26 Januari 1991
Profesor, sastrawan, politikus, pejuang, wartawan, pendidik, dan ulama ini dua kali menjabat Gubernur Aceh. Pada 15 Januari lalu, Emil Salim meresmikan museum dan perpustakaannya yang menyimpan lebih dari 10 ribu judul buku. Pernah ditangkap Belanda karena mengadakan rapat umum. Juga sempat dipenjarakan oleh Pemerintah Republik lantaran dicurigai terlibat pemberontakan DI/TII. Pendiri Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry ini kini masih Ketua MUI Aceh dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Ia mengaku seorang pengagum Bung Karno sekaligus murid tidak langsung Daud Beureueh. Berikut sebagian riwayat hidupnya dituturkan kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. SAYA menyukai sastra sejak kecil. Mungkin ini karena Nenek sering menuturkan hikayat-hikayat yang dihafalnya di luar kepala. Nenek hafal semua hikayat Perang Aceh. Berbagai hikayat Nabi, Nenek tahu. Tiap-tiap menjelang magrib, Nenek selalu membacakannya. Kawan-kawan sebaya saya juga ikut mendengarkannya. Betapa hikayat-hikayat perang telah menanamkan semangat yang begitu besar dalam diri saya, untuk selalu melawan penjajah. Nenek mengatakan, "Sampai kapan, pun Belanda adalah musuh." Saya dipesan untuk menuntut bela atas syahid-nya Kakek, suami beliau. Karena hikayat-hikayat itu, timbul hasrat saya untuk membaca roman, membaca buku-buku sejarah, dan kelak mengambil tempat dalam pergerakan kemerdekaan. Beliaulah guru pertama saya, pengasuh saya sejak kecil, dan yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Nenek pula yang menanamkan dasar-dasar agama dalam diri saya. Sebab, seperti umumnya wanita Aceh, Nenek tidak buta huruf Beliau bisa menulis tulisan Arab dan tulisan Melayu Lama -- Arab Gundul. Ketika saya lahir, beliau telah janda. Suaminya, syahid ketika ibu saya baru berumur enam bulan. Pang Husein nama Kakek saya itu. Dia adalah salah seorang panglima Teuku Panglima Polim. Kakek syahid bersama seribu anak buahnya sewaktu mempertahankan Benteng Cegli di Aceh Besar, benteng terakhir pasukan Teuku Panglima Polim. Saya tidak sempat melihat Kakek dari ibu saya itu. Tapi, saya mendengar kisahnya dari Nenek. Nenek tidak kawin lagi hingga meninggal di Medan pada 1953, dalam usia lebih dari 80 tahun. Waktu itu, saya sudah bertugas di Kanwil Sosial Sumatera Utara. Beliau mengembuskan napas terakhir di pangkuan saya. Saya tidak akan pernah melupakan pesan-pesannya yang ditanamkan semasa saya kecil. "Jadilah orang yang selalu memberi. Jangan jadi pengemis. Orang yang minta-minta itu adalah orang yang hina." Itulah kata-kata yang selalu saya ingat. Saya dilahirkan pada 28 Maret 1914, persis ketika Perang Dunia I pecah. Ayah saya, Tengku Hasjim. Kakek dari ayah saya juga seorang panglima perang Pang Abas namanya. Saya sempat melihatnya dan mendapat pelajaran dari beliau. Beliau tidak syahid. Tapi, bekas-bekas luka terlihat di sekujur tubuhnya. Beberapa jari tangannya putus akibat perang. Waktu saya kecil, beliau banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya di medan perang. Cerita-cerita itu pula yang membangkitkan semangat saya untuk ikut berjuang kelak di kemudian hari. Beliau meninggal pada 1936 dalam usia 127 tahun. Saya anak nomor dua. Kakak saya, perempuan, meninggal tak lama setelah lahir. Saya lupa siapa namanya. Saya lahir empat tahun kemudian. Ibu meninggal ketika melahirkan adik saya yang juga meninggal. Mereka dikubur dalam satu liang. Usia saya baru empat tahun. Jadi, dari tiga bersaudara, tinggal saya yang hidup. Ayah kawin lagi lima tahun setelah Ibu meninggal. Beliau pindah ke Seulimuem. Saya tetap tinggal dengan Nenek di Kampung Montasie. Jadi, Neneklah yang sebenarnya menjadi ibu pengasuh saya. Yang mendorong saya untuk terus belajar. Kata Nenek, untuk menjadi orang yang tangannya "di atas", kita harus pandai. Di Kampung Montasie, saya masuk sekolah Belanda Government Inlandsche School -- sekolah dasar lima tahun. Sore belajar agama di dayah -- semacam pesantren. Malamnya, saya masih ke meunasah -- balai desa yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pengajian bersama -- sampai setelah salat isa. Kalau mau, kaum lelaki boleh juga tidur di situ. Tamat SD, mestinya saya melanjutkan ke HIS. Tapi, Nenek melarang. Alasannya, supaya saya tidak menjadi "orang Belanda". Ingat, dua kakek saya adalah musuh Belanda. Saya dikirim ke Seulimuem, bergabung dengan ayah. Di sini, saya melanjutkan sekolah ke Tsanawiyah -- sekolah Menengah Islam Pertama. Waktu itu tahun 1930. Tsanawiyah saya selesaikan persis tiga tahun. Lagi-lagi, Nenek melarang sewaktu saya akan dimasukkan ke HIS. Saya disuruh belajar ke Padang, ke Thawalib School Tingkat Menengah -- sekolah Islam setingkat SLTA -- di Padangpanjang, Sumatera Barat. Juga tiga tahun. Sebenarnya, kalau cuma Ayah yang menyuruh, saya belum tentu pergi. Tapi, karena Nenek yang memberi perintah, saya tak bisa menolak. Saya memang lebih dekat kepada Nenek daripada Ayah. Maklum, waktu saya kecil, Ayah adalah pengusaha yang sibuk. Beliau berdagang kain dan menjadi seorang penjual ternak yang mondar-mandir ke Medan. Ayah meninggal pada 1987 dalam usia 107 tahun. Lulus dari sekolah agama, saya kembali ke Seulimuem, mengajar tiga tahun di SMP Tsanawiyah. Kemudian saya belajar lagi ke Padang, di Al-Jami'ah Al-Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam). Sekolah setingkat akademi. Juga tiga tahun. Selama saya belajar di Padang, Ayahlah yang membiayai. Tiap bulan saya dikirimi rata-rata 15 gulden. Cukup mewah untuk ukuran Padangpanjang waktu itu. Baru setahun di perguruan tinggi, tiba-tiba terjadi resesi ekonomi yang mengancam dunia. Usaha Ayah bangkrut. Saya dikirimi uang untuk pulang. Saya bertekad untuk tetap di Padangpanjang. Belajar dan cari uang. Saya menulis, membuat puisi, cerita pendek, dan novel. Puisi-puisi saya mengisi hampir tiap nomor majalah Panji Islam, Pedoman Masyarakat, Pujangga Baru (Jakarta), dan majalah Angkatan Baru di Surabaya. Setiap sajak dibayar rata-rata satu gulden. Waktu itu, satu gulden bisa dibelikan emas satu gram. Cerpen juga sering saya tulis. Dalam menulis sajak, kadang-kadang saya menggunakan tiga nama samaran: Al Hariri, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsung. Al Hariri adalah seorang penyair Arab, pada permulaan zaman Islam, yang paling saya kagumi. Salah seorang cucu saya bahkan saya namai Al Hariri. Tapi, dua nama samaran lainnya saya pakai cuma supaya lebih sreg dan bervariasi. Lahir pula novel-novel saya Bermandi Cahaya Bulan, terbit di Medan 1939. Dari situ, saya memperoleh 100 gulden kalau ndak salah, waktu itu lumayan juga. Tahun itu juga, lahir lagi Melalui Jalan Raya Dunia, terbit di Medan. Saya mendapat 150 gulden. Lumayan.... Sebelum itu, lahir juga dua kumpulan puisi saya: Kisah Seorang Pengembara (1936) dan Dewan Sajak (1938). Keduanya terbit di Medan. Tapi, honornya nggak seberapa. Sampai Proklamasi Kemerdekaan, saya menghasilkan delapan buku, semuanya sastra. Sampai sekarang, saya sudah menulis 50 buku. Buku terbaru saya Wanita Indonesia Sebagai Negarawan dan Panglima Perang sebentar lagi juga akan terbit. Ini seri pertama buku tentang wanita Aceh yang menjadi panglima perang. Nanti, insya Allah, menyusul seri kedua. Masa-masa belajar memang merupakan masa produktif saya di bidang sastra. Ada baiknya juga waktu SD dulu saya dimasukkan ke sekolah Belanda. Di situ, ada perpustakaan milik Balai Pustaka yang menyewakan buku seminggu satu sen. Tiap minggu, paling kurang saya pinjam 2-3 buku roman. Mula-mula novel anak-anak. Paling terkenal karangan Muhammad Kasim. Kegiatan jurnalistik pun jadi ruang gerak saya. Ketika menjadi siswa sekolah menengah di Padang, saya jadi sekretaris redaksi majalah pelajar Kewajiban. Ketika di perguruan tinggi, saya malah menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan kampus Matahari Islam. Di situ, saya sering menulis meski tidak ada honornya. Lalu di bidang pergerakan. Sejak masih belajar, saya sudah mengikuti berbagai organisasi, termasuk organisasi politik. Di Padangpanjang, saya menjadi sekretaris Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) Padangpanjang. Di samping itu, saya juga menjadi Ketua Persatuan Pemuda Aceh (PPA). Anggotanya sekitar 1.000 pelajar asal Aceh yang tersebar di seluruh Sumatera Barat. Secara diam-diam, saya juga masuk ke partai Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Karena waktu itu ada peraturan, yang boleh masuk ke partai politik hanya yang sudah berumur 18 tahun, saya korupsi umur. Soalnya, waktu itu usia saya baru 16 tahun. Karena terjadi kekacauan di Padangpanjang, partai-partai yang ada dilarang rapat, termasuk Syarekat Islam dan PNI. Satu malam di tahun 1934, saya dan dua orang teman pergi ke Kota Gunung --sebuah kampung di Padangpanjang -- untuk memberi kursus atas nama HPII. Tiba-tiba muncul mantri polisi. Rapat dibubarkan. Seminggu kemudian, saya dipanggil jaksa. Dari situ, kami bertiga diajukan ke pengadilan dan divonis empat bulan. Kawan-kawan mengantar sampai ke pintu penjara. Saya bangga sekali. Waktu itu, masuk penjara karena persoalan politik merupakan kebanggaan tersendiri. Ketika kami bebas, ratusan kawan pun menunggu di pintu. Selama di penjara, saya tidak boleh membaca buku-buku pelajaran. Yang boleh masuk ke sel, hanya Quran. Entah berapa puluh kali saya khatam. Padahal, sebulan setelah keluar dari penjara, saya harus menghadapi ujian. Mungkin karena terus-menerus membaca Quran selama di penjara, saya lulus dengan baik, termasuk cum laude. Nomor dua terbaik. Mungkin juga karena yang diuji adalah masalah-masalah yang menyangkut hukum Islam dan kebudayaan Islam. Kebetulan, saya cukup mengerti soal itu. Lagi pula, soal-soal fikih -- hukum Islam --memang termuat di dalam Quran yang saya baca puluhan kali itu. Tahun 1935, saya kembali ke Aceh. Bersama pemuda-pemuda Aceh yang baru kembali belajar dari Padang dan Surabaya, saya mendirikan SPIA (Serikat Pemuda Islam Aceh). Berpusat di Seulimuem. Di situ, saya duduk sebagai sekretaris umum. Ketua umumnya Said Abu Bakar, teman sekolah di Padang. Sekarang, sudah meninggal. Dalam suatu kongres, SPIA berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia). Pusat pergerakannya dipindahkan ke Montasie. Tapi, saya hanya tiga tahun mengurus SPIA. Pada 1937, saya kembali ke Padangpanjang untuk kuliah. Nah, sewaktu saya masih kuliah inilah, di Aceh, berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1939. Dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ustad Muhammad Yunus, seorang guru kami, diundang dalam peristiwa ini. Ketika kembali ke Padang, satu minggu dia cuma bercerita tentang PUSA. Kami sama sekali tidak belajar. Ha... saya senang sekali. Lulus perguruan tinggi dan kembali ke Aceh -- masih 1939. Saya jadi pemuda PUSA. Di Pemuda PUSA Cabang Aceh Besar, saya duduk sebagai ketua. Saya juga menjadi Wakil Ketua Kwartir Kepanduan Kasyasyafatul Islam Aceh Besar. Dan sebagai Ketua Pemuda PUSA, saya sering diajak oleh Daud Beureueh turne ke berbagai daerah. Namun, di PUSA sendiri, saya tidak ikut aktif. Peran Asia Timur Raya LALU PECAH Perang Asia Timur Raya. Menjelang kedatangan Jepang ke Aceh, Pemuda PUSA mendirikan Gerakan Fajar. Suatu gerakan bawah tanah yang bertujuan mengatur pemberontakan terhadap Belanda. Secara resmi, orang Aceh memang membantu Jepang. Tapi, bukan karena janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan. Kami membantu Jepang karena ingin mengusir Belanda yang sangat kami benci. Karena tidak mungkin mengusirnya dengan kekuatan sendiri, kami bergabung dengan Jepang. Tapi, sebelum Jepang datang, Gerakan Fajar sudah bertindak. Gerakan ini sudah menjalar luas. Sejak awal 1942, kami aktif melakukan sabotase dan perlawanan fisik. Kader-kader Kasyasyafatul Islam melakukan kampanye ke tengah masyarakat, memotong saluran telepon, membongkar rel kereta api, dan melakukan perang urat saraf dengan selebaran-selebaran. Semua ini menimbulkan ketakutan di kalangan militer dan pemerintah sipil Belanda. Tanggal 20 Februari 1942, kami pergi ke tangsi Belanda di Seulimuem dan berhasil membunuh Kontroleur Tinggelmen. Menjelang penyerangan, sekolah menengah Islam di sini menjadi markas. Dan kalau sekarang saya pikir-pikir lagi, penyerbuan itu gila. Menjelang tengah malam, pelajar-pelajar yang baru berusia 15-20 tahun dan ratusan penduduk kampung berkumpul. Ada juga beberapa orang tua. Masing-masing dengan senjata. Ada yang membawa kelewang, parang, dan sebagainya -- siap menyerang. Di antara kami, ada orang tua buta yang membaca hikayat Perang Sabil. Namanya Teungku Seunadeu, orang tua yang pernah hidup di zaman perang melawan Kolonial Belanda. Dia hafal hikayat ini di luar kepala. Dengan bersemangat, setelah mendengar hikayat Perang Sabil, kami mengepung tangsi dan rumah kontroleur. Belanda ketakutan, tak berani turun. Kontroleur Tinggelmen, dengan suatu tipu muslihat, membawa istrinya kabur. Ketika dia menuruni tangga, Teuku Ubit -- pemuda berusia 16 tahun yang bersembunyi di bawah tangga -- menyerang dengan cepat. Parang dapurnya berhasil menghajar pistol di tangan kanan Tinggelmen sampai lepas. Kemudian, Ibrahim -- pemuda dari Kampung Alor Gintong -- menebas tubuh Tinggelmen. Istrinya berteriak-teriak minta tolong. Dan esoknya, baru kami tahu bahwa Tinggelmen telah tewas. Penyerbuan kami ini bubar menjelang subuh. Ketika itu terjadi pula pertempuran di Keumirue, terus menjalar ke seluruh Aceh. Karena saya memimpin pemberontakan-pemberontakan itu, ayah saya -- Tengku Hasyim -- ditangkap Belanda. Beliau baru bebas setelah Jepang datang mengusir Belanda. Dua hari sebelum Jepang memasuki Aceh dengan kekuatan tiga divisi, Belanda sudah lari. Serdadu-serdadu Belanda, yang berasal dari Ambon dan Jawa, buka baju. Saya mengerahkan pasukan pandu KI untuk mengawal Banda Aceh dan kota-kota lain di seluruh Aceh. Jadi tertib, tidak ada perampokan. Ketika Jepang akan membentuk pemerintahan militer, saya dipanggil. Saya datang dengan mengenakan seragam pemimpin pandu. Jepang bertanya, "Siapa orang Indonesia yang bisa mengurus kereta api? Polisikah?" Ndak ada, saya bilang. Polisi sudah buka baju, begitu saya jawab. Maka, saya diangkat jadi kepala polisi. Dikasih mobil. Tapi, mobil dan jabatan kepala polisi itu saya kembalikan karena Jepang mengangkat para ulebalang -- bangsawan -- dalam pemerintahan. Saya marah sekali. Pulang ke Seulimuem. Buka sekolah. Dan mengajar lagi dengan teman-teman. Pertentangan antara ulama dan ulebalang memang telah lama berlangsung. Di zaman Belanda, mereka adalah kaki tangan yang dibenci rakyat. Rasa tidak senang mencuat lagi manakala Dai-Nippon mengajak mereka dalam pemerintahan. Bentrok fisik sempat terjadi. Ulebalang memakai Jepang, kami juga memakai Jepang. Perang meletus di Cumbok, Aceh Besar. Betul-betul perang. Itu berlangsung selama 20 hari di bulan Desember 1942. Culik-menculik terjadi. Banyak yang mati dipotong. Termasuk Teuku Daud Cumbok, ulebalang di Cumbok. Itu pula yang membuat saya menyerahkan kembali jabatan kepala polisi, lalu kembali ke Seulimuem, dan mengajar. Suatu hari, selagi saya mengajar, muncul dua orang utusan Jepang. Satu orang Jepang, satunya lagi orang Indonesia. Mereka meminta saya supaya bekerja di kantor berita Aceh Shinbun Banda Aceh. Dipikir-pikir, boleh juga. Saya tinggalkan sekolah. Tak lama kemudian terbit pula Semangat Merdeka. Dari sinilah kami menyusun gerakan bawah tanah, bersama-sama kawan yang bekerja di Domai. Mula-mula, dengan antusias, rakyat Aceh menyambut kehadiran Jepang. Hanya para pemimpin pergerakan yang mengetahui maksud Jepang sesungguhnya. Makanya, secara diam-diam kami terus menyusun kekuatan, sambil menunggu saat yang tepat untuk mengusir Jepang. Mula-mula, kami mendukung segala usaha Dai-Nippon, seperti dalam Romusha. Di tengah-tengah masa transisi itulah, pada 1941, saya menikah di Seulimuem. Istri saya, Zuriah Aziz, adalah wanita yang tabah. Dia mendukung perjuangan saya. Dia melahirkan anak saya yang pertama pada bulan Desember 1942. Jepang sudah berkuasa waktu itu. Saya namakan dia Mahdi A. Hasjmy. Aceh Daerah Modal MENJELANG Proklamasi Kemerdekaan. Rakyat sudah menyadari niat Jepang sesungguhnya. Para pemimpin Aceh mulai mempersiapkan perlawanan. Awal 1945, bersama sejumlah pemuda Aceh yang bekerja di kantor berita Aceh Shinbun dan Domai, saya mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Gerakan rahasia untuk mempersiapkan perlawanan bila Jepang kalah perang melawan Sekutu. Gerakan ini juga dipersiapkan untuk menghadapi Belanda jika kembali ke Aceh. Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah kami ketahui lewat berita-berita yang dikirim ke Aceh Shinbun dan Domai. Dan kami sudah memperkirakan bahwa kemungkinan Belanda akan kembali. Kami mendengar proklamasi hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945, karena Pak Adam Malik, yang waktu itu bekerja di Domai Jakarta, menyiarkannya ke seluruh Indonesia. Nah, kawan-kawan yang bekerja di Domai Aceh memberitakannya pula kepada kami yang bekerja di Aceh Shinbun. Dan berita itu kami siarkan dengan cepat. Macam-macam tanggapan rakyat Aceh terhadap berita itu. Ada yang bingung, ada yang tidak percaya, ada juga yang langsung menyatakan dukungannya. Tetapi, umumnya mendukung. Yang tidak menyukai kemerdekaan adalah para ulebalang. Di Kabupaten Pidie, mereka malah sudah membentuk panitia untuk menyambut Belanda. Tentu tidak semua. Ada juga ulebalang yang memihak kita. Seorang putra Teungku Panglima Polim, yang menjadi wedana di Aceh Besar, segera menyerahkan kedudukannya kepada rakyat. Kali ini tak sempat terjadi bentrok fisik. Boleh dikatakan, para pejuang dan ulama sudah menguasai keadaan. Sementara itu, IPI terus aktif. Menjelang Proklamasi, namanya diubah menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Lalu, setelah kemerdekaan, berubah lagi menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Dan akhirnya menjadi Ksatria Divisi Rencong. Selama itu, saya tetap memimpin. Bahkan di Ksatria Divisi Rencong, saya menjadi pemimpin tertinggi. Kami merebut senjata-senjata Jepang sebelum Sekutu datang. Anehnya, tentara Jepang seperti membiarkan kami melucutinya. Dengan mudah, kami merampas senjata mereka. Dan kelihatannya mereka justru seperti menyerahkannya. Tanggal 16 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh dengan pesawat RI I. Bukan yang diberikan orang Aceh. Penerbangnya masih seorang Amerika. Kopilotnya orang kita. Hadir pula Menteri Dalam Negeri Sukiman, Panglima Angkatan Udara Suryadarma, sejumlah pejabat, termasuk Gubernur Sumatera Teungku Mohammad Hassan. Kami menyambut mereka di lapangan udara Lhok Nga. Sepanjang 16 kilometer, rakyat berjejal sampai ke Banda Aceh. Ramai sekali. Bung Karno senang sekali melihatnya. Sebentar-sebentar beliau menghentikan mobilnya -- untuk melihat rakyat. Sore hari itu juga, kita mengadakan rapat umum. Di situlah, untuk pertama kalinya, Bung Karno mengatakan bahwa Aceh adalah daerah modal. Beliau mengibaratkan Aceh sebagai sebuah payung. "Kalaupun Republik hanya tinggal selebar payung, kita akan terus berjuang. Dengan modal daerah selebar payung itulah kita akan merebut daerah lain," begitu katanya. Mengapa Bung Karno menyebut Aceh sebagai daerah modal? Sebab, waktu itu, sebagian besar wilayah Indonesia sudah diduduki Belanda. Aceh tidak. Aceh bebas melakukan perdagangan dengan luar negeri -- kendati Belanda menyebutnya penyelundupan. Kita punya devisa. Oleh sebab itu, Aceh membiayai perjuangan bangsa Indonesia di luar negeri. Kita juga membeli senjata dari luar negeri, lalu memasukkannya ke daerah-daerah di seluruh Indonesia yang sedang berjuang. Beberapa kali rapat umum masih diselenggarakan. Yang paling banyak pengunjungnya adalah ketika rapat umum di Bireun. Di situ, Bung Karno mengulang pernyataannya bahwa Aceh adalah daerah modal. Suatu malam berlangsung resepsi yang dihadiri berbagai tokoh masyarakat dan pengusaha. Bung Karno mengatakan, "Sekarang kita sangat memerlukan hubungan. Karena daerah-daerah kita sudah diduduki Belanda, harap rakyat Aceh menyumbang kapal terbang". Malam itu juga, rakyat Aceh sanggup memberi dua kapal terbang. Satu dari Pemda. Esok harinya, Pemda langsung memberi cek senilai 250 ribu dolar Amerika -- harga kapal terbang bekas waktu itu. Kebetulan, kami punya uang di Singapura, hasil ekspor Aceh -- orang Belanda menyebutnya hasil penyelundupan. Para pengusaha -- atas nama rakyat, yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) -- juga menjanjikan satu buah. Selama satu bulan, mereka mengumpulkan uang senilai 250 ribu dolar AS, baru kemudian diantarkan ke Yogyakarta. Selama lima hari Bung Karno berada di Aceh, hampir tiap hari saya bertemu dengan beliau. Sebelumnya tidak pernah, karena mana sempat saya pergi ke Jawa. Waktu beliau turun di Lhok Nga, Divisi Rencong yang menjaga dan mengawalnya. Saya salah seorang yang ikut menyambut. Yang lain-lain terdiri dari para pembesar, termasuk Pak Daud Beureueh. Saya memang pengagum Bung Karno. Karangan-karangan beliau saya baca dan mempengaruhi pandangan-pandangan politik saya. Buat Bung Karno, saya khusus menciptakan puisi pada bulan Oktober 1945 -- yang dimuat dalam Semangat Merdeka. Di situ saya bilang, saya adalah serdadunya. Dulu, selain Bung Karno, saya juga kagum pada Mochtar Lutfi -- seorang orator ulung dari Padang. Bung Karno pun mengaguminya. Dan kami, pasukan Divisi Rencong, selalu ikut mengawal beliau. Divisi Rencong pula yang menjaga lapangan Lhok Nga ketika beliau datang. Divisi Rencong memang ditugasi menjaga lapangan terbang Lhok Nga dan Blangbintang. Markas kami berada di Lhok Nga. Saya sendiri berkedudukan di Banda Aceh. Di Lhok Nga, Divisi Rencong selalu siap menunggu pendaratan rahasia pesawat-pesawat yang membawa obat-obatan dan persenjataan ringan dari rekan dagang kita. Antara lain dari India dan Burma. Dari Aceh, mereka membawa lada dan rempah-rempah. Sebulan, paling sedikit terjadi sekali pendaratan. Kadang-kadang dua kali. Makanya, Belanda menuduh kita melakukan penyelundupan. Aceh, ketika itu, memiliki Radio Rimba Raya yang bisa menjangkau dunia. Tersembunyi di sebuah hutan antara Takengon dan Bireuen. Radio ini didirikan oleh markas angkatan laut di Aceh. Kalau mengirim berita, dinamonya diputar dengan kereta angin. Dari Aceh berita dipancarkan ke New Delhi. Itulah sebabnya dunia mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Ketika Pak Soeharto menyerang Yogyakarta, Radio Rimba Raya pula yang memancarkannya ke seluruh dunia lewat New Delhi. Mula-mula kami menerima berita dari Jakarta, yang dikirim secara estafet lewat Lampung, Medan, lalu Aceh. Kalau tidak ada radio ini, Pak Harto boleh saja masuk, tapi dunia mungkin tidak tahu. Pasukan Aceh sangat kuat dan bersemangat. Ketika Belanda melancarkan Agresi I tahun 1947 dan Agresi II tahun 1948, Aceh adalah satu-satunya wilayah Republik yang tidak bisa direbut. Belanda hanya mampu menguasai Sabang. Kalau mau, sebenarnya pasukan Aceh sanggup merebutnya. Itu tidak kami lakukan karena kami sedang memusatkan kekuatan untuk mempertahankan daratan Aceh. Lagi pula, kami harus mengirim bantuan ke Medan untuk melawan Belanda. Divisi Rencong mengirim dua batalyon elite ke Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat -- dua daerah di Medan yang masih dikuasai tentara Republik di wilayah Sumatera Timur. Front ini lebih dikenal dengan sebutan Medan Area. Paling kurang, dua bulan sekali saya pergi ke front. Pada Februari 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan untuk mendirikan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semua laskar rakyat yang bersenjata dilebur jadi TNI. Aceh, Langkat, dan Tanah Karo digabung menjadi sebuah daerah militer. Teungku Daud Beureueh ditunjuk sebagai gubernur militernya. Saya duduk sebagai salah seorang stafnya. Tapi secara resmi Daerah Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo baru terbentuk bulan Juni 1948. Ini karena ada sejumlah laskar rakyat, yang memang banyak jumlahnya, mula-mula menolak. Alhamdulillah, bisa diatasi dengan baik. Divisi Rencong adalah laskar yang pertama kali bergabung. Kami menjadi kekuatan inti artileri. Banyak di antara kami yang terpilih sebagai komandan. Sedangkan yang paling belakangan bergabung adalah laskar Ksatria Pesindo, laskarnya Persatuan Indonesia (Pesindo). Saya pernah menjadi anggotanya, tapi segera mengundurkan diri setelah organisasi ini condong ke PKI. Saya juga menjadi anggota Partai Syarekat Islam. Aceh Bergolak PERTENGAHAN 1950, Provinsi Aceh yang masih muda dilebur ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Padahal, baru berdiri satu tahun. Yakni setelah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah Republik lewat Konperensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Semula saya menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh. Karena jawatan-jawatan dipindahkan ke Sumatera Utara, saya turun jabatan. Cuma Wakil Kepala Jawatan Tahun 1950 naik setingkat jadi inspektur kepala. Tapi, karena Aceh mendadak panas, baru pada 1951 saya bertugas di Medan. Peleburan wilayah itulah yang membuat Aceh bergolak. Sungguh, rakyat Aceh tidak senang bila hanya menjadi bagian wilayah sebuah provinsi. Sejak dahulu, Aceh adalah sebuah kesatuan wilayah dengan sebuah tradisi yang khas. Kemarahan muncul di mana-mana. Pejuang-pejuang yang dahulu mendukung pemerintah pusat berbalik menentang. Dan pemerintah telah bertindak salah. Untuk mengatasi gejolak itu, pemerintah mengirim tentara yang banyak orang Kristennya. Mereka bertindak kasar. Lewat surat, saya pernah mengingatkan pemerintah agar segera menarik mereka. Kalau tidak, sewaktu-waktu pasti bakal terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sayang, tidak diperhatikan. Dan akibatnya, tahun 1953 pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh meletus. Mereka bermaksud mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Semua anak buah saya di Divisi Rencong dulu ikut berontak. Naik gunung bersama Daud Beureueh. Itu sebabnya saya dicurigai. Dan memang harus saya akui, Pak Daud adalah guru saya meski secara tidak langsung. Sesungguhnya saya tidak terlibat. Sebab, sebelum pemberontakan, saya sudah pindah ke Medan. Tetapi Pemerintah menganggap saya mengetahui, bahkan ikut merancangnya. Saya ditangkap. Dipenjarakan 8 bulan di Medan bersama sejumlah tokoh yang dicurigai. Mula-mula kami diperlakukan secara kasar. Tidak boleh memasukkan barang dari luar. Setelah Pak Aruji Kartawinata, selaku Ketua DPR waktu itu, datang dan membentak kepala penjara, kami dipindahkan ke sel yang lebih baik. Juga diberi kebebasan untuk menerima barang dari luar. Di penjara saya membaca semua buku yang saya beli di negara-negara Arab --sewaktu menjadi anggota misi Republik Indonesia ke negara-negara itu pada 1949. Rasanya seperti sepuluh tahun kuliah di perguruan tinggi. Tahun 1954 saya diperiksa Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan tidak terbukti terlibat. Saya dan Syeh Marhaban, pegawai Jawatan Dalam Negeri Sumatera Utara, dibebaskan. Tapi harus menghadap Jaksa Agung Soeprapto di Jakarta. Berdua kami berangkat. "Ya, sudah. Saudara bebas," kata Jaksa Agung. Saya diperbolehkan lagi mengikuti kegiatan politik. Hanya, untuk sementara dilarang pulang ke Banda Aceh. Tugas saya sebagai Inspektur Kepala Jawatan Sosial dipindahkan ke Jakarta. Itu berlangsung sampai diangkat jadi Gubernur Aceh, 1957. Sewaktu di Jakarta, surat protes saya yang dulu dipelajari Menteri Dalam Negeri. Lalu saya dipanggil. Kebetulan orang-orang partai, termasuk PSI dan Masyumi, duduk dalam pemerintahan. Kalau Departemen Dalam Negeri merapatkan soal Aceh, Pak Aruji mengirim saya dan Pak Marhaban untuk ikut bicara. Dalam rapat-rapat itu saya selalu bilang, "Biar dikirim tentara sebanyak-banyaknya, biar sampai kiamat, Aceh tak akan aman. Kecuali kalau status Aceh dikembalikan menjadi provinsi." Tak bosan-bosannya saya bilang begitu, dalam setiap kesempatan. Sampai akhirnya Pemerintah mempercayainya. Dalam sebuah rapat di rumah Menteri Pekerjaan Umum di Kebayoran Baru pada akhir 1956, diambil keputusan untuk mengembalikan status Aceh sebagai provinsi. Hadir waktu itu menteri-menteri kabinet dan tokoh-tokoh partai. Keputusan itu berlaku 1 Januari 1957. Persoalannya kemudian adalah siapa yang bakal menjadi gubernurnya. Hari-hari selanjutnya muncul sejumlah nama calon. Saya termasuk salah satunya. Tetapi saya tak pernah berpikir untuk menjadi gubernur. Suatu siang, Menteri Dalam Negeri Pak Soenarjo mengundang saya makan. Saya kira diajak kendurian. Ternyata meleset. Tidak ada seorang pun di situ, selain Pak Narjo dan saya. Kami duduk berhadapan di meja makan. Bicara serius. Beliau berkata, "Kabinet menanyakan Saudara, apakah bersedia diangkat jadi Gubernur Aceh." Saya sama sekali tak pernah menduga akan memperoleh pertanyaan seperti itu. Setelah berpikir beberapa lama dan bertanya ini itu, saya jawab, "Bersedia tapi dengan satu syarat". Beliau bertanya, "Apa syaratnya?" Pendek saja saya jawab. "Kalau saya kembali ke Aceh sebagai gubernur, saya akan membawa air, bukan bensin." Pak Soenarjo tepekur, memandang saya beberapa lama. Beliau pasti sudah mengerti apa maksudnya. Saya tidak tahu apakah syarat saya diterima atau tidak. Sebab, Pak Narjo tidak menjawab syarat saya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa saya akan diangkat jadi gubernur: Selanjutnya kami ngobrol masalah-masalah lain, yang tidak ada kaitannya dengan soal gubernur, sambil makan. Saya pikir, dengan mengajukan syarat itu, saya tidak akan diangkat karena waktu itu Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, orang PNI, garang sekali. Dia bilang, kalau rakyat Aceh tidak menyerah, akan dibikin habis. Pertengahan bulan Desember 1956, saya melakukan perjalanan dinas ke Indonesia Bagian Timur. Antara lain ke Maluku, Sulawesi, dan Provinsi Irian Perjuangan. Waktu itu Irian Barat masih diperjuangkan. Makanya disebut Provinsi Irian Perjuangan. Dan sementara waktu ibu kotanya berkedudukan di Soasiu, Pulau Tidore, Maluku Utara. Tugas utama saya adalah membentuk Inspeksi Sosial Provinsi Irian Perjuangan, yang belum di tangan kita itu. Dari Jakarta mendarat di Makassar. Menginap beberapa hari. Lantas ke Ambon, ibu kota Maluku. Menginap lagi tiga hari, menunggu kapal laut yang ke Tidore. Selama itu, saya tidak pernah berpikir tentang jabatan gubernur. Nah, setelah ada kapal, saya berangkat ke Tidore bersama Kepala Kanwil Departemen Sosial Maluku. Lebih dulu saya pamit kepada Gubernur Maluku, Saudara Djosan. Di situlah saya dibuat heran. Gubernur memberi sambutan hangat dengan segala hormat. "Saudara Hasjmy diminta segera pulang ke Jakarta," kata Gubernur sambil menyalami. "Ah, Bapak nggak usah main-main," saya bilang. "Betul .... Ini ada surat dari Departemen Dalam Negeri," katanya. Dia memperlihatkan surat perintah itu beserta surat keputusan pengangkatan saya sebagai Gubernur Aceh. Tapi saya tetap bertekad melanjutkan perjalanan. Sebab, kalau benar diangkat jadi gubernur, inilah tugas terakhir saya di Departemen Sosial. "Tolong, izinkan dan beri tahu Menteri Dalam Negeri, saya tetap ke Tidore. Setelah itu baru saya pulang". Begitu saya bilang pada Pak Gubernur. Gerombolan Pengacau Keamanan JADILAH saya seorang gubernur. Dua kali berturut-turut. Jabatan pertama tahun 1957-1960. Kedua 1960-1964. Masa jabatan yang diwarnai pemberontakan. Meski Aceh telah menjadi provinsi, DI belum mau turun gunung. Tentu saja saya harus menyelesaikannya. Dengan perantaraan seorang penghubung, pelan-pelan saya mengontak DI, minta bertemu langsung dengan Daud Beureueh. Berhasil. Awal bulan Ramadan 1377 H (Mei 1957) -- enam bulan setelah menjabat gubernur -- saya dapat menjumpai Pak Daud Beureueh. Bertempat di Desa Lamteh, 7 kilometer di luar Kota Banda Aceh, di sebuah dataran tinggi deretan Bukit Barisan. Pokoknya, di deretan Bukit Barisan. Saya sendiri yang berangkat, dikawani Kepala Polisi Sumatera Utara/Aceh Pak Muhammad Isya dan Teungku Abdulwahab seorang pegawai tinggi di Kementerian Agama di Jakarta. Pak Abdulwahab sengaja saya minta datang dari Jakarta. Dengan sedan tua, bertiga kami dibawa oleh Teuku Bordansyah -- penghubung utama -- ke Lamteh. Masing-masing hanya membawa seorang ajudan. Tanpa senjata. Berangkat setelah buka puasa. Jalannya jelek sekali. Gelap. Kami dikawal satu kompi pasukan DI. Saya melihat betapa bagusnya organisasi mereka. Di tempat-tempat tertentu mereka menyediakan persinggahan untuk minum. Sebenarnya, ada jalan pintas. Tetapi mereka membawa kami lewat jalan biasa. Subuh baru sampai ke lokasi. Terlihat gubuk-gubuk. Gubuk terbesar berada di tengah-tengah. Itulah bangunan Dewan Agung DI, tempat pertemuan orang-orang penting mereka. Di depannya, ada dua bendera. Satu bendera DI, satu lagi bendera Republik. Haa... ini lucunya. Seakan-akan mereka sedang menyambut delegasi dari negara lain. Kami diterima oleh Perdana Menteri DI Hasan Ali dan sejumlah menteri di "gedung" Dewan Agung. Mereka juga punya juru foto. Sebentar-sebentar kami dipotret. Mereka juga punya rokok Dunhill, kain wol. Malamnya, baru kami bisa menemui Pak Daud Beureueh selaku wali negara. Pertemuan berlangsung di "istananya" -- juga gubuk. Hawa dingin sekali. Sekitar dua jam, kami bertemu. Saya jadi juru bicara. "Kami ini anak-anak Abu," begitu saya memanggilnya. "Kami datang berkunjung untuk melihat keadaan Abu. Kami sudah lama tak mendengar kabar Abu. Kami kemari juga untuk mohon restu Abu, karena kami telah diberi rakhmat oleh Allah swt. Saudara Syamaun Gaharu telah diangkat sebagai panglima, saya jadi gubernur, dan Saudara Isya jadi kepala polisi. Kami mohon Abu memberi nasihat. Apa yang harus kami kerjakan," begitu saya berbicara. Syamaun Gaharu adalah penguasa perang daerah Aceh, yang juga berusaha mengadakan pendekatan. Jawabannya adalah pidato selama satu jam lebih. Sebentar-sebentar mencerca Pemerintah Pusat. Yang paling banyak dihantam adalah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Semua jasa Aceh diungkit-ungkit lagi. Terakhir, beliau menasihati kami, "Sekarang kalian sudah jadi orang penting, punya jabatan. Pergunakanlah jabatan itu untuk membangun Aceh, agama, dan rakyat." Habis itu, pertemuan ditutup. Kami minta izin. Esoknya, kami tak bisa menjumpainya lagi. Tidak ada rapat-rapat lagi. Lusanya, kami pulang tanpa sempat bertemu dengan Pak Daud. Saudara Gaharu, yang saya beri tahu mengenai hasil pertemuan itu, menilai gagal. Dia marah-marah. Saya bilang, "Apanya yang gagal? Kita berhasil sekali. Simak perkataan Abu yang terakhir. Beliau percaya kepada kita. Itu kan penting. Jadi, bukan pidato yang menghantam Ali Sastroamidjojo dan Bung Karno. Dia memang marah kepada mereka. Dan itu bukan soal kita. Dia mempercayai kita. Berarti kita bisa bekerja. Kita diberi kesempatan. Cuma, kalau tidak kita buktikan niat baik kita, tentu Pak Daud tidak senang". Kontak-kontak berikutnya terus dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemda, atau gabungan. Pertengahan Juli 1959, kami mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh-tokoh DI di Montasie. Daud Beureueh tidak ikut. Saya didampingi Wakil Staf Kodam I Iskandarmuda. Pembicaraan makan waktu tiga jam. Di sini, kami dapat mengetahui keinginan mereka: otonomi yang lebih luas -- terutama tentang bidang keagamaan -- pendidikan, dan peradatan. Aceh mendapat status "Daerah Istimewa Aceh". Puncaknya, kami berhasil menyelenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, Desember 1962, di Blang Pidie. Diikuti sekitar 800 peserta dari Aceh, Jakarta, Bandung, dan sebagainya. Sejumlah menteri pun datang. Aceh pun memperoleh tambahan julukan "Darussalam". Maka, lengkapnya "Daerah Istimewa Aceh Darussalam". Kendati tak bisa hadir, Pak Daud menyatakan dukungannya lewat serangkaian doa tertulis. Antara lain bunyinya begini: "Ya, Allah Tuhan Pengantur alam seluruhnya, perbaikilah akibat berkumpulnya kami di sini kesemuanya, dan lepaskanlah kami dari malapetaka yang menimpa." Awal 1963, Pak Daud turun gunung, kembali ke pangkuan Republik. Pengalaman DI/TII itu bisa dijadikan pengalaman untuk menangani apa yang secara resmi disebut sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh. Kita harus memahami masalah dan siapa pelakunya. Harus bijaksana. Karena gejolak itu terjadi di Aceh, ya, harus mengerti orang Aceh. Salah satu sebab munculnya gejolak itu adalah adanya kawasan industri LNG Arun dan Lhokseumawe. Sementara itu, rakyat Aceh sendiri belum siap menghadapinya dan belum mampu mengisi kebutuhan tenaga di situ. Lahir kesenjangan sosial antara pekerja pendatang dan penduduk Aceh. Memang ada faktor politis, kelanjutan DI/TII. Tapi, itu kecil sekali. Gejolak di Aceh adalah masalah rumit yang tidak mudah diatasi. Lebih sulit dibandingkan dengan menangani DI/TII. DI jelas siapa pemimpinnya. Ada organisasinya. Kita mudah menghubunginya untuk berunding. GPK terpencar-pencar, tidak jelas organisasinya, tidak ketahuan pemimpinnya. Dengan siapa kita bisa berhubungan bila ingin berunding? Maka, menurut saya, kita harus bijaksana. Bertindak tegas memang perlu. Tetapi, kalau mereka ingin kembali ke masyarakat, ya, harus diterima, jangan dihukum. Kita ajak mereka sama-sama membangun Aceh. Dan ... sebaiknya, sebelum mendirikan suatu proyek industri, adakan dahulu pendekatan pada rakyat. Ketika pabrik semen di Lhok Nga dibangun, para ulama turun ke tengah masyarakat untuk memberi penjelasan. Dan tidak ada gejolak. Ya, peranan ulama di Aceh memang masih besar. Mungkin karena Aceh ini dikenal sebagai daerah yang begitu ketat menjaga nilai-nilai Islam. Sudah beberapa kali Dinas Pekerjaan Umum meminta kami -- Majelis Ulama (MUI) Aceh -- datang ke daerah yang akan dilewati pembangunan jalan. Pejabat-pejabat baru juga menyempatkan diri datang ke MUI sebelum menjalankan tugasnya. MUI juga bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menyelesaikan masalah GPK. Bulan Juni 1990, saya memimpin satu tim dakwah -- terdiri dari delapan ulama -- ke Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. Cuma, saya minta kepada Gubernur dan pihak keamanan agar tidak mengirimkan pengawal. Kami tidak mau pergi kalau dikawal. Inilah dakwah kerukunan. Kami bicara di 47 lokasi paling rawan, tanpa sekali pun mengutuk GPK. Di setiap tempat, rakyat datang berbondong-bondong. Tapi, saya tidak tahu mana yang GPK dan bukan. Mungkin mereka hadir. Kami berkeliling selama sepuluh hari. Awal Desember 1990, orang-orang Bantaqiyah -- pasukan Jubah Putih yang pernah melakukan aksi kekerasan di Meulaboh -- mengunjungi MUI. Mereka dipimpin langsung oleh imamnya, Teungku Bantaqiyah. Mereka meminta supaya fatwa yang menyatakan bahwa ajaran mereka sesat dicabut. Fatwa itu kami keluarkan pada 1983, setelah menilai bahwa mereka menganut tarekat Wahdatul Wujjud -- memandang manusia sebagai Tuhan. Sejak itu, kejaksaan melarang Bantaqiyah. Tapi, setelah mereka turun gunung dan menjelaskan bahwa Bantaqiyah bukanlah penganut Wahdattul Wujjud, kami berjanji memperbaiki fatwa itu. Haa ... begitulah cara kami membantu memulihkan keamanan. Berdialog langsung. Mencari titik temu. Tapi, yang terpenting adalah meningkatkan pendidikan. Pada abad ke-16, Aceh merupakan gudang ilmu pengetahuan. Aceh menjadi lima besar negara Islam di dunia. Banyak sarjana Aceh berkaliber internasional. Ini menurut buku Islam in the Modern History -- karangan seorang Amerika. Banyak yang belajar ke sini, dari Malaysia dan berbagai kerajaan di Asia. Saya bercita-cita mengembalikan Aceh sebagai gudang ilmu pengetahuan, juga sebagai pusat budaya Islam. Saya ingin orang Aceh ini berpengaruh di negeri ini. Jadi menteri, pakar ilmu, dan sebagainya. Kalau mampu dan diterima rakyat Indonesia, saya ingin orang Aceh jadi presiden. Dan itu hak kita. Oleh sebab itu, harus pandai. Makanya, semasih menjabat gubernur, bersama beberapa kawan seperjuangan, saya banyak mencurahkan pikiran untuk membangun pusat-pusat pendidikan di seluruh Aceh. Kini telah terbentuk Kopelma -- Kota Pelajar dan Mahasiswa -- Darussalam di Banda Aceh seluas hampir 200 hektare. Ini merupakan pusat pendidikan yang di dalamnya mencakup SD, SMP, SMA, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan IAIN Ar-Raniry, lengkap dengan asrama mahasiswanya. Pada 1962-1964, saya duduk sebagai Ketua Dewan Kurator Unsyiah. Mengajar mata kuliah Sejarah, Kebudayaan Islam, Ilmu Dakwah, dan Publisistik. Pada 1963, menjabat Rektor IAIN ArRaniry. Dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) oleh IAIN ini pada 1976 dalam Ilmu Dakwah. Rektor Ar-Raniry pada 1977-1982. Sebagai pusat kebudayaan Islam, Aceh masih menyimpan sisa- sisanya. Sejak saya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh -- 1982 sampai sekarang --banyak orang luar negeri yang datang ke sini untuk belajar. Beberapa di antaranya ada yang masuk Islam. Seorang wartawan Australia, Harry Aveling, pernah tinggal di sini. Pada 1989, dia menyatakan diri masuk Islam. Saya yang menyaksikannya membaca Dua Kalimah Syahadat di Masjid Raya Baturrakhman, Banda Aceh. Hampir tiap minggu, ada saja yang menyatakan diri masuk Islam. Pernah pula seorang keturunan Cina, pedagang di Glodok, Jakarta, jauh-jauh ke Aceh hanya untuk menyatakan diri masuk Islam. Saya pula yang menyaksikannya. Itu satu bukti bahwa Aceh tetap dipandang sebagai daerah budaya Islam di Indonesia. Kalau pendidikan berjalan baik, insya Allah Aceh akan kembali menjadi gudang ilmu. Kepada orang DI, saya pernah bilang, saya tidak setuju Aceh mendirikan negara sendiri. Biarlah Aceh tetap menjadi bagian dari Republik ini. Kita jadikan Aceh paling maju, provinsi paling depan. Kalau perlu, jadi ibu kota. Itu bukan tidak mungkin, asalkan memenuhi syarat. Dulu, ketika Yogyakarta, Ibu Kota Republik, diduduki Belanda dan pemimpin-pemimpin kita ditangkap, Aceh pernah menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), sampai penyerahan kedaulatan 1949. Yayasan Ali Hasjmy SAYA sedang menunggu masa pensiun. Masih jadi Ketua MUI dan Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh. Enam anak saya, semuanya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di berbagai daerah. Ada yang di Jakarta, Tapaktuan -- Sumatera Utara -- Lhokseumawe. Bahkan di Tokyo. Di rumah, tinggal seorang anak perempuan. Itu pun sudah menikah dan punya anak. Sebenarnya, saya punya tujuh anak. Satu meninggal. Jumlah cucu 17 orang. Banyak, kan? Saya sudah tua. Mungkin tak lama lagi akan kembali ke pangkuan Allah swt. Rumah saya di Jalan Jenderal Sudirman, Banda Aceh, ini terasa terlalu besar. Maka, sebagian tanah -- kirakira 1.000 meter -- dari sekitar 3.000 meter, saya berikan kepada anak perempuan saya itu. Berikut rumah. Selama ini, saya tinggal berdua saja dengan istri saya. Menempati bangunan di atas tanah 2.000 m2, persis di samping rumah anak perempuan saya. Atas bantuan dana Pemerintah Daerah, saya merombak kediaman saya jadi kantor "Yayasan Ali Hasjmy". Total biaya Rp 150 juta. Diresmikan bulan Januari 1991, baru saja. Untuk direktur disediakan rumah, persis di belakang kantor. Selain mengelola perpustakaan umum, yayasan ini juga menyimpan benda-benda antik khas Aceh. Rencong, bari -- jenis keris tapi khas Aceh -- pending, keramik, dan sebagainya. Khusus buat perpustakaan, saya memiliki puluhan ribu koleksi buku, puluhan manuskrip (naskah lama). Sayang kalau disiasiakan. Untuk sementara, saya duduk sebagai direktur, sampai meninggal. Tinggal di rumah direktur. Punya kawan-kawan kerja, punya kegiatan. Dan setelah pensiun tidak akan kesepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar