Senin, 04 Maret 2013

Radio Zendstation te Sabang, awal mula Radio Rimba Raya?

Cornelius Johannes de Groot, seorang insinyur muda berbakat lulusan Sekolah Politeknik di Delft, Belanda, memimpin pembangunan stasiun pemancar.

ALBINA ARAHMAN
Jum'at 01 Maret 2013 22:20 WIB

MENYUSURI Jalan Chik Ditiro yang diteduhi pohon-pohon asam Belanda yang rindang, melewati masjid Agung Babussalam yang megah, kompleks perumahan Telkom yang terawat rapi, Rumah Sakit Angkatan Laut J. Lilipory yang kokoh dan penuh kenangan. Tak dinyana jalan bernama Radiodwarsweg pada abad yang lalu, jalan yang menurun dan mendaki  hingga ke Ie Meule tepatnya tepian pantai Balee Pasie yang berpasir putih gading nan indah ini, lengkap dengan sebuah stasiun pemancar radio  nirkabel yang begitu menggema kemegahannya.
Satu abad telah berlalu, penduduk, perumahan, dan sarana kehidupan pun bertambah padat. Hampir tak bersisa sebuah tanda kemegahan dan kecanggihan komunikasi  zaman itu. Kecuali sebuah tembok beton tua berukuran 2,5 x 2,5 meter setinggi  lima meter di depan stadion Sabang Merauke.
Beton yang hanya menjadi lahan parkir ketika pertandingan sepak bola berlangsung atau tempat tempel menempel poster ketika pilkada dan pemilu yang lalu, Padahal  ia adalah saksi sejarah yang menjadi tumpuan pengikat  dari tegaknya sebuah menara  baja setinggi tujuh puluh lima meter, sebuah ukuran menara raksasa pada masanya.
Dari menara inilah panggilan diterima dan berita dipancarkan, melintasi jarak dua belas ribu kilometer antara negeri kincir angin Belanda dan wilayah koloninya di timur Asia. Melalui kode morse telegraf atau pun kamar bicara seharga lima belas gulden per tiga menitnya,  yang dilengkapi dengan corong bicara dan pendengar suara yang diletakkan di telinga. “Hello Den Hag! Hier Sabang! (hallo Denhag! Ini Sabang!)”.
Mungkin aneh kedengarannya bagi kita yang hidup pada era telekomunikasi  yang sudah sangat canggih dengan peluang bicara dan bertatap muka yang sangat mudah dan murah dengan siapapun dan  di belahan dunia manapun. Tetapi ada banyak orang yang telah mendedikasikan waktu dan ilmunya dalam rentang masa yang sangat panjang  untuk kenyamanan yang kita nikmati hari ini.
Komunikasi radio telegrafi  lintas negara dan lautan tanpa kabel dimulai sejak William H. Preece dan Graham Bell mengembangkan sistem tak terbatas telegrafi dan mentransmisikan sistem induksi pada tahun 1892. Sejak itu, tiga perusahaan besar, yaitu Branly Pop dari Paris, Telefunken dari Berlin, dan Marconi dari London, mengembangkannya sebagai sarana politik dan komersil ke manca negara.
Awalnya, Belanda adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada Inggris dalam hal pertelekomunikasian. Tetapi sebagai bangsa dan negara perdagangan dengan wilayah koloni luar negeri yang besar, mempunyai minat yang kuat untuk memiliki hubungan internasional yang cepat dan baik. Terutama setelah pesan-pesan melalui kabel-kabel telegrafi milik Inggris mengalami penyensoran.
RadioTelegrafi tampaknya menjadi alternatif jalan keluar terhadap ketergantungan untuk jaringan fisik yang penting ini. Bagaimanapun, tujuan akhirnya adalah jaringan radio telegrafi  langsung antara Belanda dan koloni-koloninya di luar negeri. Dan stasiun pemancar radio telegrafi pun didirikan hampir serempak di tiga tempat di Hindia Belanda bagian barat, yaitu Aruba, Bonaire, dan Curacao; dan di tujuh tempat di Hindia Belanda bagian timur, yaitu Batavia, Cirebon, Makasar, Pare-pare, Radjave, Situbondo,  dan salah satunya di Sabang. Sedangkan stasiun pemancar utama dari pelayanan telegrafi  nirkabel ini didirikan di Amsterdam pada tahun 1908.
Tepat seratus tahun yang lalu, yaitu  1910, bukan tanpa alasan Belanda menjadikan Sabang sebagai tempat dibangunnya stasiun pemancar ini. Walaupun hanya sebuah pulau kecil di ujung Sumatra, Sabang merupakan daerah netral di kawasan Timur Kolonial Hindia Belanda yang memiliki fasilitas pelabuhan yang lengkap dengan  stasiun pengisi bahan bakar batu bara, air bersih dan galangan kapal bagi kapal-kapal dagang maupun kapal-kapal pemerintah, juga stasiun radar, dan lapangan udara.
Dengan bahan terbaik, peralatan lengkap, dan teknisi yang trampil, stasiun pemancar ini  selesai  pada tahun 1911 dengan call letters (kode panggilan) SAB dan panjang gelombang, yaitu 300 meter dan 600 meter.
Stasiun ini didirikan persis di kompleks SMP Negri 2 Ie Meulee  sekarang. Pilihan lokasi jatuh pada kawasan pantai Ie Meulee karena topografinya yang datar, di depan laut, dan menghadap ke utara, tepatnya ke arah negeri Belanda di Benua Biru Eropa. Sehingga tak ada halangan untuk menangkap dan memancarkan gelombang radio. Stasiun radio ini  dilengkapi dengan pembangkit listrik sendiri dan kompleks perumahan bagi pegawainya yang terletak di depan RSAL J. Lilipory dan sekarang menjadi perumahan Telkom.
Adalah  Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), seorang insinyur muda berbakat  lulusan Sekolah  Politeknik di Delft, Belanda, yang memimpin pembangunan stasiun-stasiun pemancar ini.  Selama 18 bulan setelah kelulusannya, ia bekerja di General Electric Company di Berlin. Pada tahun 1908 ia pindah ke Hindia Belanda,  bekerja pada layanan telegraf dan akhirnya menjadi Kepala Teknis Telegraph dan Telepon Hindia Belanda.
De Groot mengadakan investigasi gelombang radio di daerah tropis dan studi telegrafi nirkabel di Eropa dan Amerika. Ia juga mengunjungi  perusahaan Telefunken di Berlin dan melakukan uji coba sinyal di Nauen, Jerman, yang saat itu menjadi stasiun pemancar terkuat di dunia. Dan pada 15 Desember 1915, sinyal dari Nauen dapat ditangkap di Sabang. Semua investigasi dan uji cobanya dirangkum dalam sebuah tesis yang berjudul radio telegrafi di daerah tropis dan memberinya gelar Doktor pada tahun 1916.
De Groot memang seorang pelopor radio pemancar yang selalu mempunyai pemikiran yang berbeda. Serangkaian uji sinyal lainnya menghasilkan penerapan gelombang pendek untuk radio telefon yang membawa banyak keuntungan bagi kepentingan politik, militer, dan tentu saja ekonomi. Stasiun Malabar dengan antena horisontalnya adalah bukti dari kecerdasannya untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya dan biaya,  dan keberaniannya untuk menerapkan ide yang berbeda dari teori yang berlaku umum.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, dengan diungsikannya hampir semua warga Eropa dari Sabang, maka stasiun pemancar ini tidak lagi digunakan karena mereka membawa unit radio pemancar sendiri untuk berhubungan dengan armada pasukannya. Tetapi tentara Jepang tetap mengawasi  kompleks Radio Zenstation dengan ketat siang dan malam agar tak bisa digunakan oleh beberapa warga Eropa yang tersisa. Salah satunya adalah dokter Colen, kepala rumah sakit jiwa yang berusaha mengadakan kontak dengan pihak tentara sekutu dan akhirnya menerima nasibnya di ujung pedang algojo Jepang di Batee Shok.
Pada tanggal 19 April 1944, Komandan Armada Timur Pasukan Sekutu melaksanakan serangan pengalihan perhatian untuk merebut kembali Hollandia (sekarang  Jayapura) dan wilayah timur dari tangan Jepang. Sabang dipilih sebagai sasaran serangan karena mempunyai fasilitas pelabuhan yang lengkap  dan merupakan basis pertahanan Jepang di wilayah barat.
Dalam penyerangan yang disebut operasi cockpit ini, ditugaskan 22 kapal perang, termasuk dua kapal induk dari Angkatan Laut Britania Raya, Angkatan Laut Australia, Angkatan Laut Perancis, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Angkatan Laut Selandia Baru, dan Angkatan Laut Amerika Serikat. 46 buah pesawat pengebom dan 37 pesawat penyerang melengkapi kapal induk Illustrious dan Saratoga. Serangan tak terduga pada pukul 5.30 pagi itu tentu saja sangat mengejut tentara Jepang dan menimbulkan kepanikan.
Tetapi serangan pasukan sekutu yang sesungguhnya untuk merebut kembali wilayah barat dari pendudukan Jepang terjadi pada dinihari  tanggal 25 Juli di tahun yang sama. Sudah dapat dipastikan tentara Jepang tak dapat berkutik dalam menghadapi serangan kedua dengan kekuatan yang lebih besar ini.
Dua penyerangan pasukan sekutu ini menghancurkan beberapa instalasi fasilitas di Sabang. Diantaranya adalah stasiun pemancar radio di Ie Meulee. Dan sampai Belanda menyerahkan Sabang pada pemerintah RI tahun 1950, stasiun pemancar radio itu tak pernah dibangun lagi. Untuk sementara waktu itu tahun 1948, Belanda menggunakan gedung Societeit (sekarang gedung PDAM) untuk basis komunikasi radionya.
Tak dinyana lagi berbagai kisah dan lautan emosi mengalir melantun dalam sinyal-sinyal telepon antara Sabang dan negeri-negeri lainnya diberbagai belahan dunia, cerita dan tangisan warga eropa ketika meletusnya perang dunia ke dua, ketika sabang hancur dan luluh lantak peradaban di atasnya.
Seorang ibu tua berdiri dalam udara yang dingin di depan kantor pos & telegraf.
“Sabang sudah terhubung, nyonya,” kata petugas dengan ramah pada si ibu yang tiba-tiba muncul binar di matanya. Dengan gemetar di kaki yang kaku ia meraih mikropon. Dan kemudian ia mendengar, oh Tuhan......., suara lembut anaknya :
“Halo! Sabang! Halo! Sabang!”
“Ya, ibu... disinilah aku.”
“Halo anak baik...bagaimana kabarmu, sayang ?” katanya dengan terisak.
“Aku baik-baik saja, ibu. Bagaimana dengan ibu ? Halo!”
Lalu ia hanya mengatakan : “Banyak sekali yang ingin aku ceritakan pada ibu,”
“Anakku sayang, ibu sudah menabung berbulan-bulan. Ini adalah gulden yang terakhir,”
“Ibu, masih empat tahun lagi sebelum aku pulang ke Holland,”
“Halo sayang. Ibu rindu sekali padamu,” katanya masih dengn terisak.
“Ibu, aku akan membawa pulang cucumu,”
Bebepara saat kemudian ia mendengar suara menggemaskan : “Nenek....nenek.”
“Halo!”
“Ya, ibu. Di sini aku,”
Ia tidak menjawab. Ia hanya mendengar isakan. Tet..te..tet... suara telepon Sabang itu pun terputus... terputus selamanya...ketika Sabang diserang dari berbagai sisi... hilang..  (sabang, penghujung Maret 1942...)
Kaitannya dengan Radio Rimba Raya
Ada yang menarik saat membuka catatan-catatan sejarah di lembaga Sabang Heritage Society, sebuah lembaga komunitas pemerhati warisan sejarah kota Sabang. Ditambah lagi saat ini sedang hebohnya sejarah Radio Rimba Raya di Aceh Tengah (Rime Raya). Bahkan juga hebatnya kisah dan peran Radio Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan ini malah kini  diusulkan untuk dijadikan cerita wajib dalam pelajaran sejarah di sekolah di Aceh.
Beranjak dari berbagai cerita tentang Radio Rimba Raya  saya terusik ketika menemukan beberapa fakta dan kaitan sejarah antara Rimba Raya dan radio di Sabang milik pemerintah  Belanda di Sabang. Tidak banyak yang tahu bahwa di Sabang saat itu tahun 1908 sudah berdiri radio modern yang mampu memancarkan frekuensi hingga ke Eropa sebagaimana yang telah diceritakan dalam tulisan di atas.
Salah satu kaitan antara Radio Rimba Raya dan Radio Sabang adalah Kontroversi tentang asal mula perangkat Radio Rimba Raya yang hingga kini masih tanda tanya. Dalam catatan historis perangkat Radio Rimba Raya yang kini tersimpan di Jogja hanya disebutkan bahwa perangkat radio tersebut hasil seludupan dari Malaya.
Bahkan dalam catatan di Museum Tentara Nasional Indonesia di Jogja tempat perangkat radio tersebut kini bersemayam hanya dituliskan bahwa perangkat radio ini berasal dari Sumatera/Aceh. Saya patut berasumsi bahwa perangkat Radio Rimba Raya ini sebenarnya adalah perangkat Radio Sabang yang berhasil diseludupkan oleh pejuang Aceh yang berada di Sabang ke Kutaraja. Tepatnya ketika  Jepang menguasai kota Sabang stasiun radio ini kemudian dikuasai Jepang.
Ketika Jepang menguasai Sabang mulai Maret tahun 1942 hingga Juli 1944. Semua perangkat radio ini masih berfungsi dengan baik, hingga kemudian meletuslah serangan besar-besaran sekutu yang berbasis di Kepulauan Sailon Srilangka menyerang Pulau Weh Sabang. Salah satu sasaran serangan sekutu ini adalah stasiun radio Sabang ini yang hari ini hanya tinggal puing-puing saja.
Besar dugaan bahwa perangkat radio Sabang ini berhasil diambil oleh pejuang-pejuang Aceh dan menjadi cikal bakal Radio Rimba Raya. Ditambah lagi dari cerita para orang tua di Sabang bahwa meskipun Jepang menguasai Sabang saat itu namun mereka tidak mampu mengoperasionalkan perangkat radio ini secara maksimal sehingga Jepang tidak terlalu ambil pusing dengan perangkat radio ini.
Kecuali mereka mengkhawatirkan dan memasang kecurigaan terhadap warga Belanda yang masih tinggal di Sabang yang akan menggunakan fasilitas radio ini untuk komunikasi seperti halnya Dokter Colon seorang dokter rumah sakit jiwa sabang yang kemudian dipancung oleh tentara Jepang di Desa Batee shok Sabang yang dituduhkan  oleh Jepang adalah bahwa dia berkomunikasi keluar Sabang bahkan ke negeri Belanda dengan fasilitas radio ini.
Ketika Jepang kalah di Sabang melalui serangan sekutu bulan Juli tahun 1944 praktis perangkat-perangkat elektronik milik Belanda seperti radio Sabang ini terbengkalai dan tidak ada yang mengunakan hingga kemudian tentara KNIL masuk kembali ke Sabang akhir tahun 45. Karena dari sumber lisan yang didapat menceritakan bahwa  sejak Jepang kalah dan Belanda masuk kembali ke Sabang akhir tahun 1945, tidak terdengar lagi info tentang perangkat radio Sabang milik Belanda ini.
Maka dugaan bahwa perangkat ini diambil oleh para pejuang Aceh dan menjadi cikal bakal radio Rimba Raya menjadi hipotesa kami selaku pemerhati warisan sejarah kota Sabang.
Mudah-mudahan sekelumit catatan dan analisa sejarah dari Sabang ini mampu menambah khazanah sejarah Radio Rimba Raya yang benar-benar berperan penting dalam fase perjuangan kemerdekaan Indonesia.[]

*Albina Arahman adalah Direktur Eksekutif Sabang Heritage Society
Albina_sabang@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar