Rabu, 25 Mei 2011
AK Ya’kobi : Radio Rimba Raya, Jasa Besar Gayo Bagi Indonesia
Published on May 24, 2011 by Lovegayo
Banda Aceh | Lintas Gayo : Gayo mempunyai perjalanan sejarah yang panjang bahkan lebih panjang dari perjalanan sejarah Aceh, bukti sejarah dapat dilihat dari penemuan arkeolog di guha Mendale. Aceh dikenal karena latar belakang sejarah perjuangan yang panjang, sehingga dunia mengenal bahwa Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak terpisahkan. Tapi bagaimana dengan Gayo, bisakah menjadi bagian dari Indonesia yang tidak terpisahkan ? nilai sejarah apa yang bisa kita tunjukkan kepada pemimpin bangsa ini sehingga mereka menganggap bahwa daerah Gayo adalah bagian terkecil yang mempunyai jasa besar.
Aceh TV, melalui acara KEBERNI GAYO mencoba menggali jasa Gayo terhadap Indonesia, melalui dialog interaktif dengan pelaku sejarah AK Ya’kobi selama durasi waktu satu jam mulai pukul 20.00 s/d 21.00 WIB. Mengangkat kembali sejarah yang telah lama terpendam dan mempromosikan kepada mereka yang mempunyai otoritas untuk membangun kembali sejarah, merupakan tujuan yang diharapkan dari dialog interaktif ini.
Kita sering mendengar ungkapan melalui media massa ataupun dari mulut orang tertentu bahwa “orang yang tidak bisa saya lupakan adalah orang yang menyelamatkan nyawa saya”, demikian juga situasi Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948, dimana Dr. Beel menyatakan bahwa Indonesia dengan Ibu Kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda dan keberadaannya di PBB telah dihapus. AK Ya’kobi putra Gayo yang lahir di Blang Kejeren (Gayo Lues sekarang) mendengar dan mencatat pengumuman Beel tersebut melalui Radio di rumah Rasyid (seorang toke Tembakau di Banda Aceh), dan menginformasikan apa yang didengarnya kepada Staf Umum Panglima pada saat itu. Setelah menerima informasi Staf Umum memberi tahu kepada panglima (Ayah Beureueh) dan langsung direspon dengan mengcounter apa yang dikatakan Dr. Beel melalui radio Rime Raya.
Counter tersebut didengar oleh seluruh dunia dengan pengeras suara Radio Rime Raya, maka PBB dan Dewan Keamanan mengakui dan mendukung apa yang disampaikan melalui Radio Rime Raya. Itulah cikal bakal Indonesia mendapat pengakuan secara de fakto dan de jure.
Itulah jasa Radio yang terpancang di hutan belantara (rime raya), yang menyelamatkan denyut nadi terakhir dari kehidupan Bangsa ini. Sudah seharusnya semua orang tau dan harus mencari tau, untuk orang Gayo harus memberi tau kepada orang lain bahwa nyawa Indonesia terselamatkan melalui Radio Rime Raya.
Aman Aini melalui telpon interaktif menanyakan tentang bergabungnya Aceh dengan Indonesia. Menurut narasumber, ketika siang diumumkan Indonesia telah dikuasai dan di hapus dari catatan PBB malamnya Ayah Beureueh memanggil Militer, Sipil dan Tokoh masyarakat untuk rapat dan memberi tau bahwa kita siap untuk berperang melawan Belanda dan selalu loyal terhadap pemerintahan Indonesia.
Pada saat ini seluruh Indonesia telah dikuasai oleh Belanda keculi Aceh, menurut pemahaman Pak AK (Abdul Karim) Ya’kobi Indonesia telah dikuasai 90 % dan sisanya tinggal Aceh (10 %). Secara akal normal manusia tidak mungkin Indonesia terselamatkan, tetapi dengan kehendak Allah semua bisa terjadi. Disamping kekuasaan Allah, analisa akal juga dapat membuktikan bahwa pada saat itu Belanda melakukan dua kesalahan yang fatal : pertama, Belanda melakukan penyerangan pada saat gencatan senjata berlangsung. Kedua, Ketika konperensi antara Indonesia dengan Belanda, Belanda tidak hadir. Sehingga pada saat Konperensi Meja Bundar Dewan Keamanan PBB menyatakan penolakan terhadap Belanda dan memberi kemerkedaan kepada Indonesia.
Radio Rime Raya bukanlah secara serta merta ada di berdiri tegak di Rime Raya, tetapi radio yang pada dasarnya kepunyaan Garnijun TNI Kute Reje yang bertempat di Cot Guh di bawa oleh Husin Yusuf ke Bireuen (di rumah Beliau) selanjutnya di pasang di Krueng Simpur, tapi Radio ini tidak luput dari intaian Belanda dan merasa tidak aman, radio ini dibawa ke Burni Bius. Juga tidak aman dari intaian Belanda maka terakhir berdirilah Radio ini di Rime Raya (Ronga-Ronga).
Sebagai orang yang mengetahui dan mengalami pahit getirnya perjuangan dan bagaimana manfaat dari keberadaan Radio Rime Raya, pak AK Ya’kobi yang lahir pada tanggal 8 agustus 1928 dan sekarang telah berusia 84 tahun merasa bersedih ketika melihat Tugu Radio Rime Raya. Dan bertanya di dalam hatinya bagaimana jika Radio yang berjasa ini ada di Jakarta, saya yakin akan berdiri megah dan menjulang tinggi, tapi Radio Rime Raya ada di Gayo, maka nasibnya seperti sekarang ini.
Usia 84 tahun bukanlah usia yang terlambat berjuang dan berbuat untuk memperjuangkan lahirnya kembali Radio Rime Raya, untuk ini beliau bersama teman-temannya sedang berupaya mendekati pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk membantu menghidupkan Radio Rime Raya.
(Drs. Jamhuri. MA)
Rabu, 18 Mei 2011
‘Brief Encounter’ Bermata Aceh
OPINI | 28 April 2011 | 13:26
BOLEH jadi sebagian orang berlebihan dengan judul tulisan ini. Namun, sekelumit catatan untuk mengenang sang Maestro Jurnalis Rosihan Anwar, dalam apresiasinya terhadap Aceh tentu tidak berlebihan. Apalagi, tokoh yang hidup di enam zaman-Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Revormasi, dan Millenium- ini telah banyak menorehkan tinta pemikiran untuk Indonesia. Aceh sebagai wilayah paling ujung Indonesia pun tak luput dari kaca mata Rosihan Anwar.
Dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, membuat ia akrab dengan Sumatera. Oleh karena itu, Rosihan banyak menulis tentang Sumatera, termasuk soal Aceh. Saya tak perlu menyebutnya satu per satu. Di kepala saya, “Brief Encounter in Aceh” yang pernah dimuat harian Kompas beberapa tahun silam merupakan tulisan fenomenal. Kendati dalam bentuk artikel singkat, tak sampai 1200 kata, tulisan itu telah membuka cakrawala ingatan pembaca bahwa Rosihan Anwar `bermata aceh’ dalam memandang Indonesia.
Pada artikel singkat tersebut, Rosihan menulis tentang pertemuannya dengan beberapa tokoh Aceh, di antaranya Daud Beureueh dan Hasan Tiro. Dua tokoh ini menjadi point off view tulisan Rosihan dalam mencermati Indonesia dari Aceh. Jelas saja, karena kedua tokoh itu sempat dicap “pemberontak” oleh Pemerintah Indonesia, walau kemudian diakui punya derajat kepahlawanan skala nasional.
Dari sudut pandang Beureueh dan Tiro-lah, Rosihan memakai kaca mata Aceh melihat Indonesia. Sebagai orang yang sudah hidup sejak zaman penjajahan Belanda, ditambah predikasinya sebagai juru warta, tentu banyak amatan personal yang dikemukakannya lewat tulisan. Dari beberapa catatannya, dapat dilihat bahwa Rosihan berusaha netral dalam menulis. Akan tetapi, tatkala menulis tentang Aceh-meskipun tidak dapat melepaskan nasionalisnya sebagai putra Indonesia-bagi saya dan mungkin bagi orang Aceh akan memandang pemikiran Rosihan tendensius keacehan.
Lihat kembali “Brief Encounter in Aceh”. Lelaki yang juga dikenal sebagai sejarawan itu mencoba menuangkan pengalamannya saat pertama sekali mengamati Beureueh ketika menyambut Presiden Soekarno di Aceh. Dipaparkannya bahwa benar Soekarno “mengemis” pada Aceh untuk dibelikan pesawat terbang. Tentu saja ini sejarah penting. Secara tegas pula, Rosihan menyatakan kembalinya Beureueh ke pangkuan Ibu Pertiwi bukan sebagai sebuah kekalahan, kendati pula tidak dapat dipandang sebagai sebuah kemenangan.
Suami Siti Zuraida ini mengisahkan pula brief encounter-nya bersama Hasan Tiro. Pertemuan yang berlangsung di New York pada 1954 itu berlangsung dalam sebuah taksi. Hasan Tiro duduk tepat di samping Rosihan. Namun, tak ada cerita menarik seperti kisah pertemuan dengan Beureueh. Brief encounter dengan Hasan Tiro itu benar-benar hanya sebatas duduk bersebelahan dalam taksi. Rosihan hanya mendengar sedikit celetuk Tiro yang anti-Soekarno.
Ada beberapa nama lain dalam brief encounter Rosihan Anwar bersama putra Aceh. Setiap pertemuan, Rosihan mencoba mendalami karakter orang Aceh. Meskipun ada beberapa pendapat yang bertolak belakang dengan hatinya ketika mendengar kisah dari orang Aceh, Rosihan lebih senang diam.
Aceh dan Jawa
Menarik mencoba mempengaruhi pembaca dengan menyebut “Aceh” lalu menyandingkannya bersama “Jawa”. Sejarah berliku sejak DI/TII hingga konflik bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengesankan penyebutan dua nama ini sebagai pertentangan berketurunan. Akan tetapi, mencermati pemikiran Rosihan, sebenarnya tidak demikian selalu.
Dalam sebuah wawancara di TVRI Nasional (1988), Rosihan menyebutkan bahwa Aceh memiliki hubungan silaturrahmi dengan Jawa. Masuknya Islam ke Tanah Jawa (abad XIV) tidak lepas dari juru dakwah dari Pasai, Aceh. Bahkan, Rosihan mengatakan bahwa empat dari sembilan Wali Songo berasal Samudera Pasai. Mereka adala Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Bonang. Kenyataan ini pernah pula dilansir Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988, halaman 4/Opini).
Dalam wawancara pada film dokumenter Radio Rimba Raya oleh Ikmal Gopi, sosok Rosihan Anwar juga muncul. Ia menceritakan tentang kiprah Aceh untuk Indonesia. Menurut Rosihan, Radio Rimba Raya (RRR) memiliki peran sangat besar dalam menyiarkan “ke-ada-an” Republik Indonesia masa perang. Tatkala Belanda mengumumkan bahwa Indonesia telah takluk, Indonesia sudah selesai, RRR malah menyiarkan Republik masih ada. Pejuangnya masih bergerilya.
Bahwa masih ada rakyat Indonesia dari sudut Aceh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia disiarkan langsung oleh RRR diakui oleh Rosihan. Siaran RRR itu sampai ke dunia dengan kerja sama sejumlah stasiun radio lainnya yang masih tersisa kala itu. RRR, kata Rosihan, meski berada di Aceh, punya andil membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.
Kini, sosok budayawan, sastrawan, wartawan, sekaligus sejarawan itu telah pergi selamanya. Walau demikian, nama Rosihan Anwar tetap diingat, dikenang. Bagi Aceh, mungkin ia merupakan sosok pertemuan sesaat antara Aceh dengan Indonesia, brief encounter yang melihat Indonesia dari Aceh. Tentunya setelah sosok lainnya, seperti Pramodia Anantatoer. Bagi pers dan para penulis, sosok Rosihan Anwar patut dijadikan ikon, yang menulis warta dengan mengemban sifat nabi: siddiq, amanah, tabliq, dan fatanah. Selamat istirahat, Bapak Pers Indonesia![Herman RN]
* Penulis adalah alumnus Magister PBSI Unsiyah.
[Sumber: Serambi Indonesia, 28 April 2011]
BOLEH jadi sebagian orang berlebihan dengan judul tulisan ini. Namun, sekelumit catatan untuk mengenang sang Maestro Jurnalis Rosihan Anwar, dalam apresiasinya terhadap Aceh tentu tidak berlebihan. Apalagi, tokoh yang hidup di enam zaman-Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Revormasi, dan Millenium- ini telah banyak menorehkan tinta pemikiran untuk Indonesia. Aceh sebagai wilayah paling ujung Indonesia pun tak luput dari kaca mata Rosihan Anwar.
Dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, membuat ia akrab dengan Sumatera. Oleh karena itu, Rosihan banyak menulis tentang Sumatera, termasuk soal Aceh. Saya tak perlu menyebutnya satu per satu. Di kepala saya, “Brief Encounter in Aceh” yang pernah dimuat harian Kompas beberapa tahun silam merupakan tulisan fenomenal. Kendati dalam bentuk artikel singkat, tak sampai 1200 kata, tulisan itu telah membuka cakrawala ingatan pembaca bahwa Rosihan Anwar `bermata aceh’ dalam memandang Indonesia.
Pada artikel singkat tersebut, Rosihan menulis tentang pertemuannya dengan beberapa tokoh Aceh, di antaranya Daud Beureueh dan Hasan Tiro. Dua tokoh ini menjadi point off view tulisan Rosihan dalam mencermati Indonesia dari Aceh. Jelas saja, karena kedua tokoh itu sempat dicap “pemberontak” oleh Pemerintah Indonesia, walau kemudian diakui punya derajat kepahlawanan skala nasional.
Dari sudut pandang Beureueh dan Tiro-lah, Rosihan memakai kaca mata Aceh melihat Indonesia. Sebagai orang yang sudah hidup sejak zaman penjajahan Belanda, ditambah predikasinya sebagai juru warta, tentu banyak amatan personal yang dikemukakannya lewat tulisan. Dari beberapa catatannya, dapat dilihat bahwa Rosihan berusaha netral dalam menulis. Akan tetapi, tatkala menulis tentang Aceh-meskipun tidak dapat melepaskan nasionalisnya sebagai putra Indonesia-bagi saya dan mungkin bagi orang Aceh akan memandang pemikiran Rosihan tendensius keacehan.
Lihat kembali “Brief Encounter in Aceh”. Lelaki yang juga dikenal sebagai sejarawan itu mencoba menuangkan pengalamannya saat pertama sekali mengamati Beureueh ketika menyambut Presiden Soekarno di Aceh. Dipaparkannya bahwa benar Soekarno “mengemis” pada Aceh untuk dibelikan pesawat terbang. Tentu saja ini sejarah penting. Secara tegas pula, Rosihan menyatakan kembalinya Beureueh ke pangkuan Ibu Pertiwi bukan sebagai sebuah kekalahan, kendati pula tidak dapat dipandang sebagai sebuah kemenangan.
Suami Siti Zuraida ini mengisahkan pula brief encounter-nya bersama Hasan Tiro. Pertemuan yang berlangsung di New York pada 1954 itu berlangsung dalam sebuah taksi. Hasan Tiro duduk tepat di samping Rosihan. Namun, tak ada cerita menarik seperti kisah pertemuan dengan Beureueh. Brief encounter dengan Hasan Tiro itu benar-benar hanya sebatas duduk bersebelahan dalam taksi. Rosihan hanya mendengar sedikit celetuk Tiro yang anti-Soekarno.
Ada beberapa nama lain dalam brief encounter Rosihan Anwar bersama putra Aceh. Setiap pertemuan, Rosihan mencoba mendalami karakter orang Aceh. Meskipun ada beberapa pendapat yang bertolak belakang dengan hatinya ketika mendengar kisah dari orang Aceh, Rosihan lebih senang diam.
Aceh dan Jawa
Menarik mencoba mempengaruhi pembaca dengan menyebut “Aceh” lalu menyandingkannya bersama “Jawa”. Sejarah berliku sejak DI/TII hingga konflik bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengesankan penyebutan dua nama ini sebagai pertentangan berketurunan. Akan tetapi, mencermati pemikiran Rosihan, sebenarnya tidak demikian selalu.
Dalam sebuah wawancara di TVRI Nasional (1988), Rosihan menyebutkan bahwa Aceh memiliki hubungan silaturrahmi dengan Jawa. Masuknya Islam ke Tanah Jawa (abad XIV) tidak lepas dari juru dakwah dari Pasai, Aceh. Bahkan, Rosihan mengatakan bahwa empat dari sembilan Wali Songo berasal Samudera Pasai. Mereka adala Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Bonang. Kenyataan ini pernah pula dilansir Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988, halaman 4/Opini).
Dalam wawancara pada film dokumenter Radio Rimba Raya oleh Ikmal Gopi, sosok Rosihan Anwar juga muncul. Ia menceritakan tentang kiprah Aceh untuk Indonesia. Menurut Rosihan, Radio Rimba Raya (RRR) memiliki peran sangat besar dalam menyiarkan “ke-ada-an” Republik Indonesia masa perang. Tatkala Belanda mengumumkan bahwa Indonesia telah takluk, Indonesia sudah selesai, RRR malah menyiarkan Republik masih ada. Pejuangnya masih bergerilya.
Bahwa masih ada rakyat Indonesia dari sudut Aceh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia disiarkan langsung oleh RRR diakui oleh Rosihan. Siaran RRR itu sampai ke dunia dengan kerja sama sejumlah stasiun radio lainnya yang masih tersisa kala itu. RRR, kata Rosihan, meski berada di Aceh, punya andil membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.
Kini, sosok budayawan, sastrawan, wartawan, sekaligus sejarawan itu telah pergi selamanya. Walau demikian, nama Rosihan Anwar tetap diingat, dikenang. Bagi Aceh, mungkin ia merupakan sosok pertemuan sesaat antara Aceh dengan Indonesia, brief encounter yang melihat Indonesia dari Aceh. Tentunya setelah sosok lainnya, seperti Pramodia Anantatoer. Bagi pers dan para penulis, sosok Rosihan Anwar patut dijadikan ikon, yang menulis warta dengan mengemban sifat nabi: siddiq, amanah, tabliq, dan fatanah. Selamat istirahat, Bapak Pers Indonesia![Herman RN]
* Penulis adalah alumnus Magister PBSI Unsiyah.
[Sumber: Serambi Indonesia, 28 April 2011]
Selasa, 03 Mei 2011
DPRK minta RRR jadi tontonan
Monday, 02 May 2011 20:19
Warta
WASPADA ONLINE
TAKENGON- Anggota DPRK Aceh Tengah berharap pemerintah daerah Aceh Tengah mendorong sekolah-sekolah, untuk memasukkan program wajib menonton film dokumenter sejarah Radio Rimba Raya (RRR).
Demikian dikatakan, Muhammad Ridwanm Ketua Komisi D DPRK Aceh Tengah, saat menghadiri pemutaran film ini. ”Saya berharap Pemda mendukung pemutaran film sejarah Radio Rimba Raya di sekolah-sekolah.”
Acara difasilitasi pemda Aceh Tengah melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Budparpora). Kepala dinas Budparpora, Muchlis Gayo, “Masih banyak orang belum tau tentang sejarah radio Rimba Raya yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia saat itu, walau pun demikian kita sebagai masyarakat yang memiliki tempat bersejarah ini memulai untuk menjaga, mempelajari dan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia,” sebut Mukhlis.
Sementara Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, diwakili Sekretaris Daerah, Khairul Asmara, menyampaikan ucapan terima kasih atas keberhasilan Ikmal Gopi menyusun sejarah RRR dalam bentuk film dokumenter. Bahkan tidak tanggung-tanggung, film dokumenter ini menjadi salah satu yang terbaik masuk dalam festival film Indonesia (FFI) 2010.
Editor: PRAWIRA SETIABUDI
Warta
WASPADA ONLINE
TAKENGON- Anggota DPRK Aceh Tengah berharap pemerintah daerah Aceh Tengah mendorong sekolah-sekolah, untuk memasukkan program wajib menonton film dokumenter sejarah Radio Rimba Raya (RRR).
Demikian dikatakan, Muhammad Ridwanm Ketua Komisi D DPRK Aceh Tengah, saat menghadiri pemutaran film ini. ”Saya berharap Pemda mendukung pemutaran film sejarah Radio Rimba Raya di sekolah-sekolah.”
Acara difasilitasi pemda Aceh Tengah melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Budparpora). Kepala dinas Budparpora, Muchlis Gayo, “Masih banyak orang belum tau tentang sejarah radio Rimba Raya yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia saat itu, walau pun demikian kita sebagai masyarakat yang memiliki tempat bersejarah ini memulai untuk menjaga, mempelajari dan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia,” sebut Mukhlis.
Sementara Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, diwakili Sekretaris Daerah, Khairul Asmara, menyampaikan ucapan terima kasih atas keberhasilan Ikmal Gopi menyusun sejarah RRR dalam bentuk film dokumenter. Bahkan tidak tanggung-tanggung, film dokumenter ini menjadi salah satu yang terbaik masuk dalam festival film Indonesia (FFI) 2010.
Editor: PRAWIRA SETIABUDI
Langganan:
Postingan (Atom)