Jakarta- Film Dokumenter Radio Rimba Raya (R3) karya sineas asal Takengon, Aceh Tengah, Ikmal Gopi, berhasil lolos seleksi nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2010 kategori film dokumenter. R3 lolos bersama-sama dengan film Beasiswa Ala Banjau produser Metro TV, Hari-hari Terakhir Bung Karno karya Des Alwi, Serupa Tapi Tak Sama dan Cahaya Air, keduanya produksi Rumah Ide.
Panitia seleksi FFI mengumumkan lima nominator Film Dokumenter dalam satu acara di Batam, Minggu (28/11), yang disiarkan secara langsung melalui program "Dahsyat RCTI". Selain mengumumkan nominasi film dokumenter, Panitia FFI 2010 juga mengumumkan nominasi film pendek, yakni Angin, Kelas Lima Ratusan, Marni, Sang Penggoda dan Timun Mas.
Sutradara film dokumenter "Radio Rimba Raya" Ikmal Gopi yang dihubungi Serambi di Jakarta, Minggu, mengatakan bersyukur atas terpilihnya "Radio Rimba Raya" sebagai nominator FFI 2010. "Ini sebuah kejutan bagi saya. Saya mengharapkan dukungan semua pihak, terutama masyarakat Aceh agar film itu bisa mencapai prestasi maksimal," kata Ikmal Gopi, lulusan Jurusan Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ikmal mengatakan, tujuan dirinya mengangkat cerita Radio Rimba Raya karena radio tersebut memiliki peran strategis dan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
"Banyak yang tidak tahu tentang peran radio tersebut, termasuk masyarakat Aceh," kata anak muda kelahiran Takengon ini.
Anggota DPD asal Aceh Ir Mursyid menyampaikan apresiasi terhadap pembuatan film dokumenter Radio Rimba Raya tersebut. "Kita sedang mengupayakan film itu bisa diputar di arena parlemen Senayan, karena memuat nilai sejarah yang sangat penting, untuk membuka mata semua kita, bangsa Indonesia," kata Mursyid.
Ikmal Gopi menghabiskan waktu lebih dari lima tahun untuk menuntaskan film Radio Rimba Raya. Biaya pembuatan film itu diupayakan secara swadaya oleh Ikmal dan kawan-kawan. "Film ini belum tuntas sepenuhnya, karena masih butuh biaya. Saya kesulitan mendapatkan pembiayaan," kata Ikmal sedikit mengeluh.
Sebelumnya film "Radio rimba Raya" juga lolos seleksi Festival Film Dokumenter (FFD) 2010 program Kompetisi Dokumenter. kategori Panjang. Seleksi berlangsung pada tanggal 11-15 November 2010. Film-film yang sudah lolos seleksi selanjutnya menjadi finalis yang akan dinilai oleh satu tim dewan juri.
Radio Rimba Raya juga berhasil terpilih untuk Panorama (nonkompetisi) pada The First Asia-Africa International Film Festival dalam rangka Kompetisi Film Pendek-Bandung Spirit Award, yang penjuriannya dilakukan oleh perwakilan dari INFID, Yayasan Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan, dan Yayasan Pemantau Hak Anak. Film tersebut kemudian diputar dihadapan seluruh peserta festival yang bertempat di Bandung.
Film Radio Rimba Raya, berisi dokumentasi tentang peran Radio Rimba Raya yang pernah dipancarluaskan dari pedalaman Rimba Raya Aceh Tengah pada Agresi Militer Belanda 1949. Pesan-pesan perjuangan Radio Rimba Raya berhasil mempengaruhi opini dunia tentang keberadaan Indonesia yang ketika itu diklaim Belanda sudah "dilumpuhkan,"
(fik)
Kamis, 16 Desember 2010
Jumat, 03 Desember 2010
Radio Rimba Raya / Radio of Revolution
Dir : Ikmal Gopi / 80′ / Kancamara
Radio Rimba Raya yang berada dalam hutan belantara Aceh (Gayo) memiliki peranan penting pada masa revolusi fisik 1948-1949. Perang urat syaraf terus dilancarkan melawan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia dan juga Radio Hilversum di Belanda. Untuk menepis propaganda Belanda yang mengatakan “Indonesia Sudah Tidak Ada Lagi”, Radio Rimba Raya menyiarkan berita sampai ke luar negeri tentang kondisi Republik saat itu, mulai Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga tercapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Radio Rimba Raya, true to its name, located in a deep jungle in Aceh (Gayo) played important role in the time of physical revolution in 1948-1949. It conducts psywar against Dutch Radio in Medan, Batavia Radio also Hilversum Radio in Holland. In order to ward off the colonial propaganda Radio Rimba Raya broadcasted the current political condition of Republic Indonesia to the world. From Serangan Umum 1 Maret 1949 to Round Table Conference.
Selasa, 30 November 2010
Lima Nominasi Film Dokumenter FFI 2010
Minggu, 28 November 2010 | 18:07 WIB
Penyelenggara Festival Film Indonesia mengumumkan lima nominasi film dokumenter. Lima nominasi tersebut adalah Radio Rimba Raya surtadara Ikmal Gopi, Beasiswa Ala Banjau yang diproduseri Metro TV, Hari-hari Terakhir Bung Karno karya Des Alwi, dan dua karya dari produksi Rumah Ide, yakni Serupa Tapi Tak Sama dan Cahaya Air Batanguru.
Adapun nominator film pendek yakni Angin, Kelas 500an, Marni, Sang Penggoda, dan Timun Mas.
Sedangkan Pembacaan Nominasi film panjang Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini yang akan dibacakan pada hari ini di Mega Wisata Costarina Batam batal. Acara yang disiarkan langsung dalam program Dahsyat RCTI itu hanya membacakan nominasi untuk film Dokumenter dan film pendek.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wajik menjanjikan bahwa penyelenggaraan tahun ini akan berlangsung lancar. "Tak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga FFI. Tapi kami janjikan akan berlangsung dengan baik," ujar Jero dalam jumpa wartawan di Costarina, Sabtu malam kemarin.
Aguslia Hidayah
Penyelenggara Festival Film Indonesia mengumumkan lima nominasi film dokumenter. Lima nominasi tersebut adalah Radio Rimba Raya surtadara Ikmal Gopi, Beasiswa Ala Banjau yang diproduseri Metro TV, Hari-hari Terakhir Bung Karno karya Des Alwi, dan dua karya dari produksi Rumah Ide, yakni Serupa Tapi Tak Sama dan Cahaya Air Batanguru.
Adapun nominator film pendek yakni Angin, Kelas 500an, Marni, Sang Penggoda, dan Timun Mas.
Sedangkan Pembacaan Nominasi film panjang Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini yang akan dibacakan pada hari ini di Mega Wisata Costarina Batam batal. Acara yang disiarkan langsung dalam program Dahsyat RCTI itu hanya membacakan nominasi untuk film Dokumenter dan film pendek.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wajik menjanjikan bahwa penyelenggaraan tahun ini akan berlangsung lancar. "Tak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga FFI. Tapi kami janjikan akan berlangsung dengan baik," ujar Jero dalam jumpa wartawan di Costarina, Sabtu malam kemarin.
Aguslia Hidayah
Selasa, 09 November 2010
Pengagum soekarno, murid daud ...
26 Januari 1991
Profesor, sastrawan, politikus, pejuang, wartawan, pendidik, dan ulama ini dua kali menjabat Gubernur Aceh. Pada 15 Januari lalu, Emil Salim meresmikan museum dan perpustakaannya yang menyimpan lebih dari 10 ribu judul buku. Pernah ditangkap Belanda karena mengadakan rapat umum. Juga sempat dipenjarakan oleh Pemerintah Republik lantaran dicurigai terlibat pemberontakan DI/TII. Pendiri Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry ini kini masih Ketua MUI Aceh dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Ia mengaku seorang pengagum Bung Karno sekaligus murid tidak langsung Daud Beureueh. Berikut sebagian riwayat hidupnya dituturkan kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. SAYA menyukai sastra sejak kecil. Mungkin ini karena Nenek sering menuturkan hikayat-hikayat yang dihafalnya di luar kepala. Nenek hafal semua hikayat Perang Aceh. Berbagai hikayat Nabi, Nenek tahu. Tiap-tiap menjelang magrib, Nenek selalu membacakannya. Kawan-kawan sebaya saya juga ikut mendengarkannya. Betapa hikayat-hikayat perang telah menanamkan semangat yang begitu besar dalam diri saya, untuk selalu melawan penjajah. Nenek mengatakan, "Sampai kapan, pun Belanda adalah musuh." Saya dipesan untuk menuntut bela atas syahid-nya Kakek, suami beliau. Karena hikayat-hikayat itu, timbul hasrat saya untuk membaca roman, membaca buku-buku sejarah, dan kelak mengambil tempat dalam pergerakan kemerdekaan. Beliaulah guru pertama saya, pengasuh saya sejak kecil, dan yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Nenek pula yang menanamkan dasar-dasar agama dalam diri saya. Sebab, seperti umumnya wanita Aceh, Nenek tidak buta huruf Beliau bisa menulis tulisan Arab dan tulisan Melayu Lama -- Arab Gundul. Ketika saya lahir, beliau telah janda. Suaminya, syahid ketika ibu saya baru berumur enam bulan. Pang Husein nama Kakek saya itu. Dia adalah salah seorang panglima Teuku Panglima Polim. Kakek syahid bersama seribu anak buahnya sewaktu mempertahankan Benteng Cegli di Aceh Besar, benteng terakhir pasukan Teuku Panglima Polim. Saya tidak sempat melihat Kakek dari ibu saya itu. Tapi, saya mendengar kisahnya dari Nenek. Nenek tidak kawin lagi hingga meninggal di Medan pada 1953, dalam usia lebih dari 80 tahun. Waktu itu, saya sudah bertugas di Kanwil Sosial Sumatera Utara. Beliau mengembuskan napas terakhir di pangkuan saya. Saya tidak akan pernah melupakan pesan-pesannya yang ditanamkan semasa saya kecil. "Jadilah orang yang selalu memberi. Jangan jadi pengemis. Orang yang minta-minta itu adalah orang yang hina." Itulah kata-kata yang selalu saya ingat. Saya dilahirkan pada 28 Maret 1914, persis ketika Perang Dunia I pecah. Ayah saya, Tengku Hasjim. Kakek dari ayah saya juga seorang panglima perang Pang Abas namanya. Saya sempat melihatnya dan mendapat pelajaran dari beliau. Beliau tidak syahid. Tapi, bekas-bekas luka terlihat di sekujur tubuhnya. Beberapa jari tangannya putus akibat perang. Waktu saya kecil, beliau banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di medan perang. Cerita-cerita itu pula yang membangkitkan semangat saya untuk ikut berjuang kelak di kemudian hari. Beliau meninggal pada 1936 dalam usia 127 tahun. Saya anak nomor dua. Kakak saya, perempuan, meninggal tak lama setelah lahir. Saya lupa siapa namanya. Saya lahir empat tahun kemudian. Ibu meninggal ketika melahirkan adik saya yang juga meninggal. Mereka dikubur dalam satu liang. Usia saya baru empat tahun. Jadi, dari tiga bersaudara, tinggal saya yang hidup. Ayah kawin lagi lima tahun setelah Ibu meninggal. Beliau pindah ke Seulimuem. Saya tetap tinggal dengan Nenek di Kampung Montasie. Jadi, Neneklah yang sebenarnya menjadi ibu pengasuh saya. Yang mendorong saya untuk terus belajar. Kata Nenek, untuk menjadi orang yang tangannya "di atas", kita harus pandai. Di Kampung Montasie, saya masuk sekolah Belanda Government Inlandsche School -- sekolah dasar lima tahun. Sore belajar agama di dayah -- semacam pesantren. Malamnya, saya masih ke meunasah -- balai desa yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pengajian bersama -- sampai setelah salat isa. Kalau mau, kaum lelaki boleh juga tidur di situ. Tamat SD, mestinya saya melanjutkan ke HIS. Tapi, Nenek melarang. Alasannya, supaya saya tidak menjadi "orang Belanda". Ingat, dua kakek saya adalah musuh Belanda. Saya dikirim ke Seulimuem, bergabung dengan ayah. Di sini, saya melanjutkan sekolah ke Tsanawiyah -- sekolah Menengah Islam Pertama. Waktu itu tahun 1930. Tsanawiyah saya selesaikan persis tiga tahun. Lagi-lagi, Nenek melarang sewaktu saya akan dimasukkan ke HIS. Saya disuruh belajar ke Padang, ke Thawalib School Tingkat Menengah -- sekolah Islam setingkat SLTA -- di Padangpanjang, Sumatera Barat. Juga tiga tahun. Sebenarnya, kalau cuma Ayah yang menyuruh, saya belum tentu pergi. Tapi, karena Nenek yang memberi perintah, saya tak bisa menolak. Saya memang lebih dekat kepada Nenek daripada Ayah. Maklum, waktu saya kecil, Ayah adalah pengusaha yang sibuk. Beliau berdagang kain dan menjadi seorang penjual ternak yang mondar-mandir ke Medan. Ayah meninggal pada 1987 dalam usia 107 tahun. Lulus dari sekolah agama, saya kembali ke Seulimuem, mengajar tiga tahun di SMP Tsanawiyah. Kemudian saya belajar lagi ke Padang, di Al-Jami'ah Al-Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam). Sekolah setingkat akademi. Juga tiga tahun. Selama saya belajar di Padang, Ayahlah yang membiayai. Tiap bulan saya dikirimi rata-rata 15 gulden. Cukup mewah untuk ukuran Padangpanjang waktu itu. Baru setahun di perguruan tinggi, tiba-tiba terjadi resesi ekonomi yang mengancam dunia. Usaha Ayah bangkrut. Saya dikirimi uang untuk pulang. Saya bertekad untuk tetap di Padangpanjang. Belajar dan cari uang. Saya menulis, membuat puisi, cerita pendek, dan novel. Puisi-puisi saya mengisi hampir tiap nomor majalah Panji Islam, Pedoman Masyarakat, Pujangga Baru (Jakarta), dan majalah Angkatan Baru di Surabaya. Setiap sajak dibayar rata-rata satu gulden. Waktu itu, satu gulden bisa dibelikan emas satu gram. Cerpen juga sering saya tulis. Dalam menulis sajak, kadang-kadang saya menggunakan tiga nama samaran: Al Hariri, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsung. Al Hariri adalah seorang penyair Arab, pada permulaan zaman Islam, yang paling saya kagumi. Salah seorang cucu saya bahkan saya namai Al Hariri. Tapi, dua nama samaran lainnya saya pakai cuma supaya lebih sreg dan bervariasi. Lahir pula novel-novel saya Bermandi Cahaya Bulan, terbit di Medan 1939. Dari situ, saya memperoleh 100 gulden kalau ndak salah, waktu itu lumayan juga. Tahun itu juga, lahir lagi Melalui Jalan Raya Dunia, terbit di Medan. Saya mendapat 150 gulden. Lumayan.... Sebelum itu, lahir juga dua kumpulan puisi saya: Kisah Seorang Pengembara (1936) dan Dewan Sajak (1938). Keduanya terbit di Medan. Tapi, honornya nggak seberapa. Sampai Proklamasi Kemerdekaan, saya menghasilkan delapan buku, semuanya sastra. Sampai sekarang, saya sudah menulis 50 buku. Buku terbaru saya Wanita Indonesia Sebagai Negarawan dan Panglima Perang sebentar lagi juga akan terbit. Ini seri pertama buku tentang wanita Aceh yang menjadi panglima perang. Nanti, insya Allah, menyusul seri kedua. Masa-masa belajar memang merupakan masa produktif saya di bidang sastra. Ada baiknya juga waktu SD dulu saya dimasukkan ke sekolah Belanda. Di situ, ada perpustakaan milik Balai Pustaka yang menyewakan buku seminggu satu sen. Tiap minggu, paling kurang saya pinjam 2-3 buku roman. Mula-mula novel anak-anak. Paling terkenal karangan Muhammad Kasim. Kegiatan jurnalistik pun jadi ruang gerak saya. Ketika menjadi siswa sekolah menengah di Padang, saya jadi sekretaris redaksi majalah pelajar Kewajiban. Ketika di perguruan tinggi, saya malah menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan kampus Matahari Islam. Di situ, saya sering menulis meski tidak ada honornya. Lalu di bidang pergerakan. Sejak masih belajar, saya sudah mengikuti berbagai organisasi, termasuk organisasi politik. Di Padangpanjang, saya menjadi sekretaris Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) Padangpanjang. Di samping itu, saya juga menjadi Ketua Persatuan Pemuda Aceh (PPA). Anggotanya sekitar 1.000 pelajar asal Aceh yang tersebar di seluruh Sumatera Barat. Secara diam-diam, saya juga masuk ke partai Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Karena waktu itu ada peraturan, yang boleh masuk ke partai politik hanya yang sudah berumur 18 tahun, saya korupsi umur. Soalnya, waktu itu usia saya baru 16 tahun. Karena terjadi kekacauan di Padangpanjang, partai-partai yang ada dilarang rapat, termasuk Syarekat Islam dan PNI. Satu malam di tahun 1934, saya dan dua orang teman pergi ke Kota Gunung --sebuah kampung di Padangpanjang -- untuk memberi kursus atas nama HPII. Tiba-tiba muncul mantri polisi. Rapat dibubarkan. Seminggu kemudian, saya dipanggil jaksa. Dari situ, kami bertiga diajukan ke pengadilan dan divonis empat bulan. Kawan-kawan mengantar sampai ke pintu penjara. Saya bangga sekali. Waktu itu, masuk penjara karena persoalan politik merupakan kebanggaan tersendiri. Ketika kami bebas, ratusan kawan pun menunggu di pintu. Selama di penjara, saya tidak boleh membaca buku-buku pelajaran. Yang boleh masuk ke sel, hanya Quran. Entah berapa puluh kali saya khatam. Padahal, sebulan setelah keluar dari penjara, saya harus menghadapi ujian. Mungkin karena terus-menerus membaca Quran selama di penjara, saya lulus dengan baik, termasuk cum laude. Nomor dua terbaik. Mungkin juga karena yang diuji adalah masalah-masalah yang menyangkut hukum Islam dan kebudayaan Islam. Kebetulan, saya cukup mengerti soal itu. Lagi pula, soal-soal fikih -- hukum Islam --memang termuat di dalam Quran yang saya baca puluhan kali itu. Tahun 1935, saya kembali ke Aceh. Bersama pemuda-pemuda Aceh yang baru kembali belajar dari Padang dan Surabaya, saya mendirikan SPIA (Serikat Pemuda Islam Aceh). Berpusat di Seulimuem. Di situ, saya duduk sebagai sekretaris umum. Ketua umumnya Said Abu Bakar, teman sekolah di Padang. Sekarang, sudah meninggal. Dalam suatu kongres, SPIA berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia). Pusat pergerakannya dipindahkan ke Montasie. Tapi, saya hanya tiga tahun mengurus SPIA. Pada 1937, saya kembali ke Padangpanjang untuk kuliah. Nah, sewaktu saya masih kuliah inilah, di Aceh, berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1939. Dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ustad Muhammad Yunus, seorang guru kami, diundang dalam peristiwa ini. Ketika kembali ke Padang, satu minggu dia cuma bercerita tentang PUSA. Kami sama sekali tidak belajar. Ha... saya senang sekali. Lulus perguruan tinggi dan kembali ke Aceh -- masih 1939. Saya jadi pemuda PUSA. Di Pemuda PUSA Cabang Aceh Besar, saya duduk sebagai ketua. Saya juga menjadi Wakil Ketua Kwartir Kepanduan Kasyasyafatul Islam Aceh Besar. Dan sebagai Ketua Pemuda PUSA, saya sering diajak oleh Daud Beureueh turne ke berbagai daerah. Namun, di PUSA sendiri, saya tidak ikut aktif. Peran Asia Timur Raya LALU PECAH Perang Asia Timur Raya. Menjelang kedatangan Jepang ke Aceh, Pemuda PUSA mendirikan Gerakan Fajar. Suatu gerakan bawah tanah yang bertujuan mengatur pemberontakan terhadap Belanda. Secara resmi, orang Aceh memang membantu Jepang. Tapi, bukan karena janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan. Kami membantu Jepang karena ingin mengusir Belanda yang sangat kami benci. Karena tidak mungkin mengusirnya dengan kekuatan sendiri, kami bergabung dengan Jepang. Tapi, sebelum Jepang datang, Gerakan Fajar sudah bertindak. Gerakan ini sudah menjalar luas. Sejak awal 1942, kami aktif melakukan sabotase dan perlawanan fisik. Kader-kader Kasyasyafatul Islam melakukan kampanye ke tengah masyarakat, memotong saluran telepon, membongkar rel kereta api, dan melakukan perang urat saraf dengan selebaran-selebaran. Semua ini menimbulkan ketakutan di kalangan militer dan pemerintah sipil Belanda. Tanggal 20 Februari 1942, kami pergi ke tangsi Belanda di Seulimuem dan berhasil membunuh Kontroleur Tinggelmen. Menjelang penyerangan, sekolah menengah Islam di sini menjadi markas. Dan kalau sekarang saya pikir-pikir lagi, penyerbuan itu gila. Menjelang tengah malam, pelajar-pelajar yang baru berusia 15-20 tahun dan ratusan penduduk kampung berkumpul. Ada juga beberapa orang tua. Masing-masing dengan senjata. Ada yang membawa kelewang, parang, dan sebagainya -- siap menyerang. Di antara kami, ada orang tua buta yang membaca hikayat Perang Sabil. Namanya Teungku Seunadeu, orang tua yang pernah hidup di zaman perang melawan Kolonial Belanda. Dia hafal hikayat ini di luar kepala. Dengan bersemangat, setelah mendengar hikayat Perang Sabil, kami mengepung tangsi dan rumah kontroleur. Belanda ketakutan, tak berani turun. Kontroleur Tinggelmen, dengan suatu tipu muslihat, membawa istrinya kabur. Ketika dia menuruni tangga, Teuku Ubit -- pemuda berusia 16 tahun yang bersembunyi di bawah tangga -- menyerang dengan cepat. Parang dapurnya berhasil menghajar pistol di tangan kanan Tinggelmen sampai lepas. Kemudian, Ibrahim -- pemuda dari Kampung Alor Gintong -- menebas tubuh Tinggelmen. Istrinya berteriak-teriak minta tolong. Dan esoknya, baru kami tahu bahwa Tinggelmen telah tewas. Penyerbuan kami ini bubar menjelang subuh. Ketika itu terjadi pula pertempuran di Keumirue, terus menjalar ke seluruh Aceh. Karena saya memimpin pemberontakan-pemberontakan itu, ayah saya -- Tengku Hasyim -- ditangkap Belanda. Beliau baru bebas setelah Jepang datang mengusir Belanda. Dua hari sebelum Jepang memasuki Aceh dengan kekuatan tiga divisi, Belanda sudah lari. Serdadu-serdadu Belanda, yang berasal dari Ambon dan Jawa, buka baju. Saya mengerahkan pasukan pandu KI untuk mengawal Banda Aceh dan kota-kota lain di seluruh Aceh. Jadi tertib, tidak ada perampokan. Ketika Jepang akan membentuk pemerintahan militer, saya dipanggil. Saya datang dengan mengenakan seragam pemimpin pandu. Jepang bertanya, "Siapa orang Indonesia yang bisa mengurus kereta api? Polisikah?" Ndak ada, saya bilang. Polisi sudah buka baju, begitu saya jawab. Maka, saya diangkat jadi kepala polisi. Dikasih mobil. Tapi, mobil dan jabatan kepala polisi itu saya kembalikan karena Jepang mengangkat para ulebalang -- bangsawan -- dalam pemerintahan. Saya marah sekali. Pulang ke Seulimuem. Buka sekolah. Dan mengajar lagi dengan teman-teman. Pertentangan antara ulama dan ulebalang memang telah lama berlangsung. Di zaman Belanda, mereka adalah kaki tangan yang dibenci rakyat. Rasa tidak senang mencuat lagi manakala Dai-Nippon mengajak mereka dalam pemerintahan. Bentrok fisik sempat terjadi. Ulebalang memakai Jepang, kami juga memakai Jepang. Perang meletus di Cumbok, Aceh Besar. Betul-betul perang. Itu berlangsung selama 20 hari di bulan Desember 1942. Culik-menculik terjadi. Banyak yang mati dipotong. Termasuk Teuku Daud Cumbok, ulebalang di Cumbok. Itu pula yang membuat saya menyerahkan kembali jabatan kepala polisi, lalu kembali ke Seulimuem, dan mengajar. Suatu hari, selagi saya mengajar, muncul dua orang utusan Jepang. Satu orang Jepang, satunya lagi orang Indonesia. Mereka meminta saya supaya bekerja di kantor berita Aceh Shinbun Banda Aceh. Dipikir-pikir, boleh juga. Saya tinggalkan sekolah. Tak lama kemudian terbit pula Semangat Merdeka. Dari sinilah kami menyusun gerakan bawah tanah, bersama-sama kawan yang bekerja di Domai. Mula-mula, dengan antusias, rakyat Aceh menyambut kehadiran Jepang. Hanya para pemimpin pergerakan yang mengetahui maksud Jepang sesungguhnya. Makanya, secara diam-diam kami terus menyusun kekuatan, sambil menunggu saat yang tepat untuk mengusir Jepang. Mula-mula, kami mendukung segala usaha Dai-Nippon, seperti dalam Romusha. Di tengah-tengah masa transisi itulah, pada 1941, saya menikah di Seulimuem. Istri saya, Zuriah Aziz, adalah wanita yang tabah. Dia mendukung perjuangan saya. Dia melahirkan anak saya yang pertama pada bulan Desember 1942. Jepang sudah berkuasa waktu itu. Saya namakan dia Mahdi A. Hasjmy. Aceh Daerah Modal MENJELANG Proklamasi Kemerdekaan. Rakyat sudah menyadari niat Jepang sesungguhnya. Para pemimpin Aceh mulai mempersiapkan perlawanan. Awal 1945, bersama sejumlah pemuda Aceh yang bekerja di kantor berita Aceh Shinbun dan Domai, saya mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Gerakan rahasia untuk mempersiapkan perlawanan bila Jepang kalah perang melawan Sekutu. Gerakan ini juga dipersiapkan untuk menghadapi Belanda jika kembali ke Aceh. Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah kami ketahui lewat berita-berita yang dikirim ke Aceh Shinbun dan Domai. Dan kami sudah memperkirakan bahwa kemungkinan Belanda akan kembali. Kami mendengar proklamasi hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945, karena Pak Adam Malik, yang waktu itu bekerja di Domai Jakarta, menyiarkannya ke seluruh Indonesia. Nah, kawan-kawan yang bekerja di Domai Aceh memberitakannya pula kepada kami yang bekerja di Aceh Shinbun. Dan berita itu kami siarkan dengan cepat. Macam-macam tanggapan rakyat Aceh terhadap berita itu. Ada yang bingung, ada yang tidak percaya, ada juga yang langsung menyatakan dukungannya. Tetapi, umumnya mendukung. Yang tidak menyukai kemerdekaan adalah para ulebalang. Di Kabupaten Pidie, mereka malah sudah membentuk panitia untuk menyambut Belanda. Tentu tidak semua. Ada juga ulebalang yang memihak kita. Seorang putra Teungku Panglima Polim, yang menjadi wedana di Aceh Besar, segera menyerahkan kedudukannya kepada rakyat. Kali ini tak sempat terjadi bentrok fisik. Boleh dikatakan, para pejuang dan ulama sudah menguasai keadaan. Sementara itu, IPI terus aktif. Menjelang Proklamasi, namanya diubah menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Lalu, setelah kemerdekaan, berubah lagi menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Dan akhirnya menjadi Ksatria Divisi Rencong. Selama itu, saya tetap memimpin. Bahkan di Ksatria Divisi Rencong, saya menjadi pemimpin tertinggi. Kami merebut senjata-senjata Jepang sebelum Sekutu datang. Anehnya, tentara Jepang seperti membiarkan kami melucutinya. Dengan mudah, kami merampas senjata mereka. Dan kelihatannya mereka justru seperti menyerahkannya. Tanggal 16 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh dengan pesawat RI I. Bukan yang diberikan orang Aceh. Penerbangnya masih seorang Amerika. Kopilotnya orang kita. Hadir pula Menteri Dalam Negeri Sukiman, Panglima Angkatan Udara Suryadarma, sejumlah pejabat, termasuk Gubernur Sumatera Teungku Mohammad Hassan. Kami menyambut mereka di lapangan udara Lhok Nga. Sepanjang 16 kilometer, rakyat berjejal sampai ke Banda Aceh. Ramai sekali. Bung Karno senang sekali melihatnya. Sebentar-sebentar beliau menghentikan mobilnya -- untuk melihat rakyat. Sore hari itu juga, kita mengadakan rapat umum. Di situlah, untuk pertama kalinya, Bung Karno mengatakan bahwa Aceh adalah daerah modal. Beliau mengibaratkan Aceh sebagai sebuah payung. "Kalaupun Republik hanya tinggal selebar payung, kita akan terus berjuang. Dengan modal daerah selebar payung itulah kita akan merebut daerah lain," begitu katanya. Mengapa Bung Karno menyebut Aceh sebagai daerah modal? Sebab, waktu itu, sebagian besar wilayah Indonesia sudah diduduki Belanda. Aceh tidak. Aceh bebas melakukan perdagangan dengan luar negeri -- kendati Belanda menyebutnya penyelundupan. Kita punya devisa. Oleh sebab itu, Aceh membiayai perjuangan bangsa Indonesia di luar negeri. Kita juga membeli senjata dari luar negeri, lalu memasukkannya ke daerah-daerah di seluruh Indonesia yang sedang berjuang. Beberapa kali rapat umum masih diselenggarakan. Yang paling banyak pengunjungnya adalah ketika rapat umum di Bireun. Di situ, Bung Karno mengulang pernyataannya bahwa Aceh adalah daerah modal. Suatu malam berlangsung resepsi yang dihadiri berbagai tokoh masyarakat dan pengusaha. Bung Karno mengatakan, "Sekarang kita sangat memerlukan hubungan. Karena daerah-daerah kita sudah diduduki Belanda, harap rakyat Aceh menyumbang kapal terbang". Malam itu juga, rakyat Aceh sanggup memberi dua kapal terbang. Satu dari Pemda. Esok harinya, Pemda langsung memberi cek senilai 250 ribu dolar Amerika -- harga kapal terbang bekas waktu itu. Kebetulan, kami punya uang di Singapura, hasil ekspor Aceh -- orang Belanda menyebutnya hasil penyelundupan. Para pengusaha -- atas nama rakyat, yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) -- juga menjanjikan satu buah. Selama satu bulan, mereka mengumpulkan uang senilai 250 ribu dolar AS, baru kemudian diantarkan ke Yogyakarta. Selama lima hari Bung Karno berada di Aceh, hampir tiap hari saya bertemu dengan beliau. Sebelumnya tidak pernah, karena mana sempat saya pergi ke Jawa. Waktu beliau turun di Lhok Nga, Divisi Rencong yang menjaga dan mengawalnya. Saya salah seorang yang ikut menyambut. Yang lain-lain terdiri dari para pembesar, termasuk Pak Daud Beureueh. Saya memang pengagum Bung Karno. Karangan-karangan beliau saya baca dan mempengaruhi pandangan-pandangan politik saya. Buat Bung Karno, saya khusus menciptakan puisi pada bulan Oktober 1945 -- yang dimuat dalam Semangat Merdeka. Di situ saya bilang, saya adalah serdadunya. Dulu, selain Bung Karno, saya juga kagum pada Mochtar Lutfi -- seorang orator ulung dari Padang. Bung Karno pun mengaguminya. Dan kami, pasukan Divisi Rencong, selalu ikut mengawal beliau. Divisi Rencong pula yang menjaga lapangan Lhok Nga ketika beliau datang. Divisi Rencong memang ditugasi menjaga lapangan terbang Lhok Nga dan Blangbintang. Markas kami berada di Lhok Nga. Saya sendiri berkedudukan di Banda Aceh. Di Lhok Nga, Divisi Rencong selalu siap menunggu pendaratan rahasia pesawat-pesawat yang membawa obat-obatan dan persenjataan ringan dari rekan dagang kita. Antara lain dari India dan Burma. Dari Aceh, mereka membawa lada dan rempah-rempah. Sebulan, paling sedikit terjadi sekali pendaratan. Kadang-kadang dua kali. Makanya, Belanda menuduh kita melakukan penyelundupan. Aceh, ketika itu, memiliki Radio Rimba Raya yang bisa menjangkau dunia. Tersembunyi di sebuah hutan antara Takengon dan Bireuen. Radio ini didirikan oleh markas angkatan laut di Aceh. Kalau mengirim berita, dinamonya diputar dengan kereta angin. Dari Aceh berita dipancarkan ke New Delhi. Itulah sebabnya dunia mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Ketika Pak Soeharto menyerang Yogyakarta, Radio Rimba Raya pula yang memancarkannya ke seluruh dunia lewat New Delhi. Mula-mula kami menerima berita dari Jakarta, yang dikirim secara estafet lewat Lampung, Medan, lalu Aceh. Kalau tidak ada radio ini, Pak Harto boleh saja masuk, tapi dunia mungkin tidak tahu. Pasukan Aceh sangat kuat dan bersemangat. Ketika Belanda melancarkan Agresi I tahun 1947 dan Agresi II tahun 1948, Aceh adalah satu-satunya wilayah Republik yang tidak bisa direbut. Belanda hanya mampu menguasai Sabang. Kalau mau, sebenarnya pasukan Aceh sanggup merebutnya. Itu tidak kami lakukan karena kami sedang memusatkan kekuatan untuk mempertahankan daratan Aceh. Lagi pula, kami harus mengirim bantuan ke Medan untuk melawan Belanda. Divisi Rencong mengirim dua batalyon elite ke Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat -- dua daerah di Medan yang masih dikuasai tentara Republik di wilayah Sumatera Timur. Front ini lebih dikenal dengan sebutan Medan Area. Paling kurang, dua bulan sekali saya pergi ke front. Pada Februari 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan untuk mendirikan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua laskar rakyat yang bersenjata dilebur jadi TNI. Aceh, Langkat, dan Tanah Karo digabung menjadi sebuah daerah militer. Teungku Daud Beureueh ditunjuk sebagai gubernur militernya. Saya duduk sebagai salah seorang stafnya. Tapi secara resmi Daerah Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo baru terbentuk bulan Juni 1948. Ini karena ada sejumlah laskar rakyat, yang memang banyak jumlahnya, mula-mula menolak. Alhamdulillah, bisa diatasi dengan baik. Divisi Rencong adalah laskar yang pertama kali bergabung. Kami menjadi kekuatan inti artileri. Banyak di antara kami yang terpilih sebagai komandan. Sedangkan yang paling belakangan bergabung adalah laskar Ksatria Pesindo, laskarnya Persatuan Indonesia (Pesindo). Saya pernah menjadi anggotanya, tapi segera mengundurkan diri setelah organisasi ini condong ke PKI. Saya juga menjadi anggota Partai Syarekat Islam. Aceh Bergolak PERTENGAHAN 1950, Provinsi Aceh yang masih muda dilebur ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Padahal, baru berdiri satu tahun. Yakni setelah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah Republik lewat Konperensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Semula saya menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh. Karena jawatan-jawatan dipindahkan ke Sumatera Utara, saya turun jabatan. Cuma Wakil Kepala Jawatan Tahun 1950 naik setingkat jadi inspektur kepala. Tapi, karena Aceh mendadak panas, baru pada 1951 saya bertugas di Medan. Peleburan wilayah itulah yang membuat Aceh bergolak. Sungguh, rakyat Aceh tidak senang bila hanya menjadi bagian wilayah sebuah provinsi. Sejak dahulu, Aceh adalah sebuah kesatuan wilayah dengan sebuah tradisi yang khas. Kemarahan muncul di mana-mana. Pejuang-pejuang yang dahulu mendukung pemerintah pusat berbalik menentang. Dan pemerintah telah bertindak salah. Untuk mengatasi gejolak itu, pemerintah mengirim tentara yang banyak orang Kristennya. Mereka bertindak kasar. Lewat surat, saya pernah mengingatkan pemerintah agar segera menarik mereka. Kalau tidak, sewaktu-waktu pasti bakal terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sayang, tidak diperhatikan. Dan akibatnya, tahun 1953 pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh meletus. Mereka bermaksud mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Semua anak buah saya di Divisi Rencong dulu ikut berontak. Naik gunung bersama Daud Beureueh. Itu sebabnya saya dicurigai. Dan memang harus saya akui, Pak Daud adalah guru saya meski secara tidak langsung. Sesungguhnya saya tidak terlibat. Sebab, sebelum pemberontakan, saya sudah pindah ke Medan. Tetapi Pemerintah menganggap saya mengetahui, bahkan ikut merancangnya. Saya ditangkap. Dipenjarakan 8 bulan di Medan bersama sejumlah tokoh yang dicurigai. Mula-mula kami diperlakukan secara kasar. Tidak boleh memasukkan barang dari luar. Setelah Pak Aruji Kartawinata, selaku Ketua DPR waktu itu, datang dan membentak kepala penjara, kami dipindahkan ke sel yang lebih baik. Juga diberi kebebasan untuk menerima barang dari luar. Di penjara saya membaca semua buku yang saya beli di negara-negara Arab --sewaktu menjadi anggota misi Republik Indonesia ke negara-negara itu pada 1949. Rasanya seperti sepuluh tahun kuliah di perguruan tinggi. Tahun 1954 saya diperiksa Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan tidak terbukti terlibat. Saya dan Syeh Marhaban, pegawai Jawatan Dalam Negeri Sumatera Utara, dibebaskan. Tapi harus menghadap Jaksa Agung Soeprapto di Jakarta. Berdua kami berangkat. "Ya, sudah. Saudara bebas," kata Jaksa Agung. Saya diperbolehkan lagi mengikuti kegiatan politik. Hanya, untuk sementara dilarang pulang ke Banda Aceh. Tugas saya sebagai Inspektur Kepala Jawatan Sosial dipindahkan ke Jakarta. Itu berlangsung sampai diangkat jadi Gubernur Aceh, 1957. Sewaktu di Jakarta, surat protes saya yang dulu dipelajari Menteri Dalam Negeri. Lalu saya dipanggil. Kebetulan orang-orang partai, termasuk PSI dan Masyumi, duduk dalam pemerintahan. Kalau Departemen Dalam Negeri merapatkan soal Aceh, Pak Aruji mengirim saya dan Pak Marhaban untuk ikut bicara. Dalam rapat-rapat itu saya selalu bilang, "Biar dikirim tentara sebanyak-banyaknya, biar sampai kiamat, Aceh tak akan aman. Kecuali kalau status Aceh dikembalikan menjadi provinsi." Tak bosan-bosannya saya bilang begitu, dalam setiap kesempatan. Sampai akhirnya Pemerintah mempercayainya. Dalam sebuah rapat di rumah Menteri Pekerjaan Umum di Kebayoran Baru pada akhir 1956, diambil keputusan untuk mengembalikan status Aceh sebagai provinsi. Hadir waktu itu menteri-menteri kabinet dan tokoh-tokoh partai. Keputusan itu berlaku 1 Januari 1957. Persoalannya kemudian adalah siapa yang bakal menjadi gubernurnya. Hari-hari selanjutnya muncul sejumlah nama calon. Saya termasuk salah satunya. Tetapi saya tak pernah berpikir untuk menjadi gubernur. Suatu siang, Menteri Dalam Negeri Pak Soenarjo mengundang saya makan. Saya kira diajak kendurian. Ternyata meleset. Tidak ada seorang pun di situ, selain Pak Narjo dan saya. Kami duduk berhadapan di meja makan. Bicara serius. Beliau berkata, "Kabinet menanyakan Saudara, apakah bersedia diangkat jadi Gubernur Aceh." Saya sama sekali tak pernah menduga akan memperoleh pertanyaan seperti itu. Setelah berpikir beberapa lama dan bertanya ini itu, saya jawab, "Bersedia tapi dengan satu syarat". Beliau bertanya, "Apa syaratnya?" Pendek saja saya jawab. "Kalau saya kembali ke Aceh sebagai gubernur, saya akan membawa air, bukan bensin." Pak Soenarjo tepekur, memandang saya beberapa lama. Beliau pasti sudah mengerti apa maksudnya. Saya tidak tahu apakah syarat saya diterima atau tidak. Sebab, Pak Narjo tidak menjawab syarat saya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa saya akan diangkat jadi gubernur: Selanjutnya kami ngobrol masalah-masalah lain, yang tidak ada kaitannya dengan soal gubernur, sambil makan. Saya pikir, dengan mengajukan syarat itu, saya tidak akan diangkat karena waktu itu Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, orang PNI, garang sekali. Dia bilang, kalau rakyat Aceh tidak menyerah, akan dibikin habis. Pertengahan bulan Desember 1956, saya melakukan perjalanan dinas ke Indonesia Bagian Timur. Antara lain ke Maluku, Sulawesi, dan Provinsi Irian Perjuangan. Waktu itu Irian Barat masih diperjuangkan. Makanya disebut Provinsi Irian Perjuangan. Dan sementara waktu ibu kotanya berkedudukan di Soasiu, Pulau Tidore, Maluku Utara. Tugas utama saya adalah membentuk Inspeksi Sosial Provinsi Irian Perjuangan, yang belum di tangan kita itu. Dari Jakarta mendarat di Makassar. Menginap beberapa hari. Lantas ke Ambon, ibu kota Maluku. Menginap lagi tiga hari, menunggu kapal laut yang ke Tidore. Selama itu, saya tidak pernah berpikir tentang jabatan gubernur. Nah, setelah ada kapal, saya berangkat ke Tidore bersama Kepala Kanwil Departemen Sosial Maluku. Lebih dulu saya pamit kepada Gubernur Maluku, Saudara Djosan. Di situlah saya dibuat heran. Gubernur memberi sambutan hangat dengan segala hormat. "Saudara Hasjmy diminta segera pulang ke Jakarta," kata Gubernur sambil menyalami. "Ah, Bapak nggak usah main-main," saya bilang. "Betul .... Ini ada surat dari Departemen Dalam Negeri," katanya. Dia memperlihatkan surat perintah itu beserta surat keputusan pengangkatan saya sebagai Gubernur Aceh. Tapi saya tetap bertekad melanjutkan perjalanan. Sebab, kalau benar diangkat jadi gubernur, inilah tugas terakhir saya di Departemen Sosial. "Tolong, izinkan dan beri tahu Menteri Dalam Negeri, saya tetap ke Tidore. Setelah itu baru saya pulang". Begitu saya bilang pada Pak Gubernur. Gerombolan Pengacau Keamanan JADILAH saya seorang gubernur. Dua kali berturut-turut. Jabatan pertama tahun 1957-1960. Kedua 1960-1964. Masa jabatan yang diwarnai pemberontakan. Meski Aceh telah menjadi provinsi, DI belum mau turun gunung. Tentu saja saya harus menyelesaikannya. Dengan perantaraan seorang penghubung, pelan-pelan saya mengontak DI, minta bertemu langsung dengan Daud Beureueh. Berhasil. Awal bulan Ramadan 1377 H (Mei 1957) -- enam bulan setelah menjabat gubernur -- saya dapat menjumpai Pak Daud Beureueh. Bertempat di Desa Lamteh, 7 kilometer di luar Kota Banda Aceh, di sebuah dataran tinggi deretan Bukit Barisan. Pokoknya, di deretan Bukit Barisan. Saya sendiri yang berangkat, dikawani Kepala Polisi Sumatera Utara/Aceh Pak Muhammad Isya dan Teungku Abdulwahab seorang pegawai tinggi di Kementerian Agama di Jakarta. Pak Abdulwahab sengaja saya minta datang dari Jakarta. Dengan sedan tua, bertiga kami dibawa oleh Teuku Bordansyah -- penghubung utama -- ke Lamteh. Masing-masing hanya membawa seorang ajudan. Tanpa senjata. Berangkat setelah buka puasa. Jalannya jelek sekali. Gelap. Kami dikawal satu kompi pasukan DI. Saya melihat betapa bagusnya organisasi mereka. Di tempat-tempat tertentu mereka menyediakan persinggahan untuk minum. Sebenarnya, ada jalan pintas. Tetapi mereka membawa kami lewat jalan biasa. Subuh baru sampai ke lokasi. Terlihat gubuk-gubuk. Gubuk terbesar berada di tengah-tengah. Itulah bangunan Dewan Agung DI, tempat pertemuan orang-orang penting mereka. Di depannya, ada dua bendera. Satu bendera DI, satu lagi bendera Republik. Haa... ini lucunya. Seakan-akan mereka sedang menyambut delegasi dari negara lain. Kami diterima oleh Perdana Menteri DI Hasan Ali dan sejumlah menteri di "gedung" Dewan Agung. Mereka juga punya juru foto. Sebentar-sebentar kami dipotret. Mereka juga punya rokok Dunhill, kain wol. Malamnya, baru kami bisa menemui Pak Daud Beureueh selaku wali negara. Pertemuan berlangsung di "istananya" -- juga gubuk. Hawa dingin sekali. Sekitar dua jam, kami bertemu. Saya jadi juru bicara. "Kami ini anak-anak Abu," begitu saya memanggilnya. "Kami datang berkunjung untuk melihat keadaan Abu. Kami sudah lama tak mendengar kabar Abu. Kami kemari juga untuk mohon restu Abu, karena kami telah diberi rakhmat oleh Allah swt. Saudara Syamaun Gaharu telah diangkat sebagai panglima, saya jadi gubernur, dan Saudara Isya jadi kepala polisi. Kami mohon Abu memberi nasihat. Apa yang harus kami kerjakan," begitu saya berbicara. Syamaun Gaharu adalah penguasa perang daerah Aceh, yang juga berusaha mengadakan pendekatan. Jawabannya adalah pidato selama satu jam lebih. Sebentar-sebentar mencerca Pemerintah Pusat. Yang paling banyak dihantam adalah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Semua jasa Aceh diungkit-ungkit lagi. Terakhir, beliau menasihati kami, "Sekarang kalian sudah jadi orang penting, punya jabatan. Pergunakanlah jabatan itu untuk membangun Aceh, agama, dan rakyat." Habis itu, pertemuan ditutup. Kami minta izin. Esoknya, kami tak bisa menjumpainya lagi. Tidak ada rapat-rapat lagi. Lusanya, kami pulang tanpa sempat bertemu dengan Pak Daud. Saudara Gaharu, yang saya beri tahu mengenai hasil pertemuan itu, menilai gagal. Dia marah-marah. Saya bilang, "Apanya yang gagal? Kita berhasil sekali. Simak perkataan Abu yang terakhir. Beliau percaya kepada kita. Itu kan penting. Jadi, bukan pidato yang menghantam Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Dia memang marah kepada mereka. Dan itu bukan soal kita. Dia mempercayai kita. Berarti kita bisa bekerja. Kita diberi kesempatan. Cuma, kalau tidak kita buktikan niat baik kita, tentu Pak Daud tidak senang". Kontak-kontak berikutnya terus dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemda, atau gabungan. Pertengahan Juli 1959, kami mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh-tokoh DI di Montasie. Daud Beureueh tidak ikut. Saya didampingi Wakil Staf Kodam I Iskandarmuda. Pembicaraan makan waktu tiga jam. Di sini, kami dapat mengetahui keinginan mereka: otonomi yang lebih luas -- terutama tentang bidang keagamaan -- pendidikan, dan peradatan. Aceh mendapat status "Daerah Istimewa Aceh". Puncaknya, kami berhasil menyelenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, Desember 1962, di Blang Pidie. Diikuti sekitar 800 peserta dari Aceh, Jakarta, Bandung, dan sebagainya. Sejumlah menteri pun datang. Aceh pun memperoleh tambahan julukan "Darussalam". Maka, lengkapnya "Daerah Istimewa Aceh Darussalam". Kendati tak bisa hadir, Pak Daud menyatakan dukungannya lewat serangkaian doa tertulis. Antara lain bunyinya begini: "Ya, Allah Tuhan Pengantur alam seluruhnya, perbaikilah akibat berkumpulnya kami di sini kesemuanya, dan lepaskanlah kami dari malapetaka yang menimpa." Awal 1963, Pak Daud turun gunung, kembali ke pangkuan Republik. Pengalaman DI/TII itu bisa dijadikan pengalaman untuk menangani apa yang secara resmi disebut sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh. Kita harus memahami masalah dan siapa pelakunya. Harus bijaksana. Karena gejolak itu terjadi di Aceh, ya, harus mengerti orang Aceh. Salah satu sebab munculnya gejolak itu adalah adanya kawasan industri LNG Arun dan Lhokseumawe. Sementara itu, rakyat Aceh sendiri belum siap menghadapinya dan belum mampu mengisi kebutuhan tenaga di situ. Lahir kesenjangan sosial antara pekerja pendatang dan penduduk Aceh. Memang ada faktor politis, kelanjutan DI/TII. Tapi, itu kecil sekali. Gejolak di Aceh adalah masalah rumit yang tidak mudah diatasi. Lebih sulit dibandingkan dengan menangani DI/TII. DI jelas siapa pemimpinnya. Ada organisasinya. Kita mudah menghubunginya untuk berunding. GPK terpencar-pencar, tidak jelas organisasinya, tidak ketahuan pemimpinnya. Dengan siapa kita bisa berhubungan bila ingin berunding? Maka, menurut saya, kita harus bijaksana. Bertindak tegas memang perlu. Tetapi, kalau mereka ingin kembali ke masyarakat, ya, harus diterima, jangan dihukum. Kita ajak mereka sama-sama membangun Aceh. Dan ... sebaiknya, sebelum mendirikan suatu proyek industri, adakan dahulu pendekatan pada rakyat. Ketika pabrik semen di Lhok Nga dibangun, para ulama turun ke tengah masyarakat untuk memberi penjelasan. Dan tidak ada gejolak. Ya, peranan ulama di Aceh memang masih besar. Mungkin karena Aceh ini dikenal sebagai daerah yang begitu ketat menjaga nilai-nilai Islam. Sudah beberapa kali Dinas Pekerjaan Umum meminta kami -- Majelis Ulama (MUI) Aceh -- datang ke daerah yang akan dilewati pembangunan jalan. Pejabat-pejabat baru juga menyempatkan diri datang ke MUI sebelum menjalankan tugasnya. MUI juga bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menyelesaikan masalah GPK. Bulan Juni 1990, saya memimpin satu tim dakwah -- terdiri dari delapan ulama -- ke Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. Cuma, saya minta kepada Gubernur dan pihak keamanan agar tidak mengirimkan pengawal. Kami tidak mau pergi kalau dikawal. Inilah dakwah kerukunan. Kami bicara di 47 lokasi paling rawan, tanpa sekali pun mengutuk GPK. Di setiap tempat, rakyat datang berbondong-bondong. Tapi, saya tidak tahu mana yang GPK dan bukan. Mungkin mereka hadir. Kami berkeliling selama sepuluh hari. Awal Desember 1990, orang-orang Bantaqiyah -- pasukan Jubah Putih yang pernah melakukan aksi kekerasan di Meulaboh -- mengunjungi MUI. Mereka dipimpin langsung oleh imamnya, Teungku Bantaqiyah. Mereka meminta supaya fatwa yang menyatakan bahwa ajaran mereka sesat dicabut. Fatwa itu kami keluarkan pada 1983, setelah menilai bahwa mereka menganut tarekat Wahdatul Wujjud -- memandang manusia sebagai Tuhan. Sejak itu, kejaksaan melarang Bantaqiyah. Tapi, setelah mereka turun gunung dan menjelaskan bahwa Bantaqiyah bukanlah penganut Wahdattul Wujjud, kami berjanji memperbaiki fatwa itu. Haa ... begitulah cara kami membantu memulihkan keamanan. Berdialog langsung. Mencari titik temu. Tapi, yang terpenting adalah meningkatkan pendidikan. Pada abad ke-16, Aceh merupakan gudang ilmu pengetahuan. Aceh menjadi lima besar negara Islam di dunia. Banyak sarjana Aceh berkaliber internasional. Ini menurut buku Islam in the Modern History -- karangan seorang Amerika. Banyak yang belajar ke sini, dari Malaysia dan berbagai kerajaan di Asia. Saya bercita-cita mengembalikan Aceh sebagai gudang ilmu pengetahuan, juga sebagai pusat budaya Islam. Saya ingin orang Aceh ini berpengaruh di negeri ini. Jadi menteri, pakar ilmu, dan sebagainya. Kalau mampu dan diterima rakyat Indonesia, saya ingin orang Aceh jadi presiden. Dan itu hak kita. Oleh sebab itu, harus pandai. Makanya, semasih menjabat gubernur, bersama beberapa kawan seperjuangan, saya banyak mencurahkan pikiran untuk membangun pusat-pusat pendidikan di seluruh Aceh. Kini telah terbentuk Kopelma -- Kota Pelajar dan Mahasiswa -- Darussalam di Banda Aceh seluas hampir 200 hektare. Ini merupakan pusat pendidikan yang di dalamnya mencakup SD, SMP, SMA, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan IAIN Ar-Raniry, lengkap dengan asrama mahasiswanya. Pada 1962-1964, saya duduk sebagai Ketua Dewan Kurator Unsyiah. Mengajar mata kuliah Sejarah, Kebudayaan Islam, Ilmu Dakwah, dan Publisistik. Pada 1963, menjabat Rektor IAIN ArRaniry. Dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) oleh IAIN ini pada 1976 dalam Ilmu Dakwah. Rektor Ar-Raniry pada 1977-1982. Sebagai pusat kebudayaan Islam, Aceh masih menyimpan sisa- sisanya. Sejak saya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh -- 1982 sampai sekarang --banyak orang luar negeri yang datang ke sini untuk belajar. Beberapa di antaranya ada yang masuk Islam. Seorang wartawan Australia, Harry Aveling, pernah tinggal di sini. Pada 1989, dia menyatakan diri masuk Islam. Saya yang menyaksikannya membaca Dua Kalimah Syahadat di Masjid Raya Baturrakhman, Banda Aceh. Hampir tiap minggu, ada saja yang menyatakan diri masuk Islam. Pernah pula seorang keturunan Cina, pedagang di Glodok, Jakarta, jauh-jauh ke Aceh hanya untuk menyatakan diri masuk Islam. Saya pula yang menyaksikannya. Itu satu bukti bahwa Aceh tetap dipandang sebagai daerah budaya Islam di Indonesia. Kalau pendidikan berjalan baik, insya Allah Aceh akan kembali menjadi gudang ilmu. Kepada orang DI, saya pernah bilang, saya tidak setuju Aceh mendirikan negara sendiri. Biarlah Aceh tetap menjadi bagian dari Republik ini. Kita jadikan Aceh paling maju, provinsi paling depan. Kalau perlu, jadi ibu kota. Itu bukan tidak mungkin, asalkan memenuhi syarat. Dulu, ketika Yogyakarta, Ibu Kota Republik, diduduki Belanda dan pemimpin-pemimpin kita ditangkap, Aceh pernah menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), sampai penyerahan kedaulatan 1949. Yayasan Ali Hasjmy SAYA sedang menunggu masa pensiun. Masih jadi Ketua MUI dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Enam anak saya, semuanya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di berbagai daerah. Ada yang di Jakarta, Tapaktuan -- Sumatera Utara -- Lhokseumawe. Bahkan di Tokyo. Di rumah, tinggal seorang anak perempuan. Itu pun sudah menikah dan punya anak. Sebenarnya, saya punya tujuh anak. Satu meninggal. Jumlah cucu 17 orang. Banyak, kan? Saya sudah tua. Mungkin tak lama lagi akan kembali ke pangkuan Allah swt. Rumah saya di Jalan Jenderal Sudirman, Banda Aceh, ini terasa terlalu besar. Maka, sebagian tanah -- kirakira 1.000 meter -- dari sekitar 3.000 meter, saya berikan kepada anak perempuan saya itu. Berikut rumah. Selama ini, saya tinggal berdua saja dengan istri saya. Menempati bangunan di atas tanah 2.000 m2, persis di samping rumah anak perempuan saya. Atas bantuan dana Pemerintah Daerah, saya merombak kediaman saya jadi kantor "Yayasan Ali Hasjmy". Total biaya Rp 150 juta. Diresmikan bulan Januari 1991, baru saja. Untuk direktur disediakan rumah, persis di belakang kantor. Selain mengelola perpustakaan umum, yayasan ini juga menyimpan benda-benda antik khas Aceh. Rencong, bari -- jenis keris tapi khas Aceh -- pending, keramik, dan sebagainya. Khusus buat perpustakaan, saya memiliki puluhan ribu koleksi buku, puluhan manuskrip (naskah lama). Sayang kalau disiasiakan. Untuk sementara, saya duduk sebagai direktur, sampai meninggal. Tinggal di rumah direktur. Punya kawan-kawan kerja, punya kegiatan. Dan setelah pensiun tidak akan kesepian.
Profesor, sastrawan, politikus, pejuang, wartawan, pendidik, dan ulama ini dua kali menjabat Gubernur Aceh. Pada 15 Januari lalu, Emil Salim meresmikan museum dan perpustakaannya yang menyimpan lebih dari 10 ribu judul buku. Pernah ditangkap Belanda karena mengadakan rapat umum. Juga sempat dipenjarakan oleh Pemerintah Republik lantaran dicurigai terlibat pemberontakan DI/TII. Pendiri Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry ini kini masih Ketua MUI Aceh dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Ia mengaku seorang pengagum Bung Karno sekaligus murid tidak langsung Daud Beureueh. Berikut sebagian riwayat hidupnya dituturkan kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. SAYA menyukai sastra sejak kecil. Mungkin ini karena Nenek sering menuturkan hikayat-hikayat yang dihafalnya di luar kepala. Nenek hafal semua hikayat Perang Aceh. Berbagai hikayat Nabi, Nenek tahu. Tiap-tiap menjelang magrib, Nenek selalu membacakannya. Kawan-kawan sebaya saya juga ikut mendengarkannya. Betapa hikayat-hikayat perang telah menanamkan semangat yang begitu besar dalam diri saya, untuk selalu melawan penjajah. Nenek mengatakan, "Sampai kapan, pun Belanda adalah musuh." Saya dipesan untuk menuntut bela atas syahid-nya Kakek, suami beliau. Karena hikayat-hikayat itu, timbul hasrat saya untuk membaca roman, membaca buku-buku sejarah, dan kelak mengambil tempat dalam pergerakan kemerdekaan. Beliaulah guru pertama saya, pengasuh saya sejak kecil, dan yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Nenek pula yang menanamkan dasar-dasar agama dalam diri saya. Sebab, seperti umumnya wanita Aceh, Nenek tidak buta huruf Beliau bisa menulis tulisan Arab dan tulisan Melayu Lama -- Arab Gundul. Ketika saya lahir, beliau telah janda. Suaminya, syahid ketika ibu saya baru berumur enam bulan. Pang Husein nama Kakek saya itu. Dia adalah salah seorang panglima Teuku Panglima Polim. Kakek syahid bersama seribu anak buahnya sewaktu mempertahankan Benteng Cegli di Aceh Besar, benteng terakhir pasukan Teuku Panglima Polim. Saya tidak sempat melihat Kakek dari ibu saya itu. Tapi, saya mendengar kisahnya dari Nenek. Nenek tidak kawin lagi hingga meninggal di Medan pada 1953, dalam usia lebih dari 80 tahun. Waktu itu, saya sudah bertugas di Kanwil Sosial Sumatera Utara. Beliau mengembuskan napas terakhir di pangkuan saya. Saya tidak akan pernah melupakan pesan-pesannya yang ditanamkan semasa saya kecil. "Jadilah orang yang selalu memberi. Jangan jadi pengemis. Orang yang minta-minta itu adalah orang yang hina." Itulah kata-kata yang selalu saya ingat. Saya dilahirkan pada 28 Maret 1914, persis ketika Perang Dunia I pecah. Ayah saya, Tengku Hasjim. Kakek dari ayah saya juga seorang panglima perang Pang Abas namanya. Saya sempat melihatnya dan mendapat pelajaran dari beliau. Beliau tidak syahid. Tapi, bekas-bekas luka terlihat di sekujur tubuhnya. Beberapa jari tangannya putus akibat perang. Waktu saya kecil, beliau banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di medan perang. Cerita-cerita itu pula yang membangkitkan semangat saya untuk ikut berjuang kelak di kemudian hari. Beliau meninggal pada 1936 dalam usia 127 tahun. Saya anak nomor dua. Kakak saya, perempuan, meninggal tak lama setelah lahir. Saya lupa siapa namanya. Saya lahir empat tahun kemudian. Ibu meninggal ketika melahirkan adik saya yang juga meninggal. Mereka dikubur dalam satu liang. Usia saya baru empat tahun. Jadi, dari tiga bersaudara, tinggal saya yang hidup. Ayah kawin lagi lima tahun setelah Ibu meninggal. Beliau pindah ke Seulimuem. Saya tetap tinggal dengan Nenek di Kampung Montasie. Jadi, Neneklah yang sebenarnya menjadi ibu pengasuh saya. Yang mendorong saya untuk terus belajar. Kata Nenek, untuk menjadi orang yang tangannya "di atas", kita harus pandai. Di Kampung Montasie, saya masuk sekolah Belanda Government Inlandsche School -- sekolah dasar lima tahun. Sore belajar agama di dayah -- semacam pesantren. Malamnya, saya masih ke meunasah -- balai desa yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pengajian bersama -- sampai setelah salat isa. Kalau mau, kaum lelaki boleh juga tidur di situ. Tamat SD, mestinya saya melanjutkan ke HIS. Tapi, Nenek melarang. Alasannya, supaya saya tidak menjadi "orang Belanda". Ingat, dua kakek saya adalah musuh Belanda. Saya dikirim ke Seulimuem, bergabung dengan ayah. Di sini, saya melanjutkan sekolah ke Tsanawiyah -- sekolah Menengah Islam Pertama. Waktu itu tahun 1930. Tsanawiyah saya selesaikan persis tiga tahun. Lagi-lagi, Nenek melarang sewaktu saya akan dimasukkan ke HIS. Saya disuruh belajar ke Padang, ke Thawalib School Tingkat Menengah -- sekolah Islam setingkat SLTA -- di Padangpanjang, Sumatera Barat. Juga tiga tahun. Sebenarnya, kalau cuma Ayah yang menyuruh, saya belum tentu pergi. Tapi, karena Nenek yang memberi perintah, saya tak bisa menolak. Saya memang lebih dekat kepada Nenek daripada Ayah. Maklum, waktu saya kecil, Ayah adalah pengusaha yang sibuk. Beliau berdagang kain dan menjadi seorang penjual ternak yang mondar-mandir ke Medan. Ayah meninggal pada 1987 dalam usia 107 tahun. Lulus dari sekolah agama, saya kembali ke Seulimuem, mengajar tiga tahun di SMP Tsanawiyah. Kemudian saya belajar lagi ke Padang, di Al-Jami'ah Al-Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam). Sekolah setingkat akademi. Juga tiga tahun. Selama saya belajar di Padang, Ayahlah yang membiayai. Tiap bulan saya dikirimi rata-rata 15 gulden. Cukup mewah untuk ukuran Padangpanjang waktu itu. Baru setahun di perguruan tinggi, tiba-tiba terjadi resesi ekonomi yang mengancam dunia. Usaha Ayah bangkrut. Saya dikirimi uang untuk pulang. Saya bertekad untuk tetap di Padangpanjang. Belajar dan cari uang. Saya menulis, membuat puisi, cerita pendek, dan novel. Puisi-puisi saya mengisi hampir tiap nomor majalah Panji Islam, Pedoman Masyarakat, Pujangga Baru (Jakarta), dan majalah Angkatan Baru di Surabaya. Setiap sajak dibayar rata-rata satu gulden. Waktu itu, satu gulden bisa dibelikan emas satu gram. Cerpen juga sering saya tulis. Dalam menulis sajak, kadang-kadang saya menggunakan tiga nama samaran: Al Hariri, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsung. Al Hariri adalah seorang penyair Arab, pada permulaan zaman Islam, yang paling saya kagumi. Salah seorang cucu saya bahkan saya namai Al Hariri. Tapi, dua nama samaran lainnya saya pakai cuma supaya lebih sreg dan bervariasi. Lahir pula novel-novel saya Bermandi Cahaya Bulan, terbit di Medan 1939. Dari situ, saya memperoleh 100 gulden kalau ndak salah, waktu itu lumayan juga. Tahun itu juga, lahir lagi Melalui Jalan Raya Dunia, terbit di Medan. Saya mendapat 150 gulden. Lumayan.... Sebelum itu, lahir juga dua kumpulan puisi saya: Kisah Seorang Pengembara (1936) dan Dewan Sajak (1938). Keduanya terbit di Medan. Tapi, honornya nggak seberapa. Sampai Proklamasi Kemerdekaan, saya menghasilkan delapan buku, semuanya sastra. Sampai sekarang, saya sudah menulis 50 buku. Buku terbaru saya Wanita Indonesia Sebagai Negarawan dan Panglima Perang sebentar lagi juga akan terbit. Ini seri pertama buku tentang wanita Aceh yang menjadi panglima perang. Nanti, insya Allah, menyusul seri kedua. Masa-masa belajar memang merupakan masa produktif saya di bidang sastra. Ada baiknya juga waktu SD dulu saya dimasukkan ke sekolah Belanda. Di situ, ada perpustakaan milik Balai Pustaka yang menyewakan buku seminggu satu sen. Tiap minggu, paling kurang saya pinjam 2-3 buku roman. Mula-mula novel anak-anak. Paling terkenal karangan Muhammad Kasim. Kegiatan jurnalistik pun jadi ruang gerak saya. Ketika menjadi siswa sekolah menengah di Padang, saya jadi sekretaris redaksi majalah pelajar Kewajiban. Ketika di perguruan tinggi, saya malah menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan kampus Matahari Islam. Di situ, saya sering menulis meski tidak ada honornya. Lalu di bidang pergerakan. Sejak masih belajar, saya sudah mengikuti berbagai organisasi, termasuk organisasi politik. Di Padangpanjang, saya menjadi sekretaris Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) Padangpanjang. Di samping itu, saya juga menjadi Ketua Persatuan Pemuda Aceh (PPA). Anggotanya sekitar 1.000 pelajar asal Aceh yang tersebar di seluruh Sumatera Barat. Secara diam-diam, saya juga masuk ke partai Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Karena waktu itu ada peraturan, yang boleh masuk ke partai politik hanya yang sudah berumur 18 tahun, saya korupsi umur. Soalnya, waktu itu usia saya baru 16 tahun. Karena terjadi kekacauan di Padangpanjang, partai-partai yang ada dilarang rapat, termasuk Syarekat Islam dan PNI. Satu malam di tahun 1934, saya dan dua orang teman pergi ke Kota Gunung --sebuah kampung di Padangpanjang -- untuk memberi kursus atas nama HPII. Tiba-tiba muncul mantri polisi. Rapat dibubarkan. Seminggu kemudian, saya dipanggil jaksa. Dari situ, kami bertiga diajukan ke pengadilan dan divonis empat bulan. Kawan-kawan mengantar sampai ke pintu penjara. Saya bangga sekali. Waktu itu, masuk penjara karena persoalan politik merupakan kebanggaan tersendiri. Ketika kami bebas, ratusan kawan pun menunggu di pintu. Selama di penjara, saya tidak boleh membaca buku-buku pelajaran. Yang boleh masuk ke sel, hanya Quran. Entah berapa puluh kali saya khatam. Padahal, sebulan setelah keluar dari penjara, saya harus menghadapi ujian. Mungkin karena terus-menerus membaca Quran selama di penjara, saya lulus dengan baik, termasuk cum laude. Nomor dua terbaik. Mungkin juga karena yang diuji adalah masalah-masalah yang menyangkut hukum Islam dan kebudayaan Islam. Kebetulan, saya cukup mengerti soal itu. Lagi pula, soal-soal fikih -- hukum Islam --memang termuat di dalam Quran yang saya baca puluhan kali itu. Tahun 1935, saya kembali ke Aceh. Bersama pemuda-pemuda Aceh yang baru kembali belajar dari Padang dan Surabaya, saya mendirikan SPIA (Serikat Pemuda Islam Aceh). Berpusat di Seulimuem. Di situ, saya duduk sebagai sekretaris umum. Ketua umumnya Said Abu Bakar, teman sekolah di Padang. Sekarang, sudah meninggal. Dalam suatu kongres, SPIA berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia). Pusat pergerakannya dipindahkan ke Montasie. Tapi, saya hanya tiga tahun mengurus SPIA. Pada 1937, saya kembali ke Padangpanjang untuk kuliah. Nah, sewaktu saya masih kuliah inilah, di Aceh, berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1939. Dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ustad Muhammad Yunus, seorang guru kami, diundang dalam peristiwa ini. Ketika kembali ke Padang, satu minggu dia cuma bercerita tentang PUSA. Kami sama sekali tidak belajar. Ha... saya senang sekali. Lulus perguruan tinggi dan kembali ke Aceh -- masih 1939. Saya jadi pemuda PUSA. Di Pemuda PUSA Cabang Aceh Besar, saya duduk sebagai ketua. Saya juga menjadi Wakil Ketua Kwartir Kepanduan Kasyasyafatul Islam Aceh Besar. Dan sebagai Ketua Pemuda PUSA, saya sering diajak oleh Daud Beureueh turne ke berbagai daerah. Namun, di PUSA sendiri, saya tidak ikut aktif. Peran Asia Timur Raya LALU PECAH Perang Asia Timur Raya. Menjelang kedatangan Jepang ke Aceh, Pemuda PUSA mendirikan Gerakan Fajar. Suatu gerakan bawah tanah yang bertujuan mengatur pemberontakan terhadap Belanda. Secara resmi, orang Aceh memang membantu Jepang. Tapi, bukan karena janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan. Kami membantu Jepang karena ingin mengusir Belanda yang sangat kami benci. Karena tidak mungkin mengusirnya dengan kekuatan sendiri, kami bergabung dengan Jepang. Tapi, sebelum Jepang datang, Gerakan Fajar sudah bertindak. Gerakan ini sudah menjalar luas. Sejak awal 1942, kami aktif melakukan sabotase dan perlawanan fisik. Kader-kader Kasyasyafatul Islam melakukan kampanye ke tengah masyarakat, memotong saluran telepon, membongkar rel kereta api, dan melakukan perang urat saraf dengan selebaran-selebaran. Semua ini menimbulkan ketakutan di kalangan militer dan pemerintah sipil Belanda. Tanggal 20 Februari 1942, kami pergi ke tangsi Belanda di Seulimuem dan berhasil membunuh Kontroleur Tinggelmen. Menjelang penyerangan, sekolah menengah Islam di sini menjadi markas. Dan kalau sekarang saya pikir-pikir lagi, penyerbuan itu gila. Menjelang tengah malam, pelajar-pelajar yang baru berusia 15-20 tahun dan ratusan penduduk kampung berkumpul. Ada juga beberapa orang tua. Masing-masing dengan senjata. Ada yang membawa kelewang, parang, dan sebagainya -- siap menyerang. Di antara kami, ada orang tua buta yang membaca hikayat Perang Sabil. Namanya Teungku Seunadeu, orang tua yang pernah hidup di zaman perang melawan Kolonial Belanda. Dia hafal hikayat ini di luar kepala. Dengan bersemangat, setelah mendengar hikayat Perang Sabil, kami mengepung tangsi dan rumah kontroleur. Belanda ketakutan, tak berani turun. Kontroleur Tinggelmen, dengan suatu tipu muslihat, membawa istrinya kabur. Ketika dia menuruni tangga, Teuku Ubit -- pemuda berusia 16 tahun yang bersembunyi di bawah tangga -- menyerang dengan cepat. Parang dapurnya berhasil menghajar pistol di tangan kanan Tinggelmen sampai lepas. Kemudian, Ibrahim -- pemuda dari Kampung Alor Gintong -- menebas tubuh Tinggelmen. Istrinya berteriak-teriak minta tolong. Dan esoknya, baru kami tahu bahwa Tinggelmen telah tewas. Penyerbuan kami ini bubar menjelang subuh. Ketika itu terjadi pula pertempuran di Keumirue, terus menjalar ke seluruh Aceh. Karena saya memimpin pemberontakan-pemberontakan itu, ayah saya -- Tengku Hasyim -- ditangkap Belanda. Beliau baru bebas setelah Jepang datang mengusir Belanda. Dua hari sebelum Jepang memasuki Aceh dengan kekuatan tiga divisi, Belanda sudah lari. Serdadu-serdadu Belanda, yang berasal dari Ambon dan Jawa, buka baju. Saya mengerahkan pasukan pandu KI untuk mengawal Banda Aceh dan kota-kota lain di seluruh Aceh. Jadi tertib, tidak ada perampokan. Ketika Jepang akan membentuk pemerintahan militer, saya dipanggil. Saya datang dengan mengenakan seragam pemimpin pandu. Jepang bertanya, "Siapa orang Indonesia yang bisa mengurus kereta api? Polisikah?" Ndak ada, saya bilang. Polisi sudah buka baju, begitu saya jawab. Maka, saya diangkat jadi kepala polisi. Dikasih mobil. Tapi, mobil dan jabatan kepala polisi itu saya kembalikan karena Jepang mengangkat para ulebalang -- bangsawan -- dalam pemerintahan. Saya marah sekali. Pulang ke Seulimuem. Buka sekolah. Dan mengajar lagi dengan teman-teman. Pertentangan antara ulama dan ulebalang memang telah lama berlangsung. Di zaman Belanda, mereka adalah kaki tangan yang dibenci rakyat. Rasa tidak senang mencuat lagi manakala Dai-Nippon mengajak mereka dalam pemerintahan. Bentrok fisik sempat terjadi. Ulebalang memakai Jepang, kami juga memakai Jepang. Perang meletus di Cumbok, Aceh Besar. Betul-betul perang. Itu berlangsung selama 20 hari di bulan Desember 1942. Culik-menculik terjadi. Banyak yang mati dipotong. Termasuk Teuku Daud Cumbok, ulebalang di Cumbok. Itu pula yang membuat saya menyerahkan kembali jabatan kepala polisi, lalu kembali ke Seulimuem, dan mengajar. Suatu hari, selagi saya mengajar, muncul dua orang utusan Jepang. Satu orang Jepang, satunya lagi orang Indonesia. Mereka meminta saya supaya bekerja di kantor berita Aceh Shinbun Banda Aceh. Dipikir-pikir, boleh juga. Saya tinggalkan sekolah. Tak lama kemudian terbit pula Semangat Merdeka. Dari sinilah kami menyusun gerakan bawah tanah, bersama-sama kawan yang bekerja di Domai. Mula-mula, dengan antusias, rakyat Aceh menyambut kehadiran Jepang. Hanya para pemimpin pergerakan yang mengetahui maksud Jepang sesungguhnya. Makanya, secara diam-diam kami terus menyusun kekuatan, sambil menunggu saat yang tepat untuk mengusir Jepang. Mula-mula, kami mendukung segala usaha Dai-Nippon, seperti dalam Romusha. Di tengah-tengah masa transisi itulah, pada 1941, saya menikah di Seulimuem. Istri saya, Zuriah Aziz, adalah wanita yang tabah. Dia mendukung perjuangan saya. Dia melahirkan anak saya yang pertama pada bulan Desember 1942. Jepang sudah berkuasa waktu itu. Saya namakan dia Mahdi A. Hasjmy. Aceh Daerah Modal MENJELANG Proklamasi Kemerdekaan. Rakyat sudah menyadari niat Jepang sesungguhnya. Para pemimpin Aceh mulai mempersiapkan perlawanan. Awal 1945, bersama sejumlah pemuda Aceh yang bekerja di kantor berita Aceh Shinbun dan Domai, saya mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Gerakan rahasia untuk mempersiapkan perlawanan bila Jepang kalah perang melawan Sekutu. Gerakan ini juga dipersiapkan untuk menghadapi Belanda jika kembali ke Aceh. Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah kami ketahui lewat berita-berita yang dikirim ke Aceh Shinbun dan Domai. Dan kami sudah memperkirakan bahwa kemungkinan Belanda akan kembali. Kami mendengar proklamasi hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945, karena Pak Adam Malik, yang waktu itu bekerja di Domai Jakarta, menyiarkannya ke seluruh Indonesia. Nah, kawan-kawan yang bekerja di Domai Aceh memberitakannya pula kepada kami yang bekerja di Aceh Shinbun. Dan berita itu kami siarkan dengan cepat. Macam-macam tanggapan rakyat Aceh terhadap berita itu. Ada yang bingung, ada yang tidak percaya, ada juga yang langsung menyatakan dukungannya. Tetapi, umumnya mendukung. Yang tidak menyukai kemerdekaan adalah para ulebalang. Di Kabupaten Pidie, mereka malah sudah membentuk panitia untuk menyambut Belanda. Tentu tidak semua. Ada juga ulebalang yang memihak kita. Seorang putra Teungku Panglima Polim, yang menjadi wedana di Aceh Besar, segera menyerahkan kedudukannya kepada rakyat. Kali ini tak sempat terjadi bentrok fisik. Boleh dikatakan, para pejuang dan ulama sudah menguasai keadaan. Sementara itu, IPI terus aktif. Menjelang Proklamasi, namanya diubah menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Lalu, setelah kemerdekaan, berubah lagi menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Dan akhirnya menjadi Ksatria Divisi Rencong. Selama itu, saya tetap memimpin. Bahkan di Ksatria Divisi Rencong, saya menjadi pemimpin tertinggi. Kami merebut senjata-senjata Jepang sebelum Sekutu datang. Anehnya, tentara Jepang seperti membiarkan kami melucutinya. Dengan mudah, kami merampas senjata mereka. Dan kelihatannya mereka justru seperti menyerahkannya. Tanggal 16 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh dengan pesawat RI I. Bukan yang diberikan orang Aceh. Penerbangnya masih seorang Amerika. Kopilotnya orang kita. Hadir pula Menteri Dalam Negeri Sukiman, Panglima Angkatan Udara Suryadarma, sejumlah pejabat, termasuk Gubernur Sumatera Teungku Mohammad Hassan. Kami menyambut mereka di lapangan udara Lhok Nga. Sepanjang 16 kilometer, rakyat berjejal sampai ke Banda Aceh. Ramai sekali. Bung Karno senang sekali melihatnya. Sebentar-sebentar beliau menghentikan mobilnya -- untuk melihat rakyat. Sore hari itu juga, kita mengadakan rapat umum. Di situlah, untuk pertama kalinya, Bung Karno mengatakan bahwa Aceh adalah daerah modal. Beliau mengibaratkan Aceh sebagai sebuah payung. "Kalaupun Republik hanya tinggal selebar payung, kita akan terus berjuang. Dengan modal daerah selebar payung itulah kita akan merebut daerah lain," begitu katanya. Mengapa Bung Karno menyebut Aceh sebagai daerah modal? Sebab, waktu itu, sebagian besar wilayah Indonesia sudah diduduki Belanda. Aceh tidak. Aceh bebas melakukan perdagangan dengan luar negeri -- kendati Belanda menyebutnya penyelundupan. Kita punya devisa. Oleh sebab itu, Aceh membiayai perjuangan bangsa Indonesia di luar negeri. Kita juga membeli senjata dari luar negeri, lalu memasukkannya ke daerah-daerah di seluruh Indonesia yang sedang berjuang. Beberapa kali rapat umum masih diselenggarakan. Yang paling banyak pengunjungnya adalah ketika rapat umum di Bireun. Di situ, Bung Karno mengulang pernyataannya bahwa Aceh adalah daerah modal. Suatu malam berlangsung resepsi yang dihadiri berbagai tokoh masyarakat dan pengusaha. Bung Karno mengatakan, "Sekarang kita sangat memerlukan hubungan. Karena daerah-daerah kita sudah diduduki Belanda, harap rakyat Aceh menyumbang kapal terbang". Malam itu juga, rakyat Aceh sanggup memberi dua kapal terbang. Satu dari Pemda. Esok harinya, Pemda langsung memberi cek senilai 250 ribu dolar Amerika -- harga kapal terbang bekas waktu itu. Kebetulan, kami punya uang di Singapura, hasil ekspor Aceh -- orang Belanda menyebutnya hasil penyelundupan. Para pengusaha -- atas nama rakyat, yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) -- juga menjanjikan satu buah. Selama satu bulan, mereka mengumpulkan uang senilai 250 ribu dolar AS, baru kemudian diantarkan ke Yogyakarta. Selama lima hari Bung Karno berada di Aceh, hampir tiap hari saya bertemu dengan beliau. Sebelumnya tidak pernah, karena mana sempat saya pergi ke Jawa. Waktu beliau turun di Lhok Nga, Divisi Rencong yang menjaga dan mengawalnya. Saya salah seorang yang ikut menyambut. Yang lain-lain terdiri dari para pembesar, termasuk Pak Daud Beureueh. Saya memang pengagum Bung Karno. Karangan-karangan beliau saya baca dan mempengaruhi pandangan-pandangan politik saya. Buat Bung Karno, saya khusus menciptakan puisi pada bulan Oktober 1945 -- yang dimuat dalam Semangat Merdeka. Di situ saya bilang, saya adalah serdadunya. Dulu, selain Bung Karno, saya juga kagum pada Mochtar Lutfi -- seorang orator ulung dari Padang. Bung Karno pun mengaguminya. Dan kami, pasukan Divisi Rencong, selalu ikut mengawal beliau. Divisi Rencong pula yang menjaga lapangan Lhok Nga ketika beliau datang. Divisi Rencong memang ditugasi menjaga lapangan terbang Lhok Nga dan Blangbintang. Markas kami berada di Lhok Nga. Saya sendiri berkedudukan di Banda Aceh. Di Lhok Nga, Divisi Rencong selalu siap menunggu pendaratan rahasia pesawat-pesawat yang membawa obat-obatan dan persenjataan ringan dari rekan dagang kita. Antara lain dari India dan Burma. Dari Aceh, mereka membawa lada dan rempah-rempah. Sebulan, paling sedikit terjadi sekali pendaratan. Kadang-kadang dua kali. Makanya, Belanda menuduh kita melakukan penyelundupan. Aceh, ketika itu, memiliki Radio Rimba Raya yang bisa menjangkau dunia. Tersembunyi di sebuah hutan antara Takengon dan Bireuen. Radio ini didirikan oleh markas angkatan laut di Aceh. Kalau mengirim berita, dinamonya diputar dengan kereta angin. Dari Aceh berita dipancarkan ke New Delhi. Itulah sebabnya dunia mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Ketika Pak Soeharto menyerang Yogyakarta, Radio Rimba Raya pula yang memancarkannya ke seluruh dunia lewat New Delhi. Mula-mula kami menerima berita dari Jakarta, yang dikirim secara estafet lewat Lampung, Medan, lalu Aceh. Kalau tidak ada radio ini, Pak Harto boleh saja masuk, tapi dunia mungkin tidak tahu. Pasukan Aceh sangat kuat dan bersemangat. Ketika Belanda melancarkan Agresi I tahun 1947 dan Agresi II tahun 1948, Aceh adalah satu-satunya wilayah Republik yang tidak bisa direbut. Belanda hanya mampu menguasai Sabang. Kalau mau, sebenarnya pasukan Aceh sanggup merebutnya. Itu tidak kami lakukan karena kami sedang memusatkan kekuatan untuk mempertahankan daratan Aceh. Lagi pula, kami harus mengirim bantuan ke Medan untuk melawan Belanda. Divisi Rencong mengirim dua batalyon elite ke Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat -- dua daerah di Medan yang masih dikuasai tentara Republik di wilayah Sumatera Timur. Front ini lebih dikenal dengan sebutan Medan Area. Paling kurang, dua bulan sekali saya pergi ke front. Pada Februari 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan untuk mendirikan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua laskar rakyat yang bersenjata dilebur jadi TNI. Aceh, Langkat, dan Tanah Karo digabung menjadi sebuah daerah militer. Teungku Daud Beureueh ditunjuk sebagai gubernur militernya. Saya duduk sebagai salah seorang stafnya. Tapi secara resmi Daerah Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo baru terbentuk bulan Juni 1948. Ini karena ada sejumlah laskar rakyat, yang memang banyak jumlahnya, mula-mula menolak. Alhamdulillah, bisa diatasi dengan baik. Divisi Rencong adalah laskar yang pertama kali bergabung. Kami menjadi kekuatan inti artileri. Banyak di antara kami yang terpilih sebagai komandan. Sedangkan yang paling belakangan bergabung adalah laskar Ksatria Pesindo, laskarnya Persatuan Indonesia (Pesindo). Saya pernah menjadi anggotanya, tapi segera mengundurkan diri setelah organisasi ini condong ke PKI. Saya juga menjadi anggota Partai Syarekat Islam. Aceh Bergolak PERTENGAHAN 1950, Provinsi Aceh yang masih muda dilebur ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Padahal, baru berdiri satu tahun. Yakni setelah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah Republik lewat Konperensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Semula saya menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh. Karena jawatan-jawatan dipindahkan ke Sumatera Utara, saya turun jabatan. Cuma Wakil Kepala Jawatan Tahun 1950 naik setingkat jadi inspektur kepala. Tapi, karena Aceh mendadak panas, baru pada 1951 saya bertugas di Medan. Peleburan wilayah itulah yang membuat Aceh bergolak. Sungguh, rakyat Aceh tidak senang bila hanya menjadi bagian wilayah sebuah provinsi. Sejak dahulu, Aceh adalah sebuah kesatuan wilayah dengan sebuah tradisi yang khas. Kemarahan muncul di mana-mana. Pejuang-pejuang yang dahulu mendukung pemerintah pusat berbalik menentang. Dan pemerintah telah bertindak salah. Untuk mengatasi gejolak itu, pemerintah mengirim tentara yang banyak orang Kristennya. Mereka bertindak kasar. Lewat surat, saya pernah mengingatkan pemerintah agar segera menarik mereka. Kalau tidak, sewaktu-waktu pasti bakal terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sayang, tidak diperhatikan. Dan akibatnya, tahun 1953 pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh meletus. Mereka bermaksud mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Semua anak buah saya di Divisi Rencong dulu ikut berontak. Naik gunung bersama Daud Beureueh. Itu sebabnya saya dicurigai. Dan memang harus saya akui, Pak Daud adalah guru saya meski secara tidak langsung. Sesungguhnya saya tidak terlibat. Sebab, sebelum pemberontakan, saya sudah pindah ke Medan. Tetapi Pemerintah menganggap saya mengetahui, bahkan ikut merancangnya. Saya ditangkap. Dipenjarakan 8 bulan di Medan bersama sejumlah tokoh yang dicurigai. Mula-mula kami diperlakukan secara kasar. Tidak boleh memasukkan barang dari luar. Setelah Pak Aruji Kartawinata, selaku Ketua DPR waktu itu, datang dan membentak kepala penjara, kami dipindahkan ke sel yang lebih baik. Juga diberi kebebasan untuk menerima barang dari luar. Di penjara saya membaca semua buku yang saya beli di negara-negara Arab --sewaktu menjadi anggota misi Republik Indonesia ke negara-negara itu pada 1949. Rasanya seperti sepuluh tahun kuliah di perguruan tinggi. Tahun 1954 saya diperiksa Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan tidak terbukti terlibat. Saya dan Syeh Marhaban, pegawai Jawatan Dalam Negeri Sumatera Utara, dibebaskan. Tapi harus menghadap Jaksa Agung Soeprapto di Jakarta. Berdua kami berangkat. "Ya, sudah. Saudara bebas," kata Jaksa Agung. Saya diperbolehkan lagi mengikuti kegiatan politik. Hanya, untuk sementara dilarang pulang ke Banda Aceh. Tugas saya sebagai Inspektur Kepala Jawatan Sosial dipindahkan ke Jakarta. Itu berlangsung sampai diangkat jadi Gubernur Aceh, 1957. Sewaktu di Jakarta, surat protes saya yang dulu dipelajari Menteri Dalam Negeri. Lalu saya dipanggil. Kebetulan orang-orang partai, termasuk PSI dan Masyumi, duduk dalam pemerintahan. Kalau Departemen Dalam Negeri merapatkan soal Aceh, Pak Aruji mengirim saya dan Pak Marhaban untuk ikut bicara. Dalam rapat-rapat itu saya selalu bilang, "Biar dikirim tentara sebanyak-banyaknya, biar sampai kiamat, Aceh tak akan aman. Kecuali kalau status Aceh dikembalikan menjadi provinsi." Tak bosan-bosannya saya bilang begitu, dalam setiap kesempatan. Sampai akhirnya Pemerintah mempercayainya. Dalam sebuah rapat di rumah Menteri Pekerjaan Umum di Kebayoran Baru pada akhir 1956, diambil keputusan untuk mengembalikan status Aceh sebagai provinsi. Hadir waktu itu menteri-menteri kabinet dan tokoh-tokoh partai. Keputusan itu berlaku 1 Januari 1957. Persoalannya kemudian adalah siapa yang bakal menjadi gubernurnya. Hari-hari selanjutnya muncul sejumlah nama calon. Saya termasuk salah satunya. Tetapi saya tak pernah berpikir untuk menjadi gubernur. Suatu siang, Menteri Dalam Negeri Pak Soenarjo mengundang saya makan. Saya kira diajak kendurian. Ternyata meleset. Tidak ada seorang pun di situ, selain Pak Narjo dan saya. Kami duduk berhadapan di meja makan. Bicara serius. Beliau berkata, "Kabinet menanyakan Saudara, apakah bersedia diangkat jadi Gubernur Aceh." Saya sama sekali tak pernah menduga akan memperoleh pertanyaan seperti itu. Setelah berpikir beberapa lama dan bertanya ini itu, saya jawab, "Bersedia tapi dengan satu syarat". Beliau bertanya, "Apa syaratnya?" Pendek saja saya jawab. "Kalau saya kembali ke Aceh sebagai gubernur, saya akan membawa air, bukan bensin." Pak Soenarjo tepekur, memandang saya beberapa lama. Beliau pasti sudah mengerti apa maksudnya. Saya tidak tahu apakah syarat saya diterima atau tidak. Sebab, Pak Narjo tidak menjawab syarat saya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa saya akan diangkat jadi gubernur: Selanjutnya kami ngobrol masalah-masalah lain, yang tidak ada kaitannya dengan soal gubernur, sambil makan. Saya pikir, dengan mengajukan syarat itu, saya tidak akan diangkat karena waktu itu Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, orang PNI, garang sekali. Dia bilang, kalau rakyat Aceh tidak menyerah, akan dibikin habis. Pertengahan bulan Desember 1956, saya melakukan perjalanan dinas ke Indonesia Bagian Timur. Antara lain ke Maluku, Sulawesi, dan Provinsi Irian Perjuangan. Waktu itu Irian Barat masih diperjuangkan. Makanya disebut Provinsi Irian Perjuangan. Dan sementara waktu ibu kotanya berkedudukan di Soasiu, Pulau Tidore, Maluku Utara. Tugas utama saya adalah membentuk Inspeksi Sosial Provinsi Irian Perjuangan, yang belum di tangan kita itu. Dari Jakarta mendarat di Makassar. Menginap beberapa hari. Lantas ke Ambon, ibu kota Maluku. Menginap lagi tiga hari, menunggu kapal laut yang ke Tidore. Selama itu, saya tidak pernah berpikir tentang jabatan gubernur. Nah, setelah ada kapal, saya berangkat ke Tidore bersama Kepala Kanwil Departemen Sosial Maluku. Lebih dulu saya pamit kepada Gubernur Maluku, Saudara Djosan. Di situlah saya dibuat heran. Gubernur memberi sambutan hangat dengan segala hormat. "Saudara Hasjmy diminta segera pulang ke Jakarta," kata Gubernur sambil menyalami. "Ah, Bapak nggak usah main-main," saya bilang. "Betul .... Ini ada surat dari Departemen Dalam Negeri," katanya. Dia memperlihatkan surat perintah itu beserta surat keputusan pengangkatan saya sebagai Gubernur Aceh. Tapi saya tetap bertekad melanjutkan perjalanan. Sebab, kalau benar diangkat jadi gubernur, inilah tugas terakhir saya di Departemen Sosial. "Tolong, izinkan dan beri tahu Menteri Dalam Negeri, saya tetap ke Tidore. Setelah itu baru saya pulang". Begitu saya bilang pada Pak Gubernur. Gerombolan Pengacau Keamanan JADILAH saya seorang gubernur. Dua kali berturut-turut. Jabatan pertama tahun 1957-1960. Kedua 1960-1964. Masa jabatan yang diwarnai pemberontakan. Meski Aceh telah menjadi provinsi, DI belum mau turun gunung. Tentu saja saya harus menyelesaikannya. Dengan perantaraan seorang penghubung, pelan-pelan saya mengontak DI, minta bertemu langsung dengan Daud Beureueh. Berhasil. Awal bulan Ramadan 1377 H (Mei 1957) -- enam bulan setelah menjabat gubernur -- saya dapat menjumpai Pak Daud Beureueh. Bertempat di Desa Lamteh, 7 kilometer di luar Kota Banda Aceh, di sebuah dataran tinggi deretan Bukit Barisan. Pokoknya, di deretan Bukit Barisan. Saya sendiri yang berangkat, dikawani Kepala Polisi Sumatera Utara/Aceh Pak Muhammad Isya dan Teungku Abdulwahab seorang pegawai tinggi di Kementerian Agama di Jakarta. Pak Abdulwahab sengaja saya minta datang dari Jakarta. Dengan sedan tua, bertiga kami dibawa oleh Teuku Bordansyah -- penghubung utama -- ke Lamteh. Masing-masing hanya membawa seorang ajudan. Tanpa senjata. Berangkat setelah buka puasa. Jalannya jelek sekali. Gelap. Kami dikawal satu kompi pasukan DI. Saya melihat betapa bagusnya organisasi mereka. Di tempat-tempat tertentu mereka menyediakan persinggahan untuk minum. Sebenarnya, ada jalan pintas. Tetapi mereka membawa kami lewat jalan biasa. Subuh baru sampai ke lokasi. Terlihat gubuk-gubuk. Gubuk terbesar berada di tengah-tengah. Itulah bangunan Dewan Agung DI, tempat pertemuan orang-orang penting mereka. Di depannya, ada dua bendera. Satu bendera DI, satu lagi bendera Republik. Haa... ini lucunya. Seakan-akan mereka sedang menyambut delegasi dari negara lain. Kami diterima oleh Perdana Menteri DI Hasan Ali dan sejumlah menteri di "gedung" Dewan Agung. Mereka juga punya juru foto. Sebentar-sebentar kami dipotret. Mereka juga punya rokok Dunhill, kain wol. Malamnya, baru kami bisa menemui Pak Daud Beureueh selaku wali negara. Pertemuan berlangsung di "istananya" -- juga gubuk. Hawa dingin sekali. Sekitar dua jam, kami bertemu. Saya jadi juru bicara. "Kami ini anak-anak Abu," begitu saya memanggilnya. "Kami datang berkunjung untuk melihat keadaan Abu. Kami sudah lama tak mendengar kabar Abu. Kami kemari juga untuk mohon restu Abu, karena kami telah diberi rakhmat oleh Allah swt. Saudara Syamaun Gaharu telah diangkat sebagai panglima, saya jadi gubernur, dan Saudara Isya jadi kepala polisi. Kami mohon Abu memberi nasihat. Apa yang harus kami kerjakan," begitu saya berbicara. Syamaun Gaharu adalah penguasa perang daerah Aceh, yang juga berusaha mengadakan pendekatan. Jawabannya adalah pidato selama satu jam lebih. Sebentar-sebentar mencerca Pemerintah Pusat. Yang paling banyak dihantam adalah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Semua jasa Aceh diungkit-ungkit lagi. Terakhir, beliau menasihati kami, "Sekarang kalian sudah jadi orang penting, punya jabatan. Pergunakanlah jabatan itu untuk membangun Aceh, agama, dan rakyat." Habis itu, pertemuan ditutup. Kami minta izin. Esoknya, kami tak bisa menjumpainya lagi. Tidak ada rapat-rapat lagi. Lusanya, kami pulang tanpa sempat bertemu dengan Pak Daud. Saudara Gaharu, yang saya beri tahu mengenai hasil pertemuan itu, menilai gagal. Dia marah-marah. Saya bilang, "Apanya yang gagal? Kita berhasil sekali. Simak perkataan Abu yang terakhir. Beliau percaya kepada kita. Itu kan penting. Jadi, bukan pidato yang menghantam Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Dia memang marah kepada mereka. Dan itu bukan soal kita. Dia mempercayai kita. Berarti kita bisa bekerja. Kita diberi kesempatan. Cuma, kalau tidak kita buktikan niat baik kita, tentu Pak Daud tidak senang". Kontak-kontak berikutnya terus dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemda, atau gabungan. Pertengahan Juli 1959, kami mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh-tokoh DI di Montasie. Daud Beureueh tidak ikut. Saya didampingi Wakil Staf Kodam I Iskandarmuda. Pembicaraan makan waktu tiga jam. Di sini, kami dapat mengetahui keinginan mereka: otonomi yang lebih luas -- terutama tentang bidang keagamaan -- pendidikan, dan peradatan. Aceh mendapat status "Daerah Istimewa Aceh". Puncaknya, kami berhasil menyelenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, Desember 1962, di Blang Pidie. Diikuti sekitar 800 peserta dari Aceh, Jakarta, Bandung, dan sebagainya. Sejumlah menteri pun datang. Aceh pun memperoleh tambahan julukan "Darussalam". Maka, lengkapnya "Daerah Istimewa Aceh Darussalam". Kendati tak bisa hadir, Pak Daud menyatakan dukungannya lewat serangkaian doa tertulis. Antara lain bunyinya begini: "Ya, Allah Tuhan Pengantur alam seluruhnya, perbaikilah akibat berkumpulnya kami di sini kesemuanya, dan lepaskanlah kami dari malapetaka yang menimpa." Awal 1963, Pak Daud turun gunung, kembali ke pangkuan Republik. Pengalaman DI/TII itu bisa dijadikan pengalaman untuk menangani apa yang secara resmi disebut sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh. Kita harus memahami masalah dan siapa pelakunya. Harus bijaksana. Karena gejolak itu terjadi di Aceh, ya, harus mengerti orang Aceh. Salah satu sebab munculnya gejolak itu adalah adanya kawasan industri LNG Arun dan Lhokseumawe. Sementara itu, rakyat Aceh sendiri belum siap menghadapinya dan belum mampu mengisi kebutuhan tenaga di situ. Lahir kesenjangan sosial antara pekerja pendatang dan penduduk Aceh. Memang ada faktor politis, kelanjutan DI/TII. Tapi, itu kecil sekali. Gejolak di Aceh adalah masalah rumit yang tidak mudah diatasi. Lebih sulit dibandingkan dengan menangani DI/TII. DI jelas siapa pemimpinnya. Ada organisasinya. Kita mudah menghubunginya untuk berunding. GPK terpencar-pencar, tidak jelas organisasinya, tidak ketahuan pemimpinnya. Dengan siapa kita bisa berhubungan bila ingin berunding? Maka, menurut saya, kita harus bijaksana. Bertindak tegas memang perlu. Tetapi, kalau mereka ingin kembali ke masyarakat, ya, harus diterima, jangan dihukum. Kita ajak mereka sama-sama membangun Aceh. Dan ... sebaiknya, sebelum mendirikan suatu proyek industri, adakan dahulu pendekatan pada rakyat. Ketika pabrik semen di Lhok Nga dibangun, para ulama turun ke tengah masyarakat untuk memberi penjelasan. Dan tidak ada gejolak. Ya, peranan ulama di Aceh memang masih besar. Mungkin karena Aceh ini dikenal sebagai daerah yang begitu ketat menjaga nilai-nilai Islam. Sudah beberapa kali Dinas Pekerjaan Umum meminta kami -- Majelis Ulama (MUI) Aceh -- datang ke daerah yang akan dilewati pembangunan jalan. Pejabat-pejabat baru juga menyempatkan diri datang ke MUI sebelum menjalankan tugasnya. MUI juga bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menyelesaikan masalah GPK. Bulan Juni 1990, saya memimpin satu tim dakwah -- terdiri dari delapan ulama -- ke Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. Cuma, saya minta kepada Gubernur dan pihak keamanan agar tidak mengirimkan pengawal. Kami tidak mau pergi kalau dikawal. Inilah dakwah kerukunan. Kami bicara di 47 lokasi paling rawan, tanpa sekali pun mengutuk GPK. Di setiap tempat, rakyat datang berbondong-bondong. Tapi, saya tidak tahu mana yang GPK dan bukan. Mungkin mereka hadir. Kami berkeliling selama sepuluh hari. Awal Desember 1990, orang-orang Bantaqiyah -- pasukan Jubah Putih yang pernah melakukan aksi kekerasan di Meulaboh -- mengunjungi MUI. Mereka dipimpin langsung oleh imamnya, Teungku Bantaqiyah. Mereka meminta supaya fatwa yang menyatakan bahwa ajaran mereka sesat dicabut. Fatwa itu kami keluarkan pada 1983, setelah menilai bahwa mereka menganut tarekat Wahdatul Wujjud -- memandang manusia sebagai Tuhan. Sejak itu, kejaksaan melarang Bantaqiyah. Tapi, setelah mereka turun gunung dan menjelaskan bahwa Bantaqiyah bukanlah penganut Wahdattul Wujjud, kami berjanji memperbaiki fatwa itu. Haa ... begitulah cara kami membantu memulihkan keamanan. Berdialog langsung. Mencari titik temu. Tapi, yang terpenting adalah meningkatkan pendidikan. Pada abad ke-16, Aceh merupakan gudang ilmu pengetahuan. Aceh menjadi lima besar negara Islam di dunia. Banyak sarjana Aceh berkaliber internasional. Ini menurut buku Islam in the Modern History -- karangan seorang Amerika. Banyak yang belajar ke sini, dari Malaysia dan berbagai kerajaan di Asia. Saya bercita-cita mengembalikan Aceh sebagai gudang ilmu pengetahuan, juga sebagai pusat budaya Islam. Saya ingin orang Aceh ini berpengaruh di negeri ini. Jadi menteri, pakar ilmu, dan sebagainya. Kalau mampu dan diterima rakyat Indonesia, saya ingin orang Aceh jadi presiden. Dan itu hak kita. Oleh sebab itu, harus pandai. Makanya, semasih menjabat gubernur, bersama beberapa kawan seperjuangan, saya banyak mencurahkan pikiran untuk membangun pusat-pusat pendidikan di seluruh Aceh. Kini telah terbentuk Kopelma -- Kota Pelajar dan Mahasiswa -- Darussalam di Banda Aceh seluas hampir 200 hektare. Ini merupakan pusat pendidikan yang di dalamnya mencakup SD, SMP, SMA, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan IAIN Ar-Raniry, lengkap dengan asrama mahasiswanya. Pada 1962-1964, saya duduk sebagai Ketua Dewan Kurator Unsyiah. Mengajar mata kuliah Sejarah, Kebudayaan Islam, Ilmu Dakwah, dan Publisistik. Pada 1963, menjabat Rektor IAIN ArRaniry. Dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) oleh IAIN ini pada 1976 dalam Ilmu Dakwah. Rektor Ar-Raniry pada 1977-1982. Sebagai pusat kebudayaan Islam, Aceh masih menyimpan sisa- sisanya. Sejak saya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh -- 1982 sampai sekarang --banyak orang luar negeri yang datang ke sini untuk belajar. Beberapa di antaranya ada yang masuk Islam. Seorang wartawan Australia, Harry Aveling, pernah tinggal di sini. Pada 1989, dia menyatakan diri masuk Islam. Saya yang menyaksikannya membaca Dua Kalimah Syahadat di Masjid Raya Baturrakhman, Banda Aceh. Hampir tiap minggu, ada saja yang menyatakan diri masuk Islam. Pernah pula seorang keturunan Cina, pedagang di Glodok, Jakarta, jauh-jauh ke Aceh hanya untuk menyatakan diri masuk Islam. Saya pula yang menyaksikannya. Itu satu bukti bahwa Aceh tetap dipandang sebagai daerah budaya Islam di Indonesia. Kalau pendidikan berjalan baik, insya Allah Aceh akan kembali menjadi gudang ilmu. Kepada orang DI, saya pernah bilang, saya tidak setuju Aceh mendirikan negara sendiri. Biarlah Aceh tetap menjadi bagian dari Republik ini. Kita jadikan Aceh paling maju, provinsi paling depan. Kalau perlu, jadi ibu kota. Itu bukan tidak mungkin, asalkan memenuhi syarat. Dulu, ketika Yogyakarta, Ibu Kota Republik, diduduki Belanda dan pemimpin-pemimpin kita ditangkap, Aceh pernah menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), sampai penyerahan kedaulatan 1949. Yayasan Ali Hasjmy SAYA sedang menunggu masa pensiun. Masih jadi Ketua MUI dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Enam anak saya, semuanya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di berbagai daerah. Ada yang di Jakarta, Tapaktuan -- Sumatera Utara -- Lhokseumawe. Bahkan di Tokyo. Di rumah, tinggal seorang anak perempuan. Itu pun sudah menikah dan punya anak. Sebenarnya, saya punya tujuh anak. Satu meninggal. Jumlah cucu 17 orang. Banyak, kan? Saya sudah tua. Mungkin tak lama lagi akan kembali ke pangkuan Allah swt. Rumah saya di Jalan Jenderal Sudirman, Banda Aceh, ini terasa terlalu besar. Maka, sebagian tanah -- kirakira 1.000 meter -- dari sekitar 3.000 meter, saya berikan kepada anak perempuan saya itu. Berikut rumah. Selama ini, saya tinggal berdua saja dengan istri saya. Menempati bangunan di atas tanah 2.000 m2, persis di samping rumah anak perempuan saya. Atas bantuan dana Pemerintah Daerah, saya merombak kediaman saya jadi kantor "Yayasan Ali Hasjmy". Total biaya Rp 150 juta. Diresmikan bulan Januari 1991, baru saja. Untuk direktur disediakan rumah, persis di belakang kantor. Selain mengelola perpustakaan umum, yayasan ini juga menyimpan benda-benda antik khas Aceh. Rencong, bari -- jenis keris tapi khas Aceh -- pending, keramik, dan sebagainya. Khusus buat perpustakaan, saya memiliki puluhan ribu koleksi buku, puluhan manuskrip (naskah lama). Sayang kalau disiasiakan. Untuk sementara, saya duduk sebagai direktur, sampai meninggal. Tinggal di rumah direktur. Punya kawan-kawan kerja, punya kegiatan. Dan setelah pensiun tidak akan kesepian.
Kreatif Saja Tidaklah Cukup
Senin, 04 Otober 2010
Seram dan bertampang preman. Mungkin itulah yang timbul di benak kita saat melihat pria ini. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya berhiaskan kaos berwarna abu-abu dan celana panjang hitam. Dibalik kesan seram dan kesederhanaannya, ternyata begitu banyak kreativitas, kesabaran dan kerendahan hati yang ditemukan di dalam dirinya.
Itulah Ikmal Gopi alias Bruce, seorang sutradara film dokumenter mengenai Radio Rimba Raya di Aceh yang akan segera tayang di tahun ini. Ide kreatif untuk membuat film ini sebenarnya telah muncul sejak ia melanjutkan pendidikan perfilman di Institut Kesenian Jakarta.Usai menyelesaikan pendidikannya di tahun 2006, Bruce mulai mewujudkan cita-citanya yang sempat tertunda itu.
Ide kreatif yang mulai berkembang dalam diri Bruce kini semakin matang. Riset demi riset dilakukannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Segala usaha dan kerja keras ia curahkan agar film ini kelak dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Masyarakat yang cenderung tidak tahu akan Radio Rimba Raya ini semakin mengobarkan semangat dalam dirinya untuk selalu berpikir kreatif. Menurutnya kreativitas sangat erat kaitannya dengan inisiatif. Tanpa adanya kemauan untuk melakukan sesuatu termasuk mencoba berpikir, niscaya kreativitas tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, sutradara yang menginjak usia 35 tahun ini selalu mau menggali informasi sebanyak mungkin, baik melalui buku, arsip nasional, internet maupun berbagai narasumber terkait. Ia pun tidak langsung menerima data itu secara mentah-mentah, tetapi selalu mau untuk menguji kebenaran dari setiap data yang didapatkan.
Di sela-sela perjuangan dan semangatnya untuk mencapai cita-cita, Bruce sering kali mengalami hambatan dan tantangan, ini bak sebuah kerikil yang menghalangi perjalanannya. Pro dan kontra saling berdatangan saat ia memutuskan untuk tetap membuat film dokumenter. Belum lagi kondisi di lapangan yang di luar dari harapannya, membuat Bruce harus pergi ke Yogyakarta, Padang dan Banda Aceh untuk melakukan pengambilan gambar guna memperkuat data film yang ditanganinya. Tak cukup sampai di situ, sulitnya narasumber untuk ditemui mengharuskannya untuk menunggu selama 6 bulan untuk mendapatkan data yang akurat. Semua ini Bruce jalani dengan penuh rasa sabar, ketekunan dan pikiran yang positif. Menurutnya kreativitas bukanlah sekedar daya cipta atau daya khayal seseorang untuk menciptakan karya yang bermanfaat bagi sesama. Kreativitas itu sendiri harus selalu berjalan beriringan dengan kesabaran, ketekunan dan kerendahan hati. Kreativitas yang didampingi dengan emosi dan ambisi hanya berujung pada kegagalan yang merugikan diri sendiri dan sesama.
Sebagai putra asli Aceh, Bruce berharap agar film ini memberi manfaat bagi banyak orang. Keinginannya ini bukanlah tanpa alasan, melalui filmnya yang berdurasi sekitar 80 menit terkandung harapan Bruce agar warga Indonesia tidak melupakan peran besar Radio Rimba Raya sebagai stasiun radio pada masa revolusi fisik yang menyampaikan berita hingga ke luar negeri termasuk benua Eropa. (rimbarayaaceh.blogspot.com). Selain itu, ia juga berpesan agar kita selalu mengingat sejarah sebagai sesuatu yang berharga, yakni suatu bekal untuk kehidupan di masa depan agar lebih baik lagi. Bruce tidak menginginkan penghargaan dan pujian atas kreativitasnya, ia hanya rindu merasakan kepuasan tiada terkira ketika melihat karyanya membuat orang lain bahagia.
Wawancara langsung dengan Ikmal Gopi alias Bruce
Penulis linda Yani Mahasiswi Tarumanegara- Jakarta
Selasa, 05 Oktober 2010
Mengapa Perlu ada Pengakuan Tertulis Belanda
Kendati sudah 65 tahun merdeka, Indonesia merasa berkepentingan untuk mendapat pengakuan tertulis dari Belanda. Penerimaan dari Belanda itu akan tercantum dalam Perjanjian Kemitraan Komprehensif yang akan diresmikan kedua pemerintah di tengah lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-7 Oktober 2010.
Demikian ungkap juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, dalam wawancara dengan Radio Nederland siaran Indonesia, yang disiarkan Senin 4 Oktober 2010. Menurut Faizasyah pengakuan tertulis ini tidak hanya penting bagi Indonesia, namun juga bagi Belanda.
"Ini penting bagi kedua negara, karena bagi Indonesia dan Belanda tidak ada lagi keragu-raguan atas sisi sejarah kedua negara. Dalam melihat masa lalu, kita bisa berangkat dari starting point yang sama," kata Faizasyah, yang juga merangkap sebagai juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri.
Menurut dia, memang secara de facto sudah ada pengakuan dari Belanda dengan hadirnya Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot, pada peringatan 17 Agustus di Jakarta lima tahun lalu. "Namun dalam konteks tertulis, dokumen [kemitraan komprehensif] ini bisa merepresentasikan adanya pengakuan bahwa penerimaan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dapat diterima secara moral dan politik oleh pihak Belanda," kata Faizasyah.
Dengan pengakuan baik secara de facto maupun secara tertulis, maka tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak. "Kita bisa menatap hubungan ke depan tanpa perlu direcoki oleh perbedaan persepsi di masa lalu," kata Faizasyah.
Sebelumnya, kepada Radio Netherland pihak Kementrian Luar Negeri Belanda menegaskan bahwa pemerintahnya sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, sehingga mereka tidak bisa mengakui dua kali.
Namun, menurut Faizasyah, dokumen nanti sifatnya lebih menerima suatu realitas sejarah bahwa Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan kemerdekaan. Maka ada baiknya bila penerimaan itu dikonkritkan melalui "hitam di atas putih" sehingga tidak ada keraguan lagi dari kedua pihak bahwa hal-hal yang masih menjadi ganjalan bagi hubungan kedua pihak sudah bisa diselesaikan secara bermartabat.
Dia menilai masih banyak pelaku sejarah dari kedua negara yang memiliki persepsi masing-masing atas kemerdekaan Indonesia dan bagaimana sudut pandang Belanda atas kemerdekaan itu.
Demikian ungkap juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, dalam wawancara dengan Radio Nederland siaran Indonesia, yang disiarkan Senin 4 Oktober 2010. Menurut Faizasyah pengakuan tertulis ini tidak hanya penting bagi Indonesia, namun juga bagi Belanda.
"Ini penting bagi kedua negara, karena bagi Indonesia dan Belanda tidak ada lagi keragu-raguan atas sisi sejarah kedua negara. Dalam melihat masa lalu, kita bisa berangkat dari starting point yang sama," kata Faizasyah, yang juga merangkap sebagai juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri.
Menurut dia, memang secara de facto sudah ada pengakuan dari Belanda dengan hadirnya Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot, pada peringatan 17 Agustus di Jakarta lima tahun lalu. "Namun dalam konteks tertulis, dokumen [kemitraan komprehensif] ini bisa merepresentasikan adanya pengakuan bahwa penerimaan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dapat diterima secara moral dan politik oleh pihak Belanda," kata Faizasyah.
Dengan pengakuan baik secara de facto maupun secara tertulis, maka tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak. "Kita bisa menatap hubungan ke depan tanpa perlu direcoki oleh perbedaan persepsi di masa lalu," kata Faizasyah.
Sebelumnya, kepada Radio Netherland pihak Kementrian Luar Negeri Belanda menegaskan bahwa pemerintahnya sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, sehingga mereka tidak bisa mengakui dua kali.
Namun, menurut Faizasyah, dokumen nanti sifatnya lebih menerima suatu realitas sejarah bahwa Indonesia pada tahun 1945 memproklamasikan kemerdekaan. Maka ada baiknya bila penerimaan itu dikonkritkan melalui "hitam di atas putih" sehingga tidak ada keraguan lagi dari kedua pihak bahwa hal-hal yang masih menjadi ganjalan bagi hubungan kedua pihak sudah bisa diselesaikan secara bermartabat.
Dia menilai masih banyak pelaku sejarah dari kedua negara yang memiliki persepsi masing-masing atas kemerdekaan Indonesia dan bagaimana sudut pandang Belanda atas kemerdekaan itu.
Selasa, 21 September 2010
Inilah orang yang menyumbang emas tugu MONAS
Ternyata 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam , salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.
Orang-Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama. Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Siapakah Teuku Markam ??
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain. Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.
Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari.
Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.
Proyek Bank Dunia
Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam "dianggap" angin lalu.
Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.
Orang-Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama. Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir. Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Siapakah Teuku Markam ??
Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain. Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.
Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari.
Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.
Proyek Bank Dunia
Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam "dianggap" angin lalu.
Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.
Kamis, 16 September 2010
2 Nama Presiden Yang Tidak Tercatat Sejarah Indonesia
Nama yang terlupakan itu adalah Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Selain Sjafruddin, presiden yang tak tercatat itu adalah Mr Assaat yang memangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja,” kata pengamat sejarah Muchlis Muchtar di Padang, Sumatera Barat, Rabu (2/9).
Muchlis menjelaskan, Sjafruddin pernah menjabat sebagai Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim pada PDRI yang dibentuk untuk menyelamatkan pemerintahan RI. Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresi militer ke-2 pada 19 Desember 1948 di Ibukota RI yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Belanda pun menahan Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno-Hatta.
Di sela-sela penangkapan itu, Soekarno mengirim telegram kepada Sjafruddin yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI dan tengah berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Kepada Sjafruddin, Soekarno meminta agar dibentuk pemerintahan darurat di Sumatera jika pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi.
Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatra kemudian membentuk PDRI untuk menyelamatkan negara yang berada dalam keadaan berbahaya akibat kekosongan posisi kepala pemerintahan. Padahal, posisi itu menjadi salah satu syarat internasional untuk diakui sebagai negara. PDRI pun diproklamirkan 22 Desember 1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh.
Jabatan Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim yang diisi Sjafruddin kemudian berakhir setelah dia menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno yang kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Riwayat PDRI pun berakhir.
Sementara itu, Mr Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950. Jabatan itu diamanatkan kepada Mr Assaat, setelah perjanjian KMB 27 Desember 1949 memerintahkan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepasa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS merupakan negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia (RI) yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad. Jabatan itu diisi Mr Assaat karena Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS dan pimpinan RI kosong.
Menurut Muchlis, peran Mr Assaat saat penting karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia. Jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI.
RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 15 Agustus 1950. Soekarno dan Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sementara jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI dinyatakan berakhir.
Minggu, 22 Agustus 2010
Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta
TANGGAL 22 JUNI tahun ini, kota Jakarta genap berusia 483 tahun atau 322 tahun lebih muda dari kota Banda Aceh (805 tahun). Ibukota Negara Indonesia itu didirikan seorang putra Aceh bernama Fatahillah. Ternyata, kontribusi Aceh untuk RI bukan hanya menyumbangkan dua pesawat tertang sebagai modal awal Indonesa ketika baru merdeka, atau bahasa pasee yang dijadikan linguafrangka, tapi juga mendirikan ibukota Negara ini. Nama Indonesia “masih ada” pada dunia internasional juga disuarakan lewat suara Radio Rimba Raya. Saat itu Indonesia sudah dikop kembali oleh Belanda dalam agresi ke II. Belum lagi putra Aceh, Markam menyumbang 27 kilogram emas di atas puncak Monas yang kini jadi kebanggaan kota Jakarta. Atau juga Aceh telah menyumbangkan hasil gas alamnya selama puluhan tahun untuk pusat—yang dikembalikan ke Aceh hanya nol persen meskipun sudah ada UU bagi hasil.
Dalam banyak referensi, kota Jakarta didirikan pertama sekali oleh Ahmad Fatahillah, putra Aceh asal kerajaan Pasai (Aceh Utara) yang hijrah ke tanah Jawa pada awal abad ke 15 M. Kedatangannya ke Jawa ketika itu disambut oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Atas dukungan Sultan Demak Ahmad Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis. Penyerangan Fatahillah ke Pajajaran memperoleh dua kemenangan sekaligus, selaian berhasil merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Pajajaran juga berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa daerah taklukannya. Atas kemenangan inilah pada tahun 1527 M. Fatahillah diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak. Dalam tahun itu pula tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama “Jayakarta” yang kemudian disingkat menjadi “Jakarta” mengandung makna “kota kemenangan”.
Itu sejarah awal berdirinya kota Jakarta. Ironinya dalam perjalanannya, peran Fatahillah sepertinya digelapkan. Memang “Fatahillah” ada diabadikan dengan memberi nama pada sebuah Museum di Jakarta (Meseum Fatahillah) atau Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Tapi bila kita perhatikan dengan menggunakan nalar sejarah kritis, apa yang dipamerkan pada Museum Fatahillah ini seperti ada periode sejarah yang terpenggal. Artinya sejarah Jakarta yang diinformasikan dan dipamerkan , hanya informasi masa pra sejarah hingga hingga masa kolonial. Tidak kita temukan periode sejarah “Jayakarta” semasa Fatahillah. Periode sejarah Fatahillah dihilangkan. Terlihat dilompatkan dari zaman pra sejarah, zaman Hindu-Buhda, langsung ke zaman Batavia di bawah Kolonial Belanda. Perubahan perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia pada 14 Maret 1621 ketika itu Belanda berhasil menguasai Bandar Jayakarta nama yang diberikan oleh Fatahillah 22 Juni 1527.
Penamaan Batavia oleh Belanda untuk mengganti nama Jayakarta adalah untuk mengenang suku Batavir sebuah suku tertua di Belanda yang terdapat di lembah sungai Rhein yang dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Di sini jelas, antara penamaan Jayakarta yang diberikan Fatahillah pada Sunda Kelapa 22 Juni 1527 dengan dengan pergantian nama Batavia oleh Belanda untuk Jayakarta 14 Maret1621, berarti selama satu abat sejarah Jakarta dipenggal ceritanya dari sejarah Fatahillah. Hilangnya satu babak periodesasi informasi sejarah Fatahillah di Museum Sejarah Jakarta itu, berarti sekaligus menghilangkan informasi sejarah peranan Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Kita tidak tahu, apakah ini sengaja dihilangkan karena yang mendirikan kota Jakarta itu, orang Aceh?
Sejarah negeri ini memang menafikan peran Aceh. Hampir tidak ada peninggalan artifak dan manuskrip lain yang dipamerkan di Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Maka naïf jika sekarang Jakarta dengan segala kegemerlapannya mengabaikan pendirinya. Tampaknya para penulis sejarah Jawa seperti enggan memunculkan tokoh yang satu ini. Fatahillah, ulama juga panglima perang dari Pasai Aceh tidak begitu mononjol sejarah nasional. Seperti halnya Maulana Malik Ibrahim dan Malik Ishak (dua ulama Aceh) yang paling awal menyebarkan Islam di tanah Jawa juga tidak terangkat ke permukaan. Makam Maulana Malik Ibrahim sampai sakarang masih terdapat digersik Jawa Timur, yang batu nisannya diduga persis dan seusia dengan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai Aceh.
Fatahillah begitu ditakuti lawan, sehingga memiliki banyak nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah ini dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “orang agung dari Pase”. Dalam fersi yang lain orang Portugis juga menamai Fatahillah dengan “Fatahillah Khan”. Masyarakat Jawa pada umumnya semasa hidup Falatehan memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealimannya dan ketokohannya dalam masyarakat jawa. Dalam banyak fersi juga disebutkan sebenarnya yang dimaksud Sunan Gunung Jati dalam Sembilan Wali Songo di Jawa salah satunya adalah Fatahillah. Dan nama Sunan Gunung Jati sendiri identik dengan Syarif Hidayatullah yang diabadikan pada nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sekarang ini. Berarti menurut fersi ini secara keulamaan Fatahillah menyandang dua nama lain yang ditabalkan kepadanya, yaitu Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah.
Masih banyak sejarah yang dikubur, termasuk riwayat perkawinan Fatahillah sebagai menantu dari Sunan Gunung Jati, karena Fatahillah dikawinkan oleh Sultan Demak dengan keponakannya anak dari sunan Gunung Jati. Sehingga jika ada pendapat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, suatu yang lemah. Karena bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya seperti dalam Babat Caruban (diubah Babat Cerebon: 1720 M), Saifufuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), dan H.M. Zainuddin dalam Tariehk Aceh dan Nusantara (1961) menyebutkan yang dimaksud Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Fatahillah seorang ulama dari Pasai (Aceh) yang hijrah ke tanah Jawa, yang kemudian berhasil merebut Bandar Sunda Kepala dari Kerajaan Pajajaran dan Portugis, lalu menamainya Sunda Kelapa ini dengan nama Jayakarta sebagai cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini.
Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh
Dalam banyak referensi, kota Jakarta didirikan pertama sekali oleh Ahmad Fatahillah, putra Aceh asal kerajaan Pasai (Aceh Utara) yang hijrah ke tanah Jawa pada awal abad ke 15 M. Kedatangannya ke Jawa ketika itu disambut oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Atas dukungan Sultan Demak Ahmad Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis. Penyerangan Fatahillah ke Pajajaran memperoleh dua kemenangan sekaligus, selaian berhasil merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Pajajaran juga berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa daerah taklukannya. Atas kemenangan inilah pada tahun 1527 M. Fatahillah diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak. Dalam tahun itu pula tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama “Jayakarta” yang kemudian disingkat menjadi “Jakarta” mengandung makna “kota kemenangan”.
Itu sejarah awal berdirinya kota Jakarta. Ironinya dalam perjalanannya, peran Fatahillah sepertinya digelapkan. Memang “Fatahillah” ada diabadikan dengan memberi nama pada sebuah Museum di Jakarta (Meseum Fatahillah) atau Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Tapi bila kita perhatikan dengan menggunakan nalar sejarah kritis, apa yang dipamerkan pada Museum Fatahillah ini seperti ada periode sejarah yang terpenggal. Artinya sejarah Jakarta yang diinformasikan dan dipamerkan , hanya informasi masa pra sejarah hingga hingga masa kolonial. Tidak kita temukan periode sejarah “Jayakarta” semasa Fatahillah. Periode sejarah Fatahillah dihilangkan. Terlihat dilompatkan dari zaman pra sejarah, zaman Hindu-Buhda, langsung ke zaman Batavia di bawah Kolonial Belanda. Perubahan perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia pada 14 Maret 1621 ketika itu Belanda berhasil menguasai Bandar Jayakarta nama yang diberikan oleh Fatahillah 22 Juni 1527.
Penamaan Batavia oleh Belanda untuk mengganti nama Jayakarta adalah untuk mengenang suku Batavir sebuah suku tertua di Belanda yang terdapat di lembah sungai Rhein yang dianggap sebagai leluhur orang Belanda. Di sini jelas, antara penamaan Jayakarta yang diberikan Fatahillah pada Sunda Kelapa 22 Juni 1527 dengan dengan pergantian nama Batavia oleh Belanda untuk Jayakarta 14 Maret1621, berarti selama satu abat sejarah Jakarta dipenggal ceritanya dari sejarah Fatahillah. Hilangnya satu babak periodesasi informasi sejarah Fatahillah di Museum Sejarah Jakarta itu, berarti sekaligus menghilangkan informasi sejarah peranan Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Kita tidak tahu, apakah ini sengaja dihilangkan karena yang mendirikan kota Jakarta itu, orang Aceh?
Sejarah negeri ini memang menafikan peran Aceh. Hampir tidak ada peninggalan artifak dan manuskrip lain yang dipamerkan di Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Maka naïf jika sekarang Jakarta dengan segala kegemerlapannya mengabaikan pendirinya. Tampaknya para penulis sejarah Jawa seperti enggan memunculkan tokoh yang satu ini. Fatahillah, ulama juga panglima perang dari Pasai Aceh tidak begitu mononjol sejarah nasional. Seperti halnya Maulana Malik Ibrahim dan Malik Ishak (dua ulama Aceh) yang paling awal menyebarkan Islam di tanah Jawa juga tidak terangkat ke permukaan. Makam Maulana Malik Ibrahim sampai sakarang masih terdapat digersik Jawa Timur, yang batu nisannya diduga persis dan seusia dengan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai Aceh.
Fatahillah begitu ditakuti lawan, sehingga memiliki banyak nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah ini dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “orang agung dari Pase”. Dalam fersi yang lain orang Portugis juga menamai Fatahillah dengan “Fatahillah Khan”. Masyarakat Jawa pada umumnya semasa hidup Falatehan memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealimannya dan ketokohannya dalam masyarakat jawa. Dalam banyak fersi juga disebutkan sebenarnya yang dimaksud Sunan Gunung Jati dalam Sembilan Wali Songo di Jawa salah satunya adalah Fatahillah. Dan nama Sunan Gunung Jati sendiri identik dengan Syarif Hidayatullah yang diabadikan pada nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sekarang ini. Berarti menurut fersi ini secara keulamaan Fatahillah menyandang dua nama lain yang ditabalkan kepadanya, yaitu Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah.
Masih banyak sejarah yang dikubur, termasuk riwayat perkawinan Fatahillah sebagai menantu dari Sunan Gunung Jati, karena Fatahillah dikawinkan oleh Sultan Demak dengan keponakannya anak dari sunan Gunung Jati. Sehingga jika ada pendapat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, suatu yang lemah. Karena bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya seperti dalam Babat Caruban (diubah Babat Cerebon: 1720 M), Saifufuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), dan H.M. Zainuddin dalam Tariehk Aceh dan Nusantara (1961) menyebutkan yang dimaksud Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Fatahillah seorang ulama dari Pasai (Aceh) yang hijrah ke tanah Jawa, yang kemudian berhasil merebut Bandar Sunda Kepala dari Kerajaan Pajajaran dan Portugis, lalu menamainya Sunda Kelapa ini dengan nama Jayakarta sebagai cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini.
Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh
Selasa, 15 Juni 2010
Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih Ada. Dan di Sini Aceh’
“Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.
Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Dibantu Desertir Sekutu
Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.
Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.
Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.
Jasa Mayor John Lie
Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).
Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.
Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.
Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.
Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.
Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.
John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.
Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.
Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.
Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.
Hanya Sebatas Monumen
Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.
Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.
[HA/Iskandar Norman]
Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.
Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Dibantu Desertir Sekutu
Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa asing.
Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.
Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan Madras.
Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi. Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.
Jasa Mayor John Lie
Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli 1947).
Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio Rimba Raya.
Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol Belanda di Selat Malaka.
Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah diserang patroli Belanda.
Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.
Radio Rimba Raya itu juga sempat dimanfaatkan oleh Komandan Tri Divisi X, Kolonel T. Hoesin Joesoef, sebagai pemancar siaran umum sebelum diangkut ke Aceh Tengah. Menurut beberapa tokoh pejuang kemerdekaan lainnya di Aceh, seperti yang diungkapkan, Teuku Ali Basjah Talsya, peranan Radio Rimba Raya sangat besar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan di tanah air.
Hingga tahun 1950, Radio Rimba Raya masih mengundara. Radio Rimba Raya selain menyampaikan berita kemerdekaan, RRI Banda Aceh juga berperan penting dalam berbagai pemberitaan dan menyiarkan radiogram kepada wakil pemerintah di luar negeri.
John Lie yang memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia yang kemudian berganti nama menjadi Jahya Daniel Darma memulai karirnya sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda.
Ketika bergabung dengan Angkatan Laut RI, John Lie masih berpangkat Kapten, ia ditugaskan di Cilacap. Karena berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi sekutu, pangkat John Lie kemudian dinaikkan menjadi mayor.
Di awal 1950, John Lie yang berada di Bangkok dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Laksamana Subiyakto. Ia ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Di masa berikutnya, John juga aktif dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS di Maluku serta PRRI/Permesta.
Hingga pensiun, John Lie terdaftar sebagai purnawirawan perwira tinggi Angkatan Laut Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, John Lie menetap selama 14 tahun di Singapura, namun kemudian kembali lagi ke Indonesia.
Hanya Sebatas Monumen
Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya yang tak terurus.
Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya. Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.
[HA/Iskandar Norman]
Senin, 07 Juni 2010
Radio Rimba Raya, membantah provokasi
Radio Rimba Raya
permisi agan-agan semua, ane cuma mau ngasih inpoh ni..maap klo
langsung aja gan...
Radio Rimba Raya (Desember 1948 - ... 1949) adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara Republik Indonesia Divisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Itulah berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.
Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?
Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.
Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.
“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.
Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.
Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.
Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.
Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.
Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.
Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.
Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.
Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.
Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio.”
Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.
Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.
Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.
Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.
Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”
Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.
Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.
Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi.
permisi agan-agan semua, ane cuma mau ngasih inpoh ni..maap klo
langsung aja gan...
Radio Rimba Raya (Desember 1948 - ... 1949) adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara Republik Indonesia Divisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Itulah berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.
Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?
Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.
Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.
“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.
Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.
Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.
Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.
Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.
Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.
Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.
Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.
Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.
Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio.”
Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.
Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.
Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.
Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.
Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”
Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.
Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.
Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi.
Minggu, 06 Juni 2010
Jejak Perlawanan Aceh
Aceh dijuluki Serambi Mekkah, merupakan sebuah wilayah kaya raya. Membaca riwayat sejarah Aceh tidak akan lepas dari potret perjalanan panjang sebuah suku bangsa yang penuh dengan air mata dan bersimbah darah. Militansi yang didasari semangat jihad fi sabililillah dalam menentang penjajahan dan ketidakadilan membuat perlawanan rakyat Aceh tidak pernah bisa dilumpuhkan. dalam waktu singkat.
Kerajaan Aceh Darussalam dibangun Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 M yang merupakan penyatuan beberapa kerajaan kecil di aceh dan pesisir timur Sumatra seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara).
Sejak awal berdiri dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah hingga di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, konflik dan perjuangan bersenjata melawan kolonialisme bangsa Eropa baik portugis maupun Belanda terus berkobar. Terlebih sejak abad ke 19, dibukanya terusan Suez makin membuat posisi kerajaan aceh dan selat Malaka menjadi lalulintas perdagangan sangat strategis dimata bangsa eropa sehingga hasrat menguasai daerah itu begitu besar.
Perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Dari perlawanan yang dipelopori oleh Kasultanan sampai dilanjutkan dengan kaum ulama dan ullebalang yang menjadi motor pergerakan. Tersebut tokoh seperti Teuku Umar, Tgk. Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia menjadi martir kemerdekaan.
Memasuki paruh abad ke-20, ketika Jepang menduduki Aceh, perlawanan juga tidak pernah surut. Diberbagai tempat perlawanan terus berlanjut melihat tindakan kesewenanwenangan jepang sampai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia . Salah satunya yang diperingati dengan adanya tugu Cot Plieng di pidie.
Periode awal revolusi fisik sampai masa akhir pemerintah Presiden Sukarno, hubungan aceh dan pemerintah pusat mengalami pasang surut. Tapi yang tak bisa dipungkiri, peran Aceh bagi pemerintah republic tidak kecil. Dengan bantuan financial dari masyrakat aceh, Indonesia bisa membeli pesawat Seulawah yang menjadi komoditi perjuangan dan penghasil pendapatan utk perjuangan.
Kekecewaan dan diingkarinya janji oleh pemerintah pusat membuat masyarakat aceh meradang dan Tgk Daud Beureuh mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah pusat dan menyokong Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia . Konflik bisa diakhiri dengan digelarnya musyawarah kerukunan masyarakat aceh dimana Daud Beureuh mau turun gunung dan kembali ke pangkuan RI. Dimana pemerintah pusat memberikan konsesi untuk mastarakat aceh sebagai Daerah Istimewa Aceh.
Pada periode orde baru, penekanan pembangunan lebih banyak terpusat di jawa dan luar jawa tidak memperoleh porsi yang besar, memunculkan persoalan baru lagi di aceh. Ketika Hasan Tiro memproklamasikan bentuk perlawanan terhadap pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang didirikan di gunung halimun 1976.
Pemerintahan pusat yang bersifat militeristik saat itu menjawab ketidakpuasan masyrakat aceh itu dengan mengelar operasi penumpasan GAM dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM) yang sangat menyakitkan hati masyarakt aceh pada umumnya dan merendahkan derajat suku bangas aceh. Tak terhitung berapa jumlah korban tewas pada masa-masa itu.
Berbagai upaya perdamaian terhadap kedua kubu yang bertikai terus digalakan dengan beragam mediator netral. Namun semuanya belum mencapai kata sepakat. Akhirnya, tahun 2004 bencana tsunami menerjang aceh dan meluluhlantakan kota . Peristiwa ini menjadi pendorong bagi kelompok yang bertikai antara GAM dan pemerintah pusat untuk saling intropeksi diri dan menggalakan perundingan demi tercapainya kedamaian yang abadi di bumi rencong.
Kerajaan Aceh Darussalam dibangun Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 M yang merupakan penyatuan beberapa kerajaan kecil di aceh dan pesisir timur Sumatra seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara).
Sejak awal berdiri dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah hingga di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, konflik dan perjuangan bersenjata melawan kolonialisme bangsa Eropa baik portugis maupun Belanda terus berkobar. Terlebih sejak abad ke 19, dibukanya terusan Suez makin membuat posisi kerajaan aceh dan selat Malaka menjadi lalulintas perdagangan sangat strategis dimata bangsa eropa sehingga hasrat menguasai daerah itu begitu besar.
Perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Dari perlawanan yang dipelopori oleh Kasultanan sampai dilanjutkan dengan kaum ulama dan ullebalang yang menjadi motor pergerakan. Tersebut tokoh seperti Teuku Umar, Tgk. Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia menjadi martir kemerdekaan.
Memasuki paruh abad ke-20, ketika Jepang menduduki Aceh, perlawanan juga tidak pernah surut. Diberbagai tempat perlawanan terus berlanjut melihat tindakan kesewenanwenangan jepang sampai pada proklamasi kemerdekaan Indonesia . Salah satunya yang diperingati dengan adanya tugu Cot Plieng di pidie.
Periode awal revolusi fisik sampai masa akhir pemerintah Presiden Sukarno, hubungan aceh dan pemerintah pusat mengalami pasang surut. Tapi yang tak bisa dipungkiri, peran Aceh bagi pemerintah republic tidak kecil. Dengan bantuan financial dari masyrakat aceh, Indonesia bisa membeli pesawat Seulawah yang menjadi komoditi perjuangan dan penghasil pendapatan utk perjuangan.
Kekecewaan dan diingkarinya janji oleh pemerintah pusat membuat masyarakat aceh meradang dan Tgk Daud Beureuh mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah pusat dan menyokong Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia . Konflik bisa diakhiri dengan digelarnya musyawarah kerukunan masyarakat aceh dimana Daud Beureuh mau turun gunung dan kembali ke pangkuan RI. Dimana pemerintah pusat memberikan konsesi untuk mastarakat aceh sebagai Daerah Istimewa Aceh.
Pada periode orde baru, penekanan pembangunan lebih banyak terpusat di jawa dan luar jawa tidak memperoleh porsi yang besar, memunculkan persoalan baru lagi di aceh. Ketika Hasan Tiro memproklamasikan bentuk perlawanan terhadap pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang didirikan di gunung halimun 1976.
Pemerintahan pusat yang bersifat militeristik saat itu menjawab ketidakpuasan masyrakat aceh itu dengan mengelar operasi penumpasan GAM dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM) yang sangat menyakitkan hati masyarakt aceh pada umumnya dan merendahkan derajat suku bangas aceh. Tak terhitung berapa jumlah korban tewas pada masa-masa itu.
Berbagai upaya perdamaian terhadap kedua kubu yang bertikai terus digalakan dengan beragam mediator netral. Namun semuanya belum mencapai kata sepakat. Akhirnya, tahun 2004 bencana tsunami menerjang aceh dan meluluhlantakan kota . Peristiwa ini menjadi pendorong bagi kelompok yang bertikai antara GAM dan pemerintah pusat untuk saling intropeksi diri dan menggalakan perundingan demi tercapainya kedamaian yang abadi di bumi rencong.
Kamis, 27 Mei 2010
60 Tahun Ikut Indonesia
Raden Ajeng Kartini di Jepara jangan-jangan tak mengenal Cut Nyak Dien
sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle
Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang
dialami perempuan Jawa.
Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit
berbalas. Sebab, saat putri ningrat itu baru menikmati dihapusnya tradisi
pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan
Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah
dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.
Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke
perempuan-perempuan Aceh seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda. Padahal,
Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama orang-orang
Aceh melawan Portugis di Malaka (1513).
Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai
tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta,
sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati
memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada
1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini
berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.
Lalu di masa Indonesia 'modern' tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang
meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden. Sementara di
Aceh abad ke-17, Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Nur Alam
Nakiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Kumala Syah. Itu belum termasuk 16
perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen)
antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut
kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR.
Tokoh Aceh legendaris lainnya, seperti Daud Beureueh juga digambarkan
tak kalah buruknya di buku-buku pelajaran sekolah di masa Orde Baru. Abu
Beureueh disosokkan sebagai pemberontak yang layak ditumpas tanpa diajarkan
mengapa dia memilih angkat senjata melawan negaranya sendiri. Negara yang
justru ikut diperjuangkannya selama masa pendudukan Belanda.
Murid-murid sekolah di Indonesia juga tak pernah diajarkan bahwa Radio
Rimba Raya yang mengudara secara gerilya di Aceh Tengah sangat berjasa saat
RRI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949.
Sebaliknya, fakta bahwa banyak anak bangsa yang mendukung penjajahan
Belanda, justru tak pernah diungkap. Di dinding Kerkhof di Banda Aceh,
tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila
diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang
bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Sebab
ada juga nama Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.
Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang
dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri
dari orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran
sekolah, pemerintah rupanya sengaja menyembunyikan fakta bahwa 82 persen
tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri!
Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang
terkenal kejam di Aceh. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada
murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi
bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.
Kejujuran memang menyakitkan (dan memalukan). Apalagi bila generasi
muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000
orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa! Disusul orang Belanda
sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).
Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim pada 1873, Kohler membawa
11.566 prajurit Eropa dan 15.128 prajurit pribumi. Orang Aceh sendiri nyaris
absen dalam barisan prajurit pribumi dan memilih mengundurkan diri hingga ke
tanah Gayo dan Alas daripada bekerja untuk kompeni.
Karena itu, ketika KTP Merah Putih diberlakukan sejak darurat militer
hingga kini, dan orang Aceh dipaksa mengikuti upacara-upacara, menyanyikan
lagu Indonesia Raya, atau mengikuti ikrar kesetiaan NKRI, sesungguhnya bak
itik mengajari burung terbang.
Apalagi, 'nasionalisme' sudah lama bangkrut di Jakarta. Sejak menjadi
presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto
memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Sepertinya tak ada yang lebih
nasionalis dan cinta NKRI dibanding dirinya. Tapi setelah lengser, upacara
17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu
mengundang mantan presiden dan keluarganya. Kemungkinan terbesar karena
gengsi. Gengsi karena sudah tidak menjabat lagi.
Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001,
alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah
menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu
Garuda Pancasila dipelesetkan.
Pancasila dasarnya apa...
Rakyat adil makmurnya kapan...
Pribadi bangsaku.
Enggak maju... maju
Enggak maju... maju
Enggak maju, maju....
Padahal, aktivis Kontras, Ori Rahman, sempat digebuki anggota Pemuda
Panca Marga gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya. Ori sedang diuji rasa
'nasionalismenya' melalui sebuah lagu, hanya karena dia menentang kebijakan
darurat militer di Aceh.
BJ Habibie lebih 'parah' lagi. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di
jejeran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak
mau tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa. Seperti ada
pesan: saya hanya mau tinggal di Indonesia bila menjadi presiden, atau
setidaknya menristek.
Sementara di Aceh, barangsiapa yang tidak datang upacara, tidak ikut
ikrar kesetiaan, akan dianggap tidak nasionalis. Dianggap tidak cinta NKRI,
dan bisa dituding sebagai antek separatis. Semua ini terjadi di masa dua
tahun status darurat yang dikumandangkan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lantas, kini orang Aceh menunggu (baca: menantang), akankah 'Cut Nyak'
Mega yang nasionalis itu akan menghadiri upacara 17 Agustus 2005 di Istana
Negara nanti? Tidak kah dia gengsi hanya duduk di kursi undangan, sementara
bekas menterinya justru menjadi inspektur upacara?
Tentu jawaban Megawati dan pendukungnya bisa seperti ini: "Ah,
nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja."
Bila begitu halnya, lalu mengapa orang Aceh harus ikut upacara agar
disebut nasionalis dan bukan separatis? Dan benarkah KTP Merah Putih bisa
jadi bukti orang Aceh memang cinta NKRI? Bukankah harga yang harus dibayar
orang Aceh terlalu mahal sekedar untuk merayakan 'nasionalisme' simbol ala
Jakarta ini?
Dengan semangat ikut membantu 'meluruskan' sejarah dan menggugat
definisi 'nasionalisme' itulah, situs acehkita.com akan menurunkan liputan
khusus secara berseri sejak hari ini (1 Agustus 2005) dalam rangka ikut
meramaikan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Artikel-artikel inilah yang kami muat
di majalah edisi Agustus: Menunggu Sang Wali Pulang Kampung. Bagi para
pembaca yang tidak sempat mendapatkan majalah tersebut, artikel-artikel ini
semoga bisa menjadi obat penawarnya.
Tentu saja sejarah banyak versinya. Untuk itu, dengan kerendahan hati,
redaksi memohon maaf bagi pihak-pihak yang merasa versinya tak tertulis
secara lengkap. Demikian pula bila ternyata ditemukan banyak
ketidakakuratan. Keberatan yang menyusul setelahnya, kami anggap sebagai
sumbangan besar untuk menyiapkan sesuatu yang lebih baik, kelak di kemudian
hari.
Namun yang lebih penting, melalui liputan khusus ini, kami ingin
menjawab pertanyaan: Apa yang terjadi di Aceh setelah 60 tahun ikut
Indonesia?
Oleh: Dandhy D Laksono
sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle
Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang
dialami perempuan Jawa.
Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit
berbalas. Sebab, saat putri ningrat itu baru menikmati dihapusnya tradisi
pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan
Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah
dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.
Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke
perempuan-perempuan Aceh seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda. Padahal,
Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama orang-orang
Aceh melawan Portugis di Malaka (1513).
Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai
tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta,
sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati
memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada
1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini
berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.
Lalu di masa Indonesia 'modern' tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang
meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden. Sementara di
Aceh abad ke-17, Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Nur Alam
Nakiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Kumala Syah. Itu belum termasuk 16
perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen)
antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut
kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR.
Tokoh Aceh legendaris lainnya, seperti Daud Beureueh juga digambarkan
tak kalah buruknya di buku-buku pelajaran sekolah di masa Orde Baru. Abu
Beureueh disosokkan sebagai pemberontak yang layak ditumpas tanpa diajarkan
mengapa dia memilih angkat senjata melawan negaranya sendiri. Negara yang
justru ikut diperjuangkannya selama masa pendudukan Belanda.
Murid-murid sekolah di Indonesia juga tak pernah diajarkan bahwa Radio
Rimba Raya yang mengudara secara gerilya di Aceh Tengah sangat berjasa saat
RRI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949.
Sebaliknya, fakta bahwa banyak anak bangsa yang mendukung penjajahan
Belanda, justru tak pernah diungkap. Di dinding Kerkhof di Banda Aceh,
tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila
diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang
bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Sebab
ada juga nama Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.
Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang
dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri
dari orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran
sekolah, pemerintah rupanya sengaja menyembunyikan fakta bahwa 82 persen
tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri!
Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang
terkenal kejam di Aceh. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada
murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi
bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.
Kejujuran memang menyakitkan (dan memalukan). Apalagi bila generasi
muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000
orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa! Disusul orang Belanda
sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).
Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim pada 1873, Kohler membawa
11.566 prajurit Eropa dan 15.128 prajurit pribumi. Orang Aceh sendiri nyaris
absen dalam barisan prajurit pribumi dan memilih mengundurkan diri hingga ke
tanah Gayo dan Alas daripada bekerja untuk kompeni.
Karena itu, ketika KTP Merah Putih diberlakukan sejak darurat militer
hingga kini, dan orang Aceh dipaksa mengikuti upacara-upacara, menyanyikan
lagu Indonesia Raya, atau mengikuti ikrar kesetiaan NKRI, sesungguhnya bak
itik mengajari burung terbang.
Apalagi, 'nasionalisme' sudah lama bangkrut di Jakarta. Sejak menjadi
presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto
memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Sepertinya tak ada yang lebih
nasionalis dan cinta NKRI dibanding dirinya. Tapi setelah lengser, upacara
17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu
mengundang mantan presiden dan keluarganya. Kemungkinan terbesar karena
gengsi. Gengsi karena sudah tidak menjabat lagi.
Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001,
alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah
menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu
Garuda Pancasila dipelesetkan.
Pancasila dasarnya apa...
Rakyat adil makmurnya kapan...
Pribadi bangsaku.
Enggak maju... maju
Enggak maju... maju
Enggak maju, maju....
Padahal, aktivis Kontras, Ori Rahman, sempat digebuki anggota Pemuda
Panca Marga gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya. Ori sedang diuji rasa
'nasionalismenya' melalui sebuah lagu, hanya karena dia menentang kebijakan
darurat militer di Aceh.
BJ Habibie lebih 'parah' lagi. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di
jejeran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak
mau tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa. Seperti ada
pesan: saya hanya mau tinggal di Indonesia bila menjadi presiden, atau
setidaknya menristek.
Sementara di Aceh, barangsiapa yang tidak datang upacara, tidak ikut
ikrar kesetiaan, akan dianggap tidak nasionalis. Dianggap tidak cinta NKRI,
dan bisa dituding sebagai antek separatis. Semua ini terjadi di masa dua
tahun status darurat yang dikumandangkan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lantas, kini orang Aceh menunggu (baca: menantang), akankah 'Cut Nyak'
Mega yang nasionalis itu akan menghadiri upacara 17 Agustus 2005 di Istana
Negara nanti? Tidak kah dia gengsi hanya duduk di kursi undangan, sementara
bekas menterinya justru menjadi inspektur upacara?
Tentu jawaban Megawati dan pendukungnya bisa seperti ini: "Ah,
nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja."
Bila begitu halnya, lalu mengapa orang Aceh harus ikut upacara agar
disebut nasionalis dan bukan separatis? Dan benarkah KTP Merah Putih bisa
jadi bukti orang Aceh memang cinta NKRI? Bukankah harga yang harus dibayar
orang Aceh terlalu mahal sekedar untuk merayakan 'nasionalisme' simbol ala
Jakarta ini?
Dengan semangat ikut membantu 'meluruskan' sejarah dan menggugat
definisi 'nasionalisme' itulah, situs acehkita.com akan menurunkan liputan
khusus secara berseri sejak hari ini (1 Agustus 2005) dalam rangka ikut
meramaikan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Artikel-artikel inilah yang kami muat
di majalah edisi Agustus: Menunggu Sang Wali Pulang Kampung. Bagi para
pembaca yang tidak sempat mendapatkan majalah tersebut, artikel-artikel ini
semoga bisa menjadi obat penawarnya.
Tentu saja sejarah banyak versinya. Untuk itu, dengan kerendahan hati,
redaksi memohon maaf bagi pihak-pihak yang merasa versinya tak tertulis
secara lengkap. Demikian pula bila ternyata ditemukan banyak
ketidakakuratan. Keberatan yang menyusul setelahnya, kami anggap sebagai
sumbangan besar untuk menyiapkan sesuatu yang lebih baik, kelak di kemudian
hari.
Namun yang lebih penting, melalui liputan khusus ini, kami ingin
menjawab pertanyaan: Apa yang terjadi di Aceh setelah 60 tahun ikut
Indonesia?
Oleh: Dandhy D Laksono
Langganan:
Postingan (Atom)