ZULKARNAIN  | Foto :  ZULKARNAIN
TUGU warna jingga itu berdiri tegak di bawah langit tengah hari yang 
terik, 3 Agustus 2012. Ada lima “tangan” menghadap ke lima arah. Di 
tengah tugu berdiri sebuah tiang mirip pemancar radio.
 Tugu ini terletak di tengah kebun kosong. Untuk menuju ke tempat ini 
bisa melalui jalan kecil beraspal, sekitar 300 meter dari Jalan 
Takengon-Bireuen.
 Di kaki tugu juga dibangun tangga dan tempat duduk bagi pengunjung. 
Selain sebagai logo daerah, pemerintah setempat menetapkan tugu ini 
sebagai objek wisata bersejarah.
 Inilah Tugu Radio Rimba Raya yang terletak di Desa Rime Raya, Bener 
Meriah. Di bawah "tangan-tangan" tadi ada dua prasasti ukuran besar 
dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Isinya bercerita tentang peran 
Radio Rimba Raya memberitakan revolusi 1945 ketika perjuangan melawan 
Belanda masih menyala-nyala.
 Menurut Ikmal Gopi, sutradara film dokumenter tentang radio tersebut, 
bentuk tugu sudah beberapa kali mengalami perombakan. Sebelum dirombak, 
kata Ikmal, pernah diadakan sayembara secara nasional untuk membuat 
maket tugu. Sayembara dimenangkan warga Takengon. “Saya lupa siapa 
namanya, tapi bentuknya yang sekarang berbeda dengan gambar yang menang 
sayembara itu,” ujar Ikmal kepada The Atjeh Times, Rabu pekan lalu.
 Dalam buku berjudul Peranan Radio Rimba Raya  terbitan Kantor Wilayah 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh, disebutkan sebelum di Rime 
Raya, pemancar radio dipasang di Krueng Simpo. Sementara studionya 
dibawa ke kediaman Kolonel Husein Yoesoef, Komandan Tentara Republik 
Indonesia Divisi Gajah I, di Bireuen.
 Radio menggunakan pemancar merek Marcori yang dibawa dari Malaysia oleh
 Mayor John Lie. Ia penyeludup kelas wahid kala itu yang oleh Belanda di
 juluki “The Greatest Smuggler of the Southeast”. Perangkat pemancar itu
 didaratkan di Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut Nukum
 Sanani atas perintah Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan
 Tanah Karo. Setelah itu, perangkat radio dibawa ke Langsa dan 
selanjutnya ke Bireuen.
 Namun, versi lain menyebutkan, pada awal agresi militer Belanda 
pertama, 27 Juli 1947, perangkat pemancar dibawa Kapten NIP Karim (ada 
yang menulisnya Nip Xarim). Ia Komandan Batalyon B di Tanjung Pura, 
Langkat.
 Karim juga pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan 
Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Lalu, Husein Yoesoef 
 meminta NIP Karim membawa pemancar ke Bireuen.
 Ikmal Gopi yang meneliti riwayat John Lie menyebutkan, sang mayor 
berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus 
agresi militer pertama. Baru pada September 1947, kata Ikmal, John Lie 
singgah ke Pelabuhan Bilik Medan, lalu ke Pelabuhan Raja Ulak di Kuala 
Simpang.
 Yang pasti, tak lama di Bireuen, beberapa bulan kemudian pemancar 
dipindahkan ke Cot Gue, Kutaraja (Banda Aceh). Alasan pemindahan menurut
 Ikmal karena kondisi keamanan dan untuk mempercepat pemberitaan 
perjuangan kemerdekaan.
 Di Kutaraja pemancar radio dipasang di Cot Gue, sedangkan studio dibuat
 dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Peunayong. Antara pemancar 
dan studio terhubung kabel.
 Namun, ketika pemancar di Cot Gue sedang dipasang, Belanda melancarkan 
agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Daud Beureueh memerintahkan 
pemancar dipindahkan ke Gayo.
 Seperti tercatat dalam prasasti tadi, setelah Yogya jatuh, Belanda 
mulai menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia, kecuali Aceh. Sehari 
kemudian perangkat pemancar diberangkatkan secara diam-diam ke Aceh 
Tengah, di Kampung Rime Raya, Kecamatan Timang Gajah. Pemancar tersebut 
akhirnya didirikan di Krueng Simpo, sekitar 20 kilometer dari Bireuen 
arah Takengon.
 Namun masalah timbul, tak ada mesin listrik. Ummi Salamah, istri Husein
 Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu 
gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres 
soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Setelah dicari kabel
 akhirnya ditemukan di Lampahan dan Bireuen.
 Radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi. Sebuah rumah juga 
dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio, sedangkan studio 
radio berada di salah satu kamar rumah Husein Yoesoef.
 Pemasangan radio dilakukan beberapa desertir pasukan sekutu, seperti W.
 Schult, Letnan Satu Candra, Sersan Nagris, Sersan Syamsuddin, Abubakar,
 dan Letnan Satu Abdulah. Mereka tentara Inggris yang bergabung dengan 
sekutu.
 Para desertir membantu membuat gubuk dan membangun radio sesuai dengan 
keahlian masing-masing. Studio dibangun di bawah pohon tinggi dan 
rindang. Antena ditancapkan di atas pohon. Di gubuk juga dipasang 
pesawat radio penerima berita khusus.
Dengan mesin diesel, radio mengudara sejak pukul 16.00 hingga 18.00 
WIB. Selain bahasa Indonesia, beberapa bahasa asing digunakan saat 
siaran seperti Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India, dan Pakistan 
Madras.
 Para desertir itulah yang menyiarkan siaran dalam bahasa asing. Seperti
 tertera dalam prasasti di bawah tugu, sesudah mengudara menembus 
angkasa, Radio Rimba Raya mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih 
ada.[]