus jelas, berapa sumbangan pak bupati, berapa saya,” ujar Parni Hadi sambil melirik Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM dan disambut tawa para peserta pertemuan napak tilas Perjuangan Radio Rimba Raya. Di samping meresmikan Perangkat Siar Studio RRI Takengon, Parni Hadi juga meresmikan pemancar relay di Pantan Terong pada ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut (dpl), melihat bunker persembunyian Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara dan lokasi tempat disembunyikan perangkat radio Perjuangan Rimba Raya saat perang melawan Belanda di Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.(min)

Kamis, 13 Mei 2010

RRI Mengudara di Takengon

Radio Republik Indonesia (RRI) mulai mengudara dari Takengon. Seluruh masyarakat Indonesia khusus masyarakat dataran tinggi Gayo dapat mendengarkan informasi langsung dari RRI Takengon dengan membuka frekwensi FM 93.00 MHz.

Acara perdana siaran RRI ditandai dengan penandatanganan prasasti kerja sama antara Dirut LPP RRI Pusat, Parni Hadi dengan Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin, MM di operation room Setdakab, Selasa (11/5).

Peresmian studio produksi RRI Takengon juga sebagai bentuk napak tilas Radio Rimba Raya (RR) sebagai radio perjuangan pada era kemerdekaan RI. Melalui pancaran RR diketahui bahwa Indonesia Raya masih ada hingga ke seluruh dunia.

"Hari ini kita buat sejarah di kota yang bersejarah. Dengan mengudaranya RRI, masyarakat Aceh Tengah ikut bangkit, maju dan berkembang," kata Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Dia pengupas sejarah perjalanan RRI yang bergerilya dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman hijrah dari Jakakarta ke Jogyakarta. Pejuang yang setia para petani dan tentara ikut menggotong alat radio RRI yang cukup berat. Penyiaran radio RRI dilakukan dari Karang Anyar yang ditangkap Radio RR kemudian disiarkan lagi hingga ke India dan akhirnya bisa terakses hingga ke seluruh dunia bahwa "Indonesia itu masih ada".

"RRI tidak boleh berhenti mengudara, aspirasi rakyat harus tersalurkan. Kendala seperti sering padam listrik di Takengon bisa ditangani dengan generator atau tenaga surya. Yang terpenting ada kerja sama," kata Parni Hadi.

Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin menjelaskan, sejak 65 tahun yang lalu pernah dipancarkan merdeka atau mati dari Radio Rimba Raya.

"Saat frekwensi daerah lain mulai meredup, justru gaung semangat pahlawan untuk berjuang menggema dari Kampung Burni Bius di Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Dari bunker Radio Rimba Raya inilah opini dunia bahwa Negara Indonesia yang dikhabarkan oleh Belanda telah takluk justru masih ada," tegas Bupati Nasaruddin.

Semangat para pahlawan Republik Indonesia ini, membuat keganasan pasukan Belanda semakin ciut. Sehingga dampak penguasaan jajahan wilayah NKRI dari tentara Belanda dinyatakan gagal. Murka Belanda yang berupaya membungkam Radio Rimba Raya dengan pesawat pembomnya juga sia-sia. Radio Rimba Raya terus bergerilya masuk hutan ke luar hutan dengan pimpinan Mr. Safruddin Prawiranegara.

Gelombang FM

Dikatakan Nasaruddin, masyarakat Gayo sudah lama merindukan RRI dengan gelombang FM, selama ini hanya melalui gelombang AM yang terkadang tidak terpantau. Padahal masyarakat sangat haus informasi, jika pun ada hanya dari Radio BBC London. Berdirinya stasiun RRI Takengon ini menjadi kebanggaan masyarakat daerah penghasil kopi itu.

Di samping itu, Pemkab Aceh Tengah punya kehendak informasi pembangunan bisa sampai kepada masyarakat luas. Dengan hadirnya RRI semua sektor pembangunan seperti pertanian, perdagangan dan lainnya bisa tersampaikan, kata bupati.

Dia berharap agar RRI Takengon bisa bekerja sama dengan radio-radio swasta yang ada di daerah itu dan bisa mengantisipasi kendala listrik yang sering padam, sehingga RRI tetap bisa mengudara.

Usai pertemuan dengan para SKPD dan tokoh masyarakat serta dialog interaktif dengan masyarakat Aceh Tengah melalui siaran online, Dirut LPP RRI Parni Hadi melakukan kunjungan ke Bukit Pantan Terong tempat berdirinya tower RRI dan Bunker Radio Rimba Raya di kampung Burni Bius.(jd)
Takengon, (Analisa)

Masyarakat Aceh Sambut Hangat RRI Takengon


Jakarta, Kehadiran stasiun produksi RRI di Takengon Aceh Tengah, mendapat sambutan hangat dari masyarakat Aceh.

Dalam dialog di Studio RRI Takengon dan dipancarkan melalui Pro3 Pusat Pemberitaan RRI di Jakarta, Selasa (11/5) pagi, salah seorang mantan pejuang sekaligus Penyiar Radio Rimba Raya, Tengku Mahmud Ibrahim, dengan rasa terharu menceritakan perjuangan membangun station radio, guna mengcounter provokasi pasukan Belanda pada masa agressi kedua.

Menurut Mahmud Ibrahim, radio perjuangan yang pernah mengudara dari Aceh Tengah, berdiri di tengah hutan belantara.

Tengku Mahmud Ibrahim, yang juga seorang pemulis itu, menyerahkan sebuah tulisan tentang sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, diserahkan kepada Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Pada kesempatan itu, Dirut LPP Parni Hadi mengakui generasi sekarang banyak berutang pada generasi masa perjuangan.

Kehadiran Studio Produksi RRI di Takengon, diharapkan mampu mengumandangkan apa yang ada di Aceh Tengah, sehingga Aceh Tengah dikenal masyarakat seluruh negeri ini, bahkan ke luar negeri.

Dialog dengan thema Napak Tilas Radio Rimba Raya di Stasiun Produksi RRI Takengon, Selasa (11/5) pagi, dihadiri Bupati Aceh Tengah H Nasrudin, Ketua DPRK Aceh Tengah Zulkarnain, serta sejumlah tokoh masyarakat setempat. (Nurhadi/DS)

Selasa, 11 Mei 2010

Saat Perang Kemerdekaan Peran Radio Rimba Raya Sangat Besar

TAKENGON - Peran dan kontribusi Radio Perjuangan Rimba Raya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari agresi penjajahan Belanda sangat besar, namun kisah perjuangan radio itu kurang diberitakan, sehingga warga tidak tahu keberadaan media elektronik itu sendiri.

“Radio Rimba Raya merupakan sarana komunikasi satu-satunya saat pejuang-pejuang Indonesia melawan serang-serangan dari pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya,” kata Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM di sela-sela pemasangan perangkat siar studio RRI Takengon di Kantor Bupati Aceh Tengah, Minggu (9/5).

Bupati mengatakan, peran Radio Rimba Raya (bahasa Gayo: Radio Rime Raya) sangat penting terutama pada detik-detik kritis para pahlawan dari Aceh mempertahankan negara Indonesia. Dalam perang gerilya melawan Belanda, katanya, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya ini sempat berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk menghindari gempuran tentara Belanda yang ingin merebut perangkat siar radio perjuangan itu.

“Tidak jarang, perangkat radio itu disimpan di bawah semak-semak dan digantung pada pepohonan guna menghindari dari pencarian yang terus-menerus oleh Belanda. Keinginan Belanda merebut perangkat Radio Rimba Raya itu sangat besar, bahkan, ada pasukan khusus yang bertugas mencari dan merebut perangkat radio itu,” tambahnya.

Dalam perjuangan mempertahankan negara Indonesia dari penjajahan Belanda, kata Bupati Nasaruddin, Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara sempat bersembunyi di daerah yang kini Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Saat itu, ibukota Jakarta sudah dikepung oleh tentara sekutu.

Dari dataran tinggi Gayo ini Syarifuddin Prawiranegara dengan menggunakan Radio Rimba Raya mengumandangkan kepada negara-negara di dunia, bahwa negara Indonesia masih ada dan belum tunduk kepada tentara sekutu. Menurut sejarahnya, jangkauan siaran Radio Rimba Raya dapat dimonitor di beberapa negara di Asia diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja dan India.

Karena jangkauannya yang sangat luas, ujar Nasaruddin, para pejuang Indonesia menggunakan empat bahasa utama dalam memberikan informasi kepada dunia, selain Bahasa Inggris, juga Bahasa Arab, Urdu dan Bahasa India.

Para penyiar radio merangkap sebagai pejuang terus-menerus mengumumkan kepada dunia luar bahwa negara Indonesia masih ada. “Dengan perangkat Radio Rimba Raya itulah, Syarifuddin Prawiranegara memberitakan tentang perjuangan rakyat Indonesia yang sedang berperang melawan tentara Belanda,” ujar Nasaruddin.

Bupati Aceh Tengah itu menyampaikan terima kasih kepada Direktur Radio Republik Indonesia (RRI) yang telah membangun Stasiun RRI Takengon dan perangkat stasiun relay di Pantan Terong Takengon. Dengan adanya RRI Takengon itu, akan mengingatkan kembali perjuangan para pahlawan Aceh dan Gayo dalam mempertahankan kemerdekaan RI dengan bantuan perangkat Radio Rimba Raya.(min)

Jumat, 07 Mei 2010

RADIO RIMBA RAYA MENGGUGAT REPUBLIK INDONESIA

Radio Hilversum Belanda telah menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada, Yogyakarta telah diduduki, pemimpinnya telah ditawan, dan semua daerah Indonesia telah dikuasai oleh Belanda. Maka pusat pemerintahan tertuju pada daerah pedalaman Sumatera Barat sebagai pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) 19 Desember 1948 dibawah pimpinan Syarifuddin Prawiranegara, yang diberi mandat langsung oleh Sukarno, walaupun mandat yang disampaikan lewat telegram itu tidak sampai ketangan pemimpin yang ada di Bukit Tinggi.

Tujuan Sukarno pada saat itu untuk membentuk PDRI adalah semata-mata agar wilayah kedaulatan Indonesia, secara de facto yang tercantum pada perjanjian Linggar Jati 15 Februari 1946, eksistensinya tetap diakui secara politik di mata dunia internasional. Setelah perjanjian Roem Royen 07 Mei 1949, kemudian PDRI menyerahkan kembali kepemimmpinannya ke Jogjakarta dimana Aceh tidak termasuk kedalam bagian dari Republik Indonesia Serikat ( RIS ).

Dalam masa revolusi, pada saat Agresi pertama 21 Juli 1947 dan kedua 19 desember 1948, yang mana Belanda telah menyerang Indonesia secara membabi buta dan ingin memperluas jajahannya sampai ke Aceh, maka Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh mengadakan sidang dewan keamanan di Kutaraja, dan memutuskan agar para pejuang Aceh yang sebagian tergabung dalam Barisan Gurilla Rakyat ( BAGURA ) dibawah pimpinan Tengku Ilyas Lebe dan Tengku Saleh Adry berperang di Medan Area, untuk mempertahankan republik menuju terbentuknya negara yang benar-benar berdaulat.

Disamping pengiriman pasukan BAGURA, ada hal penting lain yang di bicarakan, yaitu bagaimana cara menciptakan propaganda-propaganda yang bisa mempengaruhi opini dunia internasional juga meng-counter berita berita yang disiarkan Belanda. Oleh karena itu pihak militer sendiri dibawah pimpinan Tengku M.Daud Beureueh, melalui kolonel Husein Yusuf, maka diperintahkanlah saudara Nif Karim untuk berangkat ke Singapura membeli seperangkat alat radio, yang kemudian diselundupkan melalui selat Malaka menuju perairan Aceh.

Setelah sampai ke Aceh alat radio itu langsung dibawa menuju Bireuen, sementara antenanya ditempatkan di Krueng Simpur, dan studionya dioperasikan dari rumah Kolonel Husein Yusuf, namun oleh Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh memerintahkan, supaya radio divisi X dipindahkan ke Kutaraja, antenanya dipasang di Bukit Cut Gue, dan studionya terletak di Peunayong.

Kemudian terjadilah agresi Belanda ke II, dimana pemerintahan Republik Jogja sudah tidak ada lagi, karena alasan keamanan itulah diputuskan Radio Divisi X dipindahkan lagi ke pedalaman Aceh, tepatnya di Burni Bius, Takengon.
Namun pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan radio siluman tersebut, Tapi para pejuang Aceh dengan taktik perang gerilya tidak pernah kehabisan akal untuk mengelabui Belanda yang ingin menghancurkan pergerakan radio siluman milik rakyat Aceh tersebut, yang pada akhirnya radio itu ditempatkan didalam hutan rimba raya Ronga-Ronga, Takengon.

Dengan pantauan gelombang radio pesawat tempur Belanda, mereka mencari keberadaan radio siluman tersebut secara besar-besaran, namun Belanda tetap tidak berhasil, karena sistem penyiaran yang digunakan oleh Radio Divisi X berganti-ganti signal calling, yang sebenarnya hanya dilakukan oleh satu radio saja yaitu Radio Rimba Raya, signal calling yang pernah dipakai itu antara lain : Suara Radio Rimba Raya, Suara Radio Divisi X, dan Suara Radio Republik Indonesia.

Dengan tidak melupakan peran radio-radio kecil lainnya yang ada di jawa maupun di Sumatera yang membantu penyampaian berita-berita lokal setempat, melalui kode morse secara estafet, dari Playen Gunung Kidul, ke pedalaman Sumatera Barat, dan akhirnya sampai kepada Radio Rimba Raya di Aceh yang kemudian menyiarkannya kepenjuru dunia. Bukan hanya berita-berita propaganda saja yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya terhadap perjuangan Indonesia, bahkan sampai hal yang kecil sekalipun disiarkannya, seperti memesan obat untuk Panglima Besar Jenderal Sudirman ke luar negeri.

Walaupun Radio Rimba Raya tersebut ala kadarnya, tapi bisa mempengaruhi Dewan Keamanan PBB, dan dapat merubah opini dunia internasional, sebab berita yang disiarkan berbunyi “ Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada, Pemerintahannya masih ada, dan disini adalah Aceh “, maka DK PBB membuat kebijakan agar segera mengirim tim peninjau ke Indonesia, untuk membuktikan pernyataan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya, karena wilayah yang satu-satunya tinggal dan tidak di sentuh Belanda adalah “ ACEH ”, ternyata berita itu benar, maka tergeraklah DK PBB untuk segera mengadakan perundingan Indonesia – Belanda, hingga terwujudlah “ Konferensi Meja Bundar “ ( KMB ), yang akhirnya menentukan kedaulatan Republik Indonesia.

Tapi alangkah sedihnya...!!!
Radio Revolusi Perjuangan Rimba Raya seakan-akan lenyap dari muka bumi ini, walaupun ruh perjuangan Indonesia telah menceraikannya, namun sebagai seorang ibu yang bijaksana Radio Rimba Raya tak pernah benci terhadap anak yang dilahirkannya. Sejarah yang menjadi hakikat perjuangan akhir bangsa Indonesia ini dari cengkeraman imperialisme Belanda, dianggap seperti dongeng yang ketinggalan jaman oleh bangsa yang telah dibesarkan dari penderitaan akibat penjajahan itu sendiri. Kata-kata bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa pahlawannya, seolah-olah tidak berlaku lagi di jaman yang katanya modern ini dan menjadi sampah setelah Indonesia merdeka, alangkah picik dan durhakanya kita sebagai anak bangsa dan penerus perjuangan melupakan bagian dari proses lahirnya negara ini.

Setelah saya sempat menonton secara khusus Film dokumenter Radio Rimba Raya karya “ Ikmal Gopi “, walaupun belum diberi effect, dan belum adanya proses mixing maupun grading gambar, saya tergugah untuk menulis artikel ini walaupun terkesan asal-asalan, yang penting ada secuil kepedulian saya sebagai generasi muda Aceh, terhadap nilai-nilai perjuangan dan sumbangsih bangsa Aceh terhadap Indonesia ini.

Jakarta 03 Mei 2010
Penulis: Mahesa Linge

Dirut RRI Telusuri Radio Rimba Raya

TAKENGON - Direktur Utama (Dirut) Radio Republik Indonesia (RRI) Parni Hadi bersama sejumlah direktur dan Kepala Stasiun (Kepsta) RRI beberapa daerah di Sumatera, akan menelesuri jajak sejarah Radio Rimba Raya. Sebagaimana diketahui Radio Rimba Raya adalah radio perjuangan yang berjasa pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari agresi Belanda.

Kabag Humas Pemkab Aceh Tengah, Drs Windi Darsa MM, Selasa (4/5) mengatakan, kedatangan Dirut RRI, Parni Hadi ke Takengon untuk meresmikan Stasiun Produksi RRI Takengon dan pemancar relay di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen. Semua kegiatan Parni Hadi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan disiarkan langsung oleh RRI Lhokseumawe dan RRI Banda Aceh.

Napak tilas Radio Perjuangan Rimba Raya ini merupakan yang pertama dilakukan oleh Direktur Utama RRI sepanjang kemerdekaan Republik Indonesia. Parni Hadi dan rombongan akan berada di dataran tinggi Gayo selama dua hari, Senin dan Selasa (10-11/5)

Selain napak tilas dan peresmian stasiun produksi RRI Takengon, kata Windi Darsa, Parni Hadi bersama Bupati Aceh Tengah Ir H Nasaruddin MM juga akan menggelar talk show tentang Perjuangan Radio Rimba Raya. Malam harinya, Direktur Utama RRI itu, juga akan menghadiri pertujukan kesenian daerah dan berdialog dengan pelaku sejarah Radio Perjuangan Rimba Raya.

Menurut sejarah, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan para pejuang kemerdekaan untuk mengumandangkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan sudah merdeka. Pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya dibeli oleh para pejuang kemerdekaan di negeri Malaysia dan dibawa secara sembunyi-sembunyi ke Koetaradja (Banda Aceh), kemudian, mesin pemancar itu dibawa ke Takengon.

Dalam perjalannya, pemancar radio itu sering berpindah-pindah tempat agar tidak diketahui oleh kolonial Balanda. Menurut sebuah sumber, siaran Radio Perjuangan Rimba Raya saat itu dapat dimonitor hingga di negara Malaysia, Singapura dan Thailand.

Windi Darsa mengatakan, dengan diresmikan Stasiun Produksi RRI Takengon dan pemancar relay-nya, informasi-informasi pembangunan dapat dipancarkan dari RRI Takengon pada gelombang 93 FM. Selain menyiarkan berita dan hiburan, sebut Windi Darsa, Radio RRI Takengon juga mengelola rubrik khusus yakni Tanoh Tembuni dan Gayo Mutalu. Kedua mata acara ini memfokuskan pada informasi pembangunan daerah, budaya, dan kesenian Gayo. “Dengan beroperasinya RRI Takengon, akan memberi peluang kerja bagi putra-putri Gayo yang memiliki minat bidang siaran dan jurnalistik,” ujar Windi Darsa yang sering disapa Caca itu.(min)