Jumat, 01 Mei 2009

Emas Aceh untuk Maskapai Pertama


H.M. Djoeneid Joesoef

Jangan sekali-kali melupakan jasa orang Aceh. Apalagi di bidang industri penerbangan nasional. Berkat sumbangan mereka dimasa awal kemerdekaan, negeri ini maskapai penerbangan nasional pertama bernama Garuda Indonesia Airways ( GIA ). Bermula dari kunjungan enam hari presiden Soekarno ke "tanah rencong" Juni 1948.
Didampingi Kepala Bagian Sub Penerangan Angkatan Udara pada masa itu, RJ. Salatun, Bung Karno mengadakan pendekatan kepada warga Aceh untuk menggalang dana guna membeli pesawat terbang. Pertemuan dengan masyarakat Aceh yang dipimpin H.M. Joeneid Joesoef digelar di sebuah hotel di Kutaraja- kini Banda Aceh.
Di forum 16 Juni 1948 itu, Bung Karno menyatakan bahwa negara memerlukan pesawat terbang untuk menembus blokade udara Belanda. Padahal, negara yang baru merdeka ini tak punya duit. Bung Karno meletakkan harapan besarnya pada rakyat Aceh.
Gayung pun bersambut. Djoeneid yang juga memimpin gabungan Saudagar Indonesia Aceh menyatakan siap membantu. Bersama saudagar lain bernama Said Muhammad Alhabsji, ia mengumpulkan sumbangan emas dari seluruh warga Aceh. Emas itulah yang kemudian dipakai untuk membeli dua pesawat Dakota, yang kemudian diberi nama Dakota RI 001 Seulawah.
Seulawah sendiri bermakna "gunung emas" boleh jadi karena jumlah sumbangan emas dari warga itu diibaratkan segunung. Kehadiran Seulawah ini mendorong pembukaan jalur penerbangan dari Sumatera ke Jawa, bahkan ke luar negeri. Seulawah RI 001 pun banyak berjasa sebagai pesawat angkut presiden dan wakil presiden, serta untuk keperluan pertahanan mengangkut personel militer.
Ketika pesawat ini sedang menjalani perawatan rutin di Calcutta, India, Belanda melancarkan agresi kedua. Walhasil, Seulawah RI 001 tak bisa kembali ke Tanah Air. Atas prakarsa Wiweko Soepono, Kepala Bagian Rencana dan Penerangan Angkatan Udara, pesawat itu dijadikan pesawat komersial pertama Indonesia di bawah nama Indonesian Airways.
Karena situasi darurat, markas maskapai penerbangan itu didirikan di Burma kini Myanmar. Dalam perkembangannya, Indonesian Airways berubah nama menjadi GIA dan terakhir berubah lagi menjadi Garuda Indonesia. (Erwin Y. Salim)


Majalah Gatra, edisi khusus 17 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar