Minggu, 21 Februari 2010

Peranan Radio Di Awal Kemerdekaan

Tokoh pers tiga zaman H. Mohd Said pernah mengemukakan bahwa di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, 50% sarana perjuangan kemerdekaan bergantung pada pers.

Unsur perjuangan yang berjalan paling depan adalah perjuangan bersenjata, menyusul perjuangan pers, dan perjuangan diplomasi. Hal ini dikemukakan oleh Mohd Said setelah mengikuti perjalanan Gubernur Sumatera ke berbagai daerah dan mengikuti perjalanan Bung Karno saat melakukan kampanye kemerdekaan di Pulau Jawa.

Begitu penting sarana pers dalam mempertahankan kemerdekaan, maka Mohd. Said menerbitkan harian Waspada di daerah pendudukan Belanda di Medan ini. Kemudian mengajak Arif Lubis untuk menerbitkan juga surat kabar di daerah pendudukan Belanda.

Arif Lubis ingin menerbitkan kembali “Soeloeh Merdeka” di Medan, tetapi tidak diizinkan oleh penguasa Belanda Dr. Van de Velde, karena ada kata “merdeka” nya. Van de Velde ini adalah bekas Kontrolir Belanda di Samalanga yang lancar berbahasa Aceh.

Karena tidak dibenarkan diterbitkan “Soeloeh Merdeka” yang tadinya membawa suara Pemerintah Provinsi Sumatera yang dipimpin oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan (Pahlawan Nasional). Atas kesepakatan dengan Direksi lama “Mimbar Umum” Udin Siregar, Arif Lubis menerbitkan kembali harian “Mimbar Umum”. Kemudian menyusul terbit majalah Berita “Waktoe” harian “Warta Berita” pimpinan Zahari dan lain-lain.

Sementara di daerah Republik yaitu di Keresidenan Aceh sejak awal kemerdekaan telah terbit surat kabar “Semangat Merdeka” yang dipimpin oleh A. Hasjmy, A.G. Mutyara, dan T.A. Talsya. Surat kabar yang mengajak rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, terbit di Banda Aceh (Kutaraja) tanggal 18 Oktober 1945. Kemudian terbit lagi majalah “Pahlawan”, “Wijaya”, “Dharma” dan lain-lain.

Kesulitan Surat Kabar Republikein

Bagi surat kabar yang terbit di daerah Republik memang tidak mengalami problem apa-apa dalam penerbitan dan peredarannya. Betapa pahit dan sulit yang dihadapi oleh surat –surat kabar Republikein yang terbit di daerah pendudukan Belanda Medan.

Pertempuran kadang terjadi baik siang maupun malam menyebabkan orang pers tidur di percetakan. Di antaranya kesulitan yang dialami “Waspada” ketiadaan kertas. Penguasa Belanda di Medan pernah menawarkan jatah kertas kepada Waspada tetapi ditolak oleh Mohd. Said.

Melalui kurir diberi tahukan oleh Mohd. Said kepada A. Hasjmy dan A.G. Mutyara, hal ini dibicarakan dengan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku Mohd. Daud Beureueh. Melalui NV Permai “yang dipimpin oleh Teuku Manyak yang mempunyai Cabang di Penang, Aceh membantu mengirim kertas koran untuk Waspada” dengan menggunakan boat dari Penang (Malaya) melalui pelabuhan Tanjung Balai.

Peranan pers yang dimaksud oleh Mohd. Said bukan saja pers cetak saja tetapi juga pers radio. Orang-orang surat kabar, waktu itu terus memonitor siaran-siaran radio yang dipancarkan oleh radio gerilya atau radio resmi dari daerah Republik. Tetapi setelah Agresi kedua 19 Desember 1948 siaran-siaran radio baik yang ada di Yogyakarta, Bukit Tinggi telah “dibungkemkan” oleh Belanda.

RRI Medan yang pemancarnya dipasang di Kampung Baru Medan, baru saja mulai menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”, awal 1946 diserang dan dihancurkan oleh pasukan Sekutu. Bulan April 1946 RRI Medan diungsikan dari Jalan Asia ke P. Siantar (Ibu Kota Provinsi Sumatera). Ketika Belanda melancarkan Agresinya ke dua Juli 1947 merebut P. Siantar, RRI Medan di P. Siantar lebih dahulu diledakkan oleh pasukan elit Belanda.

Pemancar Radio Yang Berjasa

Kalau ada pemancar radio yang paling berjasa di Republik ini di awal perang kemerdekaan selain pemancar radio yang digunakan oleh Bung Tomo dan K’tut Tantri ketika Inggris menyerang Surabaya selama tiga hari berturut-turut, maka tidak berlebihan kalau kami katakan pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Radio Rimba Raya) merupakan pemancar radio paling berjasa.

Karena berjasanya pemancar tersebut, maka sampai saat ini pemancar tersebut itu disimpan di “Museum Angkatan Darat” di Yogyakarta. Kami tidak tahu apakah pemancar yang pernah digunakan oleh Bung Utomo yang kekuatannya tidak begitu besar juga dipelihara di salah satu museum di Jawa.

Pemancar Radio Perjuangan Divisi X (Rimba Raya) yang berkekuatan 350 watt, didatangkan oleh Kapten Xarim dari Singapura dan dimasukkan melalui Kuala Serapoh (Langkat) ketika pasukan Batalyon B bertugas di Langkat sebelum Agresi Belanda pertama.

Siaran radio “Rimba Raya” dapat didengar di Semanjaung Malaysia, Singapura, Saigon, Manila, New Delhi, Australia dan beberapa negara di Eropa. Radio ini mempunyai dua channel, satu channel untuk siaran dan satu channel lagi dapat digunakan untuk mengadakan hubungan telefon oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dengan Perwakilan kita di luar negeri baik Sudarsono, Mr. MA Maramis LN. Palar dan lain-lain.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” ini tiap malam muncul di udara dalam 6 bahasa. Bahasa Inggris disampaikan oleh John Edward (Abdullah) mantan Letnan Sekutu yang berpihak kepada Indonesia. Bahasa Urdu (India) disampaikan oleh Chandra juga mantan tentara Sekutu yang membelot ke pihak kita.

Bahasa Cina disampaikan oleh Hie Wun Fie, bahasa Belanda oleh Syarifuddin, bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif dan bahasa Indonesia disampaikan secara bergantian oleh penyiar radio tersebut.

RI Tidak ada lagi

Ketika Belanda melancarkan Agresinya yang kedua 19 Desember 1948, Yogyakarta dikuasai, Bukit Tinggi dibom dan diduduki, maka RRI di kedua pusat pemerintahan itu dibungkam. Para pemimpin Republik ini ditawan, Bung Karno, Sutan Syahrir dan H. Agus Salim ditawan Belanda di Pasanggerahan Lau Cumba Brastagi.

Satu minggu setelah pemimpin ini ditawan 8 pembesar Belanda datang ke Pasanggerahan tersebut dengan membawa satu peti penuh uang Gulden, satu peti penuh pakaian mewah.

Oleh pemimpin Belanda itu kepada Bung Karno disodorkan satu surat untuk ditandatangani, tetapi Bung Karno menolak, dengan mengatakan: “Saya bapak rakyat saya tanya dulu kepada rakyat, kalau rakyat setuju baru saya tanda tangan.” Fakta ini telah kami tulis dalam buku berjudul “Pemimpin Republik Ditawan Di Brastagi dan Parapat (2003).

Radio Belanda Hilversum di Belanda, radio Belanda di Jakarta dan radio Belanda di Medan yang pemancarnya berkekuatan 250 watt didatangkan dari Irian Barat, pernah mengumumkan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi, Yogyakarta telah diduduki. Para pemimpinnya telah ditawan. Semua daerah Indonesia telah dikuasai Belanda.

Radio Rimba Raya berkedudukan 60 km dari Bireuen menuju Takengon segera menjawab : Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada. Pemerintahannya masih ada (Pemerintahan Darurat RI berkedudukan di Sumatera).

Masih ada Tentara Republik Indonesia, masih ada wilayah Republik Indonesia yaitu Keresidanan Aceh yang masih utuh sepenuhnya. Setelah itu “duel” berita di udara selalu terjadi, berita-berita propaganda Belanda selalu dibantah dengan mengumumkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Konferensi Asia Tentang Indonesia

Radio Rimba Raya ini terus dimonitor oleh “All India Radio” dan “Australia Broadcasting”, Radio luar negeri ini selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas. Karena derasnya informasi ke luar negeri dan berkat perjuangan gigih para diplomat kita di luar negeri maka opini negara-negara Asia berpihak kepada kita. Tanggal 20 - 23 Januari 1949 di New Delhi dilangsungkan “Konferensi Asia Tentang Indonesia”.

Konferensi ini dibuka oleh PM Nehru, dalam pidato pembukaannya dikatakan : “Kemerdekaan satu negeri, saudara kita kini terancam, karena kolonialisme yang hampir mati hendak mengangkat kepala lagi dan mengganggu kehendak-kehendak baik dan tenaga-tenaga yang mau membangun dunia ini”. Demikian antara lain pidato PM. Nehru.

Konferensi yang bersejarah ini mendesak : Yogyakarta harus dikembalikan kepada RI. Tentara Belanda harus ditarik dari Indonesia, dan para pemimpin Indonesia yang ditawan harus dilepaskan. Adapun wakil-wakil diplomat Indonesia yang hadir dalam konferensi Asia untuk Indonesia adalah : Dr. Sumitro, Dr. Sudarsono, Haji Rasyidi, Mr. Utoyo, Mr. Maramis dan lain-lain.

Atas desakan konferensi ini sementara makin meningkatnya perang gerilya di Indonesia, maka Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang Lake Succes tanggal 28 Januari selama 5 hari.

Sidang ini memutuskan harus diadakan gencatan senjata. Pemimpin Republik yang ditawan harus dibebaskan. Mengembalikan Yogya kepada R.I. Pasukan Belanda harus ditarik dari Indonesia. Perundingan Indonesia-Belanda harus dipercepat.

Buah dari konferensi Asia untuk Indonesia dan Sidang Dewan Keamanan PBB, kemudian dilangsungkannya konferensi Meja Bundar 27 Desember 1947, dan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian yang sederhana ini jelaslah apa yang dikemukakan oleh Mohd. Said tokoh pers tiga zaman mengenai besarnya peranan pers sebagai sarana perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah.

Sementara siaran radio yang merupakan media elektronika itu melancarkan informasi ke dalam dan keluar negeri dan berhasil menggalang opini publik di dalam dan di luar negeri untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Kepada Bung Parni Hadi Direktur Utama RRI Pusat kami menyarankan dalam rangka Hari Bhakti RRI tahun-tahun yang akan datang, selain memberi “Peniti Swara Bhakti Kencana” kepada angkasa radio yang sangat berjasa, seperti yang diberikan kepada Bung Sani tahun 1994 adalah sangat berfaedah kalau RRI Pusat menerbitkan buku “Sejarah Perjuangan Radio” terutama perjuangan radio di awal kemerdekaan.

Hal ini penting bagi generasi penerus, dan juga sebagai pembuktian bahwa 50% sarana perjuangan kemerdekaan adalah peran pers. Dirgahayu Hari Bhakti RRI ke 64. ****** ( Muhammad TWH : Penulis adalah wartawan senior pemerhati sejarah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar