Selasa, 15 November 2011

Radio Rimba Raya Layak Dapat Gelar Pahlawan

10 November 2011

Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul yang menyebabkan tetap tegaknya republik ini adalah sebuah perangkat radio tua. Simpul itu bermula saat Tgk.H.M. Daud Beure-eh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.

Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.

Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.

Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.

Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Dan, kepada Radio Rimba Raya itu sendiri layak diberi gelar pahlawan. Sekian!

Syukri Muhammad Syukri

Dari Yogya untuk Gayo


Published on 14 Nov, 2011

Sabtu, 12 Nopember 2011 sekitar pukul 23.00 Wib, tepatnya setelah acara nonton bareng film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya “Sejarah Bangsa yang Terlupakan” digelar, sejumlah personil panitia dan mahasiswa Gayo serta didampingi beberapa Petue Gayo Yogyakarta berkumpul di alun alun selatan Yogyakarta untuk mengadakan evaluasi kegiatan acara yang telah dilaksanakan.

Ditemani secangkir kopi dan suasana Yogyakarta begitu istimewa malam tersebut, Helmi Ranggayoni, Ketua Panitia Pelaksana, memulai membuka sesi evaluasi acara yang telah digelar. Helmi nama panggilan akrabnya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan acara ini, khususnya para sponsor dari Pemerintah Kota Yogyakarta, Radio Republik Indonesia (RRI), Warung makan Bungong Jeumpa, Petue Gayo Yogya serta semua pihak yang telah ikut mensukseskan acara tersebut.

“Kita patut bersyukur bahwa acara malam ini sukses,” kata Helmi, setelah evaluasi keseluruhan dilaksanakan. Pernyataan ini diamini oleh semua peserta yang hadir serta memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi.

Belum ingin membubarkan diri, pembicaraan berlanjut dengan diskusi tentang Budaya Gayo.

Dalam sesi yang ini, mahasiswa Gayo Yogyakarta menilai budaya Gayo saat ini semakin ditinggalkan oleh para generasi muda khususnya penggunaan bahasa Gayo yang dikhawatirkan akan punah.

Dari permasalahan tersebut muncul ide tentang bagaimana peran mahasiswa Gayo untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap budaya Gayo.

Di mulai dari Yogyakarta diharapkan kedepan budaya Gayo akan tetap dipertahankan khususnya dikalangan generasi muda.

Ada beberapa hal yang berhasil disimpulkan dalam forum ini, diantaranya dalam waktu dekat dari Yogyakarta akan mengajak semua mahasiswa dan masyarakat Gayo diantaranya untuk mendukung sejarah Radio Rimba Raya dimasukan sebagai salah satu kurikulum pendidikan Nasional.

Selanjutnya mengajak semua elemen pemerintahan yang ada di Gayo untuk mewajibkan motif Kerawang Gayo sebagai salah satu pakaian resmi kepegawaian, minimal 1 hari dalam seminggu. Selain itu, forum tersebut juga akan mendesak dijadikannya bahasa Gayo sebagai salah satu kurikulum local.

Warga Gayo Yogyakarta tersebut juga memutuskan untuk melakukan hal yang terkecil terlebih dahulu dari diri sendiri sebelum memperbaiki yang lebih luas dalam melestarikan budaya Gayo, yakni melakukan aksi nyata dengan menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa wajib dalam berkomunikasi sesama Urang Gayo ketika berada di asrama Lut Tawar. (Syarifuddin/03)

Radio Rimba Raya, Fakta Sejarah Indonesia yang Terlupakan


Published on 13 Nov, 2011

Yogyakarta | Lintas Gayo – Setelah sukses di beberapa tempat di Indonesia, pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya kembali di putar di kota Pelajar dan Kota Budaya Yogyakarta untuk kedua kalinya setelah kegiatan yang sama dilakukan satu tahun lalu.

Acara ini di gagas oleh mahasiswa Gayo “Asrama Laut Tawar” Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Laut Tawar Gayo (Ipemah Lutyo) yang ada di Yogyakarta.

Dengan mengambil tema “Sejarah bangsa Indonesia yang terlupakan”, acara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sumpah pemuda dan hari Pahlawan, Sabtu (12/11) bertempat di gedung pertemuan Balai Kota Yogyakarta. Dihadiri berbagai kalangan pemuda dan mahasiswa seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar/Pemuda dan Mahasiswa daerah Indonesia (IKPMDI) serta utusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari beberapa kampus yang ada di Yogyakarta.

“Tujuan kegiatan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali sejarah bangsa Indonesia serta untuk menumbuhkan semangat pemuda Indonesia tentang pentingnya nasionalisme,” kata Helmy Ranggayoni selaku ketua panitia pelaksana kegiatan tersebut.

Komponen bangsa ini harus tau peran Radio Rimba Raya (RRR) dan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini, timpalnya.

Sementara itu, Ikmal Gopi selaku sutradara film documenter Radio Rimba Raya menyatakan ini merupakan momentum yang tepat untuk para pemuda Indonesia khususnya pemuda Aceh dan Gayo untuk kembali meluruskan sejarah yang selama ini banyak yang masih kabur, dan bahkan dihilangkan.

Ditanya tentang peran Radio Rimba Raya dalam film ini dia menjawab bahwa Radio Rimba Raya merupakan benteng terakhir pertahanan Bangsa Indonesia pada saat itu, dimana seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh pihak penjajah yang meneriakan bahwa “Indoensia masih ada” yang suaranya terdengar sampai seluruh penjuru dunia.

“Kita semua berharap Kementrian Pendidikan RI dapat memasukkan sejarah perjuangan Radio Rimba Raya kedalam kurikulum pendidikan sejarah agar generasi muda yang akan datang bisa mengerti dan paham akan sejarah yang sebenarnya,” harapnya.

Dalam acara ini juga di tampilkan tarian tradisional Gayo, Didong yang ditampilkan oleh sejumlah mahasiswa Gayo Yogyakarta.

Hardi salah seorang mahasiswa dari Sulawesi mengatakan film ini sangat menarik untuk di tonton. “Dengan film yang mengungkap fakta sejarah ini, kita berharap kepada kalangan pemuda sebagai agent of change berperan aktif untuk meluruskan kembali sejarah bangsa ini,” tegasnya. (Syarifuddin/03)

Malam ini, Film RRR Diputar di Balai Kota Yogyakarta


Published on 12 Nov, 2011

Yogyakarta | Lintas Gayo – Malam ini, Sabtu, (12/11) Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Lut Tawar Yogyakarta (IPEMAH LUTYO) dan Asrama Lut Tawar (ALT) menggelar acara nonton film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR) karya Ikmal “Bruce” Gopi bersama seluruh masyarakat Aceh se-Yogyakarta di Balai Kota Yogyakarta.

Menurut salah seorang penitia acara tersebut, Azmie, diperkirakan peserta lebih dari 150 orang bersama undangan yang telah disebarkan dan undangan tersebut meliputi Gubernur DIY, Walikota Yogyakarta dan Dinas Pariwisata Yogyakarta. “Ini merupakan rangkaian agenda kegiatan pengurus Ipemah Lutyo dan ALT yang ke-6 setelah sebelumnya Ipemah Lutyo telah melaksanakan kegiatan apresiasi seni aceh, makrab dan lain-lain,” ujar Azmie.

Dijelaskan, acara tersebut terdiri dari tampilan seni daerah Aceh yang dilanjutkan dengan nonton bersama dan kemudian ditutup dengan diskusi publik, setelah itu acara ramah tamah dengan seluruh peserta yang hadir dalam acara tersebut.

“Pembina kita, bapak Ali Hasan sangat mendukung acara nonton bersama ini. karena menurutnya acara ini selain menggali sejarah yang telah terlupakan juga diharapkan mampu menguatkan tali silaturrahim antara mahasiswa Aceh dengan mahasiswa dari daerah lain dari seluruh Indonesia,” papar Azmie.

Pihaknya juga telah menerima kepastian kehadiran sejumlah pejabat setempat. “Kita sudah mendapat informasi kehadiran sejumlah undangan, walau nantinya diwakilkan seperti Gubernur DIY dan Walikota. Kadis Pariwisata DIY, Tazbir yang merupakan putra asal Aceh dipastikan hadir bersama sejumlah Badan Eksekurtif Mahasiswa (BEM) serta sejumlah organisasi massa lainnya seperti HMI, KAMMI, IMM dan lain-lain,” pungkas Azmie. (Syahri Utomo/03)

Rabu, 09 November 2011

Lembaga Sandi Negara Selidiki Komunikasi Rahasia RRR


Menanyakan seberapa pentingkah sejarah Radio Rimba Raya (RRR) harus diketahui publik? Sama saja kita bertanya seberapakah pentingnya kita harus mengetahui hari kelahiran kita. Maka, wajar bila tersiar opini menyia-nyiakan sejarah RRR adalah tindakan pemubajiran. RRR adalah “juru selamat” Republik Indonesia. Dan karena itu pula, sejarah RRR merupakan aset Bangsa Indonesia yang bukan hanya sekedar dikenang, namun juga harus dibanggakan.

Selain budaya dan pariwisata, salah Satu aset bangsa adalah sejarah. Di wilayah Aceh, tepatnya disalah Satu wilayah di Dataran Tinggi Gayo, yaitu Bener Meriah memiliki aset sejarah yang sangat berharga bagi republik ini. Namun sangat disayangkan masih “terngiang” ditelinga dan masih ada kesan di publik terjadinya pembiaran yang tanpa alasan yang jelas dan sulit dicerna.

Adalah RRR sebagai “corong” kemerdekaan pada zaman perjuangan merebut bumi pertiwi ini dari tangan musuh. Adalah RRR yang menyiarkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Namun, RRR ternyata memiliki teka-teki lain dari “kekokohan” perangkat yang berhasil diseludupkan melalui lautan lepas menuju belantara keperawanan Aceh, selanjutnya difungsikan sebagai “Benteng Terakhir” untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang diperjuangkan segenab rakyat Aceh.

Dalam setiap pergerakan untuk memperebutkan kemerdekaan sudah tentu menggunakan komunikasi rahasia atau sandi-sandi untuk mengelabui musuh. Komunikasi rahasia atau sandi diduga kuat digunakan RRR saat masih mengundara untuk mengelabui musuh.

Demikian disampaikan Kasubbag Informasi dan Media Lembaga Sandi Negara, Jakarta, Budi Santoso, belum lama ini seusai mengunjungi Tugu RRR di Kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah.

Dalam rangka survey awal Lembaga Sandi Negara untuk menelusuri teka teki RRR tersebut, Budi Santoso turut didampingi tiga orang Tim Penelusuran Sejarah Sandi yang didatangkan dari Jakarta serta salah seorang contributor media ini, memaparkan tujuan kehadiran Lembaga Sandi Negara ke salah Satu Dataran Tinggi Gayo itu, adalah untuk menelusuri adanya komunikasi rahasia antara pejuang di seluruh Indonesia, yang diteruskan ke luar negeri.

“Hal yang jarang kita sadari,” kata Budi, “Disetiap kegiatan yang sifatnya rahasia, tentunya untuk menjalin koordinasi kesesama pejuang tidak dapat diketahui pihak lain, konon lagi musuh,” ungkap Kasubbag Informasi dan Media Lembaga ini.

Selama ini RRR telah diketahui berfungsi sebagai corong kemerdekaan. Tanpa RRR, kemungkinan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan lenyap ditangan musuh! Paling tidak, Negara yang telah menganut paham Pancasila ini akan “terpecah-pecah” terlepas dari bingkai NKRI. Kini, harus disadari dibalik kekuatan RRR masih ada teka-teki yang belum terjawab.

Berdasarkan Keppres Nomor 7 Tahun 1972 yang mengatur kedudukan atau status, fungsi, dan tugas pokok Lembaga Sandi Negara, Lembaga ini merupakan suatu Badan Pusat Persandian Negara Republik Indonesia dan berkedudukan langsung dibawah Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden.

Disampaikan, fungsi Lembaga Sandi Negara untuk mengatur, mengkoordinir, dan menyelenggarakan hubungan persandian secara tertutup dan rahasia antara aparatur negara baik di Pusat maupun daerah dan hubungan persandian ke luar negeri.

Hasil survey awal Lembaga Sandi Negara yang hanya berlangsung sehari tersebut, disempatkan bertemu sejumlah nara sumber yang ikut berperan pada saat RRR mengudara. Adalah Reje Mude Tukiran Aman Jus yang merupkan salah Satu saksi sejarah RRR. Pada saat mengunjungi Tugu RRR, Lembaga ini juga sempat bertemu ramah dengan Ketua Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRRI), Ardiansyah, serta Sekretaris, Armawan.

Disebutkan, Lembaga Sandi Negara juga akan melakukan “gerilya” ke sejumlah area yang pada saat RRR mengudara, menjalin hubungan dengan RRR. “Demi mengungkap komunikasi rahasia ini kenapa tidak mendatangi ke sejumlah museum diluar negeri!?,” tukas Budi.

Disinggung kepada Budi salah Satu upaya untuk membongkar “misteri” RRR, Budi katakan starteginya adalah dengan mengumpulkan dokumen atau arsip yang berkaitan dengan RRR. “Selain menghimpun keterangan dari sejumlah sumber, kita juga akan mencari dan mengumpulan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sejarah RRR,” papar Budi.

Secara terpisah, Sutradara Film Dokumenter RRR, Ikmal Gopi, saat dihubungi melalui telpon seluler menyampaikan sangat menaruh apresiasi dengan upaya Lembaga Sandi Negara ini. Ikmal juga telah bertemu dengan Lembaga Sandi Negara di Jakarta.

“Kita harus mendukung upaya ini, agar eksistensi RRR tidak pernah hilang dari ingatan,” kata Ikmal. “Kalau saya demi sejarah RRR, sampai berbuih mulut ini tidak akan pernah menyerah untuk selalu menggaungkan keperkasaannya,” pungkas Ikmal menegaskan. (Uyad Dasa)

Rabu, 02 November 2011

Mahasiswa Aceh Tonton Film RRR di Ciputat


Published on 30 Oct, 2011 at 23:27

Jakarta | Lintas Gayo – Bertempat di Meunasah Aceh, seputar Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, mahasiswa Aceh yang kuliah di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menyaksikan film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR), Sabtu malam (29/10). Acara yang digagas Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) ini bertemakan “RRR dan Refleksi Pendokumentasian Sejarah Aceh.” Selain Ikmal Gopi, sutradara film RRR, turut hadir Yusradi Usman al-Gayoni, pemerhati sejarah.

Dalam pengantarnya, Ikmal yang juga mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengatakan, keinginan membuat film radio yang begitu berjasa dalam menyuarakan Indonesia masih ada saat agresi militer I & II Belanda sudah ada sejak tahun 2002. Namun, risetnya baru bisa dimulai tahun 2006. “Awalnya, saya pikir, pembuatannya gampang. Tapi, setelah dijalani, ternyata sebaliknya. Sebab, RRR berhubungan dengan daerah Yogyakarta, sebagai ibu kota negara pada waktu itu dan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang. Jadi, saya harus riset ke sana. Otomatis, perlu pemikiran, energi, waktu, dan dana yang tidak sedikit,” kata Ikmal.

Lebih lanjut, kata Ikmal, awalnya dia pun tidak tahu sejarah RRR. Karena, tidak dipelajari dalam pelajaran sejarah serta muatan lokal di daerah. Bahkan, teman-temannya sempat mengatakan, kalau RRR adalah dongeng. “Dari situ, saya semakin tertantang membuat film ini dan ingin membuktikan kalau RRR memang ada serta berkontribusi besar terhadap republik ini

Saat ditanya oleh Mulyadi terkait dana pembuatan film RRR, Ikmal mengungkapkan dana awalnya berasal dari uangnya sendiri. Dalam prosesnya, banyak pihak yang membantu. Tapi, yang paling banyak membantu, pak Parni Hadi, Direktur Radio Republik Indonesia (RRI). Perlu dicatat, tidak ada sumbangan sedikit pun dari Pemerintah dan LSM. Kalau dari pemerintah, selalu yang jadi kendala, tidak ada anggaran. Saya kayak jadi pengemis bikin film ni, karena uang 50 ribu pun saya terima dari teman-teman,” ungkap Ikmal.

Sementara itu, Yusradi Usman al-Gayoni mengatakan, cukup mengapresiasi IMAPA. Apa yang dilakukan IMAPA—nontong bareng RRR—merupakan penghargaan terhadap sejarah Aceh, khususnya RRR. “Kalau tidak ada RRR dulu, bisa jadi Indonesia dan IMAPA tidak ada. Lebih dari itu, kita pun tidak bisa bertemu dan saling mengenal malam ini,” katanya.

Lebih lanjut, kata Mantan Ketua Dewan Pengawas Nasional (DPN) Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris (HIMABSII) 2005-2007 itu, ada sumbangan “modal” Aceh yang dilupakan negara ini, yaitu RRR. “Saya tidak tahu pasti, apa sengaja dilupakan?” tanyanya miris. Dalam konteks refleksi pendokumentasian sejarah Aceh, ungkapnya, masih sedikit sekali yang difilmkan.

Namun, bila dikaji lebih jauh, orang Aceh punya pendokumentasian yang lebih baik dari suku lainnya di Aceh. Mereka juga lebih menghargai sejarah daripada orang Gayo, misalnya. Dalam berbahasa pun begitu, orang Aceh jauh lebih setia berbahasa Aceh dibandingkan orang Gayo dalam menggunakan berbahasa Gayo.

“Jadi tugas kita bersama untuk lebih mensosialisasikan RRR. Apa pun ceritanya, ini sejarah kita (Aceh),” ujar Wakil Ketua DPD KNPI Aceh Tengah ini. Dalam konteks yang lebih kecil, IMAPA pun harus berbuat dalam menyelamatkan (mendokumentasikan) jejak-jejak masyarakat Aceh di sini. Sambil tanya jawab dengan peserta, Yusradi pun kemudian bertanya, “Apa sejarah IMAPA sudah terbukukan?” “Sudah, bang,” jawab seluruh peserta. “Kalau sudah, syukur alhamdulillah. Di audio-visualkan, sudah?” tanyanya lagi. Belum, dijawab peserta lagi.

“Nah, itu yang perlu kita kerjakan. Mumpung, pakar kita, bang Ikmal ada sama kita. Demikian halnya dengan jejak-jejak masyarakat Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Pastinya, ada hal yang menarik dari rangkaian sejarah tersebut. Dan manfaatnya tidak sekarang, katanya melanjutkan, melainkan nanti. Mungkin, setelah kita tidak ada lagi.” (M. Faiz)

Jumat, 28 Oktober 2011

Lagi, Film RRR Finalis di SBM International Golden Lens Documentary Festival


Fri, 28 Oct 2011

Jakarta | Lintas Gayo – Film documenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi kembali berhasil lolos sebagai salah satu dari 10 film terbaik kategori peserta umum dan berhak ikut serta di ajang The 1st SBM International Golden Lens Documentary Festival yang akan berlangsung dari 15 hingga 19 November 2011 mendatang di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta.

Seperti dirilis di website www.goldenlens.broadcast-edu.or.id, film yang masuk seleksi SBM Golden Lens tersebut akan diputar bersamaan dengan beberapa film terbaik Amsterdam International Documentary Film Festival (IDFA) 2010 dan 2011.

Pada tanggal 19, pengumuman 1 pemenang kategori UMUM dan 1 untuk PELAJAR akan dilakukan. Position among the Stars terpilih sebagai film penutup SBM Golden Lens Awards. Film karya Leonard Retel Helmrich ini memenangkan IDFA 2010, ‘Special Juri Award’ Sundance 2011, dan nominasi Oscar 2012.

SBM Golden Lens MASTER CLASS 2011 “How to get funding for your Documentary” akan dibawakan oleh Hans Treffers. Seminar sehari penuh yang dipersembahkan oleh Idfa dan Erasmus Huis Jakarta hanya untuk 10 peserta pilihan dari Umum dan 10 lainnya dari pelajar, yang telah mengirimkan logline serta synopsis film yang akan dibuat kepada panitia. Khusus nominator, pelatihan camera akan diberikan selama 1 minggu intensif, di School for Broadcast Media (SBM).

SBM’s Camerawork Training. Para nominator Open dan Student akan diberi kesempatan untuk mengasah kembali kemampuan mereka memahami penceritaan dengan gambar bergerak. Erik Lofting dari SBM akan membawakan pelatihan ini. Peserta akan memahami kekurangan serta kelebihan dari karya yang dilombakan dan dapat memperbaikinya untuk karya-karya berikutnya.

Ikmal Harap Pemerintah Buka Mata

Menanggapi film documenter Radio Rimba Raya terpilih sebagai 10 film terbaik versi SBM International Golden Lens tersebut, Ikmal Gopi yang baru saja tiba di Jakarta setelah beberapa waktu berada di Takengon Aceh Tengah mengaku sangat gembira sekaligus bersedih.

“Saya gembira bukan karena film itu karya saya, akan tetapi dengan terpilihnya film tersebut artinya dewan juri telah menerima informasi keberadaan atau peran besar Radio Rimba Raya dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI,” ujar Ikmal.

Ikmal berharap dengan terpilihnya film tersebut dapat lebih membuka mata pemerintah dari pusat hingga daerah akan pentingnya peran RRR itu.

“Semoga mata pemerintah terutama di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dapat terbuka dan mau memposisikan diri digaris terdepan dalam memperjuangkan diperolehnya pengakuan eksistensi RRR dalam kiprahnya mempertahankan RI ini,” pungkas Ikmal seraya berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan kepadanya baik dalam proses produksi film tersebut maupun pasca produksinya.

10 Dokumenter Kategori UMUM Terpilih (OPEN Short-listed). Sesuai abjad:

  • Biarkan Kami Memilih (Chosen Language), 23:35 menit, Nina Grafina Sirait, Bogor
  • Dongeng Ajaib (Magical Story), 17:42 menit, Budiyanto and Elsha Parawira Putry, Jakarta
  • Goa Pawon: The Beginning, 09:55 menit, Iqbal Firmansyah and Susilo Meisyarjo, Tangerang
  • Kereta Cinta – The Cleaning Service, 29:20 menit, Pir Owners, Jakarta
  • Menjemput Ilmu Dalam Sarang Peluru (Pick Up the Schience in the Next Bullet), 13:24 menit, Novin farid Styo Wibowo and Jamaluddin Phonna, Aceh
  • Petrasalira (Edelweiss), 15:58 menit, Bhekti Setyowibowo, Malang
  • Rumah Multatuili (House of Multatuli), 30:00 menit, Sapto Agus Irawan, Depok
  • Radio Rimba Raya (The Great Jungle Radio), 80:15 menit, Ikmal Gopi, Jakarta
  • Sang Ahmad (The Ahmad), 17:58 menit, Kartika Dian Fransiska, Jakarta
  • Tinggal Sandiwara (The Last Theatre), 14:01 menit, Esa Hari Akbar, Bandung

10 Kategori UMUM Terpilih (STUDENT Short-listed), sesuai abjad:

  • HIDUPNYA BOCAH ONDEL-ONDEL (The Life of Ondel-Ondel Kids), 13:22, Mega F Yohana (Universitas Mercu Buana, Jakarta)
  • KI DJOKO PEKIK – Pelukis Yang Tertindas (Ki Djoko Pekik), 14:27, Rasina Oktaviani (Institut Teknologi Bandung)
  • K-ZERO (K-zero), 06:17, Ardy (Universitas Tarumanagara, Jakarta)
  • MERANGKUM JAKARTA (A Journey through Jakarta), 14:55, Febian Nurrahman Saktinegara (Institut Teknologi Bandung)
  • MENUAI ANGIN, MENABUR MAUT (Reaping The Wind, Sowing Death), 28:01, Johannes Gunawan Saragih (Universitas Tarumanagara, Jakarta)
  • MENUNGGU WAKTU (Waiting That the Time Goes By), 11:12, Rani Ravenina and Nina Martin (Braunschweigh University of Art, Germany)
  • SHEER (Sheer), 19:31, Idola Putri (Institut Managemen Telkom, Bandung)
  • SERPIHAN ASA DI KALDERA IJEN (Sulfur Mining on Kaldera Ijen), 23:45, Amin S Wardoyo (Bina Sarana Informatika, Jakarta)
  • SOP BUNTUT (Oxtail Soup), 14:03, Deden Ramadanin (University of Indonesia, Depok)
  • SUKERTA LEMBAH DIENG (Sukerta of Dieng Valley), 21:37, Gilang Akbar Noviansyah (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

(Kha A Zaghlul)


Rabu, 19 Oktober 2011

Ketika Radio Jadi "Primadona"

Written by Edy Rachmad on Monday, 12 September 2011 07:51

(Refleksi Hari Radio Republik Indonesia 11 September 2011)

Radio Belanda umumkan: “Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. presiden dan wakil presiden sudah ditawan. Semua wilayah Indonesia telah dikuasai Belanda”. Radio “Rimba Raya” menjawab: Republik Indonesia masih tegak berdiri. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia masih utuh Sepenuhnya

Pada masa awal kemerdekaan, sarana komunikasi radio tidak ubahnya seperti “primadona” yang disandra Kempetai Jepang. Betapa tidak, stasiun radio yang ada di Merdeka Barat Jakarta, sejak 15 Agustus dijaga ketat Kempetai Jepang.

Sehingga para pemuda tidak bisa menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang diumumkan Soekarno-/Hatta tanggal 17 Agustus 1945. Penyanderaan ini bukan hanya terjadi di Jakarta, juga terjadi di Medan.

Begitupun para pemuda pejuang yang bekerja di radio, bekas Hoso Kyoku menyalurkan teks proklamasi melalui siaran-siaran luar negeri yang ada di Bandung. Maka masyarakat Australia lebih dahulu mendengar bangsa Indonesia merdeka.

Berkat kegigihan pemuda radikal yang bekerja pada kantor berita “Antara” yang menjadi saksi Indonesia kantor Berita Jepang “Domei” berhasil menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan tiga serangkai Adam Malik, Asa Bafaqih dan Panghulu Lubis.

Dengan adanya siaran domei itu, maka seluruh dunia mengetahui Indonesia telah Merdeka. Demikian juga daerah-daerah mengetahui kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan meskipun masih samar-samar.

Para pemimpin radio yang berkumpul di Jakarta tanggal 10 September 1945 meminta kepada Jepang agar semua stasiun radio diserahkan kepada Indonesia, tetapi Jepang bertahan karena hendak diserahkan kepada Sekutu.

Karena itu para pimpinan radio menyusun satu kekuatan merebut sang “primadona” guna menguasai dan menyelamatkan pemancar-pemancar yang ada di daerah. Begitupun para pejuang radio tidak tinggal diam, sebuah pemancar gelap berhasil diusahakan, tidak lama kemudian berkumandanglah di udara radio siaran dengan stasiun call “Radio Indonesia Merdeka”.

Menurut Onong Uchjana Effendy MA, melalui radio ini wakil presiden Hatta dan para pemimpin lainnya menyampaikan pesan kepada masyarakat. Studio gelap itu berlokasi di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jalan Salemba Jakarta yang memancarkan siaran luar negeri dengan callThis is the voice of free Indonesia”. Salah seorang yang berjasa dalam hal ini adalah Dr Abdurrahman Saleh.

Didatangkan dari Singapura

Begitu pentingnya pemancar radio, maka pejuang dari Sumatera Utara berusaha mendatangkan pemancar dari Singapura. Pejuang yang paling berani menerobos blokade Belanda di Selat Malaka adalah John Lee yang berpangkat Kapten Angkatan Laut.

Pejuang ini berhasil memasukkan pemancar berukuran sedang, di samping memasukkan berbagai keperluan militer yang didaratkan melalui Labuhan Bilik. Setelah Agresi ke dua John Lee melakukan kegiatannya melalui pantai Aceh Timur Sungai Yu.

Selain John Lee yang mengharungi Selat Malaka dengan boat cepatnya, juga Kapten Nip Xarim melakukan hal serupa. Ketika Batalyon “B” yang dipimpinnya ditempatkan di Langkat, Kapten Nip Xarim dengan membawa 25 ton getah menerobos blokade Belanda menuju Singapura. Dia bermaksud mencari pemancar kecil untuk keperluan Batalyonnya. Tetapi yang berhasil ditemukan sebuah pemancar besar berkekuatan 350 watt dan dimasukkan melalui Kuala Sungai Serapoh (Langkat).

Menurut Kapten (Purn) Nip Xarim di masa hayatnya, sebelum Belanda melancarkan Agresi pertama, pemancar itu diantar kepada Komandan Divisi X Kolonel Husin Yusuf. Bersama pemancar ini turut serta seorang perwira Inggris bernama Joh Edward (Abdullah Inggris) serta Abubakar dan Chandra.

Mereka ini adalah mantan tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia. Ketika penyerahan pemancar ini Kolonel Husin Yusuf didampingi Letnan A. Rahman TWH, kepala Penerangan Tentara Resimen V Divisi X, mantan kepala Radio Aceh Shu Hodoka di masa pendudukan Jepang. Pemancar berkekuatan cukup besar inilah kemudian dikenal dengan Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang siarannya dapat didengar di seluruh negara Asia, Australia dan beberapa negara Eropa.

Berdirinya RRI

Tanggal 10 September 1945 para pemimpin radio berkumpul di Jakarta membicarakan tuntutan kepada Jepang agar semua kelengkapan diserahkan kepada Indonesia. Tapi Jepang tetap menolak, sarana komunikasi itu akan diserahkan kepada sekutu.

Tanggal 11 September 1945 jam 24.00 berhasil membulatkan tekad di tengah malam membentuk suatu organisasi radio siaran bernama RRI untuk bertindak dan mengambil langkah selanjutnya baik di pusat dan maupun di daerah.

Kalau Sumber Daya Manusia Militer Indonesia hasil gemblengan Jepang melalui Gyugun, Heiho dan lain-lain, maka Sumber Daya Manusia di bidang radio juga hasil tempaan Jepang melalui organisasi radio yang dikenal dengan Hoso Kyuku. Sedangkan di Aceh dikenal dengan sebutan “Aceh Syu Hodoka”.

Di antara anggota Hoso Kyuku di Medan yang kemudian menjadi pejuang radio antara lain adalah Lutan St Tunaro, M.Arief, M.Sani, Roesyem, Ahmad SM, Abda Mufid, Dapari Nasution dan Kamarsyah. Sedangkan Pimpinan radio Aceh Syu Hodoka di Kutaraja (Banda Aceh) adalah Said Achmad Dahlan dan A. Rahman TWH. Di awal kemerdekaan A. Rahman TWH menjadi Kepala Penerangan Resimen Divisi V merupakan orang yang bertanggung jawab dalam operasional Radio Rimba Raya.

Pejuang RRI Medan

Sejalan dengan langkah pimpinan RRI di Jakarta, maka daerah-daerah juga bertindak menyelamatkan pemancar dan peralatan radio agar jangan sampai jatuh ke tangan Sekutu.

Pejuang radio Medan berusaha memindahkan dan peralatan radio yang amat penting tanpa menghiraukan akibat yang akan mereka alami. Peralatan dari Jalan Serdang 28 Medan (sekarang Jln. Prof Mohd Yamin) diangkut ke Kampung Baru untuk dibangun RRI untuk menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”.

Sayang pemancar yang berkekuatan satu (1 KW) yang berada di Sei Sikambing tidak bisa mereka angkut karena ketatnya penjagaan Jepang. Pemancar yang dibangun di Kampung Baru dapat menjangkau siarannya untuk seluruh Sumatera Timur.

Baru saja dimulai siaran percobaan RRI Medan, satu pasukan Inggris yang telah menduduki kota Medan 9 Oktober 1945 menerobos rintangan yang dibuat oleh pemuda pejuang menuju Kampung Baru. Gedung yang dijadikan lokasi RRI Medan dikepung dan ditembaki secara bertubi-tubi.

Pejuang radio berhasil menyelamatkan diri, hanya seorang pejuang radio yang kena tembak di pahanya bernama Arsyad tapi tidak mengancam jiwanya. Pemancar RRI di Kampung Baru itu diledakkan oleh Inggris.

Pejuang radio tidak patah semangat walaupun pemancar diledakkan, namun mereka berusaha membangun pemancar baru di Jalan Asia yang dilakukan Hasib, S.Ismail dan lain-lain. Kali ini disusahkan pembangunan secara legal dengan meminta izin kepada Gubernur Sumatera dan sekutu, izin telah diperoleh pembangunan segera dimulai.

Tetapi keadaan kota Medan bertambah panas, pertempuran antara Lasykar dengan Inggris terjadi baik siang maupun malam. Karena situasi sudah sedemikian rupa, masyarakat Medan banyak menguasai ke daerah pedalaman.

RRI Medan juga secara sangat hati-hati diungsikan ke P.Siantar. Pertengahan Maret 1946 Pemerintah Sumatera di bawah pimpinan Mr.Teuku Mohd Hasan memindahkan ibukota Sumatera ke P.Siantar.

Berkumandang di Siantar

Atas bantuan berbagai instansi pemerintah di P.Siantar terutama Kepala Daerah Kabupaten Simalungun Bupati Madja Poerba, RRI Medan memperoleh sebuah gedung di jalan Raya Siantar-Medan. Disertai alat-alat untuk keperluan siaran seperti piano, piring hitam dan lain-lain.

Walaupun keadaan serba sederhana RRI Medan akhirnya berhasil mengumandangkan suaranya dengan memakai call “Di sini Radio Republik Indonesia Medan di P.Siantar”. Tujuan siaran waktu itu ialah memupuk semangat perjuangan bangsa menentang maksud penjajahan Belanda kembali berkuasa di Indonesia dan mempertinggi pengetahuan rakyat dan keinsafan bernegara.

RRI Medan di P.Siantar melaksanakan fungsinya sejak April 1946 dan berakhir 29 Juli 1947. Ketika Belanda masuk dan merebut P.Siantar dalam rangkaian agresinya I yang dimulai 21 Juli 1947. Yang pertama dilakukan pasukan elit Belanda adalah meledakkan pemancar RRI dan menghancurkan studio RRI di Siantar itu. Sejak itu RRI Medan bungkem di udara, karyawannya bergerilya dan ada juga diam-diam masuk ke Medan.

Setelah Belanda melancarkan Agresinya yang kedua, 19 Desember 1948, Yogyakarta direbut dan diduduki. Presiden, wakil presiden dan para Menteri ditawan. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menlu H. Agus Salim ditawan di Pasanggerahan Lau Gumba, Brastagi, kemudian dipindahkan ke Parapat. Wakil Presiden Hatta dan menteri lainnya ditawan di Pulau Bangka.

Dengan direbutnya Jogyakarta dan Bukit Tinggi dengan sendirinya Radio-Radio Republik Indonesia “dibungkemkan”. Situasi kevakuman RRI dimanfaatkan Radio Belanda di Batavia (Jakarta) radio Hilversum di Negeri Belanda dan radio Belanda di Medan menyiarkan berita”Republik Indonesia sudah tidak ada lagi”. Alasan Belanda, Yogyakarta telah direbut, presiden dan wakil presiden telah ditawan disusul jatuhnya daerah-daerah kekuasaan republik ke tangan Belanda.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang mempunyai kekuatan pemancar 350 watt, yang berlokasi di Aceh (antara Bireuen – Takengon) segera menjawab “Republik Indonesia masih ada, pimpinannya masih ada, tentara Republik Indonesia masih ada, pemerintah Republik Indonesia masih ada. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya.

Radio Rimba Raya menggunakan gelombang 67 dan 25 meter dengan nama panggilan : “Suara Merdeka Radio Republik Indonesia”. Tiap malam tampil di udara dalam 6 bahasa yaitu : bahasa Inggris, (Penyiarnya John Edward tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia), bahasa Urdu (Hindustani) oleh Abubakar dan Chandra juga bekas tentara Sekutu yang membelot ke pihak Indonesia.

Siaran bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif, bahasa China disampaikan oleh Hie Wun bahasa Belanda oleh Syarifuddin dan bahasa Indonesia oleh penyiar radio Rimba Raya.

Sesuai kebutuhan kadang-kadang digunakan signal calling “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, dan juga “Radio Republik Indonesia”. Siaran radio ini dapat didengar diberbagai kota di Semenanjung Malaya Singapura, Saigon, Manila New Delhi, Australia dan beberapa kota di Eropa.

Pemerintah India memberi dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Karena itu tidak heran “All India Radio” terus memonitor radio Rimba Raya. Juga Australia Broadcasting selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas kepada radio Rimba Raya. Dengan pemancar yang tangguh radio perjuangan ini berhasil membentuk opini publik di luar negeri.

Pemancar radio, Perjuangan “Rimba Raya” yang dinilai berjasa itu, kini ditempatkan di Museum Pusat TNI Angkatan Darat “Dharma Wiratama” Yogyakarta. Pemancar ini merupakan bukti sejarah perjuangan radio mempertahankan kemerdekaan. Dirgahayu Hari Radio 11 September 2011. ***** ( Muhammad TWH : Penulis adalah Wartawan Senior Veteran Pejuang Kemerdekaan Gol/B, Pemerhati Sejarah. )

Semalam Bersama Aman Jus di Meuligoe Bireuen


Menumpang dengan mobil Avanza, bersama sang sutradara film RRR Ikmal Gopi dan seorang wartawan harian di Aceh, Uyad Dasa kami bertiga pergi meninggalkan kota dingin Takengon menuju ke kota Juang Bireuen untuk menghadiri undangan Pemkab setempat untuk memutarkan film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, Sabtu (15/10/2011) didepan sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, pelaku sejarah dan para wartawan.

Melintasi kabupaten Bener Meriah yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah kami singgah di kampung Rime Raya yang terletak di Kecamatan Timang Gajah, menjemput seorang saksi hidup kisah perjuangan Radio Rimba Raya.

Namanya Reje Mude Tukiran Aman Jus. Awalnya saya hanya melihat sosok Aman Jus di Film Documeter RRR dan saya belum mengenal bagaimana perawakan sosok ini dalam kehidupan sehari-harinya.

Pria berperawakan kecil itu telah menanti didepan rumahnya. Sampai saya bertanya kepada rekan saya “Sesi ke jema e aman Jus ne bang ?” (yang mana orangnya Aman Jus bang-Gayo,red), dan rekan saya menunjuk ke arah tubuh kecil itu.

Aman Jus mendekati mobil yang kami tumpangi dengan membawa sebuah tas kecil berwarna hitam dan sebuah kantong plastik yang berisi buah Jambu Kelutuk (Gayo:Gelime)”. Lalu kami pun bersalaman dengannya dan istrinya, Ikmal memperkenalkan kami berdua kepada Aman Jus.

Kami meneruskan perjalanan. Aman Jus duduk disebelahku dan dia banyak bercerita tentang kehidupan masa kecilnya sampai ia dewasa. Aman Jus lahir di Kampung Rime Raya pada tahun 1941, empat tahun sebelum kemerdekaan Republik ini. Dia merupakan anak dari mukim kampung Rime Raya yang berasal dari kampung Linung Bulen kecamatan Bintang dan diberi nama Reje Mude Tukiran.

Saya sempat menanyakan kenapa nama ama ada nama Jawa-nya, dia menjawab karena pada masa kepemimpin ayahnya menjadi mukim di Kampung Rime Raya, saat itu warga setempat kebanyakan bersuku Jawa, kedekatan ayahnya dengan warganya membuatnya diberi nama R.M Tukiran atau Raden Mas Tukiran, kemudian ayahnya merubah singkatan R.M tersebut dengan Reje Mude bukan Raden Mas. Begitu kata Aman Jus. Karena berpembawaan humoris, kami jadi cepat akrab.

Sesampai kami tiba di Meuligo Kabupaten Bireuen kami disambut oleh pejabat setempat, lalu diajak makan siang dan kembali ke Meuligo untuk beristirahat dan ada kesempatan untuk mengorek informasi lebih dalam kepada Aman Jus bagaimana ia sewaktu kecil mengetahui sejarah Radio Rimba Raya.

Pengakuannya, dia berumur sekitar 8 tahun saat peristiwa besar tersebut terjadi. Di usia yang masih sangat muda itu ternyata Aman Jus sangat mengingat bagaimana Radio Rimba Raya itu mengudara di kelebatan hutan Rime Raya pada saat itu.

Dia kenal dekat dengan komandan Divisi X wilayah Sumatera Timur, Langkat dan Tanah Karo Kolonel Husein Yusuf dan istrinya Ummi Salamah, dan dia juga kenal semua dengan prajurit yang mengawal Pemancar Radio tersebut.

Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948 dan saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Belanda mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi, sementara Presiden dan Wakil Presiden pada saat itu telah diculik untuk Belanda guna mempropaganda negara-negara yang termasuk kedalam Dewan Keamanan PBB bahwa Indonesia itu sudah tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup tapi lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mematahkan pemberitaan tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Akibat berita itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui Indonesia masih merdeka, Belanda belum menguasai pemerintahan Indonesia. Dan dengan adanya berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan telak “KO” bagi Pemerintahan Belanda. (Sumber Wikipedia)

Dalam ingatan dari seorang Aman Jus, pesawat pengintai Belanda hampir setiap hari mengintai keberadaan pemancar Radio tersebut, karena letak pemancarnya terletak dikedalaman hutan rimba yang sangat lebat maka pemancar itu tidak dapat terdeteksi oleh pesawat-pesawat Belanda.

Aman Jus mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar dari Ikmal bahwasanya orang lain di pulau Jawa ada yang mengatakan bahwa Radio Rimba Raya hanyalah sebuah dongeng yang terlalu dibesar-besarkan. Aman Jus berang. “Siapa yang bilang dogeng, saya sendiri yang melihat bagaimana radio itu mengudara, kalau ada yang berani bilang cerita ini dongeng akan saya cincang dia” begitu kata aman Jus seperti tak sadar bernada humor namun dengan penekanan perjuangan Radio Rimba Raya itu benar-benar ada.

Kedekatan aman Jus dengan Kolonel Husein Yusuf dan juga prajuritnya mempunyai catatan tersendiri di hati Aman Jus. dia juga mengatakan bahwa dirinya hampir setiap hari mendampingi prajurit RR tersebut, sampai-sampai dia mengatakan ike tentra RR a gere demu urum aku serlo padih ne, kero-kero gere sedep ne i pangan ne, beta kedah (rasanya tak enak makan jika tidak bertemu tentara RR). Hal ini menunjukkan bahwa Aman Jus kecil melihat apa pun kejadian-kejadian di seputaran Radio Rimba Raya.

Nonton Film Documenter RRR di Meuligo Bireuen

Dalam film documenter RRR, Aman Jus yang juga sebagai tokoh primer sangat ingin menonton bagaimana saat dirinya di film tersebut. Dan saat nonton bareng di Meuligoe Kabupaten Bireuen Ikmal Gopi memperkenalkan dirinya sebagai salah seorang saksi hidup bagaimana kisah dari Radio Rimba Raya mengudara.

Belum lagi Ikmal berhenti berbicara sejumlah orang langsung menyalami dan merangkul Aman Jus. Begitulah ekspresi sekelompok orang yang prihatin terhadap sejarah Aceh yang mulai terlupakan, karena mengingat Aceh merupakan detik nadir dari sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam suasana nonton bareng tersebut, terlihat keseriusan para pengunjung, tanpa bersuara dan tenang, aman Jus yang juga sebagai aktor primer dalam film tersebut mulai tampak, sosok humoris dan selalu bersemangat dalam bercerita ini membuat adegan yang menarik dan membuat tawa para penonton di Meuligoe tersebut sembari kembali menyalami aman Jus. Aman Jus juga terlihat tersipu malu melihat adegannya di layar tersebut. Tanpa disadarinya suasanapun mulai hidup, karena karakter aman Jus terlihat lugu dan apa adanya menceritakan apa yang dialaminya saat RRR mengudara.

Film itupun selesai diputarkan, kami kembali ke penginapan di Meuligoe tersebut dan aku beserta Aman Jus akhirnya tidur sekamar. Mata belum terpejam, Aman Jus angkat bicara, “Wen rupen hebat aku wan film ne geh, sawah meh kedek urang Aceh ni boh”, katanya sambil tersenyum saya menjawab dan memujinya.

Ternyata dia terus memikirkan adegannya dalam film tersebut sampai-sampai dia tak bisa tidur, saya pun berusaha untuk mengajaknya tidur, tapi apalah daya itulah watak aman Jus. Terpaksa saya menemaninya bercerita hingga waktu subuh tiba.

Dalam perbincangan dengan aman Jus saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang sejarah Rimba Raya, sosok yang telah berumur 70 tahun ini rupanya mempunyai cerita-cerita yang unik.

Bukan Seperti Saksi Sejarah

Matahari telah terbit, kami beranjak pulang ke Takengon dan menyempatkan diri mampir di rumah Aman Jus.

Hidup dalam keluarga yang sangat sederhana aman Jus mempunyai 11 orang anak hasil dari pernikahannya dengan (alm) Cut Sariguna yang memiliki 10 orang anak dan menikah lagi dengan Legina.

Aman Jus yang merupakan kepala keluarga menghidupi keluarganya dari bertani. Istri Aman Jus, Legina memiliki bisnis sampingan dengan membuat Tape (Ragi : Gayo) dan tempe untuk dijual demi menambah penghasilan keluarganya.

Dirumahnya tidak ada meubel atau sarana pendukung lainnya seperti rumah kebanyakan. Bagian depan rumahnya dibiarkan kosong dan hanya diisi oleh satu buah lemari saja. Kehidupan aman Jus yang pas-pas saja itu. Tubuh yang telah renta tersebut masih saja banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Anak bungsunya sedang kuliah di Universitas Gajah Putih Takengon.

Sempat saya berpikir aman Jus adalah saksi sejarah bagaimana Radio Rimba Raya menginformasikan kepada dunia luar bahwa Indonesia tetap ada dan merdeka, aman Jus pun ikut dalam mengantarkar penyiar ke tengah hutan belantara itu. Dan aman Jus merasa sedih ketika pemerintah tak mau berjuang untuk mempertahankan eksistensi sejarah radio tersebut.

Sepasang mata milik aman Jus tampak berkaca, berbinar memberikan isyarat kesedihannya. Butiran air yang ingin tumpah ditahannya sekuat tenaga. Kami pun terdiam dan berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah yang lain.

Aman Jus seharusnya dijadikan tokoh sejarah yang mengetahui bagaimana Radio perjuangan tersebut beroperasi. Tapi sayang hutan yang dulunya Rimba sekarang sudah tak rimba lagi, hutan yang dulunya tak terlihat disatelit sekaliber google earth pun, sekarang menjadi padang alang-alang yang gersang, begitulah hutan Rimba yang hilang seakan mengiringi sejarah yang hilang juga.

Tugu Radio Rimba Raya yang dibangun dijadikan hanya sebagai simbol yang tatanannyapun dibuat tak seindah TMII, Monas, Jam Gadang dan sejenis Landmark masing-masing daerah di Indonesia ini, hal ini menjadi menambah sederetan hal yang akan punah di bumi Gayo tanoh tembuni, termasuk sejarahnya. Siapakan yang bertanggung jawab dengan semua ini ?

Tanpa terasa perpisahan dengan aman Jus pun tiba, kami harus melanjutkan perjalanan ke Takengon, dalam perpisahan itu aman Jus berkata, “kase ike beloh keliling mien, mai aku pe boh, walau pun aku nge tue aku pe tetap mude des lagu kam”, sembari menyalaminya dan saling berangkulan dia pun berkata “buge ara umur te mien, kati lebih dele si kite erah”.

Dia juga berpesan kepada ku agar jangan pernah melupakan sejarah, dan jangan menganggap sepele tentang kebenaran sejarah Radio Rimba Raya ini, “Ike gere ara radio ni wen, kemerdekaan Indonesia ni pe gere ara, ingeti oya boh,” kata Aman Jus berpesan.

Tanpa disadari, selama kurang dari dua hari telah bersama tokoh sejarah yang mungkin akan terlupakan ini tanpa diperhatikan oleh pemerintah dan patut dihormati ini. Kisah ini tak akan terlupakan. Semoga Aman Jus diberi kesehatan dan kelapangan, agar dilain waktu dapat bertemu kembali. Terima kasih ama telah membuka mata kami untuk kebesaran sejarah di bumi Gayo ini. (Darmawan Masri)

Tokoh Bireuen Usul RRR Dikomersilkan


Takengen | Lintas Gayo – Setelah pemutaran film dokumenter sejarah perjuangan Radio Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi di Meuligo Bireuen, Sabtu (15/10/211) lalu. Seorang tokoh masyrakat Bireuen mantan anggota DPRK setempat dan kini menjabat ketua Pimpinan Daerah Partai Bulan Bintang (PBB), M. Dahlan Syah mengusulkan agar film tersebut diproduksi lagi dalam bentuk film komersil.

Dihadapan pengunjung yang datang untuk menyaksikan film RRR tersebut, M. Dahlan mengatakan bahwa seyogianya film documenter RRR dijadikan film komersil karena film tersebut sarat dengan nilai sejarah dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

“Agar RRR tidak hilang sejarahnya begitu saja dan dapat dipertahankan oleh generasi muda kita maka saya kira sangat layak untuk dibuatkan film komersil,” usul M. Dahlan.

Menanggapi usulan ini, sutradara film documenter RRR Ikmal Gopi menyatakan respon positifnya jika film tersebut dijadikan film komersil. “Saya sangat setuju jikalau RRR dikomersilkan akan tetapi untuk maksud tersebut membutuhkan biaya yang lumayan besar. Dan saya pesimis pihak yang berkompeten di Provinsi Aceh mau berpikir untuk itu,” ujar Ikmal bernada pesimis namun masih menaruh harapan kepada pihak produser film nasional.

Setahu Ikmal, untuk film sejarah berbasis Aceh, hanya film Tjut Nyak Dien yang digarap secara komersil. Dan jikapun ada yang lain seperti yang baru-baru ini mengambil sejumlah Scene di Aceh bukan berbentuk film sejarah.

Ikmal mengaku berharap banyak akan terjadi perubahan pola pikir dan cara pandang pemangku kepentingan di Aceh dan Gayo terkait penting sejarah. “Saya yakin, untuk film sejarah RRR ini akan bisa diproduksi secara komersil jika ada upaya meyakinkan produser. Solusi lainnya dengan kebersamaan dibawah komando unsur pimpinan daerah di Provinsi Aceh serta kerjasama Kabupaten Bireuen, Aceh Tengah dan Bener Meriah saya yakin film tersebut bisa terwujud,” saran Ikmal.

Dia berharap dari semua daerah yang merasa memilik sejarah perjuangan RRR tersebut, mulai dari pemerintah Republik Indonesia, Pemerintahan Aceh, Pemkab Bireuen, Pemkab Bener Meriah, dan Pemkab Aceh Tengah dapat berkombinasi dan bekerja sama untuk merealisasikan usulan tersebut. (Wein Mutuah)

Radio Sebagai Alat Perjuangan


Seni - Minggu, 11 Sep 2011 00:03 WIB

Oleh : Ali Soekardi. Hari ini Minggu tanggal 11 September 2011 adalah peringatan Hari Radio ke 66. Atau hari berdirinya RRI (Radio Republik Indonesia), yaitu tanggal 11 September 1945, belum satu bulan usia kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini bermakna betapa pentingnya makna media massa (dalam hal ini radio) bagi perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan.
Jelas, RRI adalah alat perjuangan bangsa. Jusuf Ronodipuro, adalah pejuang yang mendirikan RRI dan menjadi pemimpinnya yang pertama. Ketika Proklamasi Kemerdekaan telah diumumkan, serdadu Jepang yang masih ber-kuasa meskipun telah menyerah kalah pada tanggal 17 Agustus 1945, melarang keras berita Proklamasi Kemerdekaan itu diumumkan atau disiarkan oleh media massa yang ada ketika itu.

Badan Sensor Jepang (Nippon Gun Kenetsu) amat ketat mengawasi siaran radio (Hooso Kyoku) maupun koran Asia Raya. Tapi beberapa petugas maupun wartawan yang bekerja di radio tersebut berusaha keras agar Proklamasi Kemerdekaan itu dapat disiarkan, supaya diketahui rakyat, dan juga tersiar di luar negeri.

Jusuf Ronodipuro berhasil menyeludupkan teks proklamasi ke bahagian siaran berita radio Jepang (Hooso Kyoku) tempat mereka bekerja ketika itu. Pada saat jam siaran berita, dan kebetulan pengawas Jepang sedang lengah, dengan berani dan nekat Jusuf Ronodipuro sendiri yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan itu. Maka tersiarlah dengan luas berita tentang proklamasi kemerdekaan itu, baik di dalam maupun di luar negeri, karena siaran-siaran radio di luar negeri juga mengutip dan mengulangi siaran tersebut.

Tapi apa akibatnya - Pimpinan Hooso Kyoku, tentu orang-orang Jepang, marah besar. Karena mereka pun mendapat dampratan dari pihak militer Jepang dan dianggap lalai, Jusuf Ronodipuro sendiri lebih parah nasibnya. Dia ditangkap Kenpeitai (PM serdadu Jepang). Dia hampir saja dibunuh. Syukurlah ada pegawai Jepang di radio tersebut, yang usianya sudah tua dan bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan susah-payah dia membujuk perwira Kenpeitai tersebut, agar jangan bertindak sekejam itu kepada rakyat Indonesia. Lagi pula Jepang sudah kalah dan menyerah, lebih bagus membantu mereka. Maka selamatlah Jusuf Ronodipuro.

Bersama rekan-rekannya para wartawan radio, pada tanggal 11 September 66 tahun yang lalu Jusuf Ronodipuro mendirikan RRI. Dan dia langsung terpilih sebagai kepalanya yang pertama. Jabatan ini dilaksanakannya sampai terjadi Aksi Militer Belanda I (21 Juli 1947). Karena RRI pun berantakan diserang Belanda.

Kemudian dia tidak lagi bertugas di radio, tetapi menjadi penghubung ketika terjadi perundingan-perundingan antara RI - Belanda yang diawasi PBB melalui Komisi Tiga Negara, yakni Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Radio Pemberontakan

Tentu saja bukan hanya RRI satu-satunya sebagai radio perjuangan. Masih banyak yang lain, hanya saja RRI kemudian menjadi radio resmi pemerintah, seperti halnya TVRI sebelum banyak bermunculan siaran radio dan televisi swasta seperti sekarang ini. Sedangkan RRI dan TVRI di era reformasi sekarang ini menjadi Lembaga Penyiaran Publik.

Ingat peristiwa sepuluh November 1945 di Surabaya, yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Ketika sedang hangat-hangatnya rakyat Indonesia (sebagian besar adalah pemuda), ada seorang pemimpin yang sangat dikenal dan terkenal yang selalu berpidato dengan suara lantang mengobarkan semangat perjuangan, yaitu Bung Tomo (Sutomo), melalui siaran sebuah radio kecil yang menamakan dirinya Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Siaran radio ini dikelola seorang pemuda yang mengetahui hal-ihwal secara tehnis tentang radio, namanya Hasan Basri.

Memang jangkauan siarannya tidak luas. Hanya Surabaya dan sekitarnya. Tapi tak apalah, karena memang semangat berjuangan arek-arek Suroboyo yang utama dibangkitkan untuk menghadapi tentara Sekutu (Inggris yang umumnya tentara Gurkha) plus serdadu Belanda yang memboneeng, dan ingin mengobok-obok pemerintahan RI di Surabaya dengan aksi teror resmi.

Waktu itu ada juga siaran radio resmi, yakni Radio Surabaya, yang selalu me-relay siaran Radio Pemberontakan, Tapi kemudian tak bisa dipisahkan, mana siaran Radio Surabaya dan yang mana pula Radio Pemberontakan. Keduanya seperti menjadi satu. Hanya saja kemudian setelah keadaan aman damai tanpa perang, kedua siaran radio ini pun "menghilang" dari udara, Yang ada menggantikannya adalah RRI.

Ktut Tantri

Hanya yang perlu dicatat, selama siarannya membangkitkan semangat perjuangan rakyat dan sekaligus memperkenalkan Republik Indonesia keluar negeri, Radio Pemberontakan dibantu seorang penyiar asing, seorang wanita muda Amerika yang menjadi wartawan. Dia adalah Ktut Tantri. Ini nama yang diberikan seorang raja di Bali, dan menjadikannya anak angkat. Dan Ktut Tantri yang sejak sebelum Perang Dunia II, atau sebelum datangnya tentara Jepang, sudah tinggal di Bali dan merasa sangat senang karena diterima dengan baik oleh rakyat Bali, bahkan diberi nama Bali. Sejak itu dia tidak bersedia memakai atau menyebutkan nama aslinya, nama Amerika.

Ketika Revolusi Kemerdekaan meletus Ktut Tantri berada di Surabaya. Dia bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia. Maka dia bergabung dengan Radio Pemberontakan, menulis berita, artikel, komentar tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris, lalu disiarkannya dengan cara dan gaya yang mengesankan dan meyakinkan. Memang jangkauan siaran Radio Pemberontakan terbatas di Surabaya dan sekitarnya, namun siaran-siaran tersebut direlay radio-radio lain di pulau Jawa, dan dikutip oleh radio-radio di luar negeri. Dengan demikian kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia mempertahankannya, tersiar luas di luar negeri.

Di daerah-daerah pun di masa perang kemerdekaan itu, banyak terdapat radio-radio siaran yang menjadi alat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Proklamasi 17 Agustus 1945. Di Sumatera Utara dan Aceh pun, ada radio siaran yang melakukan siarannya dengan bergerilya. Saat Belanda melakukan agresinya (Aksi Militer I dan II) dengan tujuan ingin "menumpas" RI, apalagi setelah Ibukota RI, Yogyakarta, diserang dan para pemimpin RI banyak yang ditawan Belanda, keadaan pun menjadi kocar-kacir. Termasuklah RRI yang berantakan.

Rimba Raya

Maka muncullah Radio Rimba Raya, yang merupakan radio meneruskan fungsi sebagai radio perjuangan. Radio Rimba Raya ini, menurut wartawan senior (pemegang press-card number one) Muhammad TWH, dalam berbagai buku perjuangan kemerdekaan yang ditulisnya, menyebutkan bahwa Radio Rimba Raya itu berada langsung di bawah Komando Divisi X TNI, Kolonel Husin Jusuf dengan para pembantunya Kepala Penerangan Tentara Divisi X Kapten A.G.Mutyara, dan Kepala Penerangan Tentara Resimen V Divisi X Letnan A.Rahman TWH.

Radio Rimba Raya sangat aktif menyiarkan tentang perjuangan RI, dan menyatakan bahwa RI masih ada walaupun dilaksanakan oleh penerusnya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara, TNI belum kalah dan masih terus melakukan perlawanan bersenjata dibantu rakyat. Siaran-siaran Radio Rimba Raya ini ternyata didengar diberbagai negara di luar Indonesia, direlay radio-radio yang ada di sana, sehingga luar negeri pun tahu bahwa RI belum tumpas seperti digembar-gemborkan Belanda.

Jelas, bahwa siaran-siaran radio sangat besar jasanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sesungguhnya bukan sekedar itu saja. Karena di masa pembangunan mengisi kemerdekaan, bahkan di masa sekarang era reformasi atau zaman demokrasi dan kebebasan, siaran-siaran radio masih dibutuhkan dan diperlukan. Karena perjuangan belum selesai, dan semakin berat. Perjuangan menegakkan keadilan dan kebebasan, memerangi korupsi, penyelewengan, pengangguran, dan lain sebagainya. Radio masih berfungsi selain untuk hiburan.***

Selasa, 18 Oktober 2011

Elemen Sipil Kota Juang Apresiasi Film Radio Rimba Raya


Bireuen | Lintas Gayo – Setelah diundang masyarakat Kota Juang Bireuen melalui Pemkab setempat, akhirnya film documenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) di putar di halaman Meuligo Bupati, Sabtu (15/10/2011) malam.

Dalam acara nonton bareng ini dihadiri oleh para pejabat teras dilingkungan Pemkab Bireuen, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan wartawan.

Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bireuen, Ir. Lazuardi, MT. Dalam sambutannya, Lazuardi menyampaikan ucapan terimakasihnya kepada sutradara film RRR, Ikmal Gapi yang telah bersusah payah mengumpulkan bukti dan mencari saksi sejarah dan akhirnya menyempatkan hadir ke Kota Juang ini. Dia juga meminta ma’af kepada Ikmal atas ketidakhadiran Bupati Bireuen Nurdin Abdurrahman, karena sedang berada diluar daerah mengikuti Lemhannas.

Amatan Lintas Gayo para penonton sangat antusias dan merspon positif pemutaran film tersebut. Dari detik pertama hingga akhir pemutaran film ini diamati secara serius, sesekali terdengar tawa dari para penonton ketika menyaksikan sosok humoris yang menjadi saksi sejarah bagaimana Radio Rimba Raya mengudara, Reje Mude Tukiran alias Aman Jus.

Setelah film itu selesai diputar, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wilayah Bireuen, Adi Juli.

Sesi tanya jawab diwarnai beberapa kritikan dan saran yang positif dari sejumlah elemen masyarakat kota Bireuen.

Dan kesemuanya memberikan apresiasi kepada Ikmal Bruce Gopi karena telah berbuat dengan karya sebuah film dalam upaya mengembalikan sejarah Aceh yang mulai tercecer.

Seperti yang diungkapkan Afif Daud, salah seorang tokoh Bireuen yang selama ini berdomisili di Jakarta menyampaikan rasa terima kasih kepada Ikmal yang telah bersusah payah mengorbankan waktu, tenaga dan uang demi mengumpulkan dokumen sejarah yang hilang.

“Saya sangat apresiatif apa yang telah dibuat anak muda seperti Ikmal ini, walaupun dalam film tersebut masih terdapat sedikit kekurangannya, tapi yang terpenting adalah sejarah Radio Rimba Raya itu sangat besar peranannya sebagai salah satu tonggak mempertahankan kemerdekaan Republik ini”, kata Afif Daud.

Ikmal Gopi yang menjawab pertanyaan dan saran tersebut menerima dengan positif masukan dari para tokoh masyarakat itu dan mengatakan bahwa dirinya memulai membuat film ini karena keingintahuan tentang kebenaran sejarah Radio Rimba Raya tersebut dengan mengumpulkan data-data yang dihimpun dari sejumlah nara sumber yang berkompeten tentang sejarah radio ini.

Ikmal juga mengaku kekurangan data yang mengakibatkan Ikmal harus mencari data yang relative rumit dari beberapa tokoh sumber yang dijumpai Ikmal.

Ikmal berharap semoga dengan pemutaran RRR ini menjadi jembatan silaturahmi antara ketiga kabupaten Takengen, Bener Meriah dan Bireuen. (Wein Mutuah)

Bireuen–Gayo Saling Bergantung, Sama Dilupakan Dalam Sejarah NKRI


Bireuen | Lintas Gayo - Kabupaten Bireuen dan Dataran Tinggi Gayo khususnya kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sejak lama sudah punya hubungan yang erat. Selain keterkaitan sejarah mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia dimasa kepemimpinan presiden Soekarno juga dibidang perekonomian. Masyarakat kedua daerah tersebut sejak lama hidup saling ketergantungan.

Demikian pernyataan Kabag Humas Setdakab Bireuen, Darwansyah SE saat menyambut kedatangan Sutradara film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, Ikmal Gopi yang didampingi Lintas Gayo di Meuligo (Pendopo) Bupati setempat, Sabtu (15/10/2011) sore.

Kepada Ikmal Gopi dan rombongan, Darwansyah, SE mengatakan menyambut positif atas pembuatan film bersejarah dalam kemerdekaan Indonesia. Dan sangat berterima kasih atas kedatangan Ikmal untuk dapat memutar film RRR di Kota Juang tersebut.

Selanjutnya Darwansyah menceritakan bahwa hubungan orang Gayo dengan Bireuen telah terjalin sejak lama. Pada masa lalu dimana akses jalan ke Takengon masih sulit ditempuh, orang Gayo menjual barang ke Bireuen dengan menggunakan gerobak yang ditarik dengan kerbau, dan sebaliknya begitu juga orang Bireuen menjual kelapa juga dengan cara yang sama.

“Perekonomian di Bireuen sangat dibantu oleh urang Gayo. Kalau kopi di Gayo harganya stabil, maka urang Gayo akan berbelanja ke Bireuen, berarti hubungan antara Urang Gayo dan Takengen sudah terjalin sejak lama”, simpul Darwansyah.

Amatan Lintas Gayo yang datang ke kabupaten Bireun mendampingi sang sutradara film RRR, dalam lingkungan Meuligo Kabupaten Bireuen masih terdapat bangunan bersejarah berupa bangunan tempat tinggal Kolonel Husin Yusuf yang dalam sejarahnya merupakan seorang komandan Divisi X wilayah Aceh. Kolonel Husen Yusuf adalah seorang tokoh dalam sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. Bangunan ini masih asli, belum ada penambahan yang serius terlihat di bagian lantai dan dindingnya masih menggunakan bahan dari kayu.

Menurut Ikmal Gopi, ada yang lebih menarik lagi dari sisi bangunan ini, bangunan ini sempat dijadikan penginapan bagi Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang datang ke Aceh ditahun 1948 khususnya Bireuen sempat tinggal selama seminggu yang salah satu tujuannya meminta dukungan supaya Aceh turut mempertahankan kemerdekaan RI. Dan juga meminta bantuan dana pembelian pesawat untuk dijadikan transportasi diplomasi pemimpin Republik saat itu, maka keluarlah ucapan Soekarno bahwa Aceh adalah “Daerah modal’.

Dan karena itu, walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta dan Bukit Tinggi jatuh ke tangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI seperti halnya hebatnya sejarah perjuangan Radio Rimba Raya.

Dihalaman Meuligo juga terdapat peninggalan situs sejarah yang masih terpasang ditempat aslinya, situs itu adalah sebuah meriam besi yang merupakan peninggalan sejarah perang kemerdekaan masa lalu. Ini adalah suatu catatan yang patut ditiru dari kabupaten yang berjuluk “Kota Juang” ini, bagaimana cara mereka menjaga keaslian benda dan keasrian tempat bersejarah dengan baik.

Sebagaimana diberitakan Lintas Gayo sebelumnya, Sabtu (14/10/2011) malam direncanakan akan diputarkan film sejarah penting saat mempertahankan kedaulatan RI dari keinginan Belanda untuk kembali menjajah. Rencananya pemutaran film tersebut akan dihadiri sejumlah tokoh dan saksi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya.

Turut serta dalam rombongan Ikmal Gopi, Aman Jus yang merupakan saksi hidup sejarah radio tersebut dan sempat berinteraksi dengan Kolonel Husin Yusuf, komandan Divisi X wilayah Aceh di kawasan Rimba Raya saat itu. (Wein Mutuah)

Malam Ini, Bupati dan Tokoh Bireuen Saksikan Film Sejarah


Saturday, 15 October 2011 16:10
Written by Jauhari S. /Lintasgayo

BIREUEN - Film documenter sejarah Radio Rimba Raya akan diputar dan disaksikan langsung oleh bupati Bireuen Drs H. Nurdin Abdurrahman dan para kepala Dinas, Muspida, para camat, pejuang, dan persatuan Wartawan Indonesia, dan masyarakat di kota juang Sabtu Malam (15/10) di Pendopo Bupati Bireuen, mulai pukul 20.00 WIB.

Pemuratan Film bernilai sejarah tinggi itu sengaja diputardi pendopo karena gedung tersebut erat kaitannya dengan SejarahRadio Rimba Raya.

“Film sejarah perjuangan rakyat Aceh mempertahankan kedaulatan RI itu akan diputar di Pendopo Bupati malam ini,” kata Darwansyah, Kabag Humas Setdakab Kabupaten Bireuen.

Film yang digarap sutradara muda Ikmal Gopi merupakan sebuah film sejarah yang dikerjakan dengan biayai pribadi. Pemutarannya di Bireuen sekaligus untuk menguatkan kembali peran sejarah tersebut yang melibatkan peran Bireuen yang begitu besar.

“Peran Bireuen dan Gayo sangat besar dalam sejarah perjuangan radio yang menyiarkan Indonesia itu masih ada kepada dunia. Apalagi salah satu pelaku sejarahnya adalah putra Bireuen, Kolonel Husin Yusuf,” kata Darwansyah lagi.

Sementara, Sutaradara film RRR Ikmal Gopi menyebutkan, inilah pertama kali film yang meraih nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2010 lalu itu diminta dan dilayani khusus oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Bireuen. Inilah pertama kali perhatian tercurah kepada sejarah Radio Rimba Raya yang begitu besar.

“Saya terharu. Saya akan Bireuen bersama beberapa pemerhati sejarah perjuangan Radio Rimba Raya,” kata Ikmal singkat []

Film Radio Rimba Raya 'Kuak' Sejarah Perjuangan Bireuen


Sunday, 16 October 2011 07:00
Written by Jauhari Samalanga

BIREUEN - Pemutaran film sejarah radio Rimba Raya mendapat respon luar biasa dari masyarakat Kabupaten Bireuen. Selain itu, banyak tokoh sejarah Bireuen hadir dan menggambarkan sejarah Bireuen yang ikut terlupakan. Hal itu terkuak dari cerita Afeed Daud, sejarawan dari Jakarta, bahwa Yusuf Malay, seorang pejuang yang yang membaca Teks di radio dan melakukan napak tilas soal Radio, lima tahun lalu.

"Masih ada yang tertinggal dari film Rimba Raya, penyiar Radio asal Bireuen," kata Hafiz Daud pada sesi diskusi selepas film tersebut diputar.

Hadir juga tokoh Bireuen Mukim Ma'un, Nur Juli, dan sejumlah pelaku dan pemerhati sejarah di berreun.

"Ternyata di Bireuen banyak tokoh sejarah yang terlewatkan dan mereka tidak muncul. Alhamdulillah film Rimba Raya mengantarkan mereka tampil kembali ke publik," kata Dharmansyah, kabag Humas pemrakarsa acara ini.

Ikmal Gopi mengatakan, inilah pentingnya kita bicara soal sejarah agar kita kembali mengangkat sejarah yang ada di sekeliling kita. Ikmal juga mmeminta maaf kepada tokoh-tokoh yang terlibat dengan radio tersebut tetapi tidak tertera dalam film yang diputar.

"mohon maaf kepada bapak-bapak saya, tentu tidak ada yang sempurna dalam setiap karya kita . Radio Rimba Raya diselaikan selama 4 tahun dengan fakta dari berbagai daerah di Indonesia, tapi kemudian ada yang tertinggal penyebutan tokoh-tokoh di sini, saya minta maaf, karena saya juga sempat beberapa lama di Bireuen untuk mengumpul data kala itu," kata Ikmal yang matanya ikut berkaca-kaca.

Menurut Ikmal tidak tertutup kemungkinan akan ada revisi, sejauh fakta kebenaran tentang sejarah radio terkuak.

"Inilah pentingnya diskusi," lanjutnya.

Turut hadir pada acara pemutaran film Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya antara lain para Camat, tokoh pejuang, pejabat, dan masyarakat.

"Bupati yang ingin menonton film tidakdatang, karena sedang mengikuti lemhanas di Jakarta, nanti berikutnya akan di siapkan waktu lagi" kata Dharmansyah, Minggu dini hari (16/10).[]

Film Dokumenter Rimba Raya Ditayangkan di Bireuen

14 October 2011

Bireuen | Harian Aceh – Film dokumenter sejarah, “Radio Rimba Raya” rencananya akan ditayangkan di Pandapa Bupati Bireuen, Sabtu (15/10) malam. Penayangan film yang diproduseri Ikmal Gayo tersebut untuk memberikan kontribusi terhadap hasil garapan film itu.

Kabag Humas Setdakab Bireuen, Darwansyah kepada Harian Aceh, Kamis (13/10) mengatakan, penayangan film dokumenter sejarah “Radio Rimba Raya” ini karena di Bireuen sendiri banyak pelaku sejarah.

Untuk kegiatan ini, para produser mengudang para tokoh dan pelaku sejarah, LSM, pemuda dan para wartawan di Bireuen guna memberikan kontribusi dan masukan untuk penyempurnaannya.(job)