Rabu, 19 Oktober 2011

Radio Sebagai Alat Perjuangan


Seni - Minggu, 11 Sep 2011 00:03 WIB

Oleh : Ali Soekardi. Hari ini Minggu tanggal 11 September 2011 adalah peringatan Hari Radio ke 66. Atau hari berdirinya RRI (Radio Republik Indonesia), yaitu tanggal 11 September 1945, belum satu bulan usia kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini bermakna betapa pentingnya makna media massa (dalam hal ini radio) bagi perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan.
Jelas, RRI adalah alat perjuangan bangsa. Jusuf Ronodipuro, adalah pejuang yang mendirikan RRI dan menjadi pemimpinnya yang pertama. Ketika Proklamasi Kemerdekaan telah diumumkan, serdadu Jepang yang masih ber-kuasa meskipun telah menyerah kalah pada tanggal 17 Agustus 1945, melarang keras berita Proklamasi Kemerdekaan itu diumumkan atau disiarkan oleh media massa yang ada ketika itu.

Badan Sensor Jepang (Nippon Gun Kenetsu) amat ketat mengawasi siaran radio (Hooso Kyoku) maupun koran Asia Raya. Tapi beberapa petugas maupun wartawan yang bekerja di radio tersebut berusaha keras agar Proklamasi Kemerdekaan itu dapat disiarkan, supaya diketahui rakyat, dan juga tersiar di luar negeri.

Jusuf Ronodipuro berhasil menyeludupkan teks proklamasi ke bahagian siaran berita radio Jepang (Hooso Kyoku) tempat mereka bekerja ketika itu. Pada saat jam siaran berita, dan kebetulan pengawas Jepang sedang lengah, dengan berani dan nekat Jusuf Ronodipuro sendiri yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan itu. Maka tersiarlah dengan luas berita tentang proklamasi kemerdekaan itu, baik di dalam maupun di luar negeri, karena siaran-siaran radio di luar negeri juga mengutip dan mengulangi siaran tersebut.

Tapi apa akibatnya - Pimpinan Hooso Kyoku, tentu orang-orang Jepang, marah besar. Karena mereka pun mendapat dampratan dari pihak militer Jepang dan dianggap lalai, Jusuf Ronodipuro sendiri lebih parah nasibnya. Dia ditangkap Kenpeitai (PM serdadu Jepang). Dia hampir saja dibunuh. Syukurlah ada pegawai Jepang di radio tersebut, yang usianya sudah tua dan bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan susah-payah dia membujuk perwira Kenpeitai tersebut, agar jangan bertindak sekejam itu kepada rakyat Indonesia. Lagi pula Jepang sudah kalah dan menyerah, lebih bagus membantu mereka. Maka selamatlah Jusuf Ronodipuro.

Bersama rekan-rekannya para wartawan radio, pada tanggal 11 September 66 tahun yang lalu Jusuf Ronodipuro mendirikan RRI. Dan dia langsung terpilih sebagai kepalanya yang pertama. Jabatan ini dilaksanakannya sampai terjadi Aksi Militer Belanda I (21 Juli 1947). Karena RRI pun berantakan diserang Belanda.

Kemudian dia tidak lagi bertugas di radio, tetapi menjadi penghubung ketika terjadi perundingan-perundingan antara RI - Belanda yang diawasi PBB melalui Komisi Tiga Negara, yakni Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Radio Pemberontakan

Tentu saja bukan hanya RRI satu-satunya sebagai radio perjuangan. Masih banyak yang lain, hanya saja RRI kemudian menjadi radio resmi pemerintah, seperti halnya TVRI sebelum banyak bermunculan siaran radio dan televisi swasta seperti sekarang ini. Sedangkan RRI dan TVRI di era reformasi sekarang ini menjadi Lembaga Penyiaran Publik.

Ingat peristiwa sepuluh November 1945 di Surabaya, yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Ketika sedang hangat-hangatnya rakyat Indonesia (sebagian besar adalah pemuda), ada seorang pemimpin yang sangat dikenal dan terkenal yang selalu berpidato dengan suara lantang mengobarkan semangat perjuangan, yaitu Bung Tomo (Sutomo), melalui siaran sebuah radio kecil yang menamakan dirinya Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Siaran radio ini dikelola seorang pemuda yang mengetahui hal-ihwal secara tehnis tentang radio, namanya Hasan Basri.

Memang jangkauan siarannya tidak luas. Hanya Surabaya dan sekitarnya. Tapi tak apalah, karena memang semangat berjuangan arek-arek Suroboyo yang utama dibangkitkan untuk menghadapi tentara Sekutu (Inggris yang umumnya tentara Gurkha) plus serdadu Belanda yang memboneeng, dan ingin mengobok-obok pemerintahan RI di Surabaya dengan aksi teror resmi.

Waktu itu ada juga siaran radio resmi, yakni Radio Surabaya, yang selalu me-relay siaran Radio Pemberontakan, Tapi kemudian tak bisa dipisahkan, mana siaran Radio Surabaya dan yang mana pula Radio Pemberontakan. Keduanya seperti menjadi satu. Hanya saja kemudian setelah keadaan aman damai tanpa perang, kedua siaran radio ini pun "menghilang" dari udara, Yang ada menggantikannya adalah RRI.

Ktut Tantri

Hanya yang perlu dicatat, selama siarannya membangkitkan semangat perjuangan rakyat dan sekaligus memperkenalkan Republik Indonesia keluar negeri, Radio Pemberontakan dibantu seorang penyiar asing, seorang wanita muda Amerika yang menjadi wartawan. Dia adalah Ktut Tantri. Ini nama yang diberikan seorang raja di Bali, dan menjadikannya anak angkat. Dan Ktut Tantri yang sejak sebelum Perang Dunia II, atau sebelum datangnya tentara Jepang, sudah tinggal di Bali dan merasa sangat senang karena diterima dengan baik oleh rakyat Bali, bahkan diberi nama Bali. Sejak itu dia tidak bersedia memakai atau menyebutkan nama aslinya, nama Amerika.

Ketika Revolusi Kemerdekaan meletus Ktut Tantri berada di Surabaya. Dia bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia. Maka dia bergabung dengan Radio Pemberontakan, menulis berita, artikel, komentar tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris, lalu disiarkannya dengan cara dan gaya yang mengesankan dan meyakinkan. Memang jangkauan siaran Radio Pemberontakan terbatas di Surabaya dan sekitarnya, namun siaran-siaran tersebut direlay radio-radio lain di pulau Jawa, dan dikutip oleh radio-radio di luar negeri. Dengan demikian kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia mempertahankannya, tersiar luas di luar negeri.

Di daerah-daerah pun di masa perang kemerdekaan itu, banyak terdapat radio-radio siaran yang menjadi alat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Proklamasi 17 Agustus 1945. Di Sumatera Utara dan Aceh pun, ada radio siaran yang melakukan siarannya dengan bergerilya. Saat Belanda melakukan agresinya (Aksi Militer I dan II) dengan tujuan ingin "menumpas" RI, apalagi setelah Ibukota RI, Yogyakarta, diserang dan para pemimpin RI banyak yang ditawan Belanda, keadaan pun menjadi kocar-kacir. Termasuklah RRI yang berantakan.

Rimba Raya

Maka muncullah Radio Rimba Raya, yang merupakan radio meneruskan fungsi sebagai radio perjuangan. Radio Rimba Raya ini, menurut wartawan senior (pemegang press-card number one) Muhammad TWH, dalam berbagai buku perjuangan kemerdekaan yang ditulisnya, menyebutkan bahwa Radio Rimba Raya itu berada langsung di bawah Komando Divisi X TNI, Kolonel Husin Jusuf dengan para pembantunya Kepala Penerangan Tentara Divisi X Kapten A.G.Mutyara, dan Kepala Penerangan Tentara Resimen V Divisi X Letnan A.Rahman TWH.

Radio Rimba Raya sangat aktif menyiarkan tentang perjuangan RI, dan menyatakan bahwa RI masih ada walaupun dilaksanakan oleh penerusnya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara, TNI belum kalah dan masih terus melakukan perlawanan bersenjata dibantu rakyat. Siaran-siaran Radio Rimba Raya ini ternyata didengar diberbagai negara di luar Indonesia, direlay radio-radio yang ada di sana, sehingga luar negeri pun tahu bahwa RI belum tumpas seperti digembar-gemborkan Belanda.

Jelas, bahwa siaran-siaran radio sangat besar jasanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sesungguhnya bukan sekedar itu saja. Karena di masa pembangunan mengisi kemerdekaan, bahkan di masa sekarang era reformasi atau zaman demokrasi dan kebebasan, siaran-siaran radio masih dibutuhkan dan diperlukan. Karena perjuangan belum selesai, dan semakin berat. Perjuangan menegakkan keadilan dan kebebasan, memerangi korupsi, penyelewengan, pengangguran, dan lain sebagainya. Radio masih berfungsi selain untuk hiburan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar