Cornelius Johannes de Groot, seorang insinyur muda berbakat lulusan
Sekolah Politeknik di Delft, Belanda, memimpin pembangunan stasiun
pemancar.
ALBINA ARAHMAN
Jum'at 01 Maret 2013 22:20 WIB
MENYUSURI Jalan Chik Ditiro yang diteduhi pohon-pohon asam Belanda yang
rindang, melewati masjid Agung Babussalam yang megah, kompleks
perumahan Telkom yang terawat rapi, Rumah Sakit Angkatan Laut J.
Lilipory yang kokoh dan penuh kenangan. Tak dinyana jalan bernama
Radiodwarsweg pada abad yang lalu, jalan yang menurun dan mendaki
hingga ke Ie Meule tepatnya tepian pantai Balee Pasie yang berpasir
putih gading nan indah ini, lengkap dengan sebuah stasiun pemancar
radio nirkabel yang begitu menggema kemegahannya.
Satu abad telah berlalu, penduduk, perumahan, dan sarana kehidupan pun
bertambah padat. Hampir tak bersisa sebuah tanda kemegahan dan
kecanggihan komunikasi zaman itu. Kecuali sebuah tembok beton tua
berukuran 2,5 x 2,5 meter setinggi lima meter di depan stadion Sabang
Merauke.
Beton yang hanya menjadi lahan parkir ketika pertandingan sepak bola
berlangsung atau tempat tempel menempel poster ketika pilkada dan pemilu
yang lalu, Padahal ia adalah saksi sejarah yang menjadi tumpuan
pengikat dari tegaknya sebuah menara baja setinggi tujuh puluh lima
meter, sebuah ukuran menara raksasa pada masanya.
Dari menara inilah panggilan diterima dan berita dipancarkan, melintasi
jarak dua belas ribu kilometer antara negeri kincir angin Belanda dan
wilayah koloninya di timur Asia. Melalui kode morse telegraf atau pun
kamar bicara seharga lima belas gulden per tiga menitnya, yang
dilengkapi dengan corong bicara dan pendengar suara yang diletakkan di
telinga. “Hello Den Hag! Hier Sabang! (hallo Denhag! Ini Sabang!)”.
Mungkin aneh kedengarannya bagi kita yang hidup pada era
telekomunikasi yang sudah sangat canggih dengan peluang bicara dan
bertatap muka yang sangat mudah dan murah dengan siapapun dan di
belahan dunia manapun. Tetapi ada banyak orang yang telah mendedikasikan
waktu dan ilmunya dalam rentang masa yang sangat panjang untuk
kenyamanan yang kita nikmati hari ini.
Komunikasi radio telegrafi lintas negara dan lautan tanpa kabel
dimulai sejak William H. Preece dan Graham Bell mengembangkan sistem tak
terbatas telegrafi dan mentransmisikan sistem induksi pada tahun 1892.
Sejak itu, tiga perusahaan besar, yaitu Branly Pop dari Paris,
Telefunken dari Berlin, dan Marconi dari London, mengembangkannya
sebagai sarana politik dan komersil ke manca negara.
Awalnya, Belanda adalah salah satu negara yang sangat bergantung pada
Inggris dalam hal pertelekomunikasian. Tetapi sebagai bangsa dan negara
perdagangan dengan wilayah koloni luar negeri yang besar, mempunyai
minat yang kuat untuk memiliki hubungan internasional yang cepat dan
baik. Terutama setelah pesan-pesan melalui kabel-kabel telegrafi milik
Inggris mengalami penyensoran.
RadioTelegrafi tampaknya menjadi alternatif jalan keluar terhadap
ketergantungan untuk jaringan fisik yang penting ini. Bagaimanapun,
tujuan akhirnya adalah jaringan radio telegrafi langsung antara Belanda
dan koloni-koloninya di luar negeri. Dan stasiun pemancar radio
telegrafi pun didirikan hampir serempak di tiga tempat di Hindia Belanda
bagian barat, yaitu Aruba, Bonaire, dan Curacao; dan di tujuh tempat di
Hindia Belanda bagian timur, yaitu Batavia, Cirebon, Makasar,
Pare-pare, Radjave, Situbondo, dan salah satunya di Sabang. Sedangkan
stasiun pemancar utama dari pelayanan telegrafi nirkabel ini didirikan
di Amsterdam pada tahun 1908.
Tepat seratus tahun yang lalu, yaitu 1910, bukan tanpa alasan Belanda
menjadikan Sabang sebagai tempat dibangunnya stasiun pemancar ini.
Walaupun hanya sebuah pulau kecil di ujung Sumatra, Sabang merupakan
daerah netral di kawasan Timur Kolonial Hindia Belanda yang memiliki
fasilitas pelabuhan yang lengkap dengan stasiun pengisi bahan bakar
batu bara, air bersih dan galangan kapal bagi kapal-kapal dagang maupun
kapal-kapal pemerintah, juga stasiun radar, dan lapangan udara.
Dengan bahan terbaik, peralatan lengkap, dan teknisi yang trampil,
stasiun pemancar ini selesai pada tahun 1911 dengan call letters (kode
panggilan) SAB dan panjang gelombang, yaitu 300 meter dan 600 meter.
Stasiun ini didirikan persis di kompleks SMP Negri 2 Ie Meulee
sekarang. Pilihan lokasi jatuh pada kawasan pantai Ie Meulee karena
topografinya yang datar, di depan laut, dan menghadap ke utara, tepatnya
ke arah negeri Belanda di Benua Biru Eropa. Sehingga tak ada halangan
untuk menangkap dan memancarkan gelombang radio. Stasiun radio ini
dilengkapi dengan pembangkit listrik sendiri dan kompleks perumahan bagi
pegawainya yang terletak di depan RSAL J. Lilipory dan sekarang menjadi
perumahan Telkom.
Adalah Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), seorang insinyur muda
berbakat lulusan Sekolah Politeknik di Delft, Belanda, yang memimpin
pembangunan stasiun-stasiun pemancar ini. Selama 18 bulan setelah
kelulusannya, ia bekerja di General Electric Company di Berlin. Pada
tahun 1908 ia pindah ke Hindia Belanda, bekerja pada layanan telegraf
dan akhirnya menjadi Kepala Teknis Telegraph dan Telepon Hindia Belanda.
De Groot mengadakan investigasi gelombang radio di daerah tropis dan
studi telegrafi nirkabel di Eropa dan Amerika. Ia juga mengunjungi
perusahaan Telefunken di Berlin dan melakukan uji coba sinyal di Nauen,
Jerman, yang saat itu menjadi stasiun pemancar terkuat di dunia. Dan
pada 15 Desember 1915, sinyal dari Nauen dapat ditangkap di Sabang.
Semua investigasi dan uji cobanya dirangkum dalam sebuah tesis yang
berjudul radio telegrafi di daerah tropis dan memberinya gelar Doktor
pada tahun 1916.
De Groot memang seorang pelopor radio pemancar yang selalu mempunyai
pemikiran yang berbeda. Serangkaian uji sinyal lainnya menghasilkan
penerapan gelombang pendek untuk radio telefon yang membawa banyak
keuntungan bagi kepentingan politik, militer, dan tentu saja ekonomi.
Stasiun Malabar dengan antena horisontalnya adalah bukti dari
kecerdasannya untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya dan biaya, dan
keberaniannya untuk menerapkan ide yang berbeda dari teori yang berlaku
umum.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, dengan diungsikannya hampir
semua warga Eropa dari Sabang, maka stasiun pemancar ini tidak lagi
digunakan karena mereka membawa unit radio pemancar sendiri untuk
berhubungan dengan armada pasukannya. Tetapi tentara Jepang tetap
mengawasi kompleks Radio Zenstation dengan ketat siang dan malam agar
tak bisa digunakan oleh beberapa warga Eropa yang tersisa. Salah satunya
adalah dokter Colen, kepala rumah sakit jiwa yang berusaha mengadakan
kontak dengan pihak tentara sekutu dan akhirnya menerima nasibnya di
ujung pedang algojo Jepang di Batee Shok.
Pada tanggal 19 April 1944, Komandan Armada Timur Pasukan Sekutu
melaksanakan serangan pengalihan perhatian untuk merebut kembali
Hollandia (sekarang Jayapura) dan wilayah timur dari tangan Jepang.
Sabang dipilih sebagai sasaran serangan karena mempunyai fasilitas
pelabuhan yang lengkap dan merupakan basis pertahanan Jepang di wilayah
barat.
Dalam penyerangan yang disebut operasi cockpit ini, ditugaskan 22 kapal
perang, termasuk dua kapal induk dari Angkatan Laut Britania Raya,
Angkatan Laut Australia, Angkatan Laut Perancis, Angkatan Laut Kerajaan
Belanda, Angkatan Laut Selandia Baru, dan Angkatan Laut Amerika Serikat.
46 buah pesawat pengebom dan 37 pesawat penyerang melengkapi kapal
induk Illustrious dan Saratoga. Serangan tak terduga pada pukul 5.30
pagi itu tentu saja sangat mengejut tentara Jepang dan menimbulkan
kepanikan.
Tetapi serangan pasukan sekutu yang sesungguhnya untuk merebut kembali
wilayah barat dari pendudukan Jepang terjadi pada dinihari tanggal 25
Juli di tahun yang sama. Sudah dapat dipastikan tentara Jepang tak dapat
berkutik dalam menghadapi serangan kedua dengan kekuatan yang lebih
besar ini.
Dua penyerangan pasukan sekutu ini menghancurkan beberapa instalasi
fasilitas di Sabang. Diantaranya adalah stasiun pemancar radio di Ie
Meulee. Dan sampai Belanda menyerahkan Sabang pada pemerintah RI tahun
1950, stasiun pemancar radio itu tak pernah dibangun lagi. Untuk
sementara waktu itu tahun 1948, Belanda menggunakan gedung Societeit
(sekarang gedung PDAM) untuk basis komunikasi radionya.
Tak dinyana lagi berbagai kisah dan lautan emosi mengalir melantun
dalam sinyal-sinyal telepon antara Sabang dan negeri-negeri lainnya
diberbagai belahan dunia, cerita dan tangisan warga eropa ketika
meletusnya perang dunia ke dua, ketika sabang hancur dan luluh lantak
peradaban di atasnya.
Seorang ibu tua berdiri dalam udara yang dingin di depan kantor pos & telegraf.
“Sabang sudah terhubung, nyonya,” kata petugas dengan ramah pada si ibu
yang tiba-tiba muncul binar di matanya. Dengan gemetar di kaki yang
kaku ia meraih mikropon. Dan kemudian ia mendengar, oh Tuhan.......,
suara lembut anaknya :
“Halo! Sabang! Halo! Sabang!”
“Ya, ibu... disinilah aku.”
“Halo anak baik...bagaimana kabarmu, sayang ?” katanya dengan terisak.
“Aku baik-baik saja, ibu. Bagaimana dengan ibu ? Halo!”
Lalu ia hanya mengatakan : “Banyak sekali yang ingin aku ceritakan pada ibu,”
“Anakku sayang, ibu sudah menabung berbulan-bulan. Ini adalah gulden yang terakhir,”
“Ibu, masih empat tahun lagi sebelum aku pulang ke Holland,”
“Halo sayang. Ibu rindu sekali padamu,” katanya masih dengn terisak.
“Ibu, aku akan membawa pulang cucumu,”
Bebepara saat kemudian ia mendengar suara menggemaskan : “Nenek....nenek.”
“Halo!”
“Ya, ibu. Di sini aku,”
Ia tidak menjawab. Ia hanya mendengar isakan. Tet..te..tet... suara
telepon Sabang itu pun terputus... terputus selamanya...ketika Sabang
diserang dari berbagai sisi... hilang.. (sabang, penghujung Maret
1942...)
Kaitannya dengan Radio Rimba Raya
Ada yang menarik saat membuka catatan-catatan sejarah di lembaga Sabang
Heritage Society, sebuah lembaga komunitas pemerhati warisan sejarah
kota Sabang. Ditambah lagi saat ini sedang hebohnya sejarah Radio Rimba
Raya di Aceh Tengah (Rime Raya). Bahkan juga hebatnya kisah dan peran
Radio Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan ini malah kini diusulkan
untuk dijadikan cerita wajib dalam pelajaran sejarah di sekolah di Aceh.
Beranjak dari berbagai cerita tentang Radio Rimba Raya saya terusik
ketika menemukan beberapa fakta dan kaitan sejarah antara Rimba Raya dan
radio di Sabang milik pemerintah Belanda di Sabang. Tidak banyak yang
tahu bahwa di Sabang saat itu tahun 1908 sudah berdiri radio modern yang
mampu memancarkan frekuensi hingga ke Eropa sebagaimana yang telah
diceritakan dalam tulisan di atas.
Salah satu kaitan antara Radio Rimba Raya dan Radio Sabang adalah
Kontroversi tentang asal mula perangkat Radio Rimba Raya yang hingga
kini masih tanda tanya. Dalam catatan historis perangkat Radio Rimba
Raya yang kini tersimpan di Jogja hanya disebutkan bahwa perangkat radio
tersebut hasil seludupan dari Malaya.
Bahkan dalam catatan di Museum Tentara Nasional Indonesia di Jogja
tempat perangkat radio tersebut kini bersemayam hanya dituliskan bahwa
perangkat radio ini berasal dari Sumatera/Aceh. Saya patut berasumsi
bahwa perangkat Radio Rimba Raya ini sebenarnya adalah perangkat Radio
Sabang yang berhasil diseludupkan oleh pejuang Aceh yang berada di
Sabang ke Kutaraja. Tepatnya ketika Jepang menguasai kota Sabang
stasiun radio ini kemudian dikuasai Jepang.
Ketika Jepang menguasai Sabang mulai Maret tahun 1942 hingga Juli 1944.
Semua perangkat radio ini masih berfungsi dengan baik, hingga kemudian
meletuslah serangan besar-besaran sekutu yang berbasis di Kepulauan
Sailon Srilangka menyerang Pulau Weh Sabang. Salah satu sasaran serangan
sekutu ini adalah stasiun radio Sabang ini yang hari ini hanya tinggal
puing-puing saja.
Besar dugaan bahwa perangkat radio Sabang ini berhasil diambil oleh
pejuang-pejuang Aceh dan menjadi cikal bakal Radio Rimba Raya. Ditambah
lagi dari cerita para orang tua di Sabang bahwa meskipun Jepang
menguasai Sabang saat itu namun mereka tidak mampu mengoperasionalkan
perangkat radio ini secara maksimal sehingga Jepang tidak terlalu ambil
pusing dengan perangkat radio ini.
Kecuali mereka mengkhawatirkan dan memasang kecurigaan terhadap warga
Belanda yang masih tinggal di Sabang yang akan menggunakan fasilitas
radio ini untuk komunikasi seperti halnya Dokter Colon seorang dokter
rumah sakit jiwa sabang yang kemudian dipancung oleh tentara Jepang di
Desa Batee shok Sabang yang dituduhkan oleh Jepang adalah bahwa dia
berkomunikasi keluar Sabang bahkan ke negeri Belanda dengan fasilitas
radio ini.
Ketika Jepang kalah di Sabang melalui serangan sekutu bulan Juli tahun
1944 praktis perangkat-perangkat elektronik milik Belanda seperti radio
Sabang ini terbengkalai dan tidak ada yang mengunakan hingga kemudian
tentara KNIL masuk kembali ke Sabang akhir tahun 45. Karena dari sumber
lisan yang didapat menceritakan bahwa sejak Jepang kalah dan Belanda
masuk kembali ke Sabang akhir tahun 1945, tidak terdengar lagi info
tentang perangkat radio Sabang milik Belanda ini.
Maka dugaan bahwa perangkat ini diambil oleh para pejuang Aceh dan
menjadi cikal bakal radio Rimba Raya menjadi hipotesa kami selaku
pemerhati warisan sejarah kota Sabang.
Mudah-mudahan sekelumit catatan dan analisa sejarah dari Sabang ini
mampu menambah khazanah sejarah Radio Rimba Raya yang benar-benar
berperan penting dalam fase perjuangan kemerdekaan Indonesia.[]
*Albina Arahman adalah Direktur Eksekutif Sabang Heritage Society
Albina_sabang@yahoo.co.id