Senin, 10 September 2012

Film Dokumenter Radio Rimba Raya akan Diputar di PENTAS Kupang

Film dokumenter Radio Rimba Raya garapan Ikmal Gopi akan diputar dan menjadi bahan diskusi film sejarah dalam event Pekan Nasional Cinta Sejarah ((PENTAS) yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kebudayaan, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 10-15 September 2012 mendatang di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Melalui surat resminya Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya meminta agar Ikmal Gopi bersedia menjadi pembahasnya. Selain Ikmal, juga ada Mukhlis PaEni, Ketua Lembaga Sensor Film Kemendikbud yang ikut membahas film berlatar belakang tanah Gayo tersebut.
Acara ini akan diikuti oleh mahasiswa terbaik dari 33 Provinsi di Indonesia. Untuk PENTAS tahun 2012 panitia mengangkat tema “Merawat Ingatan dan Hikmah Sejarah dalam Memperkokoh ke Indonesia-an”.
Ikmal Gopi merupakan pria kelahiran Takengon, Aceh Tengah. Ia mengerjakan proyek film tersebut selama empat tahun, dan harus berkeliling Indonesia untuk mengumpulkan data dengan menggunakan biaya sendiri.
Film ini menceritakan tentang perangkat radio tua yang diberi nama Rimba Raya yang memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. Ikmal merupakan alumni Ikatan Kesenian Jakarta. Hingga kini Ikmal terus berupaya agar film tersebut bisa menjadi salah satu kurikulum pendidikan sejarah di Aceh.
Film ini rencananya juga akan diputar di beberapa negara lain seperti Inggris, India dan beberapa negara di Eropa.[]

Radio Rimba Raya, Pengabar Merdeka di Tengah Belantara

TUGU warna jingga itu berdiri tegak di bawah langit tengah hari yang terik, 3 Agustus 2012. Ada lima “tangan” menghadap ke lima arah. Di tengah tugu berdiri sebuah tiang mirip pemancar radio.
Tugu ini terletak di tengah kebun kosong. Untuk menuju ke tempat ini bisa melalui jalan kecil beraspal, sekitar 300 meter dari Jalan Takengon-Bireuen.
Di kaki tugu juga dibangun tangga dan tempat duduk bagi pengunjung. Selain sebagai logo daerah, pemerintah setempat menetapkan tugu ini sebagai objek wisata bersejarah.
Inilah Tugu Radio Rimba Raya yang terletak di Desa Rime Raya, Bener Meriah. Di bawah "tangan-tangan" tadi ada dua prasasti ukuran besar dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Isinya bercerita tentang peran Radio Rimba Raya memberitakan revolusi 1945 ketika perjuangan melawan Belanda masih menyala-nyala.
Menurut Ikmal Gopi, sutradara film dokumenter tentang radio tersebut, bentuk tugu sudah beberapa kali mengalami perombakan. Sebelum dirombak, kata Ikmal, pernah diadakan sayembara secara nasional untuk membuat maket tugu. Sayembara dimenangkan warga Takengon. “Saya lupa siapa namanya, tapi bentuknya yang sekarang berbeda dengan gambar yang menang sayembara itu,” ujar Ikmal kepada The Atjeh Times, Rabu pekan lalu.
Dalam buku berjudul Peranan Radio Rimba Raya  terbitan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh, disebutkan sebelum di Rime Raya, pemancar radio dipasang di Krueng Simpo. Sementara studionya dibawa ke kediaman Kolonel Husein Yoesoef, Komandan Tentara Republik Indonesia Divisi Gajah I, di Bireuen.
Radio menggunakan pemancar merek Marcori yang dibawa dari Malaysia oleh Mayor John Lie. Ia penyeludup kelas wahid kala itu yang oleh Belanda di juluki “The Greatest Smuggler of the Southeast”. Perangkat pemancar itu didaratkan di Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut Nukum Sanani atas perintah Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Setelah itu, perangkat radio dibawa ke Langsa dan selanjutnya ke Bireuen.
Namun, versi lain menyebutkan, pada awal agresi militer Belanda pertama, 27 Juli 1947, perangkat pemancar dibawa Kapten NIP Karim (ada yang menulisnya Nip Xarim). Ia Komandan Batalyon B di Tanjung Pura, Langkat.
Karim juga pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Lalu, Husein Yoesoef  meminta NIP Karim membawa pemancar ke Bireuen.
Ikmal Gopi yang meneliti riwayat John Lie menyebutkan, sang mayor berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus agresi militer pertama. Baru pada September 1947, kata Ikmal, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan, lalu ke Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.
Yang pasti, tak lama di Bireuen, beberapa bulan kemudian pemancar dipindahkan ke Cot Gue, Kutaraja (Banda Aceh). Alasan pemindahan menurut Ikmal karena kondisi keamanan dan untuk mempercepat pemberitaan perjuangan kemerdekaan.
Di Kutaraja pemancar radio dipasang di Cot Gue, sedangkan studio dibuat dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Peunayong. Antara pemancar dan studio terhubung kabel.
Namun, ketika pemancar di Cot Gue sedang dipasang, Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Daud Beureueh memerintahkan pemancar dipindahkan ke Gayo.
Seperti tercatat dalam prasasti tadi, setelah Yogya jatuh, Belanda mulai menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia, kecuali Aceh. Sehari kemudian perangkat pemancar diberangkatkan secara diam-diam ke Aceh Tengah, di Kampung Rime Raya, Kecamatan Timang Gajah. Pemancar tersebut akhirnya didirikan di Krueng Simpo, sekitar 20 kilometer dari Bireuen arah Takengon.
Namun masalah timbul, tak ada mesin listrik. Ummi Salamah, istri Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Setelah dicari kabel akhirnya ditemukan di Lampahan dan Bireuen.
Radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio, sedangkan studio radio berada di salah satu kamar rumah Husein Yoesoef.
Pemasangan radio dilakukan beberapa desertir pasukan sekutu, seperti W. Schult, Letnan Satu Candra, Sersan Nagris, Sersan Syamsuddin, Abubakar, dan Letnan Satu Abdulah. Mereka tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu.
Para desertir membantu membuat gubuk dan membangun radio sesuai dengan keahlian masing-masing. Studio dibangun di bawah pohon tinggi dan rindang. Antena ditancapkan di atas pohon. Di gubuk juga dipasang pesawat radio penerima berita khusus.
Dengan mesin diesel, radio mengudara sejak pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Selain bahasa Indonesia, beberapa bahasa asing digunakan saat siaran seperti Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India, dan Pakistan Madras.
Para desertir itulah yang menyiarkan siaran dalam bahasa asing. Seperti tertera dalam prasasti di bawah tugu, sesudah mengudara menembus angkasa, Radio Rimba Raya mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih ada.[]

Rabu, 05 September 2012

Saya Baru Tahu, Radio Rimba Raya Penyelamat Republik Ini



Redelong | Lintas Gayo – Ratusan santri pasantren Ahlussunnah Wal Jama’ah menyaksikanpemutaran Film dokumenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR), Senin malam (3/8) di halaman pasantren Alhussunnah Wal Jama’ah Kebun Baru Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah.
“Seru, asyik. Ada perang-perangnya,” kata Bai Darusalam Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) kelas 1, saat menyaksikan  pemutaran flim dokumenter sejarah perjuang RRR.
Siswa kejuruan itu mengatakan, kendati tidak seperti flim yang biasa ia tonton di rumah, dirinya merasa senang bisa menyaksikan flim RRR itu.
Meskipun para santri  baru tahu dan mengenal  bahwa sejarah perjuangan RRR adalah corong yang membantah propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia telah kalah pada penyerangan  agresi ke II tahun 1948.
“Saya baru tahu bahwa Radio Rimba Raya adalah penyelamat Republik ini,” kata Zuryati, seorang santri lainnya.
Menurut Zuryati, dia belum pernah membaca didalam buku ajar pendidikan sejarah tentang perjuangan Radio Rimba Raya, padahal peran Radio Rimba Raya sangat penting, bahkan nyawa bangsa indonesia berada di tangan Radio Rimba Raya,” kata Zuryati berpendapat tentang flim itu.
Sementara, Kepala Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) Ahlussunnah Wal Jama’ah, Hadi Sutrisno menyampaikan rasa terimakasihnya atas terlaksananya pemutaran flim dokumenter RRR ini.”Berkat filem ini, santri  kami telah mengenal sejarah ini,” kata Hadi Sutrisno.
Disamping itu, Pimpinan pondok pasantren Ahlussunnah Wal Jama’ah  Tgk. H. Budiman, BA, dalam sambutanya saat memulai pemutaran flim dokumenter sejarah perjuangan RRR mengatakan bahwa perjuangan RRR adalah perjuangan terakhir Negara kesatuan Republik Indonesia.
“Film dokumenter ini sangat penting untuk di tonton oleh santri, ini merupakan salah satu media pembelajaran untuk santri mengenal sejarah Republik ini,” kata Tgk. H. Budiman, BA.
Ikmal Gopi,alumnus IKJ yang menyutradarai pembuatan film dokumenter Radio Rimba Raya mengatakan akan terus bergeriliya ke sekolah-sekolah untuk memutar flim itu,” Sekuat dan semampu saya, saya akan terus memperkenalkan flim ini kepada generasi muda,” kata Ikmal kepada Lintas Gayo.
“Republik ini durhaka, dan saya tidak mau menjadi pendurhaka kepada generasi muda, untuk itu saya akan terus bergeliya memperkenalkan film ini,” ujarnya . Film Dokumenter RRR yang dibuat Ikmal dengan biaya sendiri ini sudah diputar dibanyak kawasan di Aceh dan Indonesia.
Ikmal bertekad akan terus memutar film tentang masih eksisnya Indonesia ditengah gempuran Belanda setelah Negara ini menyatakan kemerdekaannya. Maklumat Indonesia sudah merdeka itu disampaikan dari pedalaman Rimba Raya Bener Meriah dalam beberapa bahasa dunia.
Tak pelak, akibat siaran ini, pesawat –pesawat perang Belanda mencari keberadaan stasiun Radio Rime Raya ini, namun tak pernah berhasil. (Maharadi)

Senin, 03 September 2012

Kacau !, Dinding Monumen Radio Rimba Raya Dikotori Coretan




Takengon | Lintas Gayo – Sungguh sangat disayangkan, sebuah monumen yang menjadi sejarah mengudaranya Radio Rimba Raya yang terletak di kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Kebupaten Bener Meriah di coret-coret oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Ikmal Gopi, sang sutradara film dokumenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) ditemani saksi hidup bagaimana radio itu mengudara Reje Mude Tukiran aman Jus, terlihat galau saat berkunjung ke monumen bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut, Sabtu 1 September 2012.
“Sedih saya melihat monumen ini jadi tempat ajang melukis oleh tangan-tangan jahil orang yang tidak bertanggung jawab”, kata Ikmal.
Seharusnya, tambah Ikmal tugu bersejarah itu dirawat dan ditata dengan rapi dan bersih sehingga bisa menjadi salah satu tujuan wisata di Kabupaten Bener Meriah.
“Jangankan di jadikan sebagai objek wisata, petunjuk arah dari jalan Takengon-Bireun pun tak ada, sehingga kebanyakan orang yang berkunjung pasti tidak mengetahui tempat pasti dimana tugu RRR itu, ditambah dengan kondisi bangunan yang dicoret-coret, maka akan menambah kekotoran dari monumen bersejarah itu”, ujar Ikmal miris.
Sementara itu, juru kunci dari monumen bersejarah RRR, Ancah yang selama ini menjaga dan membersihkan monumen mengatakan, bahwa dirinya dan satu orang rekannya yang menjaga tugu RRR tak bisa membendung aksi coret-coretan yang dilakukan kebanyakan oleh para siswa yang berkunjung kesini.
“Saya tak mampu membendungnya, jika saya lihat mereka mencoretnya pasti saya tegur”, kata Ancah.
Aman Jus sendiri mengomentari, bahwa kesadaran masyarakat terutama anak-anak remaja saat ini sungguh sangat memprihatinkan.
“Mereka tak pernah memahami makna sejarah dari tugu ini, perannya sangat besar mengantarkan republik ini mempertahankan kemerdekaannya, jika radio ini tidak ada Indonesia hingga saat ini mungkin belum merdeka”, tegas Aman Jus. (Darmawan Masri)

Santri di Wih Pesam akan Saksikan Film Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya



Redelong | Lintas Gayo - Film dokumenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR) kembali akan diputar di Tanoh Gayo.
Kali ini atas permintaan pimpinan Pesantren Terpadu Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) Ahlussunnah Wal Jama’ah, Tgk. H. Budiman, BA yang berlokasi Kebun Baru Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah.
“Ratusan santri pesantren tersebut akan menyaksikan film RRR. Dan ini atas permintaan pimpinan pesantren tersebut kepada saya beberapa hari lalu,” kata Ikmal Gopi, sutradara film tersebut yang kebetulan sedang mudik lebaran ke Takengon, Jum’at 31 Agustus 2012.
Pemutaran film tersebut, menurut Ikmal berdasarkan pengakuan pengelola pesantren untuk mengenalkan peran Gayo dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dan akan dilakukan Senin 3 September 2012 pukul 19.30 Wib.
“Selama ini para siswa hanya diberi pelajaran sejarah yang terjadi di daerah lain di Indonesia atau dunia. Sementara sejarah penting yang terjadi di Tanoh Gayo tidak disosialisasikan. Karenanya mereka sangat antusias untuk menonton film ini,” kata Ikmal.
Dia menyatakan apresiasinya atas gagasan tersebut dan berharap semua pihak seperti itu, tidak melupakan sejarah namun terus menggali sejarah.
“Semoga sejarah RRR segera dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sejarah Nasional. Dan tentu dimulai dari kita disini sebagai pemilik sejarah itu,” harap Ikmal. (Win Aman/red.03)

Rabu, 11 Juli 2012

“Radio Rimba Raya” Raih Emas di FLS2N di Mataram

|
“Republik Indonesia masih ada, pemimpin republik masih ada, tentara republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republic masih ada dan disini adalah Aceh”  itulah dialog penutup pertunjukan naskah “Benteng Terakhir” yang diucapkan oleh Javier Arrazi yang berdiri gagah dengan sehelai bendera Merah Putih berkibar ditangannya, dengan lantang dialog itu diucapkan dari atas menara yang terbuat dari himpunan bambu yang kokoh yang disimbolisasikan sebagai Menara Pemancar Radio Rimba Raya.” Benteng Terakhir bercerita tentang kiprah Radio Rimba Raya dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah ini berhasil menggugah Dewan Juri di babak final dan membuat Tim Drama SMA Modal Bangsa yang terdiri dari Javier Arrazi, Saidul Azqa, Teuku Muhammad Nafis Barizky, Teuku Erchamsyah, Rahmat Mulya dan Ashhabul Kahfi Rangkuti membawa pulang medali emas untuk cabang Festival Drama Singkat (Fragamen) pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 17-23 Juni  2012 yang digelar di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebelumnya di babak penyisihan, mereka harus bersaing dengan 32 provinsi di Indonesia. Walau mereka hanya menggunakan artistik yang minimalis, tapi menghasilkan performa yang maksimal dan dramatis. Naskah “Jeritan Perang” yang bercerita tentang jeritan rakyat Aceh yang menginginkan negeri yang damai tanpa ada pertumpahan darah, tampil sangat memukau dan berhasil meyakinkan Dewan Juri sekaligus menjadi tiket untuk masuk ke babak final bersaing dengan 9 provinsi lainnya di Indonesia yang tidak bisa dianggap enteng. Mereka berasal dari Gorontalo, Banten, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Barat.
Naskah Benteng Terakhir dan Jeritan Perang ditulis dan disutradarai oleh Beni Arona, SE yang merupakan pelatih Teater di SMA Modal Bangsa. Keberhasilan Tim Drama SMA Modal Bangsa yang telah mengharumkan nama Aceh di tingkat nasional tidak terlepas dari dukungan seluruh komponen sekolah dan usaha keras tim teater dan keberhasilan ini menjadi suatu pelajaran yang penting dan tugas yeng berat ke depannya untuk terus mempertahankan prestasi dan mengharumkan nama daerah Aceh.(Sumber: T. Erchamsyah/SP/red.04)

Selasa, 15 Mei 2012

Radio Rimba Raya dan Seulawah RI-001 Dilupakan



IKATAN  Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta telah berhasil melaksanakan seminar Radio Rimba Raya dan Seulawah RI-001, Sabtu 12 Mei 2012.
Seorang pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam peristiwa bersejarah ini, A.K. Jacoby mengatakan ada satu hal lagi yang tidak boleh terlupakan yang saling berkaitan dengan sejarah ini yaitu Hotel Bireuen sebagai benteng pada waktu itu. “Benteng itu terus hidup dari Bireuen hingga Medan Area, Bireuen adalah sebuah kota juang,” kata AK Jacoby.
Seminar yang bertemakan “Sejarah Bangsa Indonesia yang Terlupakan” ini sejatinya membahas dua cerita sejarah yaitu Radio Rimba Raya dan Seulawah RI-001, namun sangat disayangkan narasumber untuk Seulawah RI-001 yaitu Emirsyah Satar selaku Dirut PT. Garuda Indonesia tidak hadir dalam forum sehingga seminar ini lebih banyak berfokus pada sejarah Radio Rimba Raya.
Sejarah Seulawah RI-001 sebagai cikal bakal Garuda Indonesia hingga saat ini masih tercatat sejarah. Bahkan di setiap unit pesawatnya Garuda Indonesia telah menyediakan majalah yang memuat sejarah ini. namun tidak tahu kalau sekarang apa masih tercatat atau sudah dihilangkan.
Berkebalikan dengan sejarah Radio Rimba Raya yang masih sedikit sekali catatan dan beritanya secara nasional.
Menurut Ikmal Gopi, yang mensutradarai pembuatan film dokumenter Radio Rimba Raya, sulit sekali mencari data atau dokumen nasional yang memuat sejarah ini. Bahkan setelah melakukan riset hanya ada sedikit catatan atau cerita mengenai Radio Rimba Raya ini di beberapa buku dan itu pun hanya selembar-selembar, sehingga sejarah ini seakan-akan seperti dongeng.
“Untuk itu saya berharap semoga sejarah ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum nasional sehingga semua generasi muda bangsa mengetahui sejarah bangsa ini. Radio Rimba Raya ini bukan sejarah lokal tapi merupakan sejarah perjuangan bangsa untuk mencapai kemerdekaan,”  cetus Ikmal Gopi.
Foto : radiodivisixrimbaraya
Hal ini juga didukung dengan pernyataan Shabri Aliaman, Kepala Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan Kemendikbud, bahwa sekarang sedang mengembangkan kembali beberapa program penguatan karakter bangsa melalui nilai-nilai sejarah bangsa yang mulai terlupakan.
Kebanggaan terhadap perjuangan para endatu ini juga diungkapkan oleh Kabul Budiono, Kepala Voice of Indonesia RRI, bahwa gelar RRI sebagai radio perjuangan tidak terlepas dari perjuangan para pejuang di Aceh dalam menghidupkan Radio Rimba Raya, membawa peralatan-peralatan di pedalaman untuk menyebarkan berita yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia.
“Slogan RRI pun, sekali di udara tetap di udara, tidak terlepas dari perjuangan para pejuang dalam mengudarakan Radio Rimba Raya ke seluruh jagad raya,” lanjutnya.
Acara ini merupakan salah satu rangkaian dari anniversary IMAPA Jakarta. Dalam seminar ini juga ikut dihadiri oleh Mantan Menteri BUMN Dr. Ir. H. Mustafa Abubakar, M.Si., Guru Besar FISIP UI Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA., H. Adnan Ganto, pelaku sejarah Said Umar Noor, dan para ulama dan tokoh masyarakat Aceh lainnya, serta mahasiswa dan pemuda dari berbagai daerah.
Di akhir seminar, Fikar W. Eda selaku moderator sedikit mengomentari sejarah Seulawah RI-001 yang merupakan cikal bakal Garuda Indonesia, “Bagi saya mungkin perlu ada kebijakan bagi masyarakat yang ber-KTP Aceh bisa mendapat diskon 50% setiap kali terbang menggunakan Garuda Indonesia,” ungkapnya Fikar yang disambut tawa hadirin. (Nurur Rahmah)