Rabu, 19 Oktober 2011

Ketika Radio Jadi "Primadona"

Written by Edy Rachmad on Monday, 12 September 2011 07:51

(Refleksi Hari Radio Republik Indonesia 11 September 2011)

Radio Belanda umumkan: “Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. presiden dan wakil presiden sudah ditawan. Semua wilayah Indonesia telah dikuasai Belanda”. Radio “Rimba Raya” menjawab: Republik Indonesia masih tegak berdiri. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia masih utuh Sepenuhnya

Pada masa awal kemerdekaan, sarana komunikasi radio tidak ubahnya seperti “primadona” yang disandra Kempetai Jepang. Betapa tidak, stasiun radio yang ada di Merdeka Barat Jakarta, sejak 15 Agustus dijaga ketat Kempetai Jepang.

Sehingga para pemuda tidak bisa menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang diumumkan Soekarno-/Hatta tanggal 17 Agustus 1945. Penyanderaan ini bukan hanya terjadi di Jakarta, juga terjadi di Medan.

Begitupun para pemuda pejuang yang bekerja di radio, bekas Hoso Kyoku menyalurkan teks proklamasi melalui siaran-siaran luar negeri yang ada di Bandung. Maka masyarakat Australia lebih dahulu mendengar bangsa Indonesia merdeka.

Berkat kegigihan pemuda radikal yang bekerja pada kantor berita “Antara” yang menjadi saksi Indonesia kantor Berita Jepang “Domei” berhasil menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan tiga serangkai Adam Malik, Asa Bafaqih dan Panghulu Lubis.

Dengan adanya siaran domei itu, maka seluruh dunia mengetahui Indonesia telah Merdeka. Demikian juga daerah-daerah mengetahui kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan meskipun masih samar-samar.

Para pemimpin radio yang berkumpul di Jakarta tanggal 10 September 1945 meminta kepada Jepang agar semua stasiun radio diserahkan kepada Indonesia, tetapi Jepang bertahan karena hendak diserahkan kepada Sekutu.

Karena itu para pimpinan radio menyusun satu kekuatan merebut sang “primadona” guna menguasai dan menyelamatkan pemancar-pemancar yang ada di daerah. Begitupun para pejuang radio tidak tinggal diam, sebuah pemancar gelap berhasil diusahakan, tidak lama kemudian berkumandanglah di udara radio siaran dengan stasiun call “Radio Indonesia Merdeka”.

Menurut Onong Uchjana Effendy MA, melalui radio ini wakil presiden Hatta dan para pemimpin lainnya menyampaikan pesan kepada masyarakat. Studio gelap itu berlokasi di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jalan Salemba Jakarta yang memancarkan siaran luar negeri dengan callThis is the voice of free Indonesia”. Salah seorang yang berjasa dalam hal ini adalah Dr Abdurrahman Saleh.

Didatangkan dari Singapura

Begitu pentingnya pemancar radio, maka pejuang dari Sumatera Utara berusaha mendatangkan pemancar dari Singapura. Pejuang yang paling berani menerobos blokade Belanda di Selat Malaka adalah John Lee yang berpangkat Kapten Angkatan Laut.

Pejuang ini berhasil memasukkan pemancar berukuran sedang, di samping memasukkan berbagai keperluan militer yang didaratkan melalui Labuhan Bilik. Setelah Agresi ke dua John Lee melakukan kegiatannya melalui pantai Aceh Timur Sungai Yu.

Selain John Lee yang mengharungi Selat Malaka dengan boat cepatnya, juga Kapten Nip Xarim melakukan hal serupa. Ketika Batalyon “B” yang dipimpinnya ditempatkan di Langkat, Kapten Nip Xarim dengan membawa 25 ton getah menerobos blokade Belanda menuju Singapura. Dia bermaksud mencari pemancar kecil untuk keperluan Batalyonnya. Tetapi yang berhasil ditemukan sebuah pemancar besar berkekuatan 350 watt dan dimasukkan melalui Kuala Sungai Serapoh (Langkat).

Menurut Kapten (Purn) Nip Xarim di masa hayatnya, sebelum Belanda melancarkan Agresi pertama, pemancar itu diantar kepada Komandan Divisi X Kolonel Husin Yusuf. Bersama pemancar ini turut serta seorang perwira Inggris bernama Joh Edward (Abdullah Inggris) serta Abubakar dan Chandra.

Mereka ini adalah mantan tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia. Ketika penyerahan pemancar ini Kolonel Husin Yusuf didampingi Letnan A. Rahman TWH, kepala Penerangan Tentara Resimen V Divisi X, mantan kepala Radio Aceh Shu Hodoka di masa pendudukan Jepang. Pemancar berkekuatan cukup besar inilah kemudian dikenal dengan Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang siarannya dapat didengar di seluruh negara Asia, Australia dan beberapa negara Eropa.

Berdirinya RRI

Tanggal 10 September 1945 para pemimpin radio berkumpul di Jakarta membicarakan tuntutan kepada Jepang agar semua kelengkapan diserahkan kepada Indonesia. Tapi Jepang tetap menolak, sarana komunikasi itu akan diserahkan kepada sekutu.

Tanggal 11 September 1945 jam 24.00 berhasil membulatkan tekad di tengah malam membentuk suatu organisasi radio siaran bernama RRI untuk bertindak dan mengambil langkah selanjutnya baik di pusat dan maupun di daerah.

Kalau Sumber Daya Manusia Militer Indonesia hasil gemblengan Jepang melalui Gyugun, Heiho dan lain-lain, maka Sumber Daya Manusia di bidang radio juga hasil tempaan Jepang melalui organisasi radio yang dikenal dengan Hoso Kyuku. Sedangkan di Aceh dikenal dengan sebutan “Aceh Syu Hodoka”.

Di antara anggota Hoso Kyuku di Medan yang kemudian menjadi pejuang radio antara lain adalah Lutan St Tunaro, M.Arief, M.Sani, Roesyem, Ahmad SM, Abda Mufid, Dapari Nasution dan Kamarsyah. Sedangkan Pimpinan radio Aceh Syu Hodoka di Kutaraja (Banda Aceh) adalah Said Achmad Dahlan dan A. Rahman TWH. Di awal kemerdekaan A. Rahman TWH menjadi Kepala Penerangan Resimen Divisi V merupakan orang yang bertanggung jawab dalam operasional Radio Rimba Raya.

Pejuang RRI Medan

Sejalan dengan langkah pimpinan RRI di Jakarta, maka daerah-daerah juga bertindak menyelamatkan pemancar dan peralatan radio agar jangan sampai jatuh ke tangan Sekutu.

Pejuang radio Medan berusaha memindahkan dan peralatan radio yang amat penting tanpa menghiraukan akibat yang akan mereka alami. Peralatan dari Jalan Serdang 28 Medan (sekarang Jln. Prof Mohd Yamin) diangkut ke Kampung Baru untuk dibangun RRI untuk menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”.

Sayang pemancar yang berkekuatan satu (1 KW) yang berada di Sei Sikambing tidak bisa mereka angkut karena ketatnya penjagaan Jepang. Pemancar yang dibangun di Kampung Baru dapat menjangkau siarannya untuk seluruh Sumatera Timur.

Baru saja dimulai siaran percobaan RRI Medan, satu pasukan Inggris yang telah menduduki kota Medan 9 Oktober 1945 menerobos rintangan yang dibuat oleh pemuda pejuang menuju Kampung Baru. Gedung yang dijadikan lokasi RRI Medan dikepung dan ditembaki secara bertubi-tubi.

Pejuang radio berhasil menyelamatkan diri, hanya seorang pejuang radio yang kena tembak di pahanya bernama Arsyad tapi tidak mengancam jiwanya. Pemancar RRI di Kampung Baru itu diledakkan oleh Inggris.

Pejuang radio tidak patah semangat walaupun pemancar diledakkan, namun mereka berusaha membangun pemancar baru di Jalan Asia yang dilakukan Hasib, S.Ismail dan lain-lain. Kali ini disusahkan pembangunan secara legal dengan meminta izin kepada Gubernur Sumatera dan sekutu, izin telah diperoleh pembangunan segera dimulai.

Tetapi keadaan kota Medan bertambah panas, pertempuran antara Lasykar dengan Inggris terjadi baik siang maupun malam. Karena situasi sudah sedemikian rupa, masyarakat Medan banyak menguasai ke daerah pedalaman.

RRI Medan juga secara sangat hati-hati diungsikan ke P.Siantar. Pertengahan Maret 1946 Pemerintah Sumatera di bawah pimpinan Mr.Teuku Mohd Hasan memindahkan ibukota Sumatera ke P.Siantar.

Berkumandang di Siantar

Atas bantuan berbagai instansi pemerintah di P.Siantar terutama Kepala Daerah Kabupaten Simalungun Bupati Madja Poerba, RRI Medan memperoleh sebuah gedung di jalan Raya Siantar-Medan. Disertai alat-alat untuk keperluan siaran seperti piano, piring hitam dan lain-lain.

Walaupun keadaan serba sederhana RRI Medan akhirnya berhasil mengumandangkan suaranya dengan memakai call “Di sini Radio Republik Indonesia Medan di P.Siantar”. Tujuan siaran waktu itu ialah memupuk semangat perjuangan bangsa menentang maksud penjajahan Belanda kembali berkuasa di Indonesia dan mempertinggi pengetahuan rakyat dan keinsafan bernegara.

RRI Medan di P.Siantar melaksanakan fungsinya sejak April 1946 dan berakhir 29 Juli 1947. Ketika Belanda masuk dan merebut P.Siantar dalam rangkaian agresinya I yang dimulai 21 Juli 1947. Yang pertama dilakukan pasukan elit Belanda adalah meledakkan pemancar RRI dan menghancurkan studio RRI di Siantar itu. Sejak itu RRI Medan bungkem di udara, karyawannya bergerilya dan ada juga diam-diam masuk ke Medan.

Setelah Belanda melancarkan Agresinya yang kedua, 19 Desember 1948, Yogyakarta direbut dan diduduki. Presiden, wakil presiden dan para Menteri ditawan. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menlu H. Agus Salim ditawan di Pasanggerahan Lau Gumba, Brastagi, kemudian dipindahkan ke Parapat. Wakil Presiden Hatta dan menteri lainnya ditawan di Pulau Bangka.

Dengan direbutnya Jogyakarta dan Bukit Tinggi dengan sendirinya Radio-Radio Republik Indonesia “dibungkemkan”. Situasi kevakuman RRI dimanfaatkan Radio Belanda di Batavia (Jakarta) radio Hilversum di Negeri Belanda dan radio Belanda di Medan menyiarkan berita”Republik Indonesia sudah tidak ada lagi”. Alasan Belanda, Yogyakarta telah direbut, presiden dan wakil presiden telah ditawan disusul jatuhnya daerah-daerah kekuasaan republik ke tangan Belanda.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang mempunyai kekuatan pemancar 350 watt, yang berlokasi di Aceh (antara Bireuen – Takengon) segera menjawab “Republik Indonesia masih ada, pimpinannya masih ada, tentara Republik Indonesia masih ada, pemerintah Republik Indonesia masih ada. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya.

Radio Rimba Raya menggunakan gelombang 67 dan 25 meter dengan nama panggilan : “Suara Merdeka Radio Republik Indonesia”. Tiap malam tampil di udara dalam 6 bahasa yaitu : bahasa Inggris, (Penyiarnya John Edward tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia), bahasa Urdu (Hindustani) oleh Abubakar dan Chandra juga bekas tentara Sekutu yang membelot ke pihak Indonesia.

Siaran bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif, bahasa China disampaikan oleh Hie Wun bahasa Belanda oleh Syarifuddin dan bahasa Indonesia oleh penyiar radio Rimba Raya.

Sesuai kebutuhan kadang-kadang digunakan signal calling “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, dan juga “Radio Republik Indonesia”. Siaran radio ini dapat didengar diberbagai kota di Semenanjung Malaya Singapura, Saigon, Manila New Delhi, Australia dan beberapa kota di Eropa.

Pemerintah India memberi dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Karena itu tidak heran “All India Radio” terus memonitor radio Rimba Raya. Juga Australia Broadcasting selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas kepada radio Rimba Raya. Dengan pemancar yang tangguh radio perjuangan ini berhasil membentuk opini publik di luar negeri.

Pemancar radio, Perjuangan “Rimba Raya” yang dinilai berjasa itu, kini ditempatkan di Museum Pusat TNI Angkatan Darat “Dharma Wiratama” Yogyakarta. Pemancar ini merupakan bukti sejarah perjuangan radio mempertahankan kemerdekaan. Dirgahayu Hari Radio 11 September 2011. ***** ( Muhammad TWH : Penulis adalah Wartawan Senior Veteran Pejuang Kemerdekaan Gol/B, Pemerhati Sejarah. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar