Tue, Apr 26th 2011, 08:55
REDELONG - Film dokumenter mengenai sejarah Radio Rimba Raya (RRR) karya sutradara Ikmal Gopi, diputar di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bener Meriah, Senin (25/4). Pemutaran film dokumenter yang bercerita tentang sejarah RRR itu, disaksikan oleh sejumlah anggota dewan Kabupaten Bener Meriah. Pemutaran film tersebut, diprakarsai oleh salah seorang anggota DPRK Bener Meriah, Bustamam Ardy.
Menurut Bustamam, Senin (25/4), sejarah Radio Rimba Raya, harus diketahui oleh jajaran pemerintah. Dan melalui adanya sejarah yang digambarkan melalui media visual ini, masyarakat tidak lagi dikaburkan tentang keberadaan sejarah RRR yang selama ini, mungkin hanya segelintir diterangkan dalam sejumlah buku sejarah. “Pemerintah dan masyarakat di daerah ini, sangat beruntung dengan adanya film dokumenter tentang sejarah RRR,” katanya.
Usai menyaksikan pemutaran film dokumenter sejumlah anggota dewan setempat menyatakan, kesiapannya untuk mendukung tentang rencana pemutaran film tersebut di sejumlah titik di Kabupaten Bener Meriah. “Kami selaku wakil rakyat akan menjembatani sosialisasi sejarah RRR melalui film tersebut,” janji Bustamam yang didampingi anggota DPRK lainnya, Andi Sastra SP, Darwinsyah, Tgk Muhammad Amin dan Ir Muhammad Husein.
Disebutkan Bustamam Ardy, semestinya sejarah RRR dipelajari disekolah-sekolah atau menjadi muatan lokal. Agar seluruh generasi bisa mengetahui dan bangga bahwa kemerdekaan Republik Indonesia disuarakan dari hutan belantara pedamalan Aceh, yakni Kabupaten Bener Meriah (sebelum pemekaran masih termasuk kawasan Kabupaten Aceh Tengah). “Kita tidak mau tugu RRR hanya sebatas simbol saja,” pungkas Bustamam.(c35)
Selasa, 26 April 2011
Senin, 18 April 2011
Kesaksian Terakhir Rosihan Tentang Aceh

Saturday, 16 April 2011 02:11
Tak ada yang menduga jika berpulangnya Rosihan Anwar, wartawan senior pada 14 April 2011 lalu, memberi duka mendalam bagi sutradara film Dokumenter Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya Ikmal Gopi.
Dalam catatan Ikmal, kesaksian Sejarah terakhir Rosihan Anwar untuk Republik Indonesia memang tentang Radio Rimba Raya di pedalaman Aceh semasa Belanda berkuasa.
Dalam film Dokumenter Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2010 untuk kriteria film dokumenter itu, Rosihan Anwar mengatakan, Aceh adalah bagian Indonesia yang tidak bisa diduduki Belanda sehingga Aceh bisa melakukan broadcast sampai ke luar negeri.
Sang Sutradara film, memang sudah gelisah sejak awal maret lalu, pasalnya, salah seorang tokoh dalam filmnya dikabarkan sakit parah dan masuk ruang ICU. Dan dengan cepat pula dia mengabarkan hal itu kepada seluruh sahabat yang terlibat dalam filmnya melalui pesan singkat.
Bagi Ikmal, mewawancarai Rosihan Anwar selama kurang lebih satu Jam di kediaman almarhun di Jalan Surabaya, Menteng pada tahun 2008, punya kebanggaan tersendiri. Ikmal melakukan wawancara bersama seorang teman, Sugeng MW, Editor film yang juga telah meninggal dunia pada tahun 2009 di Malang gara-gara sakit yang dia derita.
Kata lulusan IKJ ini, bertemu Rosihan bukanlah perkara mudah. Ikmal berkali-kali ingin menemui Rosihan, tetapi selalu gagal. Bukan lantaran kesibukan sang tokoh, tetapi Rosihan memang tak mau diganggu tatkala dia menjaga istri tercinta yang lagi sakit dan dirawat di rumah sakit. Baru dua bulan kemudian Ikmal diperbolehkan bertemu, sekaligus diberi kesempatan mengambil gambar untuk pembuatan Film Dokumenter Radio Rimba Raya.
“Saya masih teringat, saat itu kamera yang kami pakai adalah kamera pinjaman dari seorang teman,” kata Ikmal.
Bagi Ikmal, Rosihan Anwar adalah pribadi yang tegas, tidak suka bekerja lamban, harus cepat, tepat, langsung ke poin permasalahan.Itu sebabnya dalam Film Rimba Raya Rosihan memberi keterangan dengan jelas dan padat seputar peristiwa revolusi Indonesia kala itu.
Kata Rosihan antara lain, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Aceh hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang cikal bakalnya adalah peristiwa serangan umum ke Yogyakarta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat.
“Peristiwa besar tersebut dikabarkan oleh Radio Rimba Raya ke dunia langsung dari pedalaman Gayo di kawasan Ronga-ronga,” papar Ikmal meniru kata-kata Rosihan.
Kata Ikmal lagi, yang paling berkesan bersama Pak Rosihan tatkala saat terakhir pengambilan gambar. “Tiba-tiba dia terlihat marah, sebab pertanyaan kami yang terakhir sangat tidak dia sukai. pertanyaan kami saat itu adalah apa pesan dan kesan bapak ?” Kenang Ikmal.
Rosihan Anwar dengan lantang menghardik kami dengan suara keras ”apa kalian ini !, pertanyaan seperti di zaman Belanda saja, seperti masa orde baru !”, kata Ikmal menirukan hardikan Rosihan saat itu.
Dan kata-kata Anwar itu pula yang membikin Ikmal sangat berduka, sekaligus bangga menjadi salah seorang yang beruntung mendapatkan rekaman kesaksian Rosihan. Kata Ikmal, kata-kata ‘Bonus’ Rosihan Anwar yang terngiang hingga kini adalah;
“Jangan pernah tanyakan apa pesan dan kesan anda kepada seseorang,” Ucap Ikmal persis yang diucapkan Rosihan tatkala menyudahi wawancaranya. | lovegayo.com
Kamis, 31 Maret 2011
Sejarah Aceh dalam Film
Wednesday, 30 March 2011 20:30
Written by Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Apakah film itu? Menurut Christian Metz, pakar semiotika visual dari Perancis, film sama saja dengan bahasa. Kehadirannya memberikan pesan (encode) dan juga membongkar pesan-pesan yang telah hadir sebelumnya (decode). Film melakukan penandaan praktis (signifying practice) atas galaksi kebudayaan manusia yang direpresentasikan melalui gambar (Christian Metz, Film Language : A Semiotic of Cinema, 1974).
Metz tidak membedakan tentang jenis, bentuk, dan model film apa yang dihadirkan. Baginya semua film memiliki fungsi dasar yaitu memberikan tanda, kode, dan pesan melalui gambar dan kisah yang ada di dalamnya. Semua hal tadi merupakan instrumen linguistik yang digunakan film untuk berkomunikasi dengan penonton. Di dalamnya ada unsur sintagmatik dan paradigmatik. Ada cerita dan ada kedalaman.
Makanya ketika ada yang menganggap film Empang Breuh hanya sebuah film komedi biasa, bagi saya tidak sesederhana itu. Empang Breuh telah menjadi tsunami baru, “menyejarah”, dan menjadi ikon dalam dunia sinematografi Aceh yang masih belia ini. Itu paling tidak bisa dilihat dari komentar-komentar para penonton non-Aceh setelah melihat cuplikan film itu di You Tube. Satu hal lagi, film jelas harus memberikan hiburan visual bagi siapapun yang melihatnya.
Namun hal itu kurang terlihat ketika saya menonton film karya Ikmal Gopi, Radio Rimba Raya (RRR) yang diputar dan dibedah di gedung Pasca-sarjana IAIN Ar-Raniry, 16 Maret lalu. Secara teknis penggarapan film ber-genre dokumenter sejarah ini masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan paling dasar adalah kurangnya rekaman masa lalu yang bisa direkonstruksi dalam film. Ada cuplikan gambar yang di-insert tapi penonton ragu tentang relevansinya dengan sejarah RRR.
Sejarah RRR sendiri juga bukan momen afkiran. Radio Rimba Raya (bahasa Gayo, Rime Raya) dikenal sebagai radio Republik Indonesia darurat yang mulai dipancar-luaskan sejak masa agresi Belanda I, Juli 1947 hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus – 2 November 1949. Dari radio berdaya pancar satu kilo watt pada frekuensi 19.25 dan 61 ini, dunia luar mengetahui bahwa Indonesia masih ada. Kehadiran RRR tak lepas dari upaya heroik Kolonel Husin Yusuf dan John Lee, seorang pengusaha keturunan China asal Manado yang menyuplai peralatan penyiaran peninggalan Jepang dari Singapore. Melalui film ini kita bertambah paham tentang jasa Aceh untuk republik ini.
Namun hal itu kurang tertangkap dalam film. Terlalu banyak tokoh yang diwawancarai, bahkan yang bukan saksi mata atau sejarawan yang mengetahui kronologi sejarah RRR. Pemilihan tokoh karena popularitas dan bukan kepersisan dalam memberi informasi. Terlalu banyak opini dan sedikit data. Dalam amatan saya, hanya ada dua tokoh yang sangat otoritatif yang telah “menyelamatkan” film dokumenter ini. Pertama, RM Tukiran, saksi mata yang ketika masa itu berumur 8 tahun dan T. Alibasjah (Talsa), seorang pelaku sejarah yang mampu menceritakan dengan baik tentang kronologi sejarah RRR. Ekspresi Tukiran yang lugu dan lucu menjadi sedikit thrill dari sekian banyak wawancara yang terkesan terlalu dipaksakan hadir. Hal lain yang juga kurang membuat audiens bisa setia menonton adalah sound track dan instrumen musik yang sangat minimal, bahkan hampir tiada. Teknik montase (montage) yang tidak lancar antara satu tokoh ke tokoh lainnya, dan tidak adanya narasi menyebabkan kelimpahan data seperti sia-sia. Buruknya sistem audial (mungkin karena berisik atau efek angin saat mewawancarai di ruang terbuka) juga menganggu. Hal itu sebenarnya bisa dijembatani dengan transkrip di dalam gambar.
Namun yang harus diberi ancungan jempol untuk Ikmal Gopi bukan semata pada ekspresi karyanya tapi pada prosesnya. Perjuangannya menghadirkan film ini dimulai dengan modal nol. Yang ada hanya semangat pantang menyerah untuk merentangkan sejarah melalui sinema. Melalui Jauhari Samalanga, praktisi seni Gayo, saya tahu bagaimana ia kesulitan membayar lembaga-lembaga pemilik sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan RRI hanya untuk mendapat sekeping data. Bahkan ia kesulitan untuk menyewa kamera, sesuatu yang aneh mungkin dalam pikiran sutradara film seperti Garin Nugroho. Dalam sebuah wawancara ia menyebutkan, sejak membuat film RRR ia semakin mengerti tentang pentingnya sejarah.
Apa yang dihasilkan oleh Ikmal jelas tidak bisa diperbandingkan dengan karya seperti Aryo Danusiri (Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa, 1999, Playing with Elephants, 2009) Fauzan Santa-Sarjev (Pena-pena Patah, 2000) Aryo-Santa (Abrakadabra, 2003), atau William Nessen (Black Road, 2005). Film yang dihasilkan oleh sineas itu berada di tengah pusaran realitas yang sedang terjadi alias stillfresh from the oven. Proses kreatif film seperti itu cukup tinggal di dalam sebuah komunitas dan secara tabah melakukan pengembaraan antropologi visual atas realitas yang bergerak di depan kamera. Film-film yang disebutkan belakangan merupakan proyek etnografi konflik-derita yang diangkat ke dalam bentuk sinematografi.
Namun upaya Ikmal merekonstruksi sejarah yang telah lebih setengah abad, di tengah bangsa yang kurang peduli pada situs dan dokumen historis seperti slide film, bukan cerita gampang. Itu seperti pekerjaan menutup radiasi di reaktor nuklir Fukushima. Seingat saya, mungkin hanya Des Alwi dan HB Jassin, pihak swasta yang memuseumkan dokumentasi visual (film dan foto) sebagai kekayaan historis bangsa yang perlu diselamatkan. Banyak dari kita menganggap itu urusan negara. Problemya, ketika warisan masa lalu itu ingin dipresentasikan kembali kita kekurangan dan kekeringan. Atau negara menjadi jual mahal kepada para sineas idealis ini.
Langkah kecil Ikmal paling tidak telah menggugah orang lain. Ketika saya keluar dari ruang diskusi film itu, seorang seniman visual, Jawon, sudah mulai bercerita panjang lebar untuk mengangkat sejarah pertempuran Medan Aria dalam bentuk film jika ada sponsor. Saya sambut semangatnya, dan jelas itu berkat karya Ikmal yang sederhana itu. Sejarah memang perlu difilmkan, tidak hanya didiktatkan. Itu juga untuk mencegah semakin malasnya generasi sekolah menyikapi sejarah dan guru sejarah; yang berpenampilan kuno dan jarang bercukur.
Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Written by Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Apakah film itu? Menurut Christian Metz, pakar semiotika visual dari Perancis, film sama saja dengan bahasa. Kehadirannya memberikan pesan (encode) dan juga membongkar pesan-pesan yang telah hadir sebelumnya (decode). Film melakukan penandaan praktis (signifying practice) atas galaksi kebudayaan manusia yang direpresentasikan melalui gambar (Christian Metz, Film Language : A Semiotic of Cinema, 1974).
Metz tidak membedakan tentang jenis, bentuk, dan model film apa yang dihadirkan. Baginya semua film memiliki fungsi dasar yaitu memberikan tanda, kode, dan pesan melalui gambar dan kisah yang ada di dalamnya. Semua hal tadi merupakan instrumen linguistik yang digunakan film untuk berkomunikasi dengan penonton. Di dalamnya ada unsur sintagmatik dan paradigmatik. Ada cerita dan ada kedalaman.
Makanya ketika ada yang menganggap film Empang Breuh hanya sebuah film komedi biasa, bagi saya tidak sesederhana itu. Empang Breuh telah menjadi tsunami baru, “menyejarah”, dan menjadi ikon dalam dunia sinematografi Aceh yang masih belia ini. Itu paling tidak bisa dilihat dari komentar-komentar para penonton non-Aceh setelah melihat cuplikan film itu di You Tube. Satu hal lagi, film jelas harus memberikan hiburan visual bagi siapapun yang melihatnya.
Namun hal itu kurang terlihat ketika saya menonton film karya Ikmal Gopi, Radio Rimba Raya (RRR) yang diputar dan dibedah di gedung Pasca-sarjana IAIN Ar-Raniry, 16 Maret lalu. Secara teknis penggarapan film ber-genre dokumenter sejarah ini masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan paling dasar adalah kurangnya rekaman masa lalu yang bisa direkonstruksi dalam film. Ada cuplikan gambar yang di-insert tapi penonton ragu tentang relevansinya dengan sejarah RRR.
Sejarah RRR sendiri juga bukan momen afkiran. Radio Rimba Raya (bahasa Gayo, Rime Raya) dikenal sebagai radio Republik Indonesia darurat yang mulai dipancar-luaskan sejak masa agresi Belanda I, Juli 1947 hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus – 2 November 1949. Dari radio berdaya pancar satu kilo watt pada frekuensi 19.25 dan 61 ini, dunia luar mengetahui bahwa Indonesia masih ada. Kehadiran RRR tak lepas dari upaya heroik Kolonel Husin Yusuf dan John Lee, seorang pengusaha keturunan China asal Manado yang menyuplai peralatan penyiaran peninggalan Jepang dari Singapore. Melalui film ini kita bertambah paham tentang jasa Aceh untuk republik ini.
Namun hal itu kurang tertangkap dalam film. Terlalu banyak tokoh yang diwawancarai, bahkan yang bukan saksi mata atau sejarawan yang mengetahui kronologi sejarah RRR. Pemilihan tokoh karena popularitas dan bukan kepersisan dalam memberi informasi. Terlalu banyak opini dan sedikit data. Dalam amatan saya, hanya ada dua tokoh yang sangat otoritatif yang telah “menyelamatkan” film dokumenter ini. Pertama, RM Tukiran, saksi mata yang ketika masa itu berumur 8 tahun dan T. Alibasjah (Talsa), seorang pelaku sejarah yang mampu menceritakan dengan baik tentang kronologi sejarah RRR. Ekspresi Tukiran yang lugu dan lucu menjadi sedikit thrill dari sekian banyak wawancara yang terkesan terlalu dipaksakan hadir. Hal lain yang juga kurang membuat audiens bisa setia menonton adalah sound track dan instrumen musik yang sangat minimal, bahkan hampir tiada. Teknik montase (montage) yang tidak lancar antara satu tokoh ke tokoh lainnya, dan tidak adanya narasi menyebabkan kelimpahan data seperti sia-sia. Buruknya sistem audial (mungkin karena berisik atau efek angin saat mewawancarai di ruang terbuka) juga menganggu. Hal itu sebenarnya bisa dijembatani dengan transkrip di dalam gambar.
Namun yang harus diberi ancungan jempol untuk Ikmal Gopi bukan semata pada ekspresi karyanya tapi pada prosesnya. Perjuangannya menghadirkan film ini dimulai dengan modal nol. Yang ada hanya semangat pantang menyerah untuk merentangkan sejarah melalui sinema. Melalui Jauhari Samalanga, praktisi seni Gayo, saya tahu bagaimana ia kesulitan membayar lembaga-lembaga pemilik sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan RRI hanya untuk mendapat sekeping data. Bahkan ia kesulitan untuk menyewa kamera, sesuatu yang aneh mungkin dalam pikiran sutradara film seperti Garin Nugroho. Dalam sebuah wawancara ia menyebutkan, sejak membuat film RRR ia semakin mengerti tentang pentingnya sejarah.
Apa yang dihasilkan oleh Ikmal jelas tidak bisa diperbandingkan dengan karya seperti Aryo Danusiri (Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa, 1999, Playing with Elephants, 2009) Fauzan Santa-Sarjev (Pena-pena Patah, 2000) Aryo-Santa (Abrakadabra, 2003), atau William Nessen (Black Road, 2005). Film yang dihasilkan oleh sineas itu berada di tengah pusaran realitas yang sedang terjadi alias stillfresh from the oven. Proses kreatif film seperti itu cukup tinggal di dalam sebuah komunitas dan secara tabah melakukan pengembaraan antropologi visual atas realitas yang bergerak di depan kamera. Film-film yang disebutkan belakangan merupakan proyek etnografi konflik-derita yang diangkat ke dalam bentuk sinematografi.
Namun upaya Ikmal merekonstruksi sejarah yang telah lebih setengah abad, di tengah bangsa yang kurang peduli pada situs dan dokumen historis seperti slide film, bukan cerita gampang. Itu seperti pekerjaan menutup radiasi di reaktor nuklir Fukushima. Seingat saya, mungkin hanya Des Alwi dan HB Jassin, pihak swasta yang memuseumkan dokumentasi visual (film dan foto) sebagai kekayaan historis bangsa yang perlu diselamatkan. Banyak dari kita menganggap itu urusan negara. Problemya, ketika warisan masa lalu itu ingin dipresentasikan kembali kita kekurangan dan kekeringan. Atau negara menjadi jual mahal kepada para sineas idealis ini.
Langkah kecil Ikmal paling tidak telah menggugah orang lain. Ketika saya keluar dari ruang diskusi film itu, seorang seniman visual, Jawon, sudah mulai bercerita panjang lebar untuk mengangkat sejarah pertempuran Medan Aria dalam bentuk film jika ada sponsor. Saya sambut semangatnya, dan jelas itu berkat karya Ikmal yang sederhana itu. Sejarah memang perlu difilmkan, tidak hanya didiktatkan. Itu juga untuk mencegah semakin malasnya generasi sekolah menyikapi sejarah dan guru sejarah; yang berpenampilan kuno dan jarang bercukur.
Teuku Kemal Fasya | Antropolog Aceh dan Penyuka Film.
Senin, 28 Maret 2011
Demokratisasi Sejarah
Sabtu, 26 Maret 2011
Baru-baru ini, sebuah film dokumenter sejarah telah diluncurkan, Radio Rimba Raya (RRR). Film yang menjadi salah satu nominator pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta, 2011, ini menceritakan peran sebuah radio dari tanah Gayo, Aceh, yang mengudara sejak masa agresi Belanda I, 21 Juli 1947. Radio ini menjadi propaganda tanding atas komunikasi Belanda pada dunia tentang eksistensi Indonesia. Fakta mencatat, sejak agresi Belanda II, 19 Desember 1948, seluruh wilayah Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda dan sekutu. Pemerintahan darurat di Yogyakarta pun sempat jatuh.
Dunia pun berasumsi bahwa sejarah Indonesia telah tenggelam. Akan tetapi, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan: Aceh. Dari pedalaman belantara Aceh (bahasa Gayo: rime raya), radio ini menyatakan pemerintahan Indonesia masih berdaulat. Para penyiarnya menggunakan pelbagai bahasa : Melayu, Inggris, China, dan India. Daya pancarnya dapat diterima hingga Malaya (Malaysia dan Singapura), Vietnam, Filipina, hingga India. Berkat radio ini pula Belanda terpaksa melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag.
Hasilnya, Belanda dan negara dunia mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 27 Desember 1949. Jikalau dalam sejarah (if in history) memang tidak bisa digunakan untuk komparasi momentum atau hasil sejarah. Akan tetapi “jika” dapat digunakan untuk mempertajam perspektif dalam lingkup intelektualisme. Sketsa RRR tidak tercatat baik dalam risalah perjuangan nasional. Dalam Museum TNI AD di Yogyakarta, bekas peralatan radio itu teronggok di pojok ruangan. Hanya ada sedikit informasi “pemancar selundupan yang digunakan oleh pemerintah darurat RI di Sumatra/Aceh 1948”.
Tidak ada “semangat zaman” (Zeitgeist), istilah GWF Hegel, yang keluar dari catatan itu. Cuplikan itu tidak ada detail-detail naratifnya. Hanya renik-renik waktu tanpa makna. Bahkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang enam jilid itu, peran Aceh dan RRR tidak disebutkan lebih dari 10 halaman. Saya tergelitik membuat perandaian, jikalau saat itu elite Aceh berpikir iseng mendirikan negara Aceh saja, setelah mempertimbangkan Indonesia kembali dikuasai Belanda, tentu cerita menjadi lain.
Bisa jadi Indonesia baru merdeka selaksa kemerdekaan Suriname (25 November 1975) atau berdekatan dengan Afrika Selatan menjadi republik (31 Mei 1961), sebagai sama-sama koloni Belanda. Tapi di sini saya menduga, bukan hanya sejarah di Aceh yang mengecil, tapi juga sejarah-sejarah daerah lainnya di Indonesia juga ikut terbonsai. Di luar (etnik) Jawa tidak ada sejarah nasional. Sejarah di luar itu hanya balutan bekas yang dikenang sepintas atau berarus dangkal.
Sejarah nasional hanya dinamika di Sunda Kepala, kemudian menjadi Batavia, akhirnya Jakarta: yang memang sejak abad 16 menjadi pusat perdagangan, ekonomi, politik Nusantara. Sejarah nasional adalah sejarah sentralistik bukan pluralistik, yang turun dari atas ke bawah dan tidak sebaliknya. Selama ini sejarah nasional(isme) pun tidak dilihat secara menggembirakan. Ada virus nasionalisme dalam sejarah nasional yang tidak menguntungkan kesehatan bangsa.
Itu seperti yang dialami negara-negara yang pernah memberlakukan nasionalisme resmi atau dikenal dengan istilah “Russification”, akhirnya malah terpecah-belah (Partha Chaterjee, Nationalism as a Problem). Nasionalisme model ini membentuk imajinasi yang hegemonik dan dominatif. Padahal nasionalisme yang baik adalah yang mencari representasi dari seluruh rakyat dan masyarakat yang menginginkan hadirnya sebuah negara yang sah dan independen. Sebuah imajinasi sebenarnya dari antikolonialisme.
(Eric Hobsbawm, The Nation as Invented Tradition, 1983). Jika pandangan representasi menjadi penting dibandingkan hegemoni, maka imajinasi pejuang Aceh saat itu tidak bisa dikecilkan begitu saja. Memang RRR adalah radio yang memancar dari wilayah yang populasinya kurang dua persen total penduduk Indonesia. Akan tetapi, daerah ini secara konsisten menyuarakan eksistensi Indonesia dan tertangkap telinga di hampir seluruh Asia bahkan Australia. Pekik kemerdekaan para penyiar tak padam oleh serang, tak ciut oleh hantam.
Inilah salah satu bagian kronik bangsa yang harus disinarkilaukan, agar buku sejarah tidak semakin suram. Perbaiki Sejarah Permasalahannya adalah ada dua hal yang perlu diperbaiki, yaitu pemahaman sejarah nasional, dan bagaimana sejarah itu direkonstruksikan. Seperti pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis keturunan Bulgaria, Tzvetan Todorov, “membangkitkan memori masa lalu jangan sampai membuat cacat memori itu sendiri. Tujuan sejarah diungkapkan adalah agar tidak mencederai kebenaran, dan tidak membiarkan ia menjadi barang terlarang” (Todorov, The Uses and Abuses of Memory, 1995).
Dalam rentang sejarah nasional, kita bisa melihat manipulasi sejarah terjadi di beberapa babak krisis politik nasional. Sejarah seputar pembunuhan para jenderal dilebihlebihkan. Tujuannya tak lain mendeskreditkan rezim saat itu, meruntuhkan segala idealismenya, dan sekaligus memuji setinggi langit rezim penggantinya. Efeknya pun menjadi siklus dendam. Ketika rezim penggantinya tumbang pada 1998, seluruh bangunan memorialnya pun ingin dirubuhkan, tanpa pernah menyisakan sedikit pun kebenaran.
Begitu seterusnya. Sesuatu yang kita perlukan saat ini adalah merekonstruksi sejarah nasional secara lebih demokratis, yang berangkat dari peran daerah-daerah. Mungkin seri Sejarah Nasional Indonesia yang telah dimutakhirkan sejak pertamakali dibuat pada 1975 pun perlu dibacakritis oleh sejarawan-sejarawan daerah, sehingga energi tumpah darah-air mata pahlawan lokal pun bisa tertampung dalam sejarah nasional. Dengan upaya ini tak perlu lagi dengar argumen seorang anak Papua ketika ditanya tentang sejarah Indonesia. “Itu sejarah Bapak, bukan sejarah kami!”.
Penulis adalah dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
Baru-baru ini, sebuah film dokumenter sejarah telah diluncurkan, Radio Rimba Raya (RRR). Film yang menjadi salah satu nominator pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta, 2011, ini menceritakan peran sebuah radio dari tanah Gayo, Aceh, yang mengudara sejak masa agresi Belanda I, 21 Juli 1947. Radio ini menjadi propaganda tanding atas komunikasi Belanda pada dunia tentang eksistensi Indonesia. Fakta mencatat, sejak agresi Belanda II, 19 Desember 1948, seluruh wilayah Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda dan sekutu. Pemerintahan darurat di Yogyakarta pun sempat jatuh.
Dunia pun berasumsi bahwa sejarah Indonesia telah tenggelam. Akan tetapi, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan: Aceh. Dari pedalaman belantara Aceh (bahasa Gayo: rime raya), radio ini menyatakan pemerintahan Indonesia masih berdaulat. Para penyiarnya menggunakan pelbagai bahasa : Melayu, Inggris, China, dan India. Daya pancarnya dapat diterima hingga Malaya (Malaysia dan Singapura), Vietnam, Filipina, hingga India. Berkat radio ini pula Belanda terpaksa melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag.
Hasilnya, Belanda dan negara dunia mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 27 Desember 1949. Jikalau dalam sejarah (if in history) memang tidak bisa digunakan untuk komparasi momentum atau hasil sejarah. Akan tetapi “jika” dapat digunakan untuk mempertajam perspektif dalam lingkup intelektualisme. Sketsa RRR tidak tercatat baik dalam risalah perjuangan nasional. Dalam Museum TNI AD di Yogyakarta, bekas peralatan radio itu teronggok di pojok ruangan. Hanya ada sedikit informasi “pemancar selundupan yang digunakan oleh pemerintah darurat RI di Sumatra/Aceh 1948”.
Tidak ada “semangat zaman” (Zeitgeist), istilah GWF Hegel, yang keluar dari catatan itu. Cuplikan itu tidak ada detail-detail naratifnya. Hanya renik-renik waktu tanpa makna. Bahkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang enam jilid itu, peran Aceh dan RRR tidak disebutkan lebih dari 10 halaman. Saya tergelitik membuat perandaian, jikalau saat itu elite Aceh berpikir iseng mendirikan negara Aceh saja, setelah mempertimbangkan Indonesia kembali dikuasai Belanda, tentu cerita menjadi lain.
Bisa jadi Indonesia baru merdeka selaksa kemerdekaan Suriname (25 November 1975) atau berdekatan dengan Afrika Selatan menjadi republik (31 Mei 1961), sebagai sama-sama koloni Belanda. Tapi di sini saya menduga, bukan hanya sejarah di Aceh yang mengecil, tapi juga sejarah-sejarah daerah lainnya di Indonesia juga ikut terbonsai. Di luar (etnik) Jawa tidak ada sejarah nasional. Sejarah di luar itu hanya balutan bekas yang dikenang sepintas atau berarus dangkal.
Sejarah nasional hanya dinamika di Sunda Kepala, kemudian menjadi Batavia, akhirnya Jakarta: yang memang sejak abad 16 menjadi pusat perdagangan, ekonomi, politik Nusantara. Sejarah nasional adalah sejarah sentralistik bukan pluralistik, yang turun dari atas ke bawah dan tidak sebaliknya. Selama ini sejarah nasional(isme) pun tidak dilihat secara menggembirakan. Ada virus nasionalisme dalam sejarah nasional yang tidak menguntungkan kesehatan bangsa.
Itu seperti yang dialami negara-negara yang pernah memberlakukan nasionalisme resmi atau dikenal dengan istilah “Russification”, akhirnya malah terpecah-belah (Partha Chaterjee, Nationalism as a Problem). Nasionalisme model ini membentuk imajinasi yang hegemonik dan dominatif. Padahal nasionalisme yang baik adalah yang mencari representasi dari seluruh rakyat dan masyarakat yang menginginkan hadirnya sebuah negara yang sah dan independen. Sebuah imajinasi sebenarnya dari antikolonialisme.
(Eric Hobsbawm, The Nation as Invented Tradition, 1983). Jika pandangan representasi menjadi penting dibandingkan hegemoni, maka imajinasi pejuang Aceh saat itu tidak bisa dikecilkan begitu saja. Memang RRR adalah radio yang memancar dari wilayah yang populasinya kurang dua persen total penduduk Indonesia. Akan tetapi, daerah ini secara konsisten menyuarakan eksistensi Indonesia dan tertangkap telinga di hampir seluruh Asia bahkan Australia. Pekik kemerdekaan para penyiar tak padam oleh serang, tak ciut oleh hantam.
Inilah salah satu bagian kronik bangsa yang harus disinarkilaukan, agar buku sejarah tidak semakin suram. Perbaiki Sejarah Permasalahannya adalah ada dua hal yang perlu diperbaiki, yaitu pemahaman sejarah nasional, dan bagaimana sejarah itu direkonstruksikan. Seperti pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis keturunan Bulgaria, Tzvetan Todorov, “membangkitkan memori masa lalu jangan sampai membuat cacat memori itu sendiri. Tujuan sejarah diungkapkan adalah agar tidak mencederai kebenaran, dan tidak membiarkan ia menjadi barang terlarang” (Todorov, The Uses and Abuses of Memory, 1995).
Dalam rentang sejarah nasional, kita bisa melihat manipulasi sejarah terjadi di beberapa babak krisis politik nasional. Sejarah seputar pembunuhan para jenderal dilebihlebihkan. Tujuannya tak lain mendeskreditkan rezim saat itu, meruntuhkan segala idealismenya, dan sekaligus memuji setinggi langit rezim penggantinya. Efeknya pun menjadi siklus dendam. Ketika rezim penggantinya tumbang pada 1998, seluruh bangunan memorialnya pun ingin dirubuhkan, tanpa pernah menyisakan sedikit pun kebenaran.
Begitu seterusnya. Sesuatu yang kita perlukan saat ini adalah merekonstruksi sejarah nasional secara lebih demokratis, yang berangkat dari peran daerah-daerah. Mungkin seri Sejarah Nasional Indonesia yang telah dimutakhirkan sejak pertamakali dibuat pada 1975 pun perlu dibacakritis oleh sejarawan-sejarawan daerah, sehingga energi tumpah darah-air mata pahlawan lokal pun bisa tertampung dalam sejarah nasional. Dengan upaya ini tak perlu lagi dengar argumen seorang anak Papua ketika ditanya tentang sejarah Indonesia. “Itu sejarah Bapak, bukan sejarah kami!”.
Penulis adalah dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
Senin, 21 Maret 2011
Film Radio Rimba Raya Luruskan Sejarah Aceh
Sun, Mar 20th 2011, 08:52
Aceh Tengah
TAKENGON - Produser dan sutradara film yang menggarap film dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi mengatakan, pembuatan film dokumenter tersebut untuk meluruskan sejarah Aceh tentang peran Radio Perjuangan Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.
Katanya, selama ini pemerintah dan masyarakat Aceh belum tahu tentang kiprah Radio Perjuangan Rimba Raya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari agresi penjajahan Belanda I dan II. Untuk itu, film dokumenter ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang netral dan berimbang tentang peran radio perjuangan tersebut.
Hal itu dikatakan Sutradara Film Dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi di sela-sela pemuran film Radio Rimba Raya, Sabtu (19/3) di Gedung Gentala Takengon. Ia mengatakan, film dokumenter Radio Rimba Raya menceritakan tentang sejarah perjuangan radio tersebut saat pejuang dan pemerintah RI sedang digempur habis-habisan oleh Belanda pada agresi kedua tahun akhir 1948 dan 1949.
Saat Belanda sedang gencar-gencarnya melancarkan propaganda tentang kekalahan pejuang-pejuang Indonesia dan Belanda mengatakan, Indonesia tidak ada lagi, saat itu, pejuang-pejuang kemerdekaan RI mengumandangkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan tidak takluk kepada Belanda. Para penjuang itu mengumandangkan kepada dunia luar melalui perangkat Radio Rimba Raya dari hutan-hutan belantara di Kabupaten Aceh Tengah. Sinyal yang dipancarkan Radio Rimba Raya itu dapat dimonitor hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand hingga ke India. Belanda yang sudah mengetahui adanya perangkat radio di tangan para pejuang RI itu mencoba melacak kebaradaan perangkat siar tersebut di seluruh hutan Aceh.
Guna menyelamatkan perangkat radio tersebut, kata Ikmal Gopi, pejuang-pejuang Aceh memindahkan perangkat radio yang beratnya lebih satu ton itu dari hutan ke hutan, mereka memindahkan dengan cara memikul bersama-sama dalam hutan kawasan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Ikmal Gopi sangat kecewa dengan sikap Pemkab Aceh Tengah yang kurang merespon rencana pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya ke sekolah-sekolah di dataran tinggi. Bukan hanya itu, Bupati dan Muspida Aceh Tengah yang diundang pada pemutaran film Radio Rimba Raya pada tiga lokasi di Takengon, juga tidak hadir.(min)
Aceh Tengah
TAKENGON - Produser dan sutradara film yang menggarap film dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi mengatakan, pembuatan film dokumenter tersebut untuk meluruskan sejarah Aceh tentang peran Radio Perjuangan Rimba Raya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.
Katanya, selama ini pemerintah dan masyarakat Aceh belum tahu tentang kiprah Radio Perjuangan Rimba Raya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari agresi penjajahan Belanda I dan II. Untuk itu, film dokumenter ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang netral dan berimbang tentang peran radio perjuangan tersebut.
Hal itu dikatakan Sutradara Film Dokumenter Radio Perjuangan Rimba Raya, Ikmal Gopi di sela-sela pemuran film Radio Rimba Raya, Sabtu (19/3) di Gedung Gentala Takengon. Ia mengatakan, film dokumenter Radio Rimba Raya menceritakan tentang sejarah perjuangan radio tersebut saat pejuang dan pemerintah RI sedang digempur habis-habisan oleh Belanda pada agresi kedua tahun akhir 1948 dan 1949.
Saat Belanda sedang gencar-gencarnya melancarkan propaganda tentang kekalahan pejuang-pejuang Indonesia dan Belanda mengatakan, Indonesia tidak ada lagi, saat itu, pejuang-pejuang kemerdekaan RI mengumandangkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan tidak takluk kepada Belanda. Para penjuang itu mengumandangkan kepada dunia luar melalui perangkat Radio Rimba Raya dari hutan-hutan belantara di Kabupaten Aceh Tengah. Sinyal yang dipancarkan Radio Rimba Raya itu dapat dimonitor hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand hingga ke India. Belanda yang sudah mengetahui adanya perangkat radio di tangan para pejuang RI itu mencoba melacak kebaradaan perangkat siar tersebut di seluruh hutan Aceh.
Guna menyelamatkan perangkat radio tersebut, kata Ikmal Gopi, pejuang-pejuang Aceh memindahkan perangkat radio yang beratnya lebih satu ton itu dari hutan ke hutan, mereka memindahkan dengan cara memikul bersama-sama dalam hutan kawasan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.
Ikmal Gopi sangat kecewa dengan sikap Pemkab Aceh Tengah yang kurang merespon rencana pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya ke sekolah-sekolah di dataran tinggi. Bukan hanya itu, Bupati dan Muspida Aceh Tengah yang diundang pada pemutaran film Radio Rimba Raya pada tiga lokasi di Takengon, juga tidak hadir.(min)
Radio Rimba Raya, Secuil Simpul Republik yang Hampir Terlupakan
Published on March 16, 2011
Catatan Muhammad Syukri*
Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul tetap tegaknya republik ini berada disekitar kita. Simpul itu bermula saat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.
Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.
Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Sekian!
*Pemerhati Sejarah Gayo berdomisili di Takengon
Catatan Muhammad Syukri*
Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul tetap tegaknya republik ini berada disekitar kita. Simpul itu bermula saat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.
Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.
Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.
Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Sekian!
*Pemerhati Sejarah Gayo berdomisili di Takengon
Merawat Rimba Raya Lewat Film
Published on March 17, 2011
Written by Jauhari Samalanga | Hamzah Hasballah
Film dokumenter ‘Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya’ karya Ikmal Gopi diputar untuk pertamakalinya di Gedung Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3). Pemutaran film disertai diskusi ‘menguak manipulasi sejarah Aceh’. “Orang Aceh yang tidak mengetahui sejarahnya dipastikan rugi menjadi orang Aceh, karena dia akan diadili oleh sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah Aceh bisamemberi inteligensi lain dari apa yang pernah kita dapat sekarang ini. “Jadi siapapun orang di Indonesia ini harus mempelajari sejarah Aceh,”
Selain Ikmal Gopi, tampil sebagai Pembicara Diskusi public “Menguak Manipulasi Sejarah Aceh” antara lain M.Adli Abdullah (Pakar Sejarah Aceh), Prof. Hasbi Amiruddin (Guru Besar IAIN), Ihsannuddin MZ (Tokoh Pemuda dan Ketua KNPI Aceh), & Ikmal Gopi (Sutradara & Pelaku Riset Radio Rimba Raya).
Ikmal mengaku, pengalaman membuat film yang menampilkan 29 narasumber dari sejarah Radio Rimba Radio Rimba Raya,membuatnya belajar banyak soal sejarah. Dari sejarah Aceh, kata dia, dapat dianalisa situasi Indonesia sebenarnya. “Indonesia juga wajib membaca sejarah Aceh selain sejarah daerah lainnya,” kata Ikmal.
Ikmal Gopi sendiri merasa tertipu dengan Radio yang pernah dicari-cari penjajah Belanda. Dan faktanya, radio ‘gerilya’ menguak banyak sejarah Indonesia yang tercecer, termasuk taktik mengelabui Belanda di mata dunia.
Dia mengakui, baru mengetahui secara luas mengenai sejarah radio ini, ketika menggarap dokumenter sejak 2006 lalu, dan rampung 2010. “Saya yakin orang lain tidak tahu, saya cari di buku-buku, tidak ada yang menulis tentang itu, paling hanya sedikit, dari ratusan lembar yang tersedia,” ujarnya. Film ini sendiri masuk dalam lima besar Festival Film Indonesia, nominasi dokumenter.
“Jadi, kami sangat mengaharap, pemerintah memasukkan ini ke dalam kurikulum pendidikan, ini penting di ketahui, bahwa radio ini menjadi satu-satunya media bangsa kita saat perang kemerdekaan, sehingga dunia luar tahu, indonesia masih ada saat itu,” kata alumni Institut Kesenian Jakarta ini.
Ikmal sendiri menyebutkan, selama ini orang beranggapan Laksamana John Lee satu-satunya orang yang telah berkonstribusi pada Radio Aceh, dan ketika di analisis Radio tersebut dibeli oleh Nip Karim, Komandan Pangkalan Brandan masa itu. “Tapi secara umum harus diakui John Li banyak member konstribusi pada perjuangan Indonesia,” sebut lajang Aceh lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.
Guru Besar IAIN Ar-Raniry Prof. Hasbi Amiruddin dan Sejarawan Adli Abdullah mengapresiasi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. “Dan kita pantas mengapresiasi orang muda yang peduli sejarah,” kata Prof. Hasbi Amiruddin.
Sementara Ihsanuddin, tokoh Pemuda dan Ketua KNPI mengaku baru mengetahui sejarah Radio Rimba Raya ini lantaran selama bersekolah dirinya tidak pernah diajarkan sejarah itu. “KNPI akan memperjuangkan Film sejarah Radio Rimba Raya untuk dapat ditonton oleh seluruh rakyat Aceh. Semangat kreatifitas generasi muda perlu diapresiasi,” katanya.
Radio Rimba Raya, pernah beberapa kali dipindahkan dari tempatnya. Pada awalnya, diletakkan di Cot Gue Kutaradja (Sekarang Montasik Aceh Besar), sampai dibawa ke pedalaman Gayo, di Desa Rime Raya, Takengon (sekarang Bener Meriah), supaya terhindar dari intaian mata-mata Belanda.
Sejarawan Aceh, Hasbi Amiruddin mengatakan, sejarah Radio Rimba Raya sangat penting disosialisasikan. “Sama pentingnya. Rimba Raya menjadi media propoganda ke dunia luar, menyoal pendudukan Belanda yang mengatakan,Indonesia tidak lagi memiliki wilayah, padahal Aceh masih ada,” ujarnya.
Kepada The Atjeh Post, Anca, 25 tahun, yang selama ini menjaga monumen Radio Rimba Raya curhat soal kurangnya perhatian pemerintah. Akibatnya, monumen itu seperti terabaikan.
“Fasilitas dan anggaran yang tersedia sangat-sangat kurang, gaji kami saja Rp 450.000 sebulannya, untuk menjaga lahan selus dua hektar,” ujar Anca.
Selama ini, kata dia, tak banyak warga yang mengunjungi monumen itu. Padahal, hanya berjarak 500 meter dari jalan nasional Bireuen-Takengon. “Mungkin karena tidak dipasang penunjuk arah ke monumen itu,” ujar Anca yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRI) Benar Meriah.
Sumber : atjehpost.com
Written by Jauhari Samalanga | Hamzah Hasballah
Film dokumenter ‘Sejarah Perjuangan Radio Rimba Raya’ karya Ikmal Gopi diputar untuk pertamakalinya di Gedung Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (16/3). Pemutaran film disertai diskusi ‘menguak manipulasi sejarah Aceh’. “Orang Aceh yang tidak mengetahui sejarahnya dipastikan rugi menjadi orang Aceh, karena dia akan diadili oleh sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah Aceh bisamemberi inteligensi lain dari apa yang pernah kita dapat sekarang ini. “Jadi siapapun orang di Indonesia ini harus mempelajari sejarah Aceh,”
Selain Ikmal Gopi, tampil sebagai Pembicara Diskusi public “Menguak Manipulasi Sejarah Aceh” antara lain M.Adli Abdullah (Pakar Sejarah Aceh), Prof. Hasbi Amiruddin (Guru Besar IAIN), Ihsannuddin MZ (Tokoh Pemuda dan Ketua KNPI Aceh), & Ikmal Gopi (Sutradara & Pelaku Riset Radio Rimba Raya).
Ikmal mengaku, pengalaman membuat film yang menampilkan 29 narasumber dari sejarah Radio Rimba Radio Rimba Raya,membuatnya belajar banyak soal sejarah. Dari sejarah Aceh, kata dia, dapat dianalisa situasi Indonesia sebenarnya. “Indonesia juga wajib membaca sejarah Aceh selain sejarah daerah lainnya,” kata Ikmal.
Ikmal Gopi sendiri merasa tertipu dengan Radio yang pernah dicari-cari penjajah Belanda. Dan faktanya, radio ‘gerilya’ menguak banyak sejarah Indonesia yang tercecer, termasuk taktik mengelabui Belanda di mata dunia.
Dia mengakui, baru mengetahui secara luas mengenai sejarah radio ini, ketika menggarap dokumenter sejak 2006 lalu, dan rampung 2010. “Saya yakin orang lain tidak tahu, saya cari di buku-buku, tidak ada yang menulis tentang itu, paling hanya sedikit, dari ratusan lembar yang tersedia,” ujarnya. Film ini sendiri masuk dalam lima besar Festival Film Indonesia, nominasi dokumenter.
“Jadi, kami sangat mengaharap, pemerintah memasukkan ini ke dalam kurikulum pendidikan, ini penting di ketahui, bahwa radio ini menjadi satu-satunya media bangsa kita saat perang kemerdekaan, sehingga dunia luar tahu, indonesia masih ada saat itu,” kata alumni Institut Kesenian Jakarta ini.
Ikmal sendiri menyebutkan, selama ini orang beranggapan Laksamana John Lee satu-satunya orang yang telah berkonstribusi pada Radio Aceh, dan ketika di analisis Radio tersebut dibeli oleh Nip Karim, Komandan Pangkalan Brandan masa itu. “Tapi secara umum harus diakui John Li banyak member konstribusi pada perjuangan Indonesia,” sebut lajang Aceh lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.
Guru Besar IAIN Ar-Raniry Prof. Hasbi Amiruddin dan Sejarawan Adli Abdullah mengapresiasi sejarah perjuangan Radio Rimba Raya. “Dan kita pantas mengapresiasi orang muda yang peduli sejarah,” kata Prof. Hasbi Amiruddin.
Sementara Ihsanuddin, tokoh Pemuda dan Ketua KNPI mengaku baru mengetahui sejarah Radio Rimba Raya ini lantaran selama bersekolah dirinya tidak pernah diajarkan sejarah itu. “KNPI akan memperjuangkan Film sejarah Radio Rimba Raya untuk dapat ditonton oleh seluruh rakyat Aceh. Semangat kreatifitas generasi muda perlu diapresiasi,” katanya.
Radio Rimba Raya, pernah beberapa kali dipindahkan dari tempatnya. Pada awalnya, diletakkan di Cot Gue Kutaradja (Sekarang Montasik Aceh Besar), sampai dibawa ke pedalaman Gayo, di Desa Rime Raya, Takengon (sekarang Bener Meriah), supaya terhindar dari intaian mata-mata Belanda.
Sejarawan Aceh, Hasbi Amiruddin mengatakan, sejarah Radio Rimba Raya sangat penting disosialisasikan. “Sama pentingnya. Rimba Raya menjadi media propoganda ke dunia luar, menyoal pendudukan Belanda yang mengatakan,Indonesia tidak lagi memiliki wilayah, padahal Aceh masih ada,” ujarnya.
Kepada The Atjeh Post, Anca, 25 tahun, yang selama ini menjaga monumen Radio Rimba Raya curhat soal kurangnya perhatian pemerintah. Akibatnya, monumen itu seperti terabaikan.
“Fasilitas dan anggaran yang tersedia sangat-sangat kurang, gaji kami saja Rp 450.000 sebulannya, untuk menjaga lahan selus dua hektar,” ujar Anca.
Selama ini, kata dia, tak banyak warga yang mengunjungi monumen itu. Padahal, hanya berjarak 500 meter dari jalan nasional Bireuen-Takengon. “Mungkin karena tidak dipasang penunjuk arah ke monumen itu,” ujar Anca yang bergabung dalam Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRI) Benar Meriah.
Sumber : atjehpost.com
Langganan:
Postingan (Atom)