Kamis, 16 Juli 2009

Radio Rimba Raya Teronggok Sepi di Museum TNI AD


PERANGKAT TUA RADIO RIMBA RAYA itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum TNI Angkatan Darat (AD) Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.

Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq. Radio Rimba Raya disiarkan dari belantara Desa Rimba Raya, Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah -red). Dari sanalah disuarakan pesan-pesan perjuangan dan dikumandangkan eksistensi Republik Indonesia. “Republik Indonesia masih ada. Pemerintah Republik masih ada. Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh,” demikian antara lain bunyi siaran Radio Rimba Raya.

Berita-berita itu ditangkap oleh radio ALL India Radio yang kemudian menyiarkannya kembali ke penjuru dunia. Radio ini juga bisa ditangkap dengan jelas di berbagai kawasan di semenanjung Melayu, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, sampai Australia, dan beberapa tempat di Eropa. Pemancar Radio Rimba Raya berkekuatan 1 kilowatt bekerja pada frequensi 19,25 dan 61 meter. Dalam siarannya radio ini menggunakan signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Siaran dilakukan dalam bahasa Indonesia, Inggris, China, Urdhu, Arab, Belanda, dan bahasa Aceh.

Penyiar-penyiarnya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam. Selain berisi siaran warta berita, pengumuman, Radio Rimba Raya juga menghidangkan lagu-lagu rakyat dan lagu perjuangan yang membakar semangat perlawanan.

Tapi, siapa yang mau merenungkan peran Radio Rimba Raya dalam usaha menyelamatkan eksistensi Negara Republik Indonesia? Seolah tak ada yang peduli. Radio Republik Indonesia (RRI) sama sekali tidak pernah kita dengar menyinggung peranan Radio Rimba Raya dalam peringatan ulang tahunnya.

Buku-buku sejarah juga tidak mencatat soal itu. Keterangan mengenai Radio Rimba Raya diperoleh dari catatan-catatan terpisah dan hanya sedikit yang diketahui. Museum TNI AD Yogyakarta, juga tidak punya catatan lengkap mengenai Radio Rimba Raya. “Kita harus mengembalikan sejarah pada tempatnya. Apabila tidak, sejarah akan menggilas kita,” kata Ikmal Gopi, anak muda kelahiran Takengon, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang tergugah membuat film dokumenter Radio Rimba Raya.

Ikmal berharap dengan dibuatnya film dokumenter ini, paling tidak sudah mengurangi beban sejarah agar regenerasi mengenal lebih dekat dengan sejarahnya. “Sejarah merupakan ruang pengadilan yang jujur, jika tidak! kita akan diadili oleh sejarah itu sendiri, “ ujar Ikmal, alumni IKJ 2005 jurusan penyutradaraan.

Gagasan pembuatan film dokumenter muncul sejak 2002. Tapi, baru bisa terlaksana pada 2006. Ikmal berkeliling ke sejumlah tempat, termasuk Sumatera Barat dan beberapa daerah di Jawa untuk menyusuri jejak Radio Rimba Raya. Ia sempat hampir putus asa, karena tidak banyak keterangan mengenai radio tersebut. Namun, berkat ketekunan dan kesabaran, Ikmal akhirnya berhasil merampungkan pengambilan gambar, dan sekarang sedang proses editing. Dijadwalkan, film tersebut dapat diputar pada arena Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V Agustus 2009 mendatang.

Dibeli Nip Xarim
Adalah tentara Devisi Gajah I yang memesan peralatan pemancar Radio Rimba Raya, dari Malaya dengan cara diseludupkan. Kisah dramatik penyeludupan itu tertera dalam sebuah peper kecil “Peran Radio Rimba Raya” diterbitkan Kanwil Depdikbud Aceh, 1990. Pemancar tersebut, diselundupkan oleh John Lie, seorang yang terkenal “raja penyelundup” Asia tenggara. Peristiwa penyelundupan ini terjadi menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.

Disebutkan, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan.

Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan “enak” melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di sungai Yu, Aceh Timur. Dari sini peralatan diangkut ke Bireuen dan seterusnya digunakan oleh Divisi X untuk alat perjuangan. Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.

Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Berandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Tgk M Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.

Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis Drs Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/ajudan Komandan Divisi X Kononel M Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan hal ini. Tapi Ali Hasymj, dan TA Talsya menyebut John Lie lah yang membeli perakatan tersebut.

Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie, seorang keturunan Cina - Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap, menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus agresi militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan peasawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Kuta Radja (Banda Aceh). Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong.

Sebagai cadangan studio juga disiapkan di Cot Gue, sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Kuta Radja direbut musuh. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubenrnur Militer Tgk Mohd Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena resiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya). Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkan ke Lampahan dan Bireuen. Nihil. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain. Kabel tak cukup. Dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen. Ditemukan. Beres.

Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Pada salah satu kamarnya dijadikan studio penyiaran yang dipimpin sendiri oleh Husein Yoesoef.. Siapa nyana, dari pucuk gunung Tanah Gayo, dari pedalaman hutan belantara, Indonesia diselamatkan. Tapi, siapa yang mau mengenangkan ini semua?(fikar w.eda)