Berita The Outlaw berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka rupanya disiarkan di radio BBC dan All Indian
TANGGAL 1 Maret merupakan tanggal penting bagi Indonesia. Karena pada 1
Maret 1949 silam TNI melakukan serangan besar-besaran terhadap kota
Yogyakarta. Serangan tersebut telah dipersiapan dan direncanakan oleh
militer Indonesia di wilayah Divisi III/GM III dengan melibatkan
beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi
dari Panglima Besar Sudirman. Serangan besar-besaran ini kemudian
dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Tujuan serangan ini tak lain adalah untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI yang berarti adalah Republik Indonesia
keberadaannya masih cukup kuat. Dengan begitu bisa memperkuat posisi
Indonesia dalam perundingan yang saat itu sedang berlangsung di Dewan
Keamanan PBB.
Sebagaimana tercatat dalam situs Wikipedia tujuan utamanya untuk
mematahkan moral pasukan Belanda dan membuktikan pada dunia bahwa TNI
mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan. Pada saat itu Soeharto
sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana
lapangan di wilayah Yogyakarta.
Berita tentang perlawanan dan perjuangan setelah kemerdekaan Indonesia
tersebut kemudian disiarkan di seluruh daerah melalui radio. Termasuk di
Aceh melalui
Radio Rimba Raya.
Radio tersebut mengudara dari pedalaman wilayah Aceh di Kabupaten Aceh
Tengah. Daerah itu kini telah dimekarkan dan masuk ke teritori Kabupaten
Bener Meriah. Tanpa siaran informasi dari
Rimba Raya berita perjuangan Indonesia tentu tidak akan diketahui oleh masyarakat luas, khususnya di ujung Sumatera.
Mengudaranya
Radio Rimba Raya
tak terlepas dari peran sosok Laksamana Muda John Lie. Bagi generasi
sekarang nama John Lie mungkin tak terlalu familiar. Catatan-catatan
tentang dirinya juga sangat minim dan tidak ada yang pernah mengungkap
sosoknya secara utuh. ATJEHPOSTcom memperoleh cerita tentang sosok
Laksamana Muda John Lie dari berita yang diturunkan majalah Kartini
edisi 24 Desember 2009-7 Januari 2010 lalu. Cerita tentang sosok berani
tersebut diperoleh dari istrinya Ny Margaretha Dharma Angkuw.
Pemerintah RI menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 9 November 2009
mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. Sekaligus memberikan
penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan langsung oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada istrinya.
John Lie dilahirkan di Manado pada 9 Maret 1911 dari pasangan pengusaha
Cina yang sukses Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Karir kelautannya
dimulai sebagai mualim kapal pelayaran niaga KPM milik Belanda. Setelah
keluar dari KPM ia bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia (KRIS). Ia
dikenal sangat relijius dan lembut kepada semua orang.
Pada tahun 1945 John Lie menikahi Margaretha, beberapa bulan setelah
kemerdekaan RI. “Bapak memang bilang, mau menikah kalau Indonesia sudah
merdeka. Sebelum Indonesia merdeka Bapak tidak mau menikah,” kata
Margaretha sebagaimana ditulis Kartini.
Soal cerita perjuangan suaminya, Margaretha mengaku hanya tahu sedikit.
John Lie dikenal sangat tertutup soal perjuangannya. Itu karena ia tak
ingin kebaikan-kebaikan yang dilakukannya banyak diketahui orang.
Margaretha hanya bercerita sebanyak yang ia tahu. Di masa revolusi fisik
John Lie cukup tenar di kalangan pejuangan kemerdekaan, ia juga
disegani pasukan Belanda.
Tahun 1946 ia diterima di Angkatan Laut RI dengan pangkat Kapten. John
Lie mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma. Saat itu meski
Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya namun pasukan Belanda yang
didukung sekutunya masih berada di Indonesia. Setelah Jepang kalah atas
peristiwa Hiroshima dan Nagasaki Belanda rupanya berencana untuk kembali
menjajah Indonesia. Saat menjadi Kapten, John Lie pernah bertugas di
Cilacap dan berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk
menghadapi pasukan Sekutu. Pangkatnya pun naik menjadi Mayor. Tugas
pertamanya waktu itu mengamankan kapal yang mengangkut komoditas ekspor
Indonesia untuk diperdagangkan ke luar negeri, guna mengisi kas negara
yang kian tipis.
Ia juga dikenal sering berhasil menembus blockade Belanda di perairan
Selat Malaka. Dengan kapal tua yang kecil ia sering berlayar di malam
hari dan tanpa lampu. Kapal yang dinahkodainya saat itu bernama The
Outlaw. Belanda dengan segala cara terus berupaya menghentikan aksi John
Lie dan awak kapal lainnya. Namun Belanda selalu gagal. Berita The
Outlaw berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka rupanya
disiarkan di radio BBC dan All Indian dan menggemparkan dunia.
Negara-negara di luar sana hampir tak percaya tentara Indonesia mampu
melakukan hal itu.
Kondisi ini membuat para diplomat Indonesia seperti Sjahrir, KH Agus
Salim, LN Palar dan Soedjatmiko di PBB semakin mudah memperkuat
argumentasi mereka. Bahwa negara RI meski baru merdeka tapi masih tetap
eksis. Hal itu sekaligus menggugurkan provokasi Belanda yang menuduh
bahwa tentara Indonesia hanya sekumpulan gerombolan dan kaum ekstrimis.
Pada 21 Juli 1947 ia harus menyelundupkan peralatan radio dari Malaya
untuk kepentingan Komando Tentara Republik Indonesia Divisi Gajah-I
melalui Selat Malaka. Dari Selat Malaka mereka menuju Sungai Yu, Kuala
Simpang, Aceh Tamiang hanya dengan kapal kecil. Kapal kecil dipilih
dengan pertimbangan lebih lincah dan mudah menerobos. Satu kapal berisi
peralatan, satu lagi berisi 12 tentara yang bertugas mengelabui patrol
Belanda di Selat Malaka.
Sementara kapal yang dikomandoi John Lie mengangkut radio sampai ke
Kuala Yu. Di kuala tersebut ia disambut Nukum Sanani atas perintah Abu
Daoed Beureueh. Peralatan radio tersebut kemudian digunakan untuk siaran
Radio Rimba Raya oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef,
sebagai pemancar siaran umum. Hingga tahun 1950 Radio Rimba Raya masih
mengudara untuk menyampaikan berita kemerdekaan dan menyiarkan radiogram
kepada wakil pemerintah di luar negeri.
Setelah operasi Permesta pada tahun 1958-1959, John Lie dikirim ke
India selama setahun untuk belajar di Defence Service Staff College,
Wellington. Tahun 1960 diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari
unsure TNI AL. antara tahun 1960-1966 ia menjabat kepala inspektur
pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya pada tahun
1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan
kepadanya.
Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI AL pada Desember 1966 dengan pangkat
terakhir Laksamana Muda. Hingga pensiun ia dikenal sebagai purnawirawan
perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia.
John Lie meninggal dunia pada 27 Agustus 1988 karena stroke. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pada 10 November
1995 Presiden Soeharto menganugerahi Bintang Mahaputera Utama untuknya.
Ia juga pertama dalan sejarah Indonesia, putra bangsa keturunan Tionghoa
yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah RI.
“Saya sangat bersyukur, beliau sudah tidak ada tapi pengabdiannya yang
tak kenal pamrih selalu diingat pemerintah dan bangsa ini. Saya juga
mengucapkan terimakaish pada semua pihak yang sudah mendukung Bapak,
sehingga sekarang Bapak diakui sebagai Pahlawan Nasional,” kata
Margareth kepada Kartini.[] (ihn)