Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul yang menyebabkan tetap tegaknya republik ini adalah sebuah perangkat radio tua. Simpul itu bermula saat Tgk.H.M. Daud Beure-eh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.
Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.
Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Dan, kepada Radio Rimba Raya itu sendiri layak diberi gelar pahlawan. Sekian!