Sabtu, 27 Maret 2010
Gema Suara Radio Rimba Raya
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Itulah berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.
Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Iskandar Norman
Perang Gayo Sejarah Perang Aceh yang Tercecer
SEJUJURNYA harus kita akui bahwa Perang Gayo merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Perang Aceh. Tidak afdal kalau kita bicara perang Aceh tanpa sedikitpun bicara tentang sejarah Perang Gayo.
Meletusnya Perang Gayo
Lebih kurang 27 tahun setelah meletusnya Perang Aceh di kawasan pesisir (baca; 26 Maret 1873 ), atau tepatnya di awal tahun 1900-an, pasukan Belanda mulai menyusun strategi menyerbu Tanah Gayo. Hal tersebut diilhami untuk meredam strategi gerilya jangka panjang yang diterapkan Kesultanan Aceh untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Dan, dari belantara hutan pegunungan Gayo itulah yang merupakan benteng terakhir pertahanan kerajaan Kesultanan Aceh. Ini awal meletusnya Perang Gayo.
Perang Sebelum Kemerdekaan
Setelah hampir sebagian pesisir daerah Aceh di kuasai pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda mengintensifkan sasaran ke bagian pedalaman Aceh (Tanah Gayo), karena daerah tersebut dijadikan tameng tempat berlindungnya para pejuang-pejuang Aceh yang terus bergerilya. Tanah Gayo merupakan wilayah yang paling akhir dimasuki Pasukan Belanda selama menjajah di nusantara ini.
Sejarah mencatat, bahwa pasukan Belanda telah 2 kali melakukan serangan secara besar–besaran ke Tanah Gayo. Pertama; Dalam tahun 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Coliju menyerang Tanah Gayo melalui kawasan Isaq tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem–Intem. Serangan ini mengalami kegagalan karena perlawanan yang sengit dan sulitnya medan yang dilalui. Kedua; Pada tanggal 08 Februari 1904 di bawah pimpinan Van Daalen dengan menggunakan 3 buah kapal berkekuatan 10 brigade morses dengan 12 perwira terbaik.
Sebelum melakukan penyerangan ke tanah Gayo, Penguasa Tertinggi Colonial Belanda di Aceh (Gubenur Militer Belanda) Letnan Jenderal JB Van Heutsz membentuk Pasukan Marsose (Het Korps Marechaussee) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Daalen. Pasukan khusus ini dibentuk untuk menguasai daerah pedalaman Aceh (Tanah Gayo).
Keberhasilan serangan pasukan Belanda yang kedua ini adalah dengan berbekal laporan seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yaitu C Snock Hurgronje yang berjudul Het Gayoland En Zijne Bewoners (Negeri Gayo dan Penduduknya).
Tragedi yang terjadi pada tahun 1904, saat Letnan Colonel GCE Van Derlan menggempur Tanah Gayo, yang mengakibatkan 2.500 orang Gayo tewas, merupakan fakta tertulis dengan tinta emas perjuangan Rakyat Gayo.
Di antara tokoh–tokoh perjuangan yang pernah terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda di luar maupun di Dataran Tinggi Tanah Gayo sendiri, sebelum kemerdekaan, antara lain Tengku Tapa (Mustafa) yang berjuangan di Aceh Timur dan Pase antara tahun 1893 sampai 1900.
Inen Mayak Tri (sebutan untuk pengantin baru di Tanah Gayo) yang merupakan srikandi Tanah Gayo (setara dengan kegigihan Tjut Nyak Dhien), tewas ditembak Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz, pada hari Jumat bulan November tahun 1899, di sebuah gubuk di hutan Lukup. Beliau angkat senjata setelah suaminya gugur dalam perlawanan menentang kekuasaan Belanda.
Pang Amin atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Perang Amin. Beliau ini berasal dari Belah Gele. Pang Amin menghimpun dan melatih dengan gigih rakyat Gayo untuk menentang penjajahan Kolonialis Belanda.
Aman Njerang, pejuang gagah berani yang ± 20 tahun mengembara di belantara hutan Tanah Gayo. Beliau syahid 3 Oktober 1922, ketika bertempur dengan Marsose di kawasan pegunungan Van Daelen, wilayah Geumpang perbatasan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Pedangnya kemudian dibawa Letnan Jordans ke Belanda. Akhirnya pedang yang telah berumur ± 120 tahun (setelah 82 tahun berada di Belanda) pada hari Jumat, 4 Maret 2003 dikembalikan ke Aceh, yang sekarang pedang tersebut tersimpan di museum Aceh.
Masih banyak lagi pejuang asal negeri ini yang syahid, gugur dalam mempertahankan dan mengusir penjajahan Belanda, seperti Pang Akup, Pang Bedel, Pang Bin, Pang Reben, Pang Ramung dan lain sebagainya.
Masa Pendudukan Jepang
Kedatangan Bala Tantara Dai Nipon atau lebih dikenal dengan sebuatan “Saudara Tua” dari timur. Bukannya melepaskan penderitaan rakyat Gayo itu. Malahan sebaliknya penderitaan rakyat bertambah parah. Lepas dari perangkap anjing, masuk perangkap harimau.
Kekejaman Tentara Jepang selama menduduki Negeri Dingin ini (± 3,5 tahun), lebih menyakitkan daripada masa penjajahan Hindia Belanda (± 350 tahun). Adanya kerja paksa pembangunan jalan Takengon – Blangkejeren, Takengon – Bireuen dan lain sebagainya.
Melihat penderitaan rakyat yang telah mencapai puncaknya. Pejuang Muslimin Gayo yang berpusat di Tedet kemukiman Samarkilang, di bawah pimpinan Tengku Pang Akob, menyerang pos dan tangsi tentara Jepang, pada tanggal 2 Mei 1945. Puluhan tentara Jepang tewas secara mengganaskan.
Di balik penderitaan pada masa pendudukan Jepang, ada beberapa hal yang dipandang positif, salah satunya adalah memaksa rakyat Gayo untuk meningkatkan kemampuan militer dan keterampilan menenun pakaian.
Perang Kemerdekaan
Setelah berakhirnya pendudukan Jepang, di Daerah Tanah Gayo mulai aman dan kondisi keamanan cukup terkendali. Para serdadu Jepang sudah diberangkatkan ke luar daerah untuk dipulangkan ke negerinya.
Melihat situasi tanah Gayo itu, dari hari ke hari bertambah terkendali, dan diyakini sudah saatnya untuk membantu perjuangan keluar daerah.
Selama masa perang kemerdekaan, rakyat Gayo telah 15 kali mengirimkan gelombang mujahidin keluar daerah, untuk membantu saudara–saudaranya di Langkat, Sumatera Timur, Kota Bonjol dan sampai ke Bukit Tinggi Sumatera Barat, yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Keberanian para mujahiddin dari Tanah Gayo itu tercatat dalam sejarah dalam menghadapi pertempuran. Puncak pertempuran yang paling dahsyat dan tercatat dengan tinta emas dalam arsip perjuangan rakyat Indonesia adalah pertempuran yang terjadi (30 Juli 1949) di Rajamerahe – Sukaramai – Kandi bata tanah Karo atau lebih dikenal dengan pertempuran ‘Sukaramai’, di bawah koordinator Pasukan Bagura Tgk Iiyas Lebe.
Dalam pertempuran tersebut beberapa Mujahiddin gugur sebagai syuhada, di antaranya Abu Bakar Aman Dimot. Beliau syahid setelah membunuh 10 orang pasukan Belanda. Dan kabarnya beliau gugur setelah sebuah granat diledakkan di dalam mulutnya (salah seorang Mujahiddin yang diajukan Pemerintah Aceh sebagai Pahlawan Nasional).
Radio Rimba Raya
Rimba Raya yang terletak di Daerah Tanah Gayo atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian kabupaten Bener Meriah.
Rimba Raya ini pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948–1949 menjadi tempat pemancar radio. Dan dari sanalah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Signal Colling “Suara Radio Republik Indoneia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibukota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hiverson (miliki Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mengcansel berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
Penutup
Keagungan jiwa dan semangat perjuangan Rakyat Gayo dalam mempertahankan agama dan tanah air sebelum dan sesudah kemerdekaan, memberi isyarat ketangguhan daya tangkal dan modal bagi Rakyat Gayo, untuk mempertahankan kesucian agama dan tanah air dari berbagai macam penjajahan.
Dari catatan sejarah, bahwa perang Gayo tidak dapat dipisahkan dari sejarah Perang Aceh. Tanah Gayo telah banyak melahirkan putra–putri terbaik, yang telah banyak berjasa menunjukkan eksistensinya terhadap kerajaan Aceh Darussalam dan republik ini.
Semangat dan jiwa itu menjadi modal pula untuk menggalang pembangunan di Daerah Dataran Tinggi Tanah Gayo, di era pembangunan nasional dewasa ini, dan di masa yang akan datang. Karenanya, semangat juang Rakyat Gayo, di masa lalu telah melahirkan banyak pejuang. Mereka gugur dalam perjuangan, merupakan bunga kesuma bangsa yang tetap dikenang oleh setiap orang. Dan mereka yang tinggal menjadi motivator pembangunan dalam mengisi kemerdekaan menuju masyarakat yang adil, makmur dan beradab.[]
Oleh Hammaddin SSos, Antropolog dan penulis buku Gere I Beteh Kati Gere Mukale, serta Pengurus DPD II PGRI Bener Meriah periode 2009/2014.
Meletusnya Perang Gayo
Lebih kurang 27 tahun setelah meletusnya Perang Aceh di kawasan pesisir (baca; 26 Maret 1873 ), atau tepatnya di awal tahun 1900-an, pasukan Belanda mulai menyusun strategi menyerbu Tanah Gayo. Hal tersebut diilhami untuk meredam strategi gerilya jangka panjang yang diterapkan Kesultanan Aceh untuk menghindari penangkapan pasukan Belanda. Dan, dari belantara hutan pegunungan Gayo itulah yang merupakan benteng terakhir pertahanan kerajaan Kesultanan Aceh. Ini awal meletusnya Perang Gayo.
Perang Sebelum Kemerdekaan
Setelah hampir sebagian pesisir daerah Aceh di kuasai pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda mengintensifkan sasaran ke bagian pedalaman Aceh (Tanah Gayo), karena daerah tersebut dijadikan tameng tempat berlindungnya para pejuang-pejuang Aceh yang terus bergerilya. Tanah Gayo merupakan wilayah yang paling akhir dimasuki Pasukan Belanda selama menjajah di nusantara ini.
Sejarah mencatat, bahwa pasukan Belanda telah 2 kali melakukan serangan secara besar–besaran ke Tanah Gayo. Pertama; Dalam tahun 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Coliju menyerang Tanah Gayo melalui kawasan Isaq tapi hanya sampai wilayah dekat Burni Intem–Intem. Serangan ini mengalami kegagalan karena perlawanan yang sengit dan sulitnya medan yang dilalui. Kedua; Pada tanggal 08 Februari 1904 di bawah pimpinan Van Daalen dengan menggunakan 3 buah kapal berkekuatan 10 brigade morses dengan 12 perwira terbaik.
Sebelum melakukan penyerangan ke tanah Gayo, Penguasa Tertinggi Colonial Belanda di Aceh (Gubenur Militer Belanda) Letnan Jenderal JB Van Heutsz membentuk Pasukan Marsose (Het Korps Marechaussee) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Daalen. Pasukan khusus ini dibentuk untuk menguasai daerah pedalaman Aceh (Tanah Gayo).
Keberhasilan serangan pasukan Belanda yang kedua ini adalah dengan berbekal laporan seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yaitu C Snock Hurgronje yang berjudul Het Gayoland En Zijne Bewoners (Negeri Gayo dan Penduduknya).
Tragedi yang terjadi pada tahun 1904, saat Letnan Colonel GCE Van Derlan menggempur Tanah Gayo, yang mengakibatkan 2.500 orang Gayo tewas, merupakan fakta tertulis dengan tinta emas perjuangan Rakyat Gayo.
Di antara tokoh–tokoh perjuangan yang pernah terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda di luar maupun di Dataran Tinggi Tanah Gayo sendiri, sebelum kemerdekaan, antara lain Tengku Tapa (Mustafa) yang berjuangan di Aceh Timur dan Pase antara tahun 1893 sampai 1900.
Inen Mayak Tri (sebutan untuk pengantin baru di Tanah Gayo) yang merupakan srikandi Tanah Gayo (setara dengan kegigihan Tjut Nyak Dhien), tewas ditembak Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz, pada hari Jumat bulan November tahun 1899, di sebuah gubuk di hutan Lukup. Beliau angkat senjata setelah suaminya gugur dalam perlawanan menentang kekuasaan Belanda.
Pang Amin atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Perang Amin. Beliau ini berasal dari Belah Gele. Pang Amin menghimpun dan melatih dengan gigih rakyat Gayo untuk menentang penjajahan Kolonialis Belanda.
Aman Njerang, pejuang gagah berani yang ± 20 tahun mengembara di belantara hutan Tanah Gayo. Beliau syahid 3 Oktober 1922, ketika bertempur dengan Marsose di kawasan pegunungan Van Daelen, wilayah Geumpang perbatasan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Pedangnya kemudian dibawa Letnan Jordans ke Belanda. Akhirnya pedang yang telah berumur ± 120 tahun (setelah 82 tahun berada di Belanda) pada hari Jumat, 4 Maret 2003 dikembalikan ke Aceh, yang sekarang pedang tersebut tersimpan di museum Aceh.
Masih banyak lagi pejuang asal negeri ini yang syahid, gugur dalam mempertahankan dan mengusir penjajahan Belanda, seperti Pang Akup, Pang Bedel, Pang Bin, Pang Reben, Pang Ramung dan lain sebagainya.
Masa Pendudukan Jepang
Kedatangan Bala Tantara Dai Nipon atau lebih dikenal dengan sebuatan “Saudara Tua” dari timur. Bukannya melepaskan penderitaan rakyat Gayo itu. Malahan sebaliknya penderitaan rakyat bertambah parah. Lepas dari perangkap anjing, masuk perangkap harimau.
Kekejaman Tentara Jepang selama menduduki Negeri Dingin ini (± 3,5 tahun), lebih menyakitkan daripada masa penjajahan Hindia Belanda (± 350 tahun). Adanya kerja paksa pembangunan jalan Takengon – Blangkejeren, Takengon – Bireuen dan lain sebagainya.
Melihat penderitaan rakyat yang telah mencapai puncaknya. Pejuang Muslimin Gayo yang berpusat di Tedet kemukiman Samarkilang, di bawah pimpinan Tengku Pang Akob, menyerang pos dan tangsi tentara Jepang, pada tanggal 2 Mei 1945. Puluhan tentara Jepang tewas secara mengganaskan.
Di balik penderitaan pada masa pendudukan Jepang, ada beberapa hal yang dipandang positif, salah satunya adalah memaksa rakyat Gayo untuk meningkatkan kemampuan militer dan keterampilan menenun pakaian.
Perang Kemerdekaan
Setelah berakhirnya pendudukan Jepang, di Daerah Tanah Gayo mulai aman dan kondisi keamanan cukup terkendali. Para serdadu Jepang sudah diberangkatkan ke luar daerah untuk dipulangkan ke negerinya.
Melihat situasi tanah Gayo itu, dari hari ke hari bertambah terkendali, dan diyakini sudah saatnya untuk membantu perjuangan keluar daerah.
Selama masa perang kemerdekaan, rakyat Gayo telah 15 kali mengirimkan gelombang mujahidin keluar daerah, untuk membantu saudara–saudaranya di Langkat, Sumatera Timur, Kota Bonjol dan sampai ke Bukit Tinggi Sumatera Barat, yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Keberanian para mujahiddin dari Tanah Gayo itu tercatat dalam sejarah dalam menghadapi pertempuran. Puncak pertempuran yang paling dahsyat dan tercatat dengan tinta emas dalam arsip perjuangan rakyat Indonesia adalah pertempuran yang terjadi (30 Juli 1949) di Rajamerahe – Sukaramai – Kandi bata tanah Karo atau lebih dikenal dengan pertempuran ‘Sukaramai’, di bawah koordinator Pasukan Bagura Tgk Iiyas Lebe.
Dalam pertempuran tersebut beberapa Mujahiddin gugur sebagai syuhada, di antaranya Abu Bakar Aman Dimot. Beliau syahid setelah membunuh 10 orang pasukan Belanda. Dan kabarnya beliau gugur setelah sebuah granat diledakkan di dalam mulutnya (salah seorang Mujahiddin yang diajukan Pemerintah Aceh sebagai Pahlawan Nasional).
Radio Rimba Raya
Rimba Raya yang terletak di Daerah Tanah Gayo atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian kabupaten Bener Meriah.
Rimba Raya ini pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948–1949 menjadi tempat pemancar radio. Dan dari sanalah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Signal Colling “Suara Radio Republik Indoneia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibukota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hiverson (miliki Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mengcansel berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.
Penutup
Keagungan jiwa dan semangat perjuangan Rakyat Gayo dalam mempertahankan agama dan tanah air sebelum dan sesudah kemerdekaan, memberi isyarat ketangguhan daya tangkal dan modal bagi Rakyat Gayo, untuk mempertahankan kesucian agama dan tanah air dari berbagai macam penjajahan.
Dari catatan sejarah, bahwa perang Gayo tidak dapat dipisahkan dari sejarah Perang Aceh. Tanah Gayo telah banyak melahirkan putra–putri terbaik, yang telah banyak berjasa menunjukkan eksistensinya terhadap kerajaan Aceh Darussalam dan republik ini.
Semangat dan jiwa itu menjadi modal pula untuk menggalang pembangunan di Daerah Dataran Tinggi Tanah Gayo, di era pembangunan nasional dewasa ini, dan di masa yang akan datang. Karenanya, semangat juang Rakyat Gayo, di masa lalu telah melahirkan banyak pejuang. Mereka gugur dalam perjuangan, merupakan bunga kesuma bangsa yang tetap dikenang oleh setiap orang. Dan mereka yang tinggal menjadi motivator pembangunan dalam mengisi kemerdekaan menuju masyarakat yang adil, makmur dan beradab.[]
Oleh Hammaddin SSos, Antropolog dan penulis buku Gere I Beteh Kati Gere Mukale, serta Pengurus DPD II PGRI Bener Meriah periode 2009/2014.
Radio Rimba Raya Mendukung Republik
Jam merek Vadex, buatan Swiss milik Ramly Melayu digantung di cangkul. Sejurus kemudian, dia mengetuk cangkul itu sebanyak lima kali. Setelah bunyi cangkul mereda, Ramly pun memekik: “Inilah Sumatera, radio Republik Indonesia…” tanpa menyebut posisinya mengudara.
Ramly Melayu dan para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.
Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?
Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.
Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.
“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.
Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.
Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.
Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.
Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.
Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.
Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.
Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.
arena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.
Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio.”
Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.
Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.
Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.
Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.
Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”
Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.
Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.
Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi
Oleh: Tuahta Arief
Ramly Melayu dan para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.
Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?
Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.
Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.
“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.
Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.
Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.
Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.
Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.
Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.
Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.
Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.
“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.
Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.
Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.
Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.
arena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.
Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.
Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio.”
Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.
Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.
Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.
Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.
Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”
Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.
Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.
Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi
Oleh: Tuahta Arief
Rabu, 24 Maret 2010
PENYAIR AMAN TAWAR MENDENDANGKAN RADIO RIMBA RAYA
AmanTawar pengarang didong yang berdomisi di Kuyun, Kec. Celala sekali waktu memperdengarkan karyanya. Nyanyian yang disampaikannya cukup menarik bertema sejarah. Lebih khusus lagi sejarah Radio Rimba Raya satu-satunya radio di zaman revolusi yang menyuarakan suara Indonesia ke luar negeri.
Aman Tawar yang berjenggot putih seperti pengarang R.Tagore dari India atau A. Samad Said penyair dari Malysia memang amat cekatan menulis. Ia mempunyai kebiasaan membawa buku dan menulis dimana saja bila ilham datang. Sehingga ratusan karyanya berupa didong Gayo tercatat dalam sejumlah buku. Semuanya ditulis tangan lengkap dengan tanggal pembuatan.
Didong “Radio Rime Raya” ini hanya salah satu dari karya yang bercerita tentang tentang sejarah. Masih ada sejumlah didongnya yang lain yang mengandung unsur sejarah.
Pada bagian awal didong “Radio Rime Raya” diungkapkan oleh pengarang bahwa Radio Rime Raya (Radio Rimba Raya) bertugas menyampaikan berita ke semua tempat termasuk ke luar neger. Dari Rimba Raya lah berita juga disampaikan ke New Delhi di India. Selanjutnya di gambarkan pula Radio Rimba Raya lah yang menulis sejarah kebangsaan yang dapat menyampaikan berita ke luar negeri yang diawali sejak tahun 1947. Dalam didong A. Tawar disebut,
Radio rimeraya nosah sieren
Nosah pekeberen ku Luer Negeri
Ari Rimeraya keber isawahan
Kurakan-rakan ini Nyudelhi
Radio Rimeraya sejarah kebangsaan
Sidepet munentuken keber ku Luer Negeri
I awal opat tujuh mulo ni sieren
Aceh tengah Takengon I Rimeraya ni
Selanjut disebut bahwa New Delhi sebagai perwakilan yang kemudian berita disampaikan keseluruh negeri. Diceritakan lebih detail bagaimana berita secara beranting disampai pada masa perjuangan Indonesia saat itu. Disertai doa pada awal siaran lalu ucapan atas keselamatan kepada Presiden RI, Sukarno dan Hatta. Kemudian dikisahkan bagaimana seorang berpangkat mayor dengan caranya sendiri dapat menyeludupkan radio ke Indonesia yang kemudian berfungsi sebagai Radio Rimba Raya.
Ini Nyudelhi sebagai perwakilen
Keber kusawahan ku tiep negeri
Secara beranting keber isawahan
Beta perjuangan indonesiani
Sieren doa mulo I sieren
Keselamatan ku Sukarno Hatta ni
Mayor laut nos kebijaksanaan
Depet munyeludupen ni Radio ni
Siapa gerangan tokoh yang dapat menyeludupkan radio itu ke Indonesia? Disebut oleh A.Tawar seorang pahlawan yang bernama Jonly. Tokoh ini berjuang dengan gagah berani membawa radio itu melalui selat Melaka yang saat itu di jaga ketat namun selamat tiba di Aceh (Indonesia). Dalam perjalanan itu Jonly mendapat serangan berupa tembakan dari pihak musuh Belanda. Begitulah dengan bot kecil radio yang diselundupkan berhasil sampai ditempat tujuan.
Jonly sara pahlawan
Tentang perlewenen gagah berani
Iselat malaka melalu perairen
Depet iselamatan sawah ku Aceh ni
Jonly I serbu belene mien
Urum tembak-tembakan gere tekonai
Urum bot kucak radio I sangkanan
Ku cut gu aceh radio I mai
Ketika radio selundupan berhasil tiba di Aceh, ditemukan pula seorang Belanda yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia. Dialah yang diberi kepercayaan untuk menyampaikan berita-berita lewat Radio Rimba Raya.
Dalam perjalanan waktu radio yang memulai siaran di Aceh karena alas an keamanan kemudian dipindahkan ke Rimba Raya itu, di Kabupaten Aceh Tengah, dan kini setelah pemekaran berada di Kabupaten Bener Meriah.
Disebutkah dalam didong A.Tawar seorang tokoh yang gigih dalam peristiwa ini Bustanil Arifin.
Ku aceh besar Radio iserahan
Depet kawan belene sara mi
Wesehul kin percayaan
Muluah sieren si pane penadi
Kerna I Aceh ragu ke amanan
Radio I pinahan kurime rayani
Bustamil Aripin oya le rupen
Si kuet mulewen Indonesia ni
Diceritakan Bustanil Arifin bergabung dengan devisi 5 yang dalam perjuangan ditambah lagi dengan devisi 10. Untuk ini dikenal nama besar saat itu yakni Kol Husin Yusuf sebagai pimpinan.
Pada siaran Radio Rimba Raya juga disebut seorang tokoh lainnya ialah Ali Hasjmy. Dikatakan dalam bentuk misal betapa kuatnya gelombang laut sebagai semangat perjuangan sehingga Singapora merasa heran terhadap Indonesia.
Urum depisi lime wae gabungen
Renyel I tamahen urum depisi sepuluh ni
Kolonel Husin Yusup kepala rombongan
Renyel I sieren ku seluruh denie ni
Radio Rimeraya berunger mien
Sara tokoh ku sederen Ali Hasimi
Gelombang ni laut si kuet ilen
Singapura pe heran kin Indonesia ni
Siaran terus menerus berlangsung dengan semangat juang yang berkobar. Siara itu diterima di Malaysia, Manila, Australia hingga Eropah. Suara Radio Rimba Raya selalu mengumandangkan suara perjuangan. Begitulah enam bahasa dipancarkan sehingga luar negeri kadang-kadang merasa heran. Disana timbul harapan bahwa suara dari Indonesia masih didengarkan.
Melaya Manila Australia pe mien
Eropa pe rupen oya sarami
Radio Rimeraya berunger mien
Sejarah perjuangan gere mari-mari
Onom bahasa I luah sieren
Sana gere heran luar negeri
Radio Rimeraya mulo I aranan
Si nguk iperinen puset ni Indonesia ni
Pada bagian akhir kisah Radio Rime Raya, pengarang A. Tawar menyebutkan Radio Rime Raya hendaknya jangan dilupakan. Tak dapat rasanya dihilangkan dari ingatan karena ia sudah menanam budi. Begitulah diriwayatkan meski secara ringkas namun hendaknya dapat menjadi kenangan-kenangan untuk generasi mendatang.
Radio Rimeraya kami gere lupen
Gere terbenen sebeb gere mubudi
Ringkes riwayat ini kusawahan
Kin kenang-kenangan kugenerasi
Oleh L.K. Ara
Aman Tawar yang berjenggot putih seperti pengarang R.Tagore dari India atau A. Samad Said penyair dari Malysia memang amat cekatan menulis. Ia mempunyai kebiasaan membawa buku dan menulis dimana saja bila ilham datang. Sehingga ratusan karyanya berupa didong Gayo tercatat dalam sejumlah buku. Semuanya ditulis tangan lengkap dengan tanggal pembuatan.
Didong “Radio Rime Raya” ini hanya salah satu dari karya yang bercerita tentang tentang sejarah. Masih ada sejumlah didongnya yang lain yang mengandung unsur sejarah.
Pada bagian awal didong “Radio Rime Raya” diungkapkan oleh pengarang bahwa Radio Rime Raya (Radio Rimba Raya) bertugas menyampaikan berita ke semua tempat termasuk ke luar neger. Dari Rimba Raya lah berita juga disampaikan ke New Delhi di India. Selanjutnya di gambarkan pula Radio Rimba Raya lah yang menulis sejarah kebangsaan yang dapat menyampaikan berita ke luar negeri yang diawali sejak tahun 1947. Dalam didong A. Tawar disebut,
Radio rimeraya nosah sieren
Nosah pekeberen ku Luer Negeri
Ari Rimeraya keber isawahan
Kurakan-rakan ini Nyudelhi
Radio Rimeraya sejarah kebangsaan
Sidepet munentuken keber ku Luer Negeri
I awal opat tujuh mulo ni sieren
Aceh tengah Takengon I Rimeraya ni
Selanjut disebut bahwa New Delhi sebagai perwakilan yang kemudian berita disampaikan keseluruh negeri. Diceritakan lebih detail bagaimana berita secara beranting disampai pada masa perjuangan Indonesia saat itu. Disertai doa pada awal siaran lalu ucapan atas keselamatan kepada Presiden RI, Sukarno dan Hatta. Kemudian dikisahkan bagaimana seorang berpangkat mayor dengan caranya sendiri dapat menyeludupkan radio ke Indonesia yang kemudian berfungsi sebagai Radio Rimba Raya.
Ini Nyudelhi sebagai perwakilen
Keber kusawahan ku tiep negeri
Secara beranting keber isawahan
Beta perjuangan indonesiani
Sieren doa mulo I sieren
Keselamatan ku Sukarno Hatta ni
Mayor laut nos kebijaksanaan
Depet munyeludupen ni Radio ni
Siapa gerangan tokoh yang dapat menyeludupkan radio itu ke Indonesia? Disebut oleh A.Tawar seorang pahlawan yang bernama Jonly. Tokoh ini berjuang dengan gagah berani membawa radio itu melalui selat Melaka yang saat itu di jaga ketat namun selamat tiba di Aceh (Indonesia). Dalam perjalanan itu Jonly mendapat serangan berupa tembakan dari pihak musuh Belanda. Begitulah dengan bot kecil radio yang diselundupkan berhasil sampai ditempat tujuan.
Jonly sara pahlawan
Tentang perlewenen gagah berani
Iselat malaka melalu perairen
Depet iselamatan sawah ku Aceh ni
Jonly I serbu belene mien
Urum tembak-tembakan gere tekonai
Urum bot kucak radio I sangkanan
Ku cut gu aceh radio I mai
Ketika radio selundupan berhasil tiba di Aceh, ditemukan pula seorang Belanda yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia. Dialah yang diberi kepercayaan untuk menyampaikan berita-berita lewat Radio Rimba Raya.
Dalam perjalanan waktu radio yang memulai siaran di Aceh karena alas an keamanan kemudian dipindahkan ke Rimba Raya itu, di Kabupaten Aceh Tengah, dan kini setelah pemekaran berada di Kabupaten Bener Meriah.
Disebutkah dalam didong A.Tawar seorang tokoh yang gigih dalam peristiwa ini Bustanil Arifin.
Ku aceh besar Radio iserahan
Depet kawan belene sara mi
Wesehul kin percayaan
Muluah sieren si pane penadi
Kerna I Aceh ragu ke amanan
Radio I pinahan kurime rayani
Bustamil Aripin oya le rupen
Si kuet mulewen Indonesia ni
Diceritakan Bustanil Arifin bergabung dengan devisi 5 yang dalam perjuangan ditambah lagi dengan devisi 10. Untuk ini dikenal nama besar saat itu yakni Kol Husin Yusuf sebagai pimpinan.
Pada siaran Radio Rimba Raya juga disebut seorang tokoh lainnya ialah Ali Hasjmy. Dikatakan dalam bentuk misal betapa kuatnya gelombang laut sebagai semangat perjuangan sehingga Singapora merasa heran terhadap Indonesia.
Urum depisi lime wae gabungen
Renyel I tamahen urum depisi sepuluh ni
Kolonel Husin Yusup kepala rombongan
Renyel I sieren ku seluruh denie ni
Radio Rimeraya berunger mien
Sara tokoh ku sederen Ali Hasimi
Gelombang ni laut si kuet ilen
Singapura pe heran kin Indonesia ni
Siaran terus menerus berlangsung dengan semangat juang yang berkobar. Siara itu diterima di Malaysia, Manila, Australia hingga Eropah. Suara Radio Rimba Raya selalu mengumandangkan suara perjuangan. Begitulah enam bahasa dipancarkan sehingga luar negeri kadang-kadang merasa heran. Disana timbul harapan bahwa suara dari Indonesia masih didengarkan.
Melaya Manila Australia pe mien
Eropa pe rupen oya sarami
Radio Rimeraya berunger mien
Sejarah perjuangan gere mari-mari
Onom bahasa I luah sieren
Sana gere heran luar negeri
Radio Rimeraya mulo I aranan
Si nguk iperinen puset ni Indonesia ni
Pada bagian akhir kisah Radio Rime Raya, pengarang A. Tawar menyebutkan Radio Rime Raya hendaknya jangan dilupakan. Tak dapat rasanya dihilangkan dari ingatan karena ia sudah menanam budi. Begitulah diriwayatkan meski secara ringkas namun hendaknya dapat menjadi kenangan-kenangan untuk generasi mendatang.
Radio Rimeraya kami gere lupen
Gere terbenen sebeb gere mubudi
Ringkes riwayat ini kusawahan
Kin kenang-kenangan kugenerasi
Oleh L.K. Ara
Selasa, 23 Maret 2010
Deru Radio Rimeraya
EXPO Budaya Leuser 2010, dipastikan menggelar Seminar dari tanggal 26-31 Maret di Aceh Tengah, dimana riwayat radio Rimeraya turut dibincang. Coretan ini setidak-tidaknya bisa menjadi bahan pembanding, mengingat masih banyaknya fakta yang belum disingkap. Dalam buku “Perang Aceh”, Paul Van Veer menuturkan: “Sesudah tahun 1942, Belanda tidak berupaya lagi masuk ke Aceh dan antara rentang masa tahun 1945-1950, merdeka sudah menjadi kenyataan di Aceh”. Inilah gambaran situasi politik Aceh pada saat itu. Lantas, bagaimana pula situasi politik yang terjadi di luar Aceh? Hal ini dapat disimak dari isi Perjanjian Linggarjati, 15/02/1946. Pada point 1 tertera: “Belanda mengaku secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura”, sementara itu, pada point 2 disebut: “Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.”
Berkaitan dengan isi point 1, maka status Aceh perlu dipertanyakan, sebab Aceh berada di Sumatera. Jawabannya bisa ditemukan pada ayat 6-7 Piagam Konstitusi RIS, bahwa yang dimaksud “...wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...”ialah: “negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan negara Sumatera Selatan.” Aceh, ternyata tidak termasuk di dalamnya. Sebagai tindak lanjut dari isi point 2 Perjanjian Linggarjati, maka Van Mook membentuk beberapa negara bagian, seperti: (1). negara Pasundan, diproklamirkan oleh Soeria Kartalegawa, 04/05/1947; (2). Mendirikan “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 09/05/1947; (3). Mendirikan `Daerah Istimewa Borneo Barat’, pada 12/05/1947; (4). Mendirikan negara Madura, 23/01/1948; (5). Mendirikan negara Sumatera Timur, 24/03/1948; (6).Membentuk Pemerintah Federal Sumatera, diketuai oleh Van Mook sendiri; (7). Mendirikan negara Jawa Timur, 03/12/1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang diakui Belanda, wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Untuk forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Semuanya akan digabung ke dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Disini jelas, Aceh bukan suatu negara bagian made-in Belanda (Van Mook).
Kemudian, Perjanjian Renville, pada 17/01/1948, memutuskan lain. Wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dikebiri oleh Belanda dan bersamaan dengannya, dikeluarkan Ultimatum supaya kekuatan RI mengosongkan ‘garis Van Mook’ mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Bukan saja itu, Yogyakarta (Ibukota RI waktu itu) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948 dan Sukarno-Hatta dibuang ke Bangka, Sumatera. Sebelum diberkas Belanda, Sukarno sempat mengirim telegram yang isinya memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Maka, pada 19/12 1948, terbentuklah PDRI di Bukit Tinggi. Mandat Sukarno bertujuan supaya wilayah kedaulatan RI secara de facto, yakni: Yogyakarta dan daerah sekitarnya secara politik tetap wujud. PDRI hanya bertahan 3 bulan di Bukit Tinggi, untuk kemudian mencari perlidungan politik ke Aceh. Aceh saat itu merupakan zona bebas-bukan bagian dari wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian yang digabung kedalam RIS-yang dibentuk Van Mook. Hanya saja, Aceh saat itu dalam kondisi vacum of power. Anèhnya orang Gayo, Resimen VII pimpinan Tengku Ilyas Leubé khususnya, merasa gatal tangan dan perlu berperang ke front Medan Aria, tahun 1948, justeru pada saat nasib masa depan dan status kepemimpinan di Aceh belum/tidak jelas.
Dalam rentang masa inilah radio Rimeraya mengudara, yang siarannya memakai signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Dikatakan:”Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia (Fikar w.eda, Serambi Indonesia, 12/05/09). Perlu dipertegas bahwa: yang dimaksud “Indonesia” disini adalah Republik Indonesia yang wilayah kekuasaannya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya, bukan wilayah Indonesia seperti yang wujud sekarang. Wilayah RI dikembalikan semula lewat Perjanjian Roem-Royen, 07/05/1949 yang menyepakati:”Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19/12/1948 ...”Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda, jangan lagi diganggu gugat. Tetapi Perjanjian Roem-Royen tetap tidak menyentuh soal Aceh. Sebab itulah U.N.C.I., yang diberi mandate oleh DK-PBB untuk hanya diberi tugas mengamankan wilayah Madura, Jawa dan sebagian Sumatera yang dilanda konflik.
Adalah benar awal Januari 1949, utusan PBB (Amerika diwakili oleh Dr.Frank Graham, Australia diwakili oleh Richard Kirby dan Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland) yang dibentuk oleh DK-PBB berkunjung ke Aceh, tetapi tidak ada kaitan politik dan keamanan dengan tuntutan RI. Urusan Aceh sama sekali terpisah dengan RI. Utusan PBB ini bertanya: “apakah Aceh mau merdeka atau bersatu dengan Indonesia?” Malangnya, tidak dilaksanakan referendum untuk menentukan nasib masa depan Aceh. Perkara ini tidak ditanya kepada pemimpin negara-negara bagian. Sesudah situasi politik RI mulai stabil, pelarian politik-PDRI asal RI- meninggalkan Aceh dan Syafruddin menyerahkan mandat kembali kepada Muhamad Hatta (wakil Presiden RI), pada 13/07/1949. Klimaksnya diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq. KMB hanya memberi pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada Republik Indonesia (RI). Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS (bukan delegasi RI); delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan). Sementara itu, penyerahan kekuasaan berlangsung juga di Jakarta, dimana Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink ikut menanda tangani. Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta. Artinya: 16 negara bagian RIS saja yang mendapat jatah kuasa dari Belanda untuk menjalankan roda pemerintahan masing-masing. Jadi, kalimat: “Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq.” (Fikar w.eda, Serambi Indonesia 12/05/09) adalah benar-benar salah kafrah. Saat radio Rimeraya mengudara, Aceh merupakan zona bebas. Hal ini tersirat dari klausul Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Piagam Konstitusi RIS maupun naskah KMB tahun 1949, yang tegas mengatur bahwa: Aceh bukan wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian RIS. Jadi, logiskah kalimat: “Aceh Tengah pernah menjadi Ibu Kota (Pengendali Pemerintahan) Republik Indonesia...”(I Love Gayo, 6/03/Expo Budaya Leuser 2010). Wilayah kedaulatan RI, jangankan sampai ke Burni Bius, ke Solo pun tidak sampai.
Aceh baru menjadi bagian dari Indonesia, sesudah Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah (RIS) no. 21/1950 tentang: “Pembentukan 10 Daerah Propinsi NKRI”. Provinsi Sumatera Utara salah satunya, yang dibentuk melalui PERPU No. 5/1950, dimana Aceh salah satu wilayahnya dengan beberapa Kabupaten: (1). Aceh Besar, (2). Pidie, (3) Aceh Utara, (4) Aceh Timur, (5) Aceh Tengah, (6) Aceh Barat, (7). Aceh Selatan dan Kota Raja masuk ke dalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara. Radio Rime Raya yang lancar berbahasa Melayu, Arab, Cina,Inggris, Belanda, Urdhu, Aceh dan tidak bisa berbahasa Gayo ini, kini meringkuk di Museum TNI Angkatan Darat, Yogyakarta, no.Registrasi: 60.607.318, beku dan membisu.
Inilah kebenaran sejarah, yang walaupun Aceh dalam situasi ‘lost generation’ saat itu, toh nyawa RI mampu diselamatkan dari Rimeraya (bukan wilayah kedaulatan RI). Orang Gayo bilang: “gere mukunah kami mukus kona tempus, asal limus empus ni jema kami lelang” (tak apa kami berkudis kena ulat gatal, asalkan kebun orang kami bersihkan).
Yusra Habib Abdul Gani
Director Institute for Ethnics Civilization Research
Berkaitan dengan isi point 1, maka status Aceh perlu dipertanyakan, sebab Aceh berada di Sumatera. Jawabannya bisa ditemukan pada ayat 6-7 Piagam Konstitusi RIS, bahwa yang dimaksud “...wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...”ialah: “negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan negara Sumatera Selatan.” Aceh, ternyata tidak termasuk di dalamnya. Sebagai tindak lanjut dari isi point 2 Perjanjian Linggarjati, maka Van Mook membentuk beberapa negara bagian, seperti: (1). negara Pasundan, diproklamirkan oleh Soeria Kartalegawa, 04/05/1947; (2). Mendirikan “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 09/05/1947; (3). Mendirikan `Daerah Istimewa Borneo Barat’, pada 12/05/1947; (4). Mendirikan negara Madura, 23/01/1948; (5). Mendirikan negara Sumatera Timur, 24/03/1948; (6).Membentuk Pemerintah Federal Sumatera, diketuai oleh Van Mook sendiri; (7). Mendirikan negara Jawa Timur, 03/12/1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang diakui Belanda, wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Untuk forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Semuanya akan digabung ke dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Disini jelas, Aceh bukan suatu negara bagian made-in Belanda (Van Mook).
Kemudian, Perjanjian Renville, pada 17/01/1948, memutuskan lain. Wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dikebiri oleh Belanda dan bersamaan dengannya, dikeluarkan Ultimatum supaya kekuatan RI mengosongkan ‘garis Van Mook’ mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Bukan saja itu, Yogyakarta (Ibukota RI waktu itu) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948 dan Sukarno-Hatta dibuang ke Bangka, Sumatera. Sebelum diberkas Belanda, Sukarno sempat mengirim telegram yang isinya memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Maka, pada 19/12 1948, terbentuklah PDRI di Bukit Tinggi. Mandat Sukarno bertujuan supaya wilayah kedaulatan RI secara de facto, yakni: Yogyakarta dan daerah sekitarnya secara politik tetap wujud. PDRI hanya bertahan 3 bulan di Bukit Tinggi, untuk kemudian mencari perlidungan politik ke Aceh. Aceh saat itu merupakan zona bebas-bukan bagian dari wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian yang digabung kedalam RIS-yang dibentuk Van Mook. Hanya saja, Aceh saat itu dalam kondisi vacum of power. Anèhnya orang Gayo, Resimen VII pimpinan Tengku Ilyas Leubé khususnya, merasa gatal tangan dan perlu berperang ke front Medan Aria, tahun 1948, justeru pada saat nasib masa depan dan status kepemimpinan di Aceh belum/tidak jelas.
Dalam rentang masa inilah radio Rimeraya mengudara, yang siarannya memakai signal calling “Suara Radio Republik Indonesia” dan “Suara Merdeka”. Dikatakan:”Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia (Fikar w.eda, Serambi Indonesia, 12/05/09). Perlu dipertegas bahwa: yang dimaksud “Indonesia” disini adalah Republik Indonesia yang wilayah kekuasaannya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya, bukan wilayah Indonesia seperti yang wujud sekarang. Wilayah RI dikembalikan semula lewat Perjanjian Roem-Royen, 07/05/1949 yang menyepakati:”Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19/12/1948 ...”Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda, jangan lagi diganggu gugat. Tetapi Perjanjian Roem-Royen tetap tidak menyentuh soal Aceh. Sebab itulah U.N.C.I., yang diberi mandate oleh DK-PBB untuk hanya diberi tugas mengamankan wilayah Madura, Jawa dan sebagian Sumatera yang dilanda konflik.
Adalah benar awal Januari 1949, utusan PBB (Amerika diwakili oleh Dr.Frank Graham, Australia diwakili oleh Richard Kirby dan Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland) yang dibentuk oleh DK-PBB berkunjung ke Aceh, tetapi tidak ada kaitan politik dan keamanan dengan tuntutan RI. Urusan Aceh sama sekali terpisah dengan RI. Utusan PBB ini bertanya: “apakah Aceh mau merdeka atau bersatu dengan Indonesia?” Malangnya, tidak dilaksanakan referendum untuk menentukan nasib masa depan Aceh. Perkara ini tidak ditanya kepada pemimpin negara-negara bagian. Sesudah situasi politik RI mulai stabil, pelarian politik-PDRI asal RI- meninggalkan Aceh dan Syafruddin menyerahkan mandat kembali kepada Muhamad Hatta (wakil Presiden RI), pada 13/07/1949. Klimaksnya diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq. KMB hanya memberi pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada Republik Indonesia (RI). Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS (bukan delegasi RI); delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan). Sementara itu, penyerahan kekuasaan berlangsung juga di Jakarta, dimana Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink ikut menanda tangani. Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta. Artinya: 16 negara bagian RIS saja yang mendapat jatah kuasa dari Belanda untuk menjalankan roda pemerintahan masing-masing. Jadi, kalimat: “Radio Rimba Raya tetap berperan sampai muncul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haaq.” (Fikar w.eda, Serambi Indonesia 12/05/09) adalah benar-benar salah kafrah. Saat radio Rimeraya mengudara, Aceh merupakan zona bebas. Hal ini tersirat dari klausul Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Piagam Konstitusi RIS maupun naskah KMB tahun 1949, yang tegas mengatur bahwa: Aceh bukan wilayah RI dan bukan pula salah satu negara bagian RIS. Jadi, logiskah kalimat: “Aceh Tengah pernah menjadi Ibu Kota (Pengendali Pemerintahan) Republik Indonesia...”(I Love Gayo, 6/03/Expo Budaya Leuser 2010). Wilayah kedaulatan RI, jangankan sampai ke Burni Bius, ke Solo pun tidak sampai.
Aceh baru menjadi bagian dari Indonesia, sesudah Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah (RIS) no. 21/1950 tentang: “Pembentukan 10 Daerah Propinsi NKRI”. Provinsi Sumatera Utara salah satunya, yang dibentuk melalui PERPU No. 5/1950, dimana Aceh salah satu wilayahnya dengan beberapa Kabupaten: (1). Aceh Besar, (2). Pidie, (3) Aceh Utara, (4) Aceh Timur, (5) Aceh Tengah, (6) Aceh Barat, (7). Aceh Selatan dan Kota Raja masuk ke dalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara. Radio Rime Raya yang lancar berbahasa Melayu, Arab, Cina,Inggris, Belanda, Urdhu, Aceh dan tidak bisa berbahasa Gayo ini, kini meringkuk di Museum TNI Angkatan Darat, Yogyakarta, no.Registrasi: 60.607.318, beku dan membisu.
Inilah kebenaran sejarah, yang walaupun Aceh dalam situasi ‘lost generation’ saat itu, toh nyawa RI mampu diselamatkan dari Rimeraya (bukan wilayah kedaulatan RI). Orang Gayo bilang: “gere mukunah kami mukus kona tempus, asal limus empus ni jema kami lelang” (tak apa kami berkudis kena ulat gatal, asalkan kebun orang kami bersihkan).
Yusra Habib Abdul Gani
Director Institute for Ethnics Civilization Research
Langganan:
Postingan (Atom)