Raden Ajeng Kartini di Jepara jangan-jangan tak mengenal Cut Nyak Dien
sebaik dia mengenal Booij-Boissevain, Van Zeggelen, atau Estelle
Zeehandellar; sahabat pena tempatnya bercerita tentang diskriminasi yang
dialami perempuan Jawa.
Andaipun Kartini berkirim surat kepada Cut Nyak Dien, pastilah sulit
berbalas. Sebab, saat putri ningrat itu baru menikmati dihapusnya tradisi
pingit (1900) atas perintah Ratu Wilhemina, Cut Nyak Dien sudah menggantikan
Teuku Umar, suaminya, memimpin gerilya di belantara Aceh. Dia bahkan sudah
dua kali menjanda, jauh sebelum Kartini dipaksa kawin dengan Bupati Rembang.
Entah apa yang membuat Kartini tak menulis surat ke
perempuan-perempuan Aceh seperti halnya kepada nonik-nonik Belanda. Padahal,
Pati Unus yang sama-sama asal Jepara pernah bertempur bersama orang-orang
Aceh melawan Portugis di Malaka (1513).
Tapi sejarah Indonesia terlanjur mencatat surat-surat Kartini sebagai
tonggak perjuangan emansipasi perempuan. Sejarah yang dibuat Jakarta,
sepertinya enggan menoleh terlalu ke belakang, saat Laksamana Malahayati
memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada
1599 di pesisir Banda Aceh. Peristiwa ini terjadi 300 tahun sebelum Kartini
berkeluh kesah tentang tertindasnya perempuan di Jawa.
Lalu di masa Indonesia 'modern' tahun 1999, (lagi-lagi di Jawa) orang
meributkan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden. Sementara di
Aceh abad ke-17, Ratu Safiatuddin sudah memerintah disusul Ratu Nur Alam
Nakiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Kumala Syah. Itu belum termasuk 16
perempuan dari 73 orang yang duduk di Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen)
antara tahun 1641-1675, jauh sebelum para aktivis LSM di Jakarta menuntut
kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR.
Tokoh Aceh legendaris lainnya, seperti Daud Beureueh juga digambarkan
tak kalah buruknya di buku-buku pelajaran sekolah di masa Orde Baru. Abu
Beureueh disosokkan sebagai pemberontak yang layak ditumpas tanpa diajarkan
mengapa dia memilih angkat senjata melawan negaranya sendiri. Negara yang
justru ikut diperjuangkannya selama masa pendudukan Belanda.
Murid-murid sekolah di Indonesia juga tak pernah diajarkan bahwa Radio
Rimba Raya yang mengudara secara gerilya di Aceh Tengah sangat berjasa saat
RRI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 1948-1949.
Sebaliknya, fakta bahwa banyak anak bangsa yang mendukung penjajahan
Belanda, justru tak pernah diungkap. Di dinding Kerkhof di Banda Aceh,
tertulis 2.200 nama serdadu Belanda yang tewas di medan laga. Tapi bila
diperhatikan secara seksama, nama-nama itu tak hanya milik orang-orang
bermata biru dan berambut jagung, seperti Wiederholt atau Wetering. Sebab
ada juga nama Soewadi, Raden Nembi, Kartopawiso, atau Lalawi.
Tentara KNIL (het Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang
dibawa Mayjen Kohler dari Batavia ke Aceh pada 1873 sejatinya memang terdiri
dari orang-orang Jawa, Maluku, dan Sunda. Tapi di buku-buku pelajaran
sekolah, pemerintah rupanya sengaja menyembunyikan fakta bahwa 82 persen
tentara KNIL adalah bangsa kita sendiri!
Demikian juga halnya dengan Divisi Marsosse (Marechaussee) yang
terkenal kejam di Aceh. Tak ada kurikulum pemerintah yang mengajarkan kepada
murid SD bahwa gagasan pembentukan Marsose justru dari seorang pribumi
bernama Muhammad Arif, putra Minang berprofesi jaksa yang bertugas di Aceh.
Kejujuran memang menyakitkan (dan memalukan). Apalagi bila generasi
muda kita tahu bahwa pada tahun 1929, serdadu KNIL yang mencapai 37.000
orang itu ternyata 45 persennya adalah orang Jawa! Disusul orang Belanda
sendiri (18 persen), lalu Manado (15 persen) dan orang Ambon (12 persen).
Ketika untuk pertamakalinya KNIL dikirim pada 1873, Kohler membawa
11.566 prajurit Eropa dan 15.128 prajurit pribumi. Orang Aceh sendiri nyaris
absen dalam barisan prajurit pribumi dan memilih mengundurkan diri hingga ke
tanah Gayo dan Alas daripada bekerja untuk kompeni.
Karena itu, ketika KTP Merah Putih diberlakukan sejak darurat militer
hingga kini, dan orang Aceh dipaksa mengikuti upacara-upacara, menyanyikan
lagu Indonesia Raya, atau mengikuti ikrar kesetiaan NKRI, sesungguhnya bak
itik mengajari burung terbang.
Apalagi, 'nasionalisme' sudah lama bangkrut di Jakarta. Sejak menjadi
presiden pada 1967, hingga turun tahta pada Mei 1998, sudah 30 kali Soeharto
memimpin upacara kenegaraan 17 Agustus. Sepertinya tak ada yang lebih
nasionalis dan cinta NKRI dibanding dirinya. Tapi setelah lengser, upacara
17 Agustus 1998 pun tak dihadirinya. Padahal, Sekretaris Negara selalu
mengundang mantan presiden dan keluarganya. Kemungkinan terbesar karena
gengsi. Gengsi karena sudah tidak menjabat lagi.
Begitu pula dengan Presiden Gus Dur. Setelah turun tahta, Juli 2001,
alih-alih datang ke Istana, pada 17 Agustus tahun itu, Gus Dur malah
menggelar upacara tandingan di kediamannya di Ciganjur dan di sanalah lagu
Garuda Pancasila dipelesetkan.
Pancasila dasarnya apa...
Rakyat adil makmurnya kapan...
Pribadi bangsaku.
Enggak maju... maju
Enggak maju... maju
Enggak maju, maju....
Padahal, aktivis Kontras, Ori Rahman, sempat digebuki anggota Pemuda
Panca Marga gara-gara tak hafal lagu Indonesia Raya. Ori sedang diuji rasa
'nasionalismenya' melalui sebuah lagu, hanya karena dia menentang kebijakan
darurat militer di Aceh.
BJ Habibie lebih 'parah' lagi. Alih-alih ikut upacara 17 Agustus di
jejeran bangku bekas presiden, sejak dipecat MPR pada 1999, dia bahkan tak
mau tinggal di negaranya sendiri dan memilih hidup di Eropa. Seperti ada
pesan: saya hanya mau tinggal di Indonesia bila menjadi presiden, atau
setidaknya menristek.
Sementara di Aceh, barangsiapa yang tidak datang upacara, tidak ikut
ikrar kesetiaan, akan dianggap tidak nasionalis. Dianggap tidak cinta NKRI,
dan bisa dituding sebagai antek separatis. Semua ini terjadi di masa dua
tahun status darurat yang dikumandangkan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lantas, kini orang Aceh menunggu (baca: menantang), akankah 'Cut Nyak'
Mega yang nasionalis itu akan menghadiri upacara 17 Agustus 2005 di Istana
Negara nanti? Tidak kah dia gengsi hanya duduk di kursi undangan, sementara
bekas menterinya justru menjadi inspektur upacara?
Tentu jawaban Megawati dan pendukungnya bisa seperti ini: "Ah,
nasionalisme kan tidak hanya diukur dari upacara bendera saja."
Bila begitu halnya, lalu mengapa orang Aceh harus ikut upacara agar
disebut nasionalis dan bukan separatis? Dan benarkah KTP Merah Putih bisa
jadi bukti orang Aceh memang cinta NKRI? Bukankah harga yang harus dibayar
orang Aceh terlalu mahal sekedar untuk merayakan 'nasionalisme' simbol ala
Jakarta ini?
Dengan semangat ikut membantu 'meluruskan' sejarah dan menggugat
definisi 'nasionalisme' itulah, situs acehkita.com akan menurunkan liputan
khusus secara berseri sejak hari ini (1 Agustus 2005) dalam rangka ikut
meramaikan HUT Kemerdekaan RI ke-60. Artikel-artikel inilah yang kami muat
di majalah edisi Agustus: Menunggu Sang Wali Pulang Kampung. Bagi para
pembaca yang tidak sempat mendapatkan majalah tersebut, artikel-artikel ini
semoga bisa menjadi obat penawarnya.
Tentu saja sejarah banyak versinya. Untuk itu, dengan kerendahan hati,
redaksi memohon maaf bagi pihak-pihak yang merasa versinya tak tertulis
secara lengkap. Demikian pula bila ternyata ditemukan banyak
ketidakakuratan. Keberatan yang menyusul setelahnya, kami anggap sebagai
sumbangan besar untuk menyiapkan sesuatu yang lebih baik, kelak di kemudian
hari.
Namun yang lebih penting, melalui liputan khusus ini, kami ingin
menjawab pertanyaan: Apa yang terjadi di Aceh setelah 60 tahun ikut
Indonesia?
Oleh: Dandhy D Laksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar