TAKENGON – Sepanjang peperangan melawan agresi penjajahan Belanda, siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Perjuangan Rimba Raya selalu dipancarkan kembali (direlay) oleh All India Radio di India. Siaran relay itu pun dimonitor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat, dan radio lain di berbagai negara. Fakta itu diungkapkan oleh saksi sejarah, Drs H Mahmud Ibrahim dalam Dialog Interaktif Napak Tilas RRI Perjuangan Radio Rimba Raya di Oproom Kantor Bupati Aceh Tengah, Selasa (11/5).
Dalam dialog yang disiarkan RRI secara nasional itu, Mahmuh Ibrahim mengatakan, suatu ketika siaran Radio Rimba Raya yang sedang direlay oleh All India Radio itu didengar oleh anggota PBB yang bersidang di Amerika Serikat, sehingga mereka mengetahui bahwa provokasi yang dilancarkan Belanda bahwa Negara Indonesia telah takluk adalah berita yang tidak benar. “Dari siaran radio itu pula, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia terus memberitahukan kepada negara-negara di Asia dan Eropa, bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka,” sebutnya.
Dalam menyiarkan berita-berita kepada dunia, kenang Mahmud Ibrahim, penyiar Radio Rimba Raya menyapa pendengar dengan sebutan pembuka “Inilah Radio Republik Indonesia Rimba Raya”. Dikatakan Mahmud Ibrahim, perangkat siar Radio Rimba Raya dibeli oleh Jhon Lee dari Thailand, kemudian dibawa melalui Malaysia dan berlabuh di Sumatera Utara. Kemudian oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat itu dibawa ke Bireuen dan di Kota Juang inilah Radio Rimba Raya mulai menyiarkan berita-berita perjuangan kepada dunia.
Tidak lama beroperasi di Kota Bireuen, kata Mahmud Ibrahim, perangkat Radio Perjuangan Rimba Raya dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh), namun keberadaan radio perjuangan itu di Banda Aceh tidak lama. Oleh pejuang RI dipindahkan ke Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah. Karena tentara Belanda terus membombardir Tanoh Gayo untuk mencari keberdaan perangkat Radio Rimba Raya, sehingga para pejuang kemerdekaan memindahkan perangkat itu ke Kampung Rime Raya, sekarang berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah (Jalan Bireuen Takengon Kilometer 60).
“Karena letaknya di dalam hutan belantara yang sering berpindah-pindah, maka radio perjuangan ini diberi nama Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam Bahas Gayo disebut Radio Rime Raya,” ujar pelaku sejarah, Mahmud Ibrahim. Direktur Utama RRI, Parni Hadi mengatakan, Radio Perjuangan Rimba Raya merupakan cikal bakal RRI sekarang. Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap jasa-jasa perjuangan Radio Perjuangan Rimba Raya, kata Parni Hadi, dibangunlah Stasiun Produksi RRI Takengon yang mengudara pada gelombang FM 93 Mhz, berkekuatan 150 watt di Puncak Pantan Terong, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.
Parni Hadi mengatakan, untuk sementara perangkat Stasiun RRI Takengon ditempatkan di Kantor Bupati Aceh Tengah, sebelum adanya bangunan kantor yang lebih representatif. Untuk membangun studio RRI Takengon, akan dicari lokasi yang strategis dengan bekerja sama dengan Pemkab Aceh Tengah. ”Mengenai biaya, harus jelas, berapa sumbangan pak bupati, berapa saya,” ujar Parni Hadi sambil melirik Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM dan disambut tawa para peserta pertemuan napak tilas Perjuangan Radio Rimba Raya. Di samping meresmikan Perangkat Siar Studio RRI Takengon, Parni Hadi juga meresmikan pemancar relay di Pantan Terong pada ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut (dpl), melihat bunker persembunyian Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara dan lokasi tempat disembunyikan perangkat radio Perjuangan Rimba Raya saat perang melawan Belanda di Kampung Jamur Barat, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah.(min)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar